BUDAYA JAWA DAN ISLAM ?
“Dan janganlah kau campur adukkan kebenaran dengan
kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu
mengetahuinya.” (QS.
al-Baqarah: 42)
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu,
dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah aku ridhai Islam sebagai
agamamu”. (QS.
al-Maidah: 3).
Muqaddimah
Islam adalah agama yang di ridhai Allah. Sebagaimana termaktub dalam
surat al-Maidah, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan
telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah aku ridhai Islam sebagai
agamamu”. (QS. al-Maidah: 3)1. Bahkan Allah menguatkan firmanNya
di dalam surat al-‘Imran, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam”.
(QS. al-‘Imran: 19)2. Sejak zaman Rasulullah saw, Islam disampaikan
dengan beragam cara, didakwahkan kepada umat dengan berbagai metode. Metode
tersebut adalah sebuah cara untuk menyampaikan esensi ajaran Islam sendiri.
Dalam ushul fiqih
terdapat sebuah kaidah asasi al-‘adat muhakkamat (=adat dapat dihukumkan) atau
al-‘adat syari’at muhakkamat (=adat merupakan syariat yang dihukumkan). Kaidah
tersebut kurang lebih bermakana bahwa adat (tradisi) merupakan variabel sosial
yang mempunyai otoritas hukum (hukum Islam). Adat bisa mempengaruhi materi
hukum , secara proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor
eksternal non-implikatif, namun sebaliknya, memberikan ruang akomodasi bagi
adat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan hukum Islam
bersifat fleksibel.
Sebuah diktum yang amat terkenal menerangkan tentang salah satu prinsip Islam: Muhafazhat ‘ala al-qadim al-shalih wa akhdz ‘ala al-jadid al-ashlah (=Memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Artinya, kedatangan Islam tidaklah untuk memberangus adat yang baik yang berlaku pada suatu masyarakat. Islam memandang adat yang baik sebagai suatu bentuk kreasi manusia dalam konteks lingkungannya (fisik dan nonfisik). Karena itu, Islam bersifat acceptable pada berbagai bentuk masyarakat yang ada di dunia ini kapanpun juga. Atas dasar ini, Islam memang pantas menjadi agama universal dan berlaku selamanya.
Dalam perkembangan adat (akibat interaksi antar adat yang berbeda), Islam mengajarkan untuk menjaga adat lama yang baik, sebagai suatu orisinalitas yang akan mewarnai kehidupan. Apabila terdapat suatu adat baru (yang baik) maka hendaknya sebisa mungkin diterima untuk didampingkan dengan adat yang lama (yang juga baik), sehingga akan memperkaya khazanah budaya masyarakat tersebut. Namun apabila adat baru (yang baik) itu mesti menggantikan sesuatu yang lama, maka yang baru tersebut baru boleh diterima apabila telah diyakini lebih baik daripada yang lama. Dengan sikap sedemikian, manusia akan selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
Sebuah diktum yang amat terkenal menerangkan tentang salah satu prinsip Islam: Muhafazhat ‘ala al-qadim al-shalih wa akhdz ‘ala al-jadid al-ashlah (=Memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Artinya, kedatangan Islam tidaklah untuk memberangus adat yang baik yang berlaku pada suatu masyarakat. Islam memandang adat yang baik sebagai suatu bentuk kreasi manusia dalam konteks lingkungannya (fisik dan nonfisik). Karena itu, Islam bersifat acceptable pada berbagai bentuk masyarakat yang ada di dunia ini kapanpun juga. Atas dasar ini, Islam memang pantas menjadi agama universal dan berlaku selamanya.
Dalam perkembangan adat (akibat interaksi antar adat yang berbeda), Islam mengajarkan untuk menjaga adat lama yang baik, sebagai suatu orisinalitas yang akan mewarnai kehidupan. Apabila terdapat suatu adat baru (yang baik) maka hendaknya sebisa mungkin diterima untuk didampingkan dengan adat yang lama (yang juga baik), sehingga akan memperkaya khazanah budaya masyarakat tersebut. Namun apabila adat baru (yang baik) itu mesti menggantikan sesuatu yang lama, maka yang baru tersebut baru boleh diterima apabila telah diyakini lebih baik daripada yang lama. Dengan sikap sedemikian, manusia akan selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
Kondisi masyarakat
Muslim era Mataram mungkin sangat pas dengan teori Clifford Geertz yang memilah
masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan utama, yakni santri yang merupakan
kalangan Muslim ortodoks, yang menerapkan syariat Islam murni; priyayi, kalangan
bangsawan yang dipengaruhi terutama oleh tradisi-tradisi Hindu-Jawa; dan
abangan, masyarakat desa pemeluk animisme.
Budaya Jawa
Menurut Simuh (1996: 110), masyarakat Jawa memiliki budaya
yang khas terkait
dengan kehidupan beragamanya. Menurutnya ada tiga
karakteristik kebudayaan Jawa
yang terkait dengan hal ini, yaitu:
1. Kebudayaan Jawa pra Hindhu-Buddha
Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebelum
datangnya pengaruh
agama Hindhu-Buddha sangat sedikit yang dapat dikenal secara
pasti. Sebagai
masyarakat yang masih sederhana, wajar bila nampak bahwa
sistem animisme dan
dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh
aktivitas kehidupan
masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut orang Barat
sebagai religion magis
ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam
masyarakat Indonesia,
khususnya Jawa.
2. Kebudayaan Jawa masa Hindhu-Buddha
Kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap
unsur-unsur Hindhu-
Buddha, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan
tetapi yang terjadi
adalah kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan
unsur-unsur agama dan
kebudayaan India. Ciri yang paling menonjol dalam kebudayaan
Jawa adalah sangat
bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindhu-Buddha lebih
mempersubur
kepercayaan animisme dan dinamisme (serba magis) yang sudah
lama mengakar
dengan cerita mengenai orang-orang sakti setengah dewa dan
jasa mantra-mantra
(berupa rumusan kata-kata) yang dipandang magis.
3. Kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam
Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan
Jawa-Hindhu menjadi Jawa-
Islam di Demak. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan
peran para ulama
sufi yang mendapat gerlar para wali tanah Jawa. Perkembangan
Islam di Jawa tidak
semudah yang ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan
budaya lokal yang
masih bersahaja (animisme-dinamisme) dan tidak begitu banyak
diresapi oleh
unsur-unsur ajaran Hindhu-Buddha seperti di Jawa. Kebudayaan
inilah yang
kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa, yaitu
santri dan abangan,
yang
dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka.
Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya
dewa-dewa. Hal ini
terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya penguasa
Laut Selatan yang mereka
namakan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Masyarakat
Jawa yang tinggal di
daerah pantai selatan sangat mempercayai bahwa Nyai Roro
Kidul adalah penguasa
Laut Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram
(Yogyakarta).
Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka terhindar
dari mara bahaya
(Koentjaraningrat, 1995: 347).
Itulah gambaran tentang masyarakat Jawa dengan keunikan
mereka dalam
beragama dan berbudaya. Hingga sekarang keunikan ini justru
menjadi warisan tradisi
yang dijunjung tinggi dan tetap terpelihara dalam kehidupan
mereka. Bahkan dengan
adanya otonomi daerah, masing-masing daerah mencoba menggali
tradisi-tradisi
semisal untuk dijadikan tempat tujuan wisata yang dapat
menambah income bagi daerah
yang
memiliki dan mengelolanya.
Islamisasi Mataram melahirkan Islam Kejawen yang hingga kini
masih dianut sebagian masyarakat.
Saat Mataram berkuasa, tanah Jawa telah mengenal Islam berkat Islamisasi yang gencar dilakukan Kesultanan Demak dengan Walisongo sebagai ujung tombaknya. Pascakesultaan Demak, estafet dakwah sempat diambil alih Kerajaan Pajang kemudian dipegang Kerajaan Mataram. Saat itulah, dakwah Islam di tanah Jawa mengalami era baru.
Meski Demak mampu mengislamkan tanah Jawa, aktivitas keislaman lebih banyak terjadi di kawasan pesisir. Mataramlah yang kemudian melengkapi dakwah Islam di bagian pedalaman. Namun, Demak tentu berbeda dengan Mataram. Meski Demak menggunakan akulturasi dalam dakwah, para wali tetap mempertahankan syariat Islam murni terutama ketauhidan.
Saat Mataram berkuasa, tanah Jawa telah mengenal Islam berkat Islamisasi yang gencar dilakukan Kesultanan Demak dengan Walisongo sebagai ujung tombaknya. Pascakesultaan Demak, estafet dakwah sempat diambil alih Kerajaan Pajang kemudian dipegang Kerajaan Mataram. Saat itulah, dakwah Islam di tanah Jawa mengalami era baru.
Meski Demak mampu mengislamkan tanah Jawa, aktivitas keislaman lebih banyak terjadi di kawasan pesisir. Mataramlah yang kemudian melengkapi dakwah Islam di bagian pedalaman. Namun, Demak tentu berbeda dengan Mataram. Meski Demak menggunakan akulturasi dalam dakwah, para wali tetap mempertahankan syariat Islam murni terutama ketauhidan.
Budaya Dalam Islam
Kemudian kata “kebudayaan” menurut bahasa berasal dari kata
“budh”(bahasa Sansakerta) yang berarti “akal”. Kemudian dari kata “budh” itu
berubah menjadi “budhi” dan jamaknya “budhaya” selanjutnya menjadi kata
“kebudayaan”lantaran di indonesiakan dengan mendapat awalan “ke” dan “an”.
Dalam bahasa arab kata “kebudayaan” itu disebut dengan “ats- Tsaqofah” yaitu
mashdar dari “tsaqifa-yatsqofu” yang artinya pendidikan,pengajaran atau
penajaman. Salain kata “Tsaqofah” dalam bahasa arab yang diartikan dengan
kebudayaan terdapat juga kata “At-Tamaddud” dan “Al-Hadloroh”, kemudian dalam
bahasa inggris disebut “culture” dan dalam bahasa belanda “cultruur” dan dalam
bahasa latin “cultura”.
Kebudayaan adalah seluruh kelakuan,
tata kelakuan dan hasil-hasil kelakuan yang berlaku pada masyarakat dan
lingkungan tertentu. Meskipun banyak sekali pengertian budaya yang diberikan
oleh beberapa ahli, paling tidak sebagaimana diringkaskan oleh Koentjaraningrat
ada tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal, yaitu sistem peralatan dan
perlengkapan hidup, sistem mata pencaharian, sistem religi, sistem bahasa,
sistem ilmu pengetahuan, dan sistem kesenian.
Koentjaraningrat, Pokok-Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta, Penerbitan
Universitas, 1980), hlm. 7-8.
Kebudayaan
dalam bahasa Arab disebut antaranya dengan menggunakan kalimat ath-tahaqafah; dan ath-thaqafah al-Islamiyah itu bermaksud keseluruhan cara hidup dan
berfikir serta nilai-nilai dan sikap, termasuk institusi-institusi serta
artifak-artifak yang membantu manusia dalam hidup, yang semuanya itu timbul dan
berkembang serta disuburkan dalam acuan syariat Islamiah dan sunnah Nabi s.a.w.
Kalimat itu
datangnya daripada kata dasar thaqifa,
yathqafu, thaqafan, atau thaqufayathqafu, thaqafan, atau thaqafatan,
atau thuqufan. Dalam bahasa Arab
klasik bermaksud: menjadi tajam akal seseorang itu, ataupun menjadi cerdas atau
cerdik, ataupun mempunyai keahlian yang tinggi dalam bidang-bidang tertentu;
juga maksudnya mengatasi seseorang lain atau mengatasi sesuatu. Thaqafah pula maksudnya: membetulkan
sesuatu, atau mendidik seseorang atau menjaganya. Tathaqqafa bermaksud: menjadi terdidik dengan baik; menjadi lebih
baik daripada keadaan yang dulunya tidak begitu baik, ataupun menjadi
berdisiplin. Ertinya dari segi bahasa, kalimat thaqafah itu mengandungi maksud-maksud: ketajaman, kecerdasan dan
kecerdikan akal, dan keahlian yang tinggi hasil pendidikan yang dilalui;
ataupun kedudukan yang berdisiplin yang timbul daripada ushaha tarbiah yang dilaksanakan. Ianya lebih menunjukkan pembentukan diri manusia sebagai insan
dilihat dari segi akal dan budi serta disiplin dirinya sebagai makhluk rohaniah
dan akliah. Apabila aspek-aspek ini terdiri dengan baiknya dalam diri seseorang
itu maka dengan sendirinya aspek-aspek lain dari hidupnya terbentuk sama, oleh
kerana inilah yang menjadi paksi bagi dirnya, sebagai makhluk yang theomorphic, sebagaimana yang dinyatakan
oleh F. Schuon.
Istilah
‘kebudayaan’ itu sendiri, Kamus Dewan memberikan
definisi “cara hidup sesuatu masyarakat, tamadun, peradaban, kemajuan (akal
budi)” iaitu merujuk kepada keseluruhan cara hidup manusa dalam semua bidang
yang melibatkan akal budi dan daya usaha mereka. Mungkin boleh menyatakan
bahawa dalam zaman klasik, istilah kebudayaan itu tidak digunakan, dan
ditempatnya digunakan istilah ‘adat’, sebagaimana yang disyaratkan oleh Dr
Zainal Kling.
Dalam bahasa
Inggeris disebut culture, yang
merangkumi seluruh cara hidup manusia, lahir batin, termasuk
institusi-institusi yang diwujudkan dan juga nilai-nilai, serta pengetahuan
yang dihasilkan, termasuk alat-alat yang direkakan. Sudah tentu alam tabii
sebagai sesuatu yang bukan buatan manusia tidak boleh dikatakan kebudayaan.
Mungkin
perlu diingatkan, apabila membicarakan kebudayaan dalam Islam ditelitikan juga
kalimat at-tamaddun, dan kebudayaan
Islam dipanggil sebagai at-tamaddun dan
kebudayaan Islam dipanggil sebagai
at-tamaddun al-Islami. Ini mengingatkan kita kepada karangan terkenal Tarikh at-Tamaddun al-Islami oleh Jurji
Zaidan. Kalimat ini datang dari kata dasar maddana,
yamdunu, mudunan, bermakna datang (ke sebuah bandar); dengan harf bi yang bermakna menduduki sesuatu tempat; maddana
pula bermaksud membina bandar-bandar atau kota-kota, ataupun menjadi kaum atau
seseorang yang mempunyai peradaban atau tamadun (iaitu sama dengan civilization dalam bahasa Inggeris).
Kata tamaddana bermakna: menjadi kaum yang
mempunyai peradaban atau tamadun. Madinah dengan pl. mudun, mudn dan mada’in bermakna
bandar atau kota. Tamaddun bermaksud
keadaan hidup sosial yang terkedepan. Kalimat madinah dengan pluralnya
juga tercatat dalam kamus-kamus sebagai berasal daripada kalimat dana yang bermaksud meminjam atau
menjadi terhutang; ini juga kata dasar bagi kalimat agama –din- sebagaimana yang akan dibicarakan juga. Ertinya penggunaan
istilah tamadun ini menekankan aspek pendudukan kota dan hidup kekotaan serta
dengan masyarakat yang tersusun dengan aturan-aturannya, pada peringkat yang
agak terkedepan dari segi kebendaannya
daripada hidup sederhana di kalangan orang-orang Arab seperti mereka dalam
kalangan Badwi.
Antara istilah
yang elok diberikan perhatian adab.
Prof. Ismail Faruqi bersetuju dengan kalimat adab itu dimaksudkan sebagai culture
atau kebudayaan yang dikehendaki itu. Dalam hubungan ini kita boleh sebutkan
hadis Nabi s.a.w. yang bermaksud: "Tuhan telah memberikan kepadaku
pendidikan adab – addabani – dan Ia
telah memperbaik atau menyempurnakan pendidikan adab itu terhadapku." Dan adab yang dimaksudkan ini adalah adab
dalam pengertian yang paling luas yang merangkumi kemampuan meletakkan sesuatu
itu pada tempatnya yang sewajarnya, iaitu sifat yang timbul daripada kedlaman
ilmu dan disiplin sesorang itu. Sifat yang sedemikian bila disebarkan ke dalam
masyarakat dan kehidupan budaya, akan menimbulkan kesan yang menyeluruh di
dalam kehidupan kolektif. Kesedaran tentang maksud adab yang menyeluruh sedemikian itu terbayang dengan nyatanya
walaupun dalam tajuk kitab, seperti Adab
ad-Dunya wa’d-Din karangan Abul-Hasan al-Mawardi rahimahullahi Taala: dan
huraian tentang kehidupan beradap itu didapati dalam karangan terbesar Iman
al-Ghazali rahimahullahu Taala, iaitu
Ihya’ ‘Ulumi’d-Dinnya
Dalam
perkembangannya Islam tidak dapat dipisahkan dengan budaya, bahkan Islam
merangkul budaya untuk menyampaikan ajarannya. Namun, apakah pengertian budaya
dan bagaimana Islam memandangnya? Budaya3 adalah kelakuan yang
berlaku pada masyarakat dan lingkungan tertentu. Dahulu kebiasaan memberikan
makanan untuk berhala adalah budaya di kalangan masyarakat jahiliyah Arab.
Namun, setelah Rasul datang beliau mengubah kebiasaan jahiliyah tersebut, dan
menggantikannya dengan ajaran Islam. Misalnya, kebiasaan memberikan makanan
untuk berhala, diganti beliau dengan mengajarkan bersedekah. Begitu pula pada
generasi berikutnya, wali sembilan di Jawa misalnya. Para wali mengubah
kebiasaan atau budaya masyarakat pada saat itu, dan menggantinya dengan
kegiatan yang bernilai ibadah.
Walaupun terdapat banyak perbedaan pendapat dalam mendefinisikan kata “
kebudayaan”, akan tetapi para ahli kebudayaan sepakat mengenai beberapa hal
dalam kebudayaan, salah satunya adalah mengenai faktor-faktor yang menimbulkan
kebudayaan, diantara faktor-faktornya ialah:
1. Faktor geografis dan millieu (letak daerah dan lingkungan). Misalnya: orang yang tinggal di daerah pantai biasanya mempunyai keahlian dalam menangkap ikan dan pelayaran. Sedangkan orang yang tinggal di daerah pegunungan pandai dalam bercocok tanam.
2. Faktor bangsa atau nation. Oleh karena adannya perbedaan bangsa, maka berbeda pula dalam cara, watak, pembawaan, adat istiadat daripada masing-masing bangsa.
3. Faktor Agama. Contoh :adanya agama Hindu dan Bhudha maka menjelmalah kuil-kuil dan wihara-wihara berikut candi-candinya. Adanya agama Kristen dan Katholik maka muncullah gereja- gereja. Demikian pula dengan adanya agama Islam maka berdirilah masjid-masjid, mushalla, dan pesantren- pesantren dan berbagai corak kebudayaan lainnya yang di ilhami oleh agama islam.
1. Faktor geografis dan millieu (letak daerah dan lingkungan). Misalnya: orang yang tinggal di daerah pantai biasanya mempunyai keahlian dalam menangkap ikan dan pelayaran. Sedangkan orang yang tinggal di daerah pegunungan pandai dalam bercocok tanam.
2. Faktor bangsa atau nation. Oleh karena adannya perbedaan bangsa, maka berbeda pula dalam cara, watak, pembawaan, adat istiadat daripada masing-masing bangsa.
3. Faktor Agama. Contoh :adanya agama Hindu dan Bhudha maka menjelmalah kuil-kuil dan wihara-wihara berikut candi-candinya. Adanya agama Kristen dan Katholik maka muncullah gereja- gereja. Demikian pula dengan adanya agama Islam maka berdirilah masjid-masjid, mushalla, dan pesantren- pesantren dan berbagai corak kebudayaan lainnya yang di ilhami oleh agama islam.
Seorang sarjana Barat bernama F.Ratsel (1844-1904) mempunyai teori
tentang cara meluas dan berkembangnya suatu kebudayaan. Teorinya ialah bahwa
perluasan dan perkenbangan suatu kebudayaan adalah karena disebabkan oleh salah
satu dari dua hal berikut :
1. Migratie atau perpindahan golongan. Misalnya perpindahan orang-orang Inggris ke Amerika.
2. Kontak atau terjalinnya suatu hubungan. Misalnya dengan terdaptnya suatu perdagangan, penjelajahan, atau peperangan dan lain.
Kalau dua kebudayaan telah bertemu maka akan terjadi beberapa kemungkinan:
1. Akulturasi, yaitu bila unsur-unsur kebudayaan pendatang lambat laun diterima dan diolah sedemikian rupa, sehingga tidak menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
2. Assimilasi, yaitu kebudayaan kelompok pendatang dan penerima masing-masing berubah saling menyesuaikan diri menjadi satu.
3. Symbiotic, yaitu bentuk dari pada masing-masing kebudayaan tidak berubah, atau dengan kata lain kedua kebudayaan menjalankan kebudayaannya masing-masing.
4. Adoptasi (bukan Adaptasi) yaitu apabila kebudayaan yang baru dapat memusnahkan budaya asli dan yang berkembang adalah kebudayaan yang baru.
Dalam Islam kebudayaan lebih dari sekedar manifestasi dari hasil kerja manusia, akan tetapi Islam mempunyai kebudayaan sendiri yaitu kebudayaan Islam yang mempunyai arti “ penjelmaan dari jiwa seorang muslim yang didasari dan mencerminkan ajaran Islam dan arti yang seluas-luasnya”. Islam mempunyai sumber sendiri dalam membentuk sebuah kebudayaan yang islami yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, keduanya menjadi pegangan bagi seorang muslim.
1. Migratie atau perpindahan golongan. Misalnya perpindahan orang-orang Inggris ke Amerika.
2. Kontak atau terjalinnya suatu hubungan. Misalnya dengan terdaptnya suatu perdagangan, penjelajahan, atau peperangan dan lain.
Kalau dua kebudayaan telah bertemu maka akan terjadi beberapa kemungkinan:
1. Akulturasi, yaitu bila unsur-unsur kebudayaan pendatang lambat laun diterima dan diolah sedemikian rupa, sehingga tidak menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
2. Assimilasi, yaitu kebudayaan kelompok pendatang dan penerima masing-masing berubah saling menyesuaikan diri menjadi satu.
3. Symbiotic, yaitu bentuk dari pada masing-masing kebudayaan tidak berubah, atau dengan kata lain kedua kebudayaan menjalankan kebudayaannya masing-masing.
4. Adoptasi (bukan Adaptasi) yaitu apabila kebudayaan yang baru dapat memusnahkan budaya asli dan yang berkembang adalah kebudayaan yang baru.
Dalam Islam kebudayaan lebih dari sekedar manifestasi dari hasil kerja manusia, akan tetapi Islam mempunyai kebudayaan sendiri yaitu kebudayaan Islam yang mempunyai arti “ penjelmaan dari jiwa seorang muslim yang didasari dan mencerminkan ajaran Islam dan arti yang seluas-luasnya”. Islam mempunyai sumber sendiri dalam membentuk sebuah kebudayaan yang islami yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, keduanya menjadi pegangan bagi seorang muslim.
Maksud dari penyebaran budaya
telah dijelaskan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
(UNESCO) pada awal dekade 1980. Penyebaran budaya diartikan sebagai proses
peningkatan kehidupan kultural di masyarakat dan meraih nilai-nilai transenden.
Dalam proses itu, semua aspek materi dan spiritual dalam kehidupan individu dan
sosial akan mengalami perbaikan dan peningkatan. Pengembangan budaya akan
menumbuhkan kemampuan potensi masyarakat dan meningkatkan kreativitas mereka.
Terkait hal itu, budaya Islam
memberikan berbagai petunjuk. Jika manusia menjalani kehidupanya sejalan dengan
budaya ini, maka manusia akan melangkah dengan benar demi meraih tujuannya dan
sekaligus selaras dengan pandangan Islam. Iman kepada Allah Swt adalah prinsip
paling mendasar bagi gerak dan kemajuan Islam. Jika antara takwa dan
pengendalian diri dipadukan, maka kehidupan manusia di dunia dan akhirat akan
terjamin. Dalam surat al-Araf ayat 96, Allah Swt berfirman, "Jikalau sekiranya
penduduk di berbagai negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya."
Islam yang didasarkan pada
al-Quran dan Sunnah memandang penyebaran budaya adalah upaya mengajak
masyarakat kepada nilai-nilai tinggi dan menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam
diri mereka. Salah satu jalan efektif untuk menyebarkan budaya Islam adalah
koordinasi antara pemerintah dan ajaran agama. Dalam pandangan ini, pemerintah
harus menciptakan suasana yang mendukung supaya terjadi pertukaran pandangan
dalam konteks ketentuan dan aturan Islam. Pemerintah berkewajiban untuk
memperluas kapasitas budaya masyarakat di semua aspek kehidupan baik individu
maupun sosial, dengan kata lain harus berupaya memperluas budaya.
Rasulullah Saw dan Ahlul Bait as telah memberikan platform yang sesuai
guna menumbuhkan budaya manusia. Mereka mengenalkan manusia kepada Tuhan
sehingga tercipta kondisi yang mendukung bagi manusia untuk menyerap perilaku
yang baik dan menjahui sifat-sifat buruk dan tercela. Mengingat pembenahan
manusia adalah awal bagi perbaikan masyarakat, Nabi Saw memandang bahwa
perubahan jiwa dan ruh manusia berpengaruh pada perbaikan masyarakat dan dapat
menjauhkan mereka dari sifat tercela serta menciptakan kondisi yang sehat. Imam
Jafar Shadiq as sebagai tauladan ilmu dan takwa, berkata, "Perilaku baik
dan akhlak terpuji dapat memakmurkan kota dan memperpanjang umur manusia."
By Abi Azmi
JAKARTA 10/9/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar