Jumat, 29 Juli 2016

NASIHAT LUKMAN




LUKMAN DAN ANAKNYA


Satu lagi wasiat berharga yang disampaikan oleh Lukman Al Hakim. Ia menyampaikan pada anaknya bahwa setiap kejelekan dan kebaikan walau amat kecil, ditambah lagi amat tersembunyi, maka pasti akan dihadirkan atau dibalas oleh Allah pada hari kiamat. Wasiat ini mengajarkan kepada kita bagaimana setiap amalan kita yang nampak dan tersembunyi akan dibalas. Begitu pula nasehat beliau menunjukkan akan luasnya ilmu Allah. Sehingga kita harus yakin bahwa Allah akan selalu mengawasi kita di mana saja kita berada.
Walau Sangat Kecil dan Amat Tersembunyi, Pasti akan Terlihat dan akan Dibalas oleh Allah
Allah Ta’ala berfirman,
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ
“(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Luqman: 16).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah wasiat yang amat berharga yang Allah ceritakan tentang Lukman Al Hakim supaya setiap orang bisa mencontohnya … Kezholiman dan dosa apa pun walau seberat biji sawi, pasti Allah akan mendatangkan balasannya pada hari kiamat ketika setiap amalan ditimbang. Jika amalan tersebut baik, maka balasan yang diperoleh pun baik. Jika jelek, maka balasan yang diperoleh pun jelek” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 55).
Asy Syaukani rahimahullah menerangkan, “Meskipun kejelekan dan kebaikan sebesar biji (artinya: amat kecil), kemudian ditambah lagi dengan keterangan berikutnya yang menunjukkan sangat samarnya biji tersebut, baik biji tersebut berada di dalam batu yang jelas sangat tersembunyi dan sulit dijangkau, atau di salah satu bagian langit atau bumi, maka pasti Allah akan menghadirkannya (artinya: membalasnya)” (Fathul Qodir, 5: 489).
Ayat di atas serupa dengan ayat,
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan” (QS. Al Anbiya’: 47).
Juga serupa dengan ayat,
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ * وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. Az Zalzalah: 7-8).
Walaupun kezholiman tersebut sangat tersembunyi, Allah akan tetap membalasnya. Karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Luqman: 16). Maksud “lathif” ayat ini adalah ilmu Allah itu bisa menjangkau sesuatu yang tersembunyi dan tidaklah samar bagi Allah walaupun amat kecil dan lembut. Sedangkan maksud “khobir” adalah Alalh mengetahui jejak semuk sekali pun meskipun di malam yang gelap gulita (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 55).
Asal-Muasal Nasehat Lukman
Mengapa Lukman bisa mengeluarkan nasehat di atas kepada anaknya? Diceritakan oleh para ulama dengan dua tafsiran:
1. Anak Lukman berkata pada ayahnya, bagaimana jika suatu di bawah dasar laut, apakah Allah juga mengetahuinya? Maka Lukman menjawab dengan ayat ini. Demikianlah tafsiran dari As Sudi.
2. Anak Lukman berkata pada ayahnya, bagaimana jika aku melakukan suatu dosa lantas tidak ada seorang pun yang melihatnya, bagaimana Allah bisa mengetahuinya? Lalu keluarlah jawaban Lukman seperti ayat di atas. Demikian pendapat Maqotil. (Lihat Zaadul Masiir, 6: 321).
Yang Dimaksud Shokhroh
Qotadah mengatakan bahwa “shokhroh” (صَخْرَةٍ) dalam ayat di atas berarti gunung (Zaadul Masiir, 6: 321). Artinya, walaupun dosa tersebut dilakukan di dalam gunung sekali pun, Allah tetap akan mengetahuinya karena Allah itu “lathif” lagi “khobir”.
Menurut As Sudi yang dimaksud dengan “shokhroh” (صَخْرَةٍ) dalam ayat di atas adalah batu yang berada di bawah lapisan bumi yang ketujuh dan bukan berada di bawah langit atau berada di muka bumi. Namun Ibnu Katsir menyanggah hal ini, beliau nyatakan bahwa tafsiran tersebut berasal dari berita Isroiliyat, di mana berita ini tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa didustakan.
Renungan Bersama
Allah akan membalas kejelekan apa pun walau sangat-sangat tersembunyi karena luasnya ilmu Allah dan kesempurnaan kemahatahuan Allah (Taisir Al Karimir Rahman, 648).
Ayat ini mengajarkan bagaimana keilmuan Allah yang amat luas. Moga dengan memahami dan merenungkan hal ini, kita akan semakin berhati-hati dalam berbuat maksiat, semakin takut kepada Allah di mana pun kita berada. Ingatlah setiap dosa dan kesalahan akan nampak di sisi Allah dan akan dibalas.
Sumber:https://rumaysho.com
Jakarta 29/7/2016

READ MORE - NASIHAT LUKMAN

HUKUM MUZARA'AH




MUZARA’AH DAN MUKHABARAH


Apabila kita perhatikan kehidupan masyarakat Indonesia yang agraris. Praktik pemberian imbalan atas jasa seseorang yang telah menggarap tanah orang lain masih banyak dilaksanakan pemberian imbalan ada yang cenderung pada praktek muzara’ah dan ada yang cenderung pada praktik mukhabarah. Hal tersebut banyak dilaksanakan oleh para petani yang tidak memiliki lahan pertanian hanya sebagai petani penggarap.
Muzara’ah dan mukhabarah ada Hadits yang melarang seperti yang diriwayatkan oleh (H.R Bukhari) dan ada yang membolehkan seperti yang diriwayatkan oleh (H.R Muslim).
Berdasarkan pada dua Hadits tersebut mudah – mudahan kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan oleh salah satu pihak, baik itu pemilik tanah maupun penggarap tanah


A. Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah
Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.

B. Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabaroh

عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ

Artinya :
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)

عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)

C. Pandangan Ulama Terhadap Hukum Muzara’ah Dan Mukhabarah

Dua Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas

Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas
Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak.

D. Zakat Muzara’ah Dan Mukhabarah

Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada muzara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah – olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya
Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.

Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Dengan adanya praktek mukahbarah sangat menguntungkan kedua belah pihak. Baik pihak pemilik sawah atau ladang maupun pihak penggarap tanah.
Pemilik tanah lahannya dapat digarap, sedangkan petani dapat meningkatkan tarap hidupnya
Sumber:http://indo-moeslim.blogspot.co.id
Jakarta 29/7/2016
READ MORE - HUKUM MUZARA'AH

Rabu, 27 Juli 2016

UJIAN HIDUP




UJIAN DAN COBAAN



لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan [Âli ‘Imrân/3 : 186]

Muqaddimah
Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً
Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »
Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.[HR TIRMIDZI]
Ujian Allah swt
Al Munawi mengatakan pula, “Barangsiapa yang menyangka bahwa apabila seorang hamba ditimpa ujian yang berat, itu adalah suatu kehinaan; maka sungguh akalnya telah hilang dan hatinya telah buta. Betapa banyak orang sholih (ulama besar) yang mendapatkan berbagai ujian yang menyulitkan. Tidakkah kita melihat mengenai kisah disembelihnya Nabi Allah Yahya bin Zakariya, terbunuhnya tiga Khulafa’ur Rosyidin, terbunuhnya Al Husain, Ibnu Zubair dan Ibnu Jabir. Begitu juga tidakkah kita perhatikan kisah Abu Hanifah yang dipenjara sehingga mati di dalam buih, Imam Malik yang dibuat telanjang kemudian dicambuk dan tangannya ditarik sehingga lepaslah bahunya, begitu juga kisah Imam Ahmad yang disiksa hingga pingsan dan kulitnya disayat dalam keadaan hidup. … Dan masih banyak kisah lainnya.
Kewajiban kita adalah bersabar dan bersabar. Ganjaran bersabar sangat luar biasa. Ingatlah janji Allah,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, ganjaran bagi mereka adalah tanpa hisab (tak terhingga).” (QS. Az Zumar: 10). Al Auza’i mengatakan bahwa  ganjarannya tidak bisa ditakar dan ditimbang. Ibnu Juraij mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar pahala bagi mereka tidak bisa dihitung sama sekali, akan tetapi akan diberi tambahan dari itu. Maksudnya, pahala mereka tak terhingga. Sedangkan As Sudi mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar adalah surga.
Mengapa Allâh Azza wa Jalla Mengabarkan Bahwa Ujian Ini Pasti Akan Terjadi?
Ada beberapa faedah yang bisa dipetik dari berita tentang kepastian ujian pada kita, di antaranya:
1. Kita akan mengetahui bahwa ujian tersebut mengandung hikmah Allâh Azza wa Jalla . Yakni, dapat dibedakan siapa Muslim yang imannya benar dengan yang tidak.
2. Kita akan mengetahui bahwa Allâhlah yang menakdirkan semua ini.
3. Kita bisa bersiap-siap untuk menghadapi ujian itu dan akan bisa bersabar serta akan merasa lebih ringan dalam menghadapinya.
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Firman Allâh (yang artinya), “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu” seperti firman-Nya (yang artinya) : Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn' . Seorang Mukmin pasti akan diuji pada harta, jiwa, anak dan keluarganya.”
Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla mengabarkan dan mengatakan kepada kaum Mukminin bahwa mereka akan diuji pada harta mereka melalui (perintah untuk) mengeluarkan nafkah-nafkah wajib dan yang sunat serta terancam hilang harta untuk (berjuang) di jalan Allâh Azza wa Jalla . (Mereka juga akan diuji) pada jiwa-jiwa mereka dengan diberi berbagai beban berat bagi banyak orang, seperti jihad di jalan Allah atau tertimpa penyakit.
Hasil Yang Didapatkan Dengan Bersabar
Orang yang dapat bersabar menghadapi semua ujian akan memperoleh hal-hal yang terpuji, di antaranya [14] :
1. Dia akan mendapatkan pahala seperti para nabi yang memiliki keteguhan hati (ulul-‘azm).
2. Dia akan mendapatkan keberkatan yang sempurna, rahmat dan petunjuk dari Allah. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya: “Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [al-Baqarah/2:157]
3. Dia akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya: “Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar” [Fushshilat/41: 35]
4. Dia akan mendapatkan pahala tanpa batas. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [az-Zumar/39 : 10]
5. Dosa-dosanya akan diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ
Ujian itu akan selalu menimpa seorang hamba sampai Allâh membiarkannya berjalan di atas bumi dengan tidak memiliki dosa.

Sumber:1.https://almanhaj.or.id
2.https://rumaysho.com
Jakarta 28/7/2016
READ MORE - UJIAN HIDUP
 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman