Senin, 02 Desember 2013

ISLAM DAN BUDAYA



                           BUDAYA JAWA DAN ISLAM ?




“Dan janganlah kau campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS. al-Baqarah: 42)



“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah aku ridhai Islam sebagai agamamu”. (QS. al-Maidah: 3).



Muqaddimah



 Islam adalah agama yang di ridhai Allah. Sebagaimana termaktub dalam surat al-Maidah, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah aku ridhai Islam sebagai agamamu”. (QS. al-Maidah: 3)1. Bahkan Allah menguatkan firmanNya di dalam surat al-‘Imran, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam”. (QS. al-‘Imran: 19)2. Sejak zaman Rasulullah saw, Islam disampaikan dengan beragam cara, didakwahkan kepada umat dengan berbagai metode. Metode tersebut adalah sebuah cara untuk menyampaikan esensi ajaran Islam sendiri.



Dalam ushul fiqih terdapat sebuah kaidah asasi al-‘adat muhakkamat (=adat dapat dihukumkan) atau al-‘adat syari’at muhakkamat (=adat merupakan syariat yang dihukumkan). Kaidah tersebut kurang lebih bermakana bahwa adat (tradisi) merupakan variabel sosial yang mempunyai otoritas hukum (hukum Islam). Adat bisa mempengaruhi materi hukum , secara proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor eksternal non-implikatif, namun sebaliknya, memberikan ruang akomodasi bagi adat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan hukum Islam bersifat fleksibel.
Sebuah diktum yang amat terkenal menerangkan tentang salah satu prinsip Islam: Muhafazhat ‘ala al-qadim al-shalih wa akhdz ‘ala al-jadid al-ashlah (=Memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Artinya, kedatangan Islam tidaklah untuk memberangus adat yang baik yang berlaku pada suatu masyarakat. Islam memandang adat yang baik sebagai suatu bentuk kreasi manusia dalam konteks lingkungannya (fisik dan nonfisik). Karena itu, Islam bersifat acceptable pada berbagai bentuk masyarakat yang ada di dunia ini kapanpun juga. Atas dasar ini, Islam memang pantas menjadi agama universal dan berlaku selamanya.
Dalam perkembangan adat (akibat interaksi antar adat yang berbeda), Islam mengajarkan untuk menjaga adat lama yang baik, sebagai suatu orisinalitas yang akan mewarnai kehidupan. Apabila terdapat suatu adat baru (yang baik) maka hendaknya sebisa mungkin diterima untuk didampingkan dengan adat yang lama (yang juga baik), sehingga akan memperkaya khazanah budaya masyarakat tersebut. Namun apabila adat baru (yang baik) itu mesti menggantikan sesuatu yang lama, maka yang baru tersebut baru boleh diterima apabila telah diyakini lebih baik daripada yang lama. Dengan sikap sedemikian, manusia akan selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.



Kondisi masyarakat Muslim era Mataram mungkin sangat pas dengan teori Clifford Geertz yang memilah masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan utama, yakni santri yang merupakan kalangan Muslim ortodoks, yang menerapkan syariat Islam murni; priyayi, kalangan bangsawan yang dipengaruhi terutama oleh tradisi-tradisi Hindu-Jawa; dan abangan, masyarakat desa pemeluk animisme.



Budaya Jawa

Menurut Simuh (1996: 110), masyarakat Jawa memiliki budaya yang khas terkait

dengan kehidupan beragamanya. Menurutnya ada tiga karakteristik kebudayaan Jawa

yang terkait dengan hal ini, yaitu:

1. Kebudayaan Jawa pra Hindhu-Buddha

Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebelum datangnya pengaruh

agama Hindhu-Buddha sangat sedikit yang dapat dikenal secara pasti. Sebagai

masyarakat yang masih sederhana, wajar bila nampak bahwa sistem animisme dan

dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan

masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut orang Barat sebagai religion magis

ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia,

khususnya Jawa.

2. Kebudayaan Jawa masa Hindhu-Buddha

Kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindhu-

Buddha, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan tetapi yang terjadi

adalah kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan

kebudayaan India. Ciri yang paling menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat

bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindhu-Buddha lebih mempersubur

kepercayaan animisme dan dinamisme (serba magis) yang sudah lama mengakar

dengan cerita mengenai orang-orang sakti setengah dewa dan jasa mantra-mantra

(berupa rumusan kata-kata) yang dipandang magis.

3. Kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam

Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Jawa-Hindhu menjadi Jawa-

Islam di Demak. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama

sufi yang mendapat gerlar para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak

semudah yang ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang

masih bersahaja (animisme-dinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh

unsur-unsur ajaran Hindhu-Buddha seperti di Jawa. Kebudayaan inilah yang

kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa, yaitu santri dan abangan,

yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka.

Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya dewa-dewa. Hal ini

terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya penguasa Laut Selatan yang mereka

namakan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di

daerah pantai selatan sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa

Laut Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta).

Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka terhindar dari mara bahaya

(Koentjaraningrat, 1995: 347).

Itulah gambaran tentang masyarakat Jawa dengan keunikan mereka dalam

beragama dan berbudaya. Hingga sekarang keunikan ini justru menjadi warisan tradisi

yang dijunjung tinggi dan tetap terpelihara dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan

adanya otonomi daerah, masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-tradisi

semisal untuk dijadikan tempat tujuan wisata yang dapat menambah income bagi daerah

yang memiliki dan mengelolanya.

Islamisasi Mataram melahirkan Islam Kejawen yang hingga kini masih dianut sebagian masyarakat.
Saat Mataram berkuasa, tanah Jawa telah mengenal Islam berkat Islamisasi yang gencar dilakukan Kesultanan Demak dengan Walisongo sebagai ujung tombaknya. Pascakesultaan Demak, estafet dakwah sempat diambil alih Kerajaan Pajang kemudian dipegang Kerajaan Mataram. Saat itulah, dakwah Islam di tanah Jawa mengalami era baru.
Meski Demak mampu mengislamkan tanah Jawa, aktivitas keislaman lebih banyak terjadi di kawasan pesisir. Mataramlah yang kemudian melengkapi dakwah Islam di bagian pedalaman. Namun, Demak tentu berbeda dengan Mataram. Meski Demak menggunakan akulturasi dalam dakwah, para wali tetap mempertahankan syariat Islam murni terutama ketauhidan.

Budaya Dalam Islam

Kemudian kata “kebudayaan” menurut bahasa berasal dari kata “budh”(bahasa Sansakerta) yang berarti “akal”. Kemudian dari kata “budh” itu berubah menjadi “budhi” dan jamaknya “budhaya” selanjutnya menjadi kata “kebudayaan”lantaran di indonesiakan dengan mendapat awalan “ke” dan “an”. Dalam bahasa arab kata “kebudayaan” itu disebut dengan “ats- Tsaqofah” yaitu mashdar dari “tsaqifa-yatsqofu” yang artinya pendidikan,pengajaran atau penajaman. Salain kata “Tsaqofah” dalam bahasa arab yang diartikan dengan kebudayaan terdapat juga kata “At-Tamaddud” dan “Al-Hadloroh”, kemudian dalam bahasa inggris disebut “culture” dan dalam bahasa belanda “cultruur” dan dalam bahasa latin “cultura”.

Kebudayaan adalah seluruh kelakuan, tata kelakuan dan hasil-hasil kelakuan yang berlaku pada masyarakat dan lingkungan tertentu. Meskipun banyak sekali pengertian budaya yang diberikan oleh beberapa ahli, paling tidak sebagaimana diringkaskan oleh Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal, yaitu sistem peralatan dan perlengkapan hidup, sistem mata pencaharian, sistem religi, sistem bahasa, sistem ilmu pengetahuan, dan sistem kesenian. Koentjaraningrat, Pokok-Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta, Penerbitan Universitas, 1980), hlm. 7-8.



Kebudayaan dalam bahasa Arab disebut antaranya dengan menggunakan kalimat ath-tahaqafah; dan ath-thaqafah al-Islamiyah itu bermaksud keseluruhan cara hidup dan berfikir serta nilai-nilai dan sikap, termasuk institusi-institusi serta artifak-artifak yang membantu manusia dalam hidup, yang semuanya itu timbul dan berkembang serta disuburkan dalam acuan syariat Islamiah dan sunnah Nabi s.a.w.

 

Kalimat itu datangnya daripada kata dasar thaqifa, yathqafu, thaqafan, atau thaqufayathqafu, thaqafan, atau thaqafatan, atau thuqufan. Dalam bahasa Arab klasik bermaksud: menjadi tajam akal seseorang itu, ataupun menjadi cerdas atau cerdik, ataupun mempunyai keahlian yang tinggi dalam bidang-bidang tertentu; juga maksudnya mengatasi seseorang lain atau mengatasi sesuatu. Thaqafah pula maksudnya: membetulkan sesuatu, atau mendidik seseorang atau menjaganya. Tathaqqafa bermaksud: menjadi terdidik dengan baik; menjadi lebih baik daripada keadaan yang dulunya tidak begitu baik, ataupun menjadi berdisiplin. Ertinya dari segi bahasa, kalimat thaqafah itu mengandungi maksud-maksud: ketajaman, kecerdasan dan kecerdikan akal, dan keahlian yang tinggi hasil pendidikan yang dilalui; ataupun kedudukan yang berdisiplin yang timbul daripada ushaha tarbiah  yang dilaksanakan. Ianya lebih menunjukkan  pembentukan diri manusia sebagai insan dilihat dari segi akal dan budi serta disiplin dirinya sebagai makhluk rohaniah dan akliah. Apabila aspek-aspek ini terdiri dengan baiknya dalam diri seseorang itu maka dengan sendirinya aspek-aspek lain dari hidupnya terbentuk sama, oleh kerana inilah yang menjadi paksi bagi dirnya, sebagai makhluk yang theomorphic, sebagaimana yang dinyatakan oleh F. Schuon.



Istilah ‘kebudayaan’ itu sendiri, Kamus Dewan memberikan definisi “cara hidup sesuatu masyarakat, tamadun, peradaban, kemajuan (akal budi)” iaitu merujuk kepada keseluruhan cara hidup manusa dalam semua bidang yang melibatkan akal budi dan daya usaha mereka. Mungkin boleh menyatakan bahawa dalam zaman klasik, istilah kebudayaan itu tidak digunakan, dan ditempatnya digunakan istilah ‘adat’, sebagaimana yang disyaratkan oleh Dr Zainal Kling.

 

Dalam bahasa Inggeris disebut culture, yang merangkumi seluruh cara hidup manusia, lahir batin, termasuk institusi-institusi yang diwujudkan dan juga nilai-nilai, serta pengetahuan yang dihasilkan, termasuk alat-alat yang direkakan. Sudah tentu alam tabii sebagai sesuatu yang bukan buatan manusia tidak boleh dikatakan kebudayaan.



Mungkin perlu diingatkan, apabila membicarakan kebudayaan dalam Islam ditelitikan juga kalimat at-tamaddun, dan kebudayaan Islam dipanggil sebagai at-tamaddun dan kebudayaan Islam dipanggil sebagai at-tamaddun al-Islami. Ini mengingatkan kita kepada karangan terkenal Tarikh at-Tamaddun al-Islami oleh Jurji Zaidan. Kalimat ini datang dari kata dasar maddana, yamdunu, mudunan, bermakna datang (ke sebuah bandar); dengan harf bi yang bermakna menduduki sesuatu  tempat; maddana pula bermaksud membina bandar-bandar atau kota-kota, ataupun menjadi kaum atau seseorang yang mempunyai peradaban atau tamadun (iaitu sama dengan civilization dalam bahasa Inggeris).

 

Kata tamaddana bermakna: menjadi kaum yang mempunyai  peradaban atau tamadun. Madinah dengan pl. mudun, mudn dan mada’in bermakna bandar atau kota. Tamaddun bermaksud keadaan hidup sosial yang terkedepan. Kalimat madinah dengan pluralnya juga tercatat dalam kamus-kamus sebagai berasal daripada kalimat dana yang bermaksud meminjam atau menjadi terhutang; ini juga kata dasar bagi kalimat agama –din- sebagaimana yang akan dibicarakan juga. Ertinya penggunaan istilah tamadun ini menekankan aspek pendudukan kota dan hidup kekotaan serta dengan masyarakat yang tersusun dengan aturan-aturannya, pada peringkat yang agak  terkedepan dari segi kebendaannya daripada hidup sederhana di kalangan orang-orang Arab seperti mereka dalam kalangan Badwi.

 

Antara istilah yang elok diberikan perhatian adab. Prof. Ismail Faruqi bersetuju dengan kalimat adab itu dimaksudkan sebagai culture atau kebudayaan yang dikehendaki itu. Dalam hubungan ini kita boleh sebutkan hadis Nabi s.a.w. yang bermaksud: "Tuhan telah memberikan kepadaku pendidikan adab – addabani – dan Ia telah memperbaik atau menyempurnakan pendidikan adab itu terhadapku." Dan adab yang dimaksudkan ini adalah adab dalam pengertian yang paling luas yang merangkumi kemampuan meletakkan sesuatu itu pada tempatnya yang sewajarnya, iaitu sifat yang timbul daripada kedlaman ilmu dan disiplin sesorang itu. Sifat yang sedemikian bila disebarkan ke dalam masyarakat dan kehidupan budaya, akan menimbulkan kesan yang menyeluruh di dalam kehidupan kolektif. Kesedaran tentang maksud adab yang menyeluruh sedemikian itu terbayang dengan nyatanya walaupun dalam tajuk kitab, seperti Adab ad-Dunya wa’d-Din karangan Abul-Hasan al-Mawardi rahimahullahi Taala: dan huraian tentang kehidupan beradap itu didapati dalam karangan terbesar Iman al-Ghazali rahimahullahu Taala, iaitu Ihya’ ‘Ulumi’d-Dinnya

Dalam perkembangannya Islam tidak dapat dipisahkan dengan budaya, bahkan Islam merangkul budaya untuk menyampaikan ajarannya. Namun, apakah pengertian budaya dan bagaimana Islam memandangnya? Budaya3 adalah kelakuan yang berlaku pada masyarakat dan lingkungan tertentu. Dahulu kebiasaan memberikan makanan untuk berhala adalah budaya di kalangan masyarakat jahiliyah Arab. Namun, setelah Rasul datang beliau mengubah kebiasaan jahiliyah tersebut, dan menggantikannya dengan ajaran Islam. Misalnya, kebiasaan memberikan makanan untuk berhala, diganti beliau dengan mengajarkan bersedekah. Begitu pula pada generasi berikutnya, wali sembilan di Jawa misalnya. Para wali mengubah kebiasaan atau budaya masyarakat pada saat itu, dan menggantinya dengan kegiatan yang bernilai ibadah.

Walaupun terdapat banyak perbedaan pendapat dalam mendefinisikan kata “ kebudayaan”, akan tetapi para ahli kebudayaan sepakat mengenai beberapa hal dalam kebudayaan, salah satunya adalah mengenai faktor-faktor yang menimbulkan kebudayaan, diantara faktor-faktornya ialah:
1. Faktor geografis dan millieu (letak daerah dan lingkungan). Misalnya: orang yang tinggal di daerah pantai biasanya mempunyai keahlian dalam menangkap ikan dan pelayaran. Sedangkan orang yang tinggal di daerah pegunungan pandai dalam bercocok tanam.
2. Faktor bangsa atau nation. Oleh karena adannya perbedaan bangsa, maka berbeda pula dalam cara, watak, pembawaan, adat istiadat daripada masing-masing bangsa.
3. Faktor Agama. Contoh :adanya agama Hindu dan Bhudha maka menjelmalah kuil-kuil dan wihara-wihara berikut candi-candinya. Adanya agama Kristen dan Katholik maka muncullah gereja- gereja. Demikian pula dengan adanya agama Islam maka berdirilah masjid-masjid, mushalla, dan pesantren- pesantren dan berbagai corak kebudayaan lainnya yang di ilhami oleh agama islam.



Seorang sarjana Barat bernama F.Ratsel (1844-1904) mempunyai teori tentang cara meluas dan berkembangnya suatu kebudayaan. Teorinya ialah bahwa perluasan dan perkenbangan suatu kebudayaan adalah karena disebabkan oleh salah satu dari dua hal berikut :
1. Migratie atau perpindahan golongan. Misalnya perpindahan orang-orang Inggris ke Amerika.
2. Kontak atau terjalinnya suatu hubungan. Misalnya dengan terdaptnya suatu perdagangan, penjelajahan, atau peperangan dan lain.
Kalau dua kebudayaan telah bertemu maka akan terjadi beberapa kemungkinan:
1. Akulturasi, yaitu bila unsur-unsur kebudayaan pendatang lambat laun diterima dan diolah sedemikian rupa, sehingga tidak menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
2. Assimilasi, yaitu kebudayaan kelompok pendatang dan penerima masing-masing berubah saling menyesuaikan diri menjadi satu.
3. Symbiotic, yaitu bentuk dari pada masing-masing kebudayaan tidak berubah, atau dengan kata lain kedua kebudayaan menjalankan kebudayaannya masing-masing.
4. Adoptasi (bukan Adaptasi) yaitu apabila kebudayaan yang baru dapat memusnahkan budaya asli dan yang berkembang adalah kebudayaan yang baru.
Dalam Islam kebudayaan lebih dari sekedar manifestasi dari hasil kerja manusia, akan tetapi Islam mempunyai kebudayaan sendiri yaitu kebudayaan Islam yang mempunyai arti “ penjelmaan dari jiwa seorang muslim yang didasari dan mencerminkan ajaran Islam dan arti yang seluas-luasnya”. Islam mempunyai sumber sendiri dalam membentuk sebuah kebudayaan yang islami yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, keduanya menjadi pegangan bagi seorang muslim.
Maksud dari penyebaran budaya telah dijelaskan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) pada awal dekade 1980. Penyebaran budaya diartikan sebagai proses peningkatan kehidupan kultural di masyarakat dan meraih nilai-nilai transenden. Dalam proses itu, semua aspek materi dan spiritual dalam kehidupan individu dan sosial akan mengalami perbaikan dan peningkatan. Pengembangan budaya akan menumbuhkan kemampuan potensi masyarakat dan meningkatkan kreativitas mereka.
Terkait hal itu, budaya Islam memberikan berbagai petunjuk. Jika manusia menjalani kehidupanya sejalan dengan budaya ini, maka manusia akan melangkah dengan benar demi meraih tujuannya dan sekaligus selaras dengan pandangan Islam. Iman kepada Allah Swt adalah prinsip paling mendasar bagi gerak dan kemajuan Islam. Jika antara takwa dan pengendalian diri dipadukan, maka kehidupan manusia di dunia dan akhirat akan terjamin. Dalam surat al-Araf ayat 96, Allah Swt berfirman, "Jikalau sekiranya penduduk di berbagai negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."
Islam yang didasarkan pada al-Quran dan Sunnah memandang penyebaran budaya adalah upaya mengajak masyarakat kepada nilai-nilai tinggi dan menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam diri mereka. Salah satu jalan efektif untuk menyebarkan budaya Islam adalah koordinasi antara pemerintah dan ajaran agama. Dalam pandangan ini, pemerintah harus menciptakan suasana yang mendukung supaya terjadi pertukaran pandangan dalam konteks ketentuan dan aturan Islam. Pemerintah berkewajiban untuk memperluas kapasitas budaya masyarakat di semua aspek kehidupan baik individu maupun sosial, dengan kata lain harus berupaya memperluas budaya.

Rasulullah Saw dan Ahlul Bait as telah memberikan platform yang sesuai guna menumbuhkan budaya manusia. Mereka mengenalkan manusia kepada Tuhan sehingga tercipta kondisi yang mendukung bagi manusia untuk menyerap perilaku yang baik dan menjahui sifat-sifat buruk dan tercela. Mengingat pembenahan manusia adalah awal bagi perbaikan masyarakat, Nabi Saw memandang bahwa perubahan jiwa dan ruh manusia berpengaruh pada perbaikan masyarakat dan dapat menjauhkan mereka dari sifat tercela serta menciptakan kondisi yang sehat. Imam Jafar Shadiq as sebagai tauladan ilmu dan takwa, berkata, "Perilaku baik dan akhlak terpuji dapat memakmurkan kota dan memperpanjang umur manusia."

By Abi Azmi



JAKARTA  10/9/2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman