Alloh ta’ala berfirman :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ
عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan
dengan Robb-nya, maka hendaknya dia beramal sholih, dan tidak menyekutukan
dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Robb-nya.” (QS Al-Kahfi : 110)
Muqaddimah
Saudaraku kaum
muslimin, yang perlu kita ketahui sekarang adalah apa sebenarnya makna
(pengertian) ibadah itu ? Dan bagaimana pula cara kita beribadah kepada Alloh ?
Insya Alloh, uraian berikut ini akan membahas hal tersebut secara ringkas dan
sederhana.
Ketahuilah,
para ulama kita telah menjelaskan pada kita tentang apa ibadah itu. Diantara
penjelasan yang paling ringkas tentang makna ibadah, adalah seperti dijelaskan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berikut ini : “Ibadah
itu adalah semua perkara yang dicintai dan diridhoi oleh Alloh, baik yang
berupa ucapan maupun perbuatan, yang dhohir (nampak) maupun yang bathin (tidak
nampak).” (Al-Ubudiyyah (hal. 5) dan Majmu’ Al-Fatawa,
10/149)
Beliau juga
berkata : “Ibadah itu adalah ketaatan kepada Alloh, dengan melaksanakan apa
yang diperintahkan-Nya, melalui (perantaraan) lisan para rosul (utusan)-Nya.”
(Fathul Majid Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 37), karya Syaikh
Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh. Guru kami,
Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam al-Fadhdholi al-Ba’dani hafidzohulloh, dalam
hasyiyah-nya (catatan pinggir/catatan kaki) atas kitab Fathul Majid tersebut,
yang beliau namai kitabnya At-Taudhihul Mufid ‘ala Kitab Fathil Majid,
beliau berkata tentang ucapan Syaikhul Islam tersebut di atas : “Saya tidak
mendapati sandaran/rujukan ucapan Syaikhul Islam tersebut di atas (yakni tidak
diketahui dinukil dari kitab beliau yang mana dari kitab-kitab Syaikhul Islam
yang sangat banyak itu), wallohu a’lam.
Jadi,
berdasarkan definisi tersebut di atas, maka semua apa yang kita amalkan, baik
yang berupa ucapan maupun perbuatan, selama hal itu adalah perkara yang
dicintai dan diridhoi oleh Alloh, maka itu semua adalah ibadah. Dengan
demikian, ibadah itu tidak bisa dibatasi dengan amal-amal tertentu atau jumlah
tertentu. Dan yang dimaksud dengan perkara yang dicintai dan diridhoi oleh
Alloh adalah perkara-perkara yang diperintahkan oleh-Nya untuk mengerjakannya,
baik itu perintah yang wajib maupun yang mustahab (sunnah/tidak wajib).
Al-Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata : “Ibadah kepada Alloh adalah
mentaati-Nya, dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
menjauhi/meninggalkan larangan-larangan-Nya.”
Makna Ibadah
Secara
etimologi, kata “ibadah” memiliki beberapa arti, misalnya: ketaatan (al-abdiyah,
al-ubudiyah, dan al-ibadah), ketundukan (al-khudhu’), kehinaan (adz-dzull),
dan lain-lain. Sehingga, seorang ulama masyhur, Abul A’la Al-Maududi,
menyatakan bahwa makna asal ibadah adalah ketundukan secara total, kepatuhan
secara sempurna, dan ketaatan mutlak. Kemudian, kadang makna ini ditambah
dengan unsur perasaan baru yang padanya tergambar penghambaan hati, setelah
penghambaan kepala atau leher. Dan indikasi unsur ini adalah penghambaan,
peribadahan, dan melaksanakan syiar-syiar (Qaradhawi, 2005).
Ibadah (عبادة) secara
etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Di dalam syara’, ibadah
mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi ibadah itu
antara lain :
1.Ibadah ialah
taat kepada Allah dengan melaksanakan
perintah-perintah-Nya (yang digariskan) melalui lisan para Rasul-Nya,
2 Ibadah adalah
merendahkan diri kepada Allah , yaitu tingkatan ketundukan yang paling tinggi
disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi,
3 Ibadah ialah
sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah , baik
berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir maupun bathin. Ini adalah definisi
ibadah yang paling lengkap.
Makna Ibadah Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Rahimahullah :
Ibadah adalah
segala sesuatu yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala,
baik berupa ucapan dan amalan, yang nampak dan yang tersembunyi.
Maka shalat,
zakat, puasa, hajji, berkata benar, menyampaikan amanat, berbakti kepada kedua
orang tua, silaturrahim, menepati janji, amar ma’ruf nahi mungkar, jihad
menghadapi orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim,
orang miskin, ibnu sabil, budak, hewan piaran, berdoa, berzikir, membaca al
Quran, dan yang semisalnya termasuk ibadah. Demikian juga mencintai Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam, takut dan inabah
kepada-Nya, ikhlas hanya kepada-Nya, bersabar atas hukum-Nya, bersyukur atas
nikmat-nikmat-Nya, ridha dengan qadha-Nya, bertawakkal kepada-Nya, mengharap
rahmat-Nya, takut kepada azab-Nya, dan yang semisalnya termasuk dalam ibadah.
Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya
ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf
(takut), raja’ (harapan).
Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ
“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]
Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”
Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ
“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]
Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”
Tujuan Ibadah
Sebagai seorang
Muslim seharusnya kita menyadari bahwa tujuan ibadah sebenarnya tidak lain dan
tidak bukan adalah untuk kemaslahatan kita sendiri. Sungguh sekiranya seluruh
makhluk tidak ada yang beribadah pun, tidak akan berkurang sedikit pun
kekuasaan Allah. Oleh karena itu, dalam setiap ibadah yang kita diperintahkan
untuk menjalankannya pasti terdapat hikmah dan manfaat. Hanya saja terkadang
kita belum dikaruniai pengetahuan tentangnya.
Sehingga ibadah
itu pun memiliki beberapa peran dan kedudukan, misalnya: sebagai santapan ruh;
jalan menuju kemerdekaan; ujian untuk mensucikan manusia; hak Allah atas
hamba-Nya; dan sebagainya. Semuanya akan kembali kepada manusia itu sendiri.
Sama sekali bukan untuk menguatkan legitimasi Allah sebagai Rabb semesta alam.
Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.
Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.
Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.
Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.
Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]
Jangan Menyekutukan Dalam Beribadah
Alloh ta’ala
berfirman :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Robb-nya, maka hendaknya dia beramal sholih, dan
tidak menyekutukan dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Robb-nya.” (QS Al-Kahfi : 110)
Al-Imam Ibnu
Katsir rohimahulloh
menjelaskan makna “hendaknya dia beramal sholih”, yakni : “(dengan) segala
sesuatu (amalan) yang sesuai dengan syari’at Alloh”. Adapun makna “dan
tidak menyekutukan dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Robb-nya”,
yakni : “dia bertujuan dengan amalannya itu (mengharap) wajah Alloh saja (yakni
ikhlas) dan tidak menyekutukan-Nya (dengan apapun).”
Beliau juga
berkata : “Inilah dua rukun diterimanya amalan, (yakni) harus
ikhlas karena Alloh dan showab (benar/cocok/sesuai) dengan syari’at
(sunnah) Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa salam. (Tafsir
Al-Qur’anul Adzim, 3/152)
Al-Imam
Al-Fudhoil bin ‘Iyadh rohimahulloh,
ketika menjelaskan makna firman Alloh ta’ala (yang artinya) : “(Dia-lah
Alloh) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapakah
yang paling bagus amalannya.” (QS Al-Mulk : 2), beliau berkata : “(yang
paling bagus amalannya) yakni yang paling ikhlas dan yang paling benar.”
Orang-orang
bertanya kepada Al-Fudhoil rohimahulloh : “Wahai Abu Ali, apa yang dimaksud
dengan “yang paling ikhlas dan yang paling benar” itu ?” Beliau menjawab : “Sesungguhnya
amalan itu apabila dilakukan dengan ikhlas (saja) tetapi tidak benar, (hal itu)
tidak akan diterima oleh Alloh, sampai keadaan amalannya tersebut Ikhlas dan
benar. Ikhlas, yakni semata-mata karena Alloh. Benar, yakni sesuai
dengan sunnah (tuntunan/petunjuk rosululloh).” (dinukil dari kitab Jami’ul
Ulum wal Hikam, karya Al-Imam Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh,
lihat juga kitab I’lamul Bahhatsah bi Maqoshidi al-Ushul ats-Tsalatsah
(hal. 40), karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafidzohulloh)
Dalil-dalil
lainnya dari Kitabulloh Al-Qur’an tentang pentingnya beramal itu harus memenuhi
dua syarat tersebut di atas (yakni ikhlas dan benar/sesuai tuntunan rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam) sangat banyak. Adapun dalil-dalil dari hadits
rosululloh, diantaranya adalah hadits dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha,
rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa
membuat-buat perkara baru dalam urusan (agama) kami ini, dengan apa yang tidak
ada (perintahnya) dari kami, maka amalan dia itu tertolak.” Dalam lafadz imam
Muslim : “Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang tidak ada
perintahnya dari kami, maka amalannya itu tertolak.” (HR. Imam Al-Bukhori
no. 2697 dan Muslim no. 1718)
[2]. lihat
al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan
bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul
Ashaalah 1416 H
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.
[6]. HR. Muslim
(no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma
[9]. Mawaaridul
Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali
‘Abdul Hamid.
By Abi Naufal
JAKARTA 28/8/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar