KH Hasyim Al
Asy’ari adalah
seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan terbesar
di Indonesia. Ia juga pendiri pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan
dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama
dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan
umum, berorganisasi, dan berpidato.
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok
Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya
yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari,
pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama
Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya
VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja
Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Kelahiran Dan Masa Kecil
Tidak jauh dari
jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang Desa Tambak Rejo
yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang, dan
pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat
berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:
- Halimah (Winih)
- Muhammad
- Leler
- Fadli
- Arifah
Halimah
kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy’ari,
ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari hampir beruisa 25
tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
- Nafi’ah
- Ahmad Saleh
- Muhammad Hasyim
- Radiyah
- Hasan
- Anis
- Fatonah
- Maimunah
- Maksun
- Nahrowi, dan
- Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa
Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M.
Masa dalam kandungan dan kelahiran KH.M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah
isyarat yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai
Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang
jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah
tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama
kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah
itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak di
selatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok
pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Principle of
early learning, mungkin teori
ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung
yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren
sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat
bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana
para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu..
Belajar Pada Keluarga
Perjalanan
keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik
dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali
baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya
yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan
modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia
yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan
keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidakpuasannya terhadap apa
yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup
hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di
Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai
melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.
Mengembara ke Berbagai Pesantren
Dalam usia 15
tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke pondok-pondok
pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah
Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di
Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih),
kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul
Latif (Syaikhuna Khalil).
Ada cerita yang
cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh”
dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau
memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya
jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi.
Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah
melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk
mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari
cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan,
akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil
atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi
sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah
kembali ke masyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat
saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH.
As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar
lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M),
akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo,
dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang
beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin
menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303
H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai
Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau
kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri
dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga
memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru
yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya
sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih
berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah.
Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama
Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami
sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra
beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan
beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak
tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan
ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping
itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji
setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah
air bersama mertuanya.
Kematangan Ilmu di Tanah Suci
Kerinduan akan
tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekah.
Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik
kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala
kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru
membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu
pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput
dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua
Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di
Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang
tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah,
di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas
(dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu
hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam
segala bidang keilmuan).
Upaya yang
melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau
pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang
bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan mengajar di kampung
halaman.
Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
Sepulang dari
tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri, beliau
pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mediang kakeknya,
sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu
mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah
seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal,
pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke
Jombang.
Ketika telah
berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang dipilihlah
sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang
kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar
dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng
pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada
seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali
lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang
asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi
dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang
akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26
Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama
rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb,
Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan
ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng
dapat diatasi.
KH. M. Hasyim
Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan
beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim”
dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan
kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan
hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para
awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian
bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan
orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan
menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok
pesantren.
Mendirikan Nahdlatul Ulama’
Disamping aktif
mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal
atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa
Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH.
Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan
azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat
yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin
Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga
mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim
Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak
seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan
dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan
mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak
mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi
bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan
yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk
menghancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan
syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai
orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan
dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari
jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar
yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini
berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada
batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj
dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan
agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan pendidikan,
pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas
pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya
sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU
bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai
polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik
praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono yanh
menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.
Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M.
Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan,
melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif
dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937
beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang mas dan
perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya
beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan
menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu
kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
- Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
- Harta benda yang berlimpah-limpah
- Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi
Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa
meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan
agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa
taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada
santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat
Nabi SAW.
Masa-masa
revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu terberat
bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah
fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga
salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu
itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan
bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad
yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih
dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula
masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan
dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau dianggap
sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah
Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua
umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu
dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia
pada tahun 1947.
Keluarga Dan Sisilah
Hampir
bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M), KH. M.
Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh
Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim dikaruniai 10
putra dan putri yaitu:
- Hannah
- Khoiriyah
- Aisyah
- Azzah
- Abdul Wahid
- Abdul hakim (Abdul Kholiq)
- Abdul Karim
- Ubaidillah
- Mashurroh
- Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir
Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn Nyai Masruroh, putri
Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari
pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
- Abdul Qodir
- Fatimah
- Chotijah
- Muhammad Ya’kub
Garis keturunan
KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad Hasyim
bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim (Pangeran Benowo)
bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan
Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI
Wafatnya Sang Tokoh
Pada Tanggal 7
Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat Tarawih,
sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu
muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal
Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan didampingi
Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi
surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan
jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi
pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat.
Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…”
kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa
beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau
tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu
tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di
samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari
bahwa Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia
memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu,
putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada
saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir
dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama
kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun
dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada
kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25
Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna
Ilaihi Raji’un.
Kepergian
belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat
dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil
maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para
santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring
di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar
kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat
mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu,
yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder
istirahat”.
Karya Kitab Klasik
Peninggalan
lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis disela-sela
kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat, membela dan
memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari
sikap dan perilakunya, pemikirannya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang
rata-rata berbahasa Arab.
Tetapi sangat
disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang sangat berharga
itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang
dari dua puluhan judul. Namun diakungkan yang bisa diselamatkan hanya beberapa
judul saja, diantaranya:
- Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
- Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
- Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
- Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
- Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
- Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
- Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
- Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan
Referensi:
http://pencariilmu-goresantinta.blogspot.com/2010/06/biografi-hadrotu-syekh-kh-m-hasyim.html
http://mimbaraji.blogspot.com/2010/01/biografi-kh-hasyim-al-asyari.html
http://midempelan.wordpress.com/2010/03/22/biografi-kiai-hasyim-asyari-ulama-pembaharu-pesantren/
http://pencariilmu-goresantinta.blogspot.com/2010/06/biografi-hadrotu-syekh-kh-m-hasyim.html
http://mimbaraji.blogspot.com/2010/01/biografi-kh-hasyim-al-asyari.html
http://midempelan.wordpress.com/2010/03/22/biografi-kiai-hasyim-asyari-ulama-pembaharu-pesantren/
Jakarta 13/6/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar