Senin, 28 Desember 2015

EVALUASI DIRI




SETIAP PERBUATAN AKAN DIPERHITUNGKAN ?

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (١٨) وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (١٩) لا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ (٢٠)
18. [1]Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
19. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri[2]. Mereka itulah orang-orang yang fasik[3].
20. Tidak sama para penghuni neraka dengan para penghuni surga; para penghuni surga itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan[4].(al-Hasyr:18-20)
يَرْفَعِ الله الّذِيْنَ امَنُوْا مِنْكُمْ وَالّذِيْنَ أوتُواالْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Artinya : “….Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu….”. (QS Al-Mujadilah : 11).
Muqaddimah
DARI surat Al hasyr ayat 18 – 20 di atas, dapat diambil tiga kesimpulan, yaitu, Pertama, bahwa manusia harus selalu bertaqwa kepada Allah SWT, yaitu dengan melaksanakan semua perintahNya dan menjauhi semua laranganNya. Menurut ulama, ciri-ciri manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT, antara lain (a) ingat untuk selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, (b) ingat bahwa segala amal perbuatan kita selalu diawasi oleh Allah SWT, (c) ingat bahwa setiap manusia pasti mengalami kematian, dan (d) ingat pada pasca kematian, bahwa di akhirat kelak ada dua tempat yang dihuni oleh manusia, yaitu neraka dan surga.

Perintah Taqwa ?
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Hasyr [59] : 18).
Dalam mengupas kedua ayat ini, kami berpedoman kepada dua kitab tafsir terkemuka, yakni kitab Tafsiir at-Thabary dan Tafsiir Ibnu Katsiir. Ayat pertama, menyebutkan perintah bertaqwa kepada Allah (ittaquLlaaha). Disebutkan dalam Tafsir ibnu Katsiir bahwa taqwa sendiri diaplikasikan dalam dua hal, menepati aturan Allah dan menjauhkan diri dari laranganNya. Jadi, tidak bisa kita mengatakan “saya sudah shalat”, setelah itu berbuat maksiat kembali. Karena makna taqwa sendiri saling bersinergi, tidak dapat dipisahkan.
Apakah kita harus bertaqwa kepada Allah? Tentu. Karena kita adalah orang-orang yang beriman. Perintah bertaqwa dalam hal ini ditujukan bagi orang-orang yang beriman (Yaa ayyuha l-ladziina aamanu). Sedangkan orang yang belum beriman haruslah beriman terlebih dahulu untuk kemudian bertaqwa.
Penggalan ayat selanjutnya mempunyai makna yang mendalam. Waltanzhur nafsun maa qaddamat lighadin. Dan hendaklah seseorang melihat apa yang telah ia perbuat (di masa lalu) untuk hari esok. Dalam Tafsir at-Thabary dijabarkan : dan hendaklah seseorang melihat apa yang telah diperbuatnya untuk hari Kiamat. Apakah kebajikan yang akan menyelamatkannya, atau kejahatan yang akan menjerumuskannya?
Kata-kata ‘ghad’ sendiri dalam bahasa Arab berarti besok. Beberapa ahli ta’wil menyatakan dalam beberapa riwayat : Allah senantiasa mendekatkan hari kiamat hingga menjadikannya seakan terjadi besok, dan ‘besok’ adalah hari kiamat.
Ada juga yang mengartikan ‘ghad’ sesuai dengan makna aslinya, yakni besok. Hal ini bisa diartikan juga bahwa kita diperintahkan untuk selalu melakukan introspeksi dan perbaikan guna mencapai masa depan yang lebih baik. Melihat masa lalu, yakni untuk dijadikan pelajaran bagi masa depan. Atau juga menjadikan pelajaran masa lalu sebuah investasi besar untuk masa depan.
Dalam kitab Tafsir ibnu Katsiir, ayat ini disamakan dengan perkataan haasibuu anfusakum qabla an tuhaasabuu. Hisablah (introspeksi) diri kalian sebelum nanti kalian dihisab (di hari akhir).
Muhasabah ala Imam Ghazali ?
Imam Ghazali telah menetapkan beberapa marhalah (peringkat) untuk bermuhasabah
diri seperti berikut;

1) AL-MUSYARATAH

Pada peringkat ini kita mengenali bahawa diri itu adalah diri kita sendiri dan hati itu adalah hati kita sendiri.
Ditangan kitalah terserah segala amalan baik dan buruk. Ketahuilah bahawa membaiki diri adalah dengan amalan soleh  manakala merosakkan diri dan hati adalah dengan maksiat dan kejahatan.

2) AL-MURAQABAH

Intai-intailah diri sewaktu mengharungi amalan atau membuat sesuatu aktviti dan perhatikanlah segala tindakan dengan mata hati. Sekiranya kita mendapati bahawa diri kita telah melanggari hak-hak Allah Taala dan melakukan dosa kepadaNya, maka segeralah bertaubat. Baiki diri dengan mentaati segala suruhan dan laranganNya.

3) AL-MUHASABAH

Apabila seseorang hamba itu menghitung (menghisab) amalan dirinya sendiri, adakalanya rutin seharian yang dilalui dipenuhi dengan ketaatan dan pahala. Maka sewajarnyalah hamba itu memuji Allah dan bersyukur kepadaNya, berdoa dengan penuh kerendahan hati moga Allah mengurniakan kepadanya  kekuatan dan keteguhan dalam beramal ibadah keranaNya. Tetapi sekiranya kehidupan seharian yang sedang dilalui itu dipenuhi dengan maksiat dan noda maka hendaklah dia segera berhenti, mencela dirinya sendiri diatas keterlanjuran dan paling penting berazam untuk mencegah dirinya daripada mengulangi apa yang pernah dilakukannya sebelum ini.

4) AL-MU`AAQABAH

Amaran dan tegahan untuk berhenti dari melakukan dosa dan maksiat tidak memadai sekiranya tidak diiringi dengan `iqaab (denda / hukuman) yang zahir. `Iqaab itu menjadi penolak dan penghalang kepada dosa dan maksiat yang telah dan akan dilakukan oleh seseorang hamba. Diriwayatkan bahawa Sayyidina Umar al-Khattab telah mendera dirinya sendiri kerana meninggalkan solat asar berjamaah dengan menyedekahkan tanahnya yang bernilai 200 ribu dirham. Manakala sesetengah ulama` pula mewajibkan dirinya sendiri dengan berpuasa  selama setahun atau dalam satu tempoh masa yang panjang (dengan harapan untuk menundukkan nafsu serta keinginan terhadap dunia dan maksiat), berjalan kaki untuk menunaikan haji dan sebagainya. Semua ini bertujuan untuk menta`dib dan mentarbiah diri agar tidak mengulangi tegahan Allah Taala.

5) AL-MUJAHADAH

Iaitu melawan segala kehendak hawa nafsu yang menjerumuskan seseorang hamba ke lembah dosa dan maksiat. Banyakkan bersabar, meyakini bahawa nikmat dunia adalah sementara sahaja dan sentiasa terikat dengan kehidupan akhirat yang terdapat pada hari tersebut syurga yang penuh dengan kenikmatan serta neraka jahannam yang penuh dengan sengsara dan azab. Sentiasalah berwaspada, bermuhasabah, melakukan `iqaab dan bermujahadah dari masa kesemasa dan beramallah dengan amalan-amalan yang dikehendaki oleh Allah Taala dengan bersungguh-sungguh supaya tidak futur (lemah) dipertengahan jalan menuju Alla
h  yang Maha Esa.
Sumber:1.http://halaqah.net 2.www.kompasiana.com
3.https://wipras.wordpress.com
Jakarta 29/12/2015
READ MORE - EVALUASI DIRI

ULAMA PEWARIS NABI




ULAMA HAMBA YANG PATUT DIMULIAKAN ?

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28).
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037).
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika seorang manusia mati maka terputuslah darinya amalnya kecuali dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Muqaddimah
Ulama adalah manusia yang memiliki kedudukan demikian mulia. Ia merupakan pembimbing bagi segenap manusia menuju jalan lurus. Ia juga penerang di saat manusia berada di kegelapan. Bila keberadaan mereka semakin sedikit, semakin kacaulah kehidupan manusia. Seperti keadaan sekarang, kekacauan terjadi di mana-mana karena semakin sedikit orang berilmu ada di tengah manusia.
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid mengenai makna firman Allah (yang artinya), “Allah berikan hikmah kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.”Mujahid menafsirkan, “Yaitu ilmu dan fikih/pemahaman.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 19)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid tentang maksud firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dan ulil amri di antara kalian.” Beliau menjelaskan,“Yaitu para fuqoha’ dan ulama.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 21)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Hasan, bahwa Abud Darda’radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan para ulama di tengah-tengah umat manusia bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi penunjuk arah bagi manusia.” (lihatAkhlaq al-’Ulama, hal. 29)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbasradhiyallahu’anhuma, beliau mengatakan, “Seorang pengajar kebaikan dan orang yang mempelajarinya dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, sampai ikan di dalam lautan sekalipun.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 43-44)
Keutamaan ilmu dan Ulama ?
Ulama adalah pewaris para Nabi. Para ulama memiliki peran penting sebagai pemimpin umat untuk melanjutkan dan memelihara syiar dan kemuliaan Islam. Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk menghormati  dan memuliakan para ulama. Bahkan, satu dari tiga hal yang dikhawatirkan  Nabi Muhammad SAW adalah umat Islam akan menelantarkan dan tak mempedulikan alim ulama.

Dalil-dalil tentang keutamaan ilmu dan ulama
1.  Allah I berfirman:
“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberikan ilmu ke beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)
Ibnu ‘Abbas c berkata: “(Kedudukan) ulama berada di atas orang-orang yang beriman sampai 100 derajat, jarak antara satu derajat dengan yang lain seratus tahun.” (Tadzkiratus Sami’, hal. 27)
2. Allah I berfirman:
“Allah telah mempersaksikan bahwa tidak  ada sesembahan yang benar melainkan Dia dan para malaikat dan orang yang berilmu (ikut mempersaksikan) dengan penuh keadilan.” (Ali ‘Imran: 18)
Al-Imam Badruddin t berkata: “Allah memulai dengan dirinya (dalam persaksian), lalu malaikat-malaikat-Nya, lalu orang-orang yang berilmu. Cukuplah hal ini sebagai bentuk kemuliaan, keutamaan, keagungan dan kebaikan (buat mereka).” (Tadzkiratus Sami’, hal 27)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t dalam Tafsir-nya mengatakan: “Di dalam ayat ini terdapat penjelasan tentang keutamaan ilmu dan ulama karena Allah I menyebut mereka secara khusus dari manusia lain. Allah I menggandengkan persaksian mereka dengan persaksian diri-Nya dan malaikat-malaikat-Nya. Dan Allah I menjadikan persaksian mereka (ulama) sebagai bukti besar tentang ketauhidan Allah I, agama, dan balasan-Nya. Dan wajib atas setiap makhluk menerima persaksian yang penuh keadilan  dan kejujuran ini. Dan dalam kandungan ayat ini pula terdapat pujian kepada mereka (ulama) bahwa makhluk harus mengikuti mereka dan mereka (para ulama) adalah imam-imam yang harus diikuti. Semua ini menunjukkan keutamaan, kemuliaan dan ketinggian derajat mereka, sebuah derajat yang tidak bisa diukur.” (Tafsir As-Sa’di, hal 103).
Al-Qurthubi t dalam Tafsir-nya mengatakan: “Di dalam ayat ini ada dalil tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan ulama. Maka jika ada yang lebih mulia dari mereka, niscaya Allah akan menggandengkan nama mereka dengan nama–Nya dan nama malaikat-malaikat-Nya sebagaimana Allah I menggandengkan nama ulama.” (Tafsir Al-Qurthubi, 2/27)
3.    Allah I berfirman:
“Katakan (wahai Nabi r) apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.” (Az-Zumar: 9)
Ibnul Qayyim t berkata: “Allah I menafikan unsur kesamaan antara ulama dengan selain mereka sebagaimana Allah menafikan unsur kesamaan antara penduduk surga dan penduduk neraka. Allah I berfirman: “Katakan, tidaklah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.” (Az-Zumar: 9), sebagaimana firman Allah I: “Tidak akan sama antara penduduk neraka dan penduduk surga.” (Al-Hasyr: 20). Ini menunjukkan tingginya keutamaan ulama dan kemuliaan mereka.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1/221)
4.    Allah I berfirman:
“Maka bertanyalah kalian kepada ahli dzikir (ahlinya/ ilmu) jika kalian tidak mengetahui.” (An-Naml: 43)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t dalam Tafsir-nya mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada siapa saja yang tidak mengetahui untuk kembali kepada mereka (ulama) dalam segala hal. Dan dalam kandungan ayat ini, terdapat pujian terhadap ulama dan rekomendasi untuk mereka dari sisi di mana Allah memerintahkan untuk bertanya kepada mereka.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 394)
5.    Allah I berfirman:
“Dan tidak ada yang mengetahuinya (perumpamaan-perumpamaan yang dibuat oleh Allah) melainkan orang-orang yang berilmu.” (Al-’Ankabut: 43)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t dalam Tafsir-nya mengatakan: “Melainkan orang-orang yang berilmu secara benar di mana ilmunya sampai ke lubuk hatinya.” (Tafsir As-Sa’di, hal 581)
6.    Allah I berfirman:
“Sesungguhnya  yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Abdullah bin Mas’ud z mengatakan: “Sesungguhnya aku mengira bahwa terlupakannya ilmu karena dosa, kesalahan yang dilakukan. Dan orang alim itu adalah orang yang takut kepada Allah I.” (Ta’liq kitab Tadzkiratus Sami’, hal. 28)
Abdurrazaq mengatakan: “Aku tidak melihat seseorang yang lebih bagus shalatnya dari Ibnu Juraij. Dan ketika melihatnya, aku mengetahui bahwa dia takut kepada Allah I.” (Ta’liq kitab Tadzkiratus Sami’, hal 28)
Ibnul Qayyim t berkata: “Allah I memberitakan bahwa mereka (para ulama) adalah orang-orang yang takut kepada Allah I, bahkan Allah I mengkhususkan mereka dari mayoritas orang. Allah I berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah ulama, sesungguhnya Allah Maha Mulia lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 28). Ayat ini merupakan pembatasan bahwa orang yang takut kepada Allah adalah ulama.” (Miftah Dar As-Sa’adah 1/225)
7.    Allah I berfirman:
“Ganjaran mereka di sisi Allah adalah jannah Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya. Allah meridhai mereka dan mereka ridha kepada Allah, demikian itu adalah bagi orang yang takut kepada Rabb-nya.” (Al-Bayyinah: 8)
Badruddin Al-Kinani t berkata: “Kedua ayat ini (Fathir ayat 28 dan Al-Bayyinah ayat 8) mengandung makna bahwa ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah I. Dan orang-orang yang takut kepada Allah adalah sebaik-baik manusia. Dari sini disimpulkan  bahwa ulama adalah sebaik-baik manusia.” (Tadzkiratus Sami’  hal. 29)
Ucapan yang serupa dan semakna dibawakan oleh Ibnul Qayyim t dalam kitabnya Miftah Dar As-Sa’adah, jilid 1 hal. 225.
8.    Rasulullah r bersabda:
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan, maka Allah akan mengajarkannya ilmu agama.”
Ibnul Qayyim t mengatakan: “Hadits ini menunjukkan, barangsiapa yang tidak dijadikan Allah faqih dalam agama-Nya, menunjukkan bahwa Allah tidak mengijinkan kepadanya kebaikan.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1/246)
9.    Rasulullah r bersabda:
“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda z)
Badruddin Al-Kinani t mengatakan: “Cukup derajat ini menunjukkan satu kebanggaan dan kemuliaan. Dan martabat ini adalah martabat yang tinggi dan agung. Sebagaimana tidak ada kedudukan yang tinggi daripada kedudukan nubuwwah, begitu juga tidak ada kemuliaan di atas kemuliaan pewaris para nabi.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 29)
Keistimewaan Ulama ?
Bab pertama dari Kitab Lubabul Hadits adalah kumpulan hadits-hadits berkaitan dengan keutaam ilmu dan ulama yang terdiri dari 10 hadits .
  1. Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ibnu Mas`ud.ra : "Ya Ibnu Mas`ud, dudukmu (walaupun sebentar) di majlis ilmu, walaupun tanpa memegang pena dan menulis satu hurufpun adalah lebih bagus daripada memerdekakan 1000 raqabah (budak), pandanganmu terhadap orang alim lebih bagus daripada 1000 kuda yang kamu sedekahkan di jalan Allah (sabilillah), salam-mu kepada orang alim lebih bagus daripada ibadah 1000 tahun".
  2. Nabi Muhammad SAW bersabda: satu orang  faqih (tahu hukum syariah) yang ahli wira`i (menjauhkan diri dari perbuatan yg dilarang syariah), bagi syetan itu lebih berat daripada 1000 ahli ibadah yang bodoh, bersungguh-sungguh dalam ibadah, dan ahli wira`i.
  3. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Keutamaan orang `alim (yang mengamalkan ilmunya) mengalahkan `abid (ahli ibadah) adalah bagaikan rembulan (bulan purnama) yangmengalahkan semua bintang-bintang".
  4. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Barang siapa berpindah tempat untuk menuntuk ilmu (syariat) maka dosanya diampuni sebelum dia melangkah.
  5. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Mulyakanlah para ulama karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang mulya yang dimulyakan di sisi Allah SWT"
  6. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Barang siapa setelah melihat wajah orang alim merasa bahagia, walaupun hanya sekali lihat haja, maka Allah SWT meciptakan dari pendangan tersebut seorang malaikat yang akan memintakan ampunan bagi orang tersebut hingga hari kiamat".
  7. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Barang siapa memulyakan orang alim maka dia benar-benar telah memulyakanku dan barang siapa memulyakaknku maka dia benar-benra telah memulyakan Allah dan barang siapa memulyakan Allah maka tempat lembalinya adalah surga".
  8. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tidurnya orang alim lebih utama daripada ibadanya orang bodoh".
  9. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Barang siapa mempelajari satu bab ilmu (saja), baik diamalkan maupun tidak, maka itu saja sudah lebih baik daripada shalat sunat 1000 raka`at ".
  10. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Barang siapa berkunjung (atau berziarah) kepada orang alim maka dia seperti mengunjungiku, barang siapa bersalaman dengan orang alim ma dia seperti menyalamiku, barang siapa duduk bersama orang alim maka dia seperti duduk bersamaku di dunia, barang siapa duduk bersamaku di dunia maka aku akan mendudukannya bersamaku di hari kiamat".
Ikhtitam
''Bukan termasuk umatku orang yang tak menghormati orang tua, tidak menyayangi anak-anak dan tidak memuliakan alim ulama.'' (HR Ahmad, Thabrani, Hakim).  Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW sempat mengkhawatirkan tiga hal yang akan terjadi pada umatnya.  ''Aku tidak mengkhawatirkan umatku kecuali tiga hal,'' sabda Rasulullah.

''Pertama, keduniaan berlimpah, sehingga manusia saling mendengki. Kedua, orang-orang jahil yang berusaha menafsirkan Alquran dan mencari-cari ta'wilnya, padahal tak ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali Allah. Ketiga, alim ulama ditelantarkan dan tidak akan dipedulikan oleh umatku.'' (HR Thabrani).
Sumber:1.https://sites.google.com 2.http://www.republika.co.id
3.http://asysyariah.com 4.https://muslim.or.id
Jakarta 28/12/2015
READ MORE - ULAMA PEWARIS NABI

Rabu, 23 Desember 2015

KEDUDUKAN NABI ISA AS





KELAHIRAN NABI ISA DALAM AL QURAN


إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِندَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ ۖ خَلَقَهُ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah”, maka jadilah ia.” (Ali ‘Imron: 59)
وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِن رُّوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ
Dan (ingatlah) Maryam putri ‘Imran yang memelihara kemaluannya (dari perbuatan keji). Maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami, dan Dia membenarkan kalimat Rabbnya dan kitab-kitab-Nya, dan dia itu termasuk orang-orang yang taat.” (At-Tahriim: 12)
Muqaddimah
Para penulis buku “Fiqih Lintas Agama” memiliki masalah terkait dengan kecermatan mereka dalam mengetengahkan Al Quran Surat Maryam ayat 33 sebagai pijakan teologis bahwa mengucapkan selamat Natal terhadap penganut Kristen adalah diperbolehkan bagi umat Islam. Ayat yang dimaksud adalah sebagi berikut:
Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari Aku dilahirkan, pada hari Aku meninggal dan pada hari Aku dibangkitkan hidup kembali“.6
Kelahiran Isa as ?
Ayat tersebut hanya diambil sebagai sebuah penggalan dengan melupakan hubungan ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelumnya. Padahal melihat hubungan antar ayat dalam Al Quran guna menghasilkan sebuah penafsiran adalah pendekatan yang mutlak harus dilakukan. Melepaskan hubungan antar ayat, sebagaimana dilakukan oleh para penggagas “Fiqih Lintas Agama” tersebut, akan menghasilkan tafsiran yang kurang komprehensif atau bahkan sangat dimungkinkan akan menghasilkan tafsir menyesatkan. Terbukti penafsiran yang dilakukan oleh kalngan liberal tersebut menghasilkan pemahaman yang fragmentatif karena tidak mempertimbangkan sibaq (pra), lihaq (pasca), dan siyaq (suasana). Adapun keterkaitan antar ayat tersebut akan ditampilkan sebagi berikut:
(30). Berkata Isa: “Sesungguhnya Aku Ini hamba Allah, dia memberiku Al Kitab (Injil) dan dia menjadikan Aku seorang nabi, (31). Dan dia menjadikan Aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada, dan dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama Aku hidup; (32). Dan berbakti kepada ibuku, dan dia tidak menjadikan Aku seorang yang sombong lagi celaka. (33). Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari Aku dilahirkan, pada hari Aku meninggal dan pada hari Aku dibangkitkan hidup kembali”.7
Ayat ke-30 tersebut menjelaskan kedudukan Nabi Isa sebagai seorang hamba dan Nabi yang menerima kitab dari Allah. Dalam konsep Islam, nabi dan rasul, termasuk Nabi Isa, adalah manusia biasa yang menjadi hamba dan utusan Allah, bukannya sebagai Tuhan. Sementara itu umat Kristen menyakini bahwa Yesus adalah salah satu oknum dari ketuhanan trinitas atau dengan kata lain Yesus adalah Tuhan itu sendiri. Bagi pemeluk agama Kristen, Yesus adalah manusia dan dia juga seorang nabi, namun dia juga merupakan Firman Tuhan yang pada hakikatnya Yesus adalah satu dengan Tuhan.8 Dari sini telah jelas perbedaan konsep antara kedua agama tersebut. Maka pertanyaan besar yang seharusnya mengemuka adalah : “Apakah umat Kristen akan bersedia menerima jika diberi ucapan selamat natal bagi Yesus yang dilahirkan hanya sebagi manusia biasa, bukannya Tuhan ?”. Demikian juga sebaliknya, “Apakah umat Islam akan bersedia memberikan ucapan selamat Natal dengan konsekuensi menganggap Yesus sebagai Tuhan ?
Menurut Ibnu Katsir, maksud ayat 33 Surat Maryam tersebut merupakan sebagian dari ketetapan Nabi Isa atas dirinya sebagai hamba Allah dan dia hanya merupakan makhluk, sebagimana makhluk Allah lainnya. Beliau mengalami hidup, mati, dan dibangkitkan kembali sebagaimana makhluk lainnya pula.9 Prof. DR. (Buya) Hamka menyoroti bahwa maksud ayat tersebut pada dasarnya merupakan sebuah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Isa agar diberikan keselamatan dan kesejahteraan mulai dalam kehidupan di dunia yang ditandai dengan sejak kelahirannya, ketika telah mati yaitu saat berada di alam kubur, dan pada hari kiamat pada masa kebangkitan.10 Tengku Hasbi Ash Shiddieqy memaknai bahwa ayat ke 33 Surah Maryam tersebut maksudnya adalah penekanan pada pembelaan Nabi Isa yang ibunya, Maryam, telah dituduh sebagai wanita pezina oleh kalangan Yahudi. Masyarakat Yahudi tidak dapat menerima bahwa Isa adalah seorang utusan bagi mereka.11 Senada dengan Buya Hamka, M. Quraish Shihab menafsirkan bahwa ayat tersebut merupakan doa Nabi Isa bahwa salam yakni keselamatan besar dan kesejahteraan sempurna tercurah atas diri beliau serta terhindarkan dari aib dan bencana serta kekurangan pada hari kelahiran, pada hari meninggal dunia, dan pada hari kebangkitan kelak di padang Mahsyar. Lebih lanjut Quraish Shihab menegaskan bahwa ayat tersebut sama sekali tidak terkait dengan ucapan “Selamat Natal”. Pengucapan “Selamat Natal” tersebut terkait dengan Ketuhanan Yesus Kristus, sebagimana diyakini kaum Kristen, jelas bertentangan dengan keimanan karena mengaburkan keyakinan azasi Islam.12 Quraish Shihab nampaknya masih memberikan kelonggaran berupa batasan bahwa ucapan “Selamat Natal” tersebut masih sesuai dengan semangat Al Quran maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Mengenai hal ini maka akan penulis bahas lebih lanjut.13
Dari pembahasan di atas memang telah tegas bahwa kedua agama tersebut memiliki konsep yang berbeda terhadap sosok yang kurang lebih adalah sama. Dengan kata lain dapat ditegaskan pula bahwa semua agama tidak sama dan konsekuensinya tidak semua agama benar. Namun perbedaan tersebut tidak harus dimunculkan sebagai potensi konflik. Justru perbedaan konsep teologis antara kedua agama tersebut hendaknya dipahami secara mendalam. Jika permasalahanya terkait hubungan antar umat beragama, maka persoalannya bukan terletak pada ucapan selamat hari raya antar agama. Kerukunan tersebut seharusnya lebih merupakan kesadaran setiap umat beragama sebagai sesama ras manusia. Islam disatu sisi telah memiliki sumber-sumber teologis yang cukup untuk menyusun sebuah kerangka kerukunan antar umat beragama. Piagam Madinah, misalnya, merupakan material source yang telah cukup mamadai guna menghasilkan konsep tersebut. Apalagi ketentuan Rasulullah SAW dalam Piagam Madinah tersebut telah secara meyakinkan mampu dibuktikan untuk mengatur pemerintahan Madinah yang multi etnis dan multi-agama. Di lain pihak perbedaan tidak selalu menjadi sumber konflik jika sikap saling pengertian telah terbina sejak awal. Dalam banyak kejadian, upaya menghilangkan sejumlah perbedaan antar agama dengan mengaburkan nilai-nilai agama yang bersangkutan justru merupakan sumber rentan pemicu konflik.
Nabi Isa dalam pandangan Islam merupakan salah satu Nabi yang diyakini diantara nabi-nabi Allah lainnya. Beliau juga merupakan salah satu Nabi dalam ‘ulul azmi. Terkait dengan proses kelahiran Nabi Isa, Al Quran memiliki informasi tersendiri secara mandiri yang secara diametral sangat berbeda dengan keterangan dari Perjanjian Baru, kitab suci umat Kristen. Proses kelahiran yang tidak sama ini, harus disadari sejak awal, juga akan melahirkan konsepsi yang berbeda pula.
Al Quran memberikan informasi bahwa Isa alaihi as salam dilahirkan oleh ibundanya, Maryam, dibawah pohon Kurma yang sedang masak buahnya. Informasi ini akan dapat digunakan untuk merekonstruksi waktu kelahiran berdasarkan versi Islam. Adapun Ayat Al Quran tersebut adalah sebagai berikut:
(23). Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya Aku mati sebelum ini, dan Aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan”. (24). Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, Sesungguhnya Tuhanmu Telah menjadikan anak sungai di bawahmu. (25). Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,
Dengan asumsi bahwa Nabi Isa lahir di wilayah Betlehem, Palestina, maka kelahiran tersebut telah terjadi pada musim kurma sedang masak. Pohon kurma termasuk pohon musiman dan kematangan buah kurma biasanya memang tidak bisa serentak pada waktu yang sama. Walaupun tidak masak bersamaan kurma di palestina, secara umum, telah mengalami puncak kematangan pada musim panas. Keterangan yang lebih jelas adalah kurma tidak mungkin masak pada musim dingin atau penghujan. Berdasarkan hal ini maka telah jelas, Al Quran mengisyaratkan bahwa kelahiran Isa terjadi pada musim panas. Waktu tepat untuk kematangan kurma itu sendiri adalah antara bulan Maret sampai Juni. Jadi dalam interval kedua bulan itulah Nabi Isa telah dilahirkan oleh Maryam ke dunia. Penggunaan interval waktu dalam kedua bulan tersebut telah mempertimbangkan kematangan kurma yang tidak serempak. Namun masih berada dalam satu musim panas.
Sementara umat Kristen telah meyakini bahwa Yesus lahir pada tanggal 25 Desember dimana setiap tahunnya hari tersebut diperingati sebagi hari Natal. Pada bulan Desember tersebut, matahari berada pada titik balik musim dingin. Dengan kata lain Betlehem sedang mengalami musim dingin. Sedangkan kurma tidak mungkin masak pada musim dingin tersebut. Dengan demikian, semakin jelas sudah bahwa konsep kelahiran Nabi Isa dalam Al Quran dan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal adalah dua hal yang berbeda dan sukar dikompromikan.
Bagi umat Islam, mengucapkan selamat natal kepada penganut agama Kristen sama artinya dengan mengingkari informasi yang diberikan oleh kitab sucinya sendiri. Di lain sisi, pada saat yang sama umat Islam dilarang untuk bermental hipokrit (munafik). Maka, dengan alasan bahwa ucapan selamat Natal tersebut hanya sekedar untuk menjaga hubungan erat dan tidak perlu menjadi keyakinan pun, misalnya sekedar sebagi basa basi, tetap harus dihindari. Sebab konsekuensinya berhubungan dengan keyakinan paling mendasar yaitu terhadap kebenaran informasi dari Allah dalam Al Quran.
5. SYUBHAT KELIMA ?
Andai pun umat Islam tidak merayakan Hari Lahir Nabi 'Isa as bersama umat Kristiani pada tanggal 25 Desember, karena khawatir terganggunya aqidah. tapi setidaknya tidak mengapa sekedar mengucapkan SELAMAT NATAL kepada mereka untuk penghormatan dan maslahat pergaulan. Apalagi bagi Tokoh Islam yang jelas sudah mantap aqidahnya dan diperlukan pemantapan hubungan pergaulan Lintas Agamanya, sehingga kekhawatiran semacam itu tidak perlu ada sekaligus tidak lagi menghalangi Tokoh Islam dalam meningkatkan Dakwah Lintas Agama.
JAWABAN :
Natal secara Estimologi adalah Hari Lahir. Dan secara Terminologi adalah Hari Lahir Yesus Kristus sebagai Anak Tuhan, sebagaimana ditulis oleh berbagai Ensiklopedi. Dan sebutan HARI NATAL hanya digunakan dalam makna Terminologi. Artinya, jika seseorang mengucapkan SELAMAT NATAL maka sesuai makna Terminologinya berarti mengucapkan "Selamat Hari Lahir Yesus Kristus sebagai Anak Tuhan". Dan itu jelas haram bagi umat Islam.
Jika seorang Muslim terlanjur mendapat ucapan Selamat Natal dari siapa pun, maka mesti dijawab dengan Surat AL-IKHLASH yang berintikan Keesaan Allah SWT yang tidak beranak dan tidak diperanakkan.
Syariat Islam buat semua lapisan umatnya, Ulama dan Awam, Pejabat dan Rakyat, Kaya dan Miskin. Karenanya, apa pun yang menjadi MAZHONNATUL FITAN diharamkan, baik bagi yang imannya kuat, apalagi yang imannya lemah. Lebih-Iebih jika Mazhonnatul Fitannya menyangkut aqidah sebagaimana telah diuraikan tadi.
Kedudukan Nabi Isa ‘alaihissalam Dalam Islam ?
Di dalam Alquran, Allah telah menjelaskan kedudukan Nabi Isa ‘alaihissalam yang sesungguhnya, bahwa beliau adalah salah satu hamba terbaik pilihan Allah dan juga utusan-Nya yang memiliki kedudukan tinggi dan mulia di sisi-Nya. Bukan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Yahudi yang mengatakan beliau adalah anak zina. Bukan pula orang-orang Nasrani bahwa beliau adalah Allah atau anak Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membantah keyakinan buruk mereka ini dalam firman-Nya,
إِنْ هُوَ إِلَّا عَبْدٌ أَنْعَمْنَا عَلَيْهِ وَجَعَلْنَاهُ مَثَلًا لِّبَنِي إِسْرَائِيلَ
Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan nikmat kepadanya dan Kami jadikan Dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani lsrail.” (Az-Zukhruf: 59)
إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ
Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah, kalimat-Nya yang Ia kirimkan kepada Maryam, dan juga roh dari-Nya.” (An-Nisaa’: 171)
وَرَسُولًا إِلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنِّي قَدْ جِئْتُكُم بِآيَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ
Dan (Allah jadikan Isa) sebagai Rasul (yang diutus) kepada Bani Israil (dan berkata kepada mereka), “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa ayat (mukjizat) dari Rabb-mu.” (Ali ‘Imran: 49)
Di antara yang beliau serukan kepada Bani Israil adalah apa yang Allah abadikan dalam kitab-Nya,
وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ ۖ إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
Dan (Isa) Al-Masih berkata, “Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Rabb-ku dan juga Rabb kalian. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah (dalam ibadahnya), maka Allah haramkan surga untuknya, dan tempat kembalinya ialah neraka. Dan orang-orang zalim itu tidak memiliki seorang penolong pun (yang akan menolongnya dari siksa api neraka).” (Al-Maaidah: 72)
إِنَّ اللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ ۗ هَٰذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ
Sesungguhnya Allah itu Rabb-ku dan juga Rabb kalian, maka beribadahlah kepada-Nya. Inilah jalan yang lurus.” (Ali-‘Imran: 51)
Footnote
6 QS. Al Maryam : 33
7 QS. Maryam : 30-33
8 I. Suharyo, Pr. Membaca Kitab Suci Mengenal Tulisan-tulisan Perjanjian Lama. Cetakan VI. (Lembaga Biblika Indonesia Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995). Hal. 108-109
9Muhammad Nasib Ar Rifa’i. Taisiru al Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir III. (Ma’tabah Ma’arif, Riyadh, 1989). Terjemah Drs. Syihabuddin. Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir III. (Gema Insani Press, Jakarta, 2000). Hal. 192
10Prof. DR. Hamka. Tafsir Al Azhar Juz XVI. (Pustaka Panjimas, Jakarta, 1988). Hal. 29
11Teungku Muh. Hasbi Ash Shiddieqy. Tafsir Al Quranul Majid 3. (Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000). Hal. 2475
12M. Quraish Shihab. Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Qur’an. Vol. 8. (Lentera Hati, Jakarta, 2002). Hal. 180-184
13M. Quraish Shihab. Ibid. Hal. 183
Sumber:1http://www.voa-islam.com
2.https://muslim.or.id
3.https://susiyanto.wordpress.com
Jakarta 23/12/2015
READ MORE - KEDUDUKAN NABI ISA AS
 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman