Sahabat-sahabat Rasulullah menjadi teladan dalam bersedekah. Abdurrahman bin Auf menyumbangkan sebahagian besar kekayaannya untuk membantu kaum Muhajirin saat tiba di Madinah, hingga ia sendiri hanya memakai satu-satunya pakaian terbaiknya dan sepetak tanah untuk berteduh. Begitu pun dengan Sayyidina Ali RA.
Suatu hari
Sayyidina Ali mendapati kedua anaknya, Al-Hasan dan Al-Husain, jatuh sakit. Ia
berupaya mencari pengobatan buat kedua buah hatinya.
Lama belum
ada hal yang menunjukkan kesembuhan, Sayyidina Ali bernadzar, “Ya Allah, jika
kedua putraku ini sembuh, aku akan berpuasa selama tiga hari.”
Allah
mendengar nadzarnya hingga Allah memberikan kesembuhan bagi kedua cucu
Rasulullah SAW itu.
Sayyinida
Ali dan istrinya, Sayyidah Fathimah, pun berpuasa untuk memenuhi nadzar itu.
Singkat
cerita, menjelang berbuka puasa di hari pertama puasa nadzar itu, mereka hanya
memiliki dua kerat roti kering. Saat akan berbuka, belum lagi disantapnya roti
itu, datanglah seorang fakir miskin yang kelaparan dan meminta tolong keduanya.
Maka roti itu diberikan seluruhnya, melihat keadaan si peminta-minta yang
sangat membutuhkan uluran itu. Urunglah keduanya menyantap makanan berbuka.
Pada hari
kedua, mereka punya sepotong roti yang dipersiapkan untuk disantap saat
berbuka. Ketika tiba saat berbuka, lagi-lagi datang seseorang yang membutuhkan
uluran tangan keduanya. Kali itu seorang anak yatim yang kurus meminta sesuap
makanan, sehingga Sayyidina Ali dan Sayyidah Fathimah pun memberikannya.
Keduanya pun berbuka hanya dengan air putih.
Demikian
juga saat hari ketiga. Ketika waktu berbuka, datang seorang tawanan yang baru
dibebaskan dan membutuhkan makanan dari keduanya. Mereka berdua pun akhirnya
merelakan satu-satunya roti kering yang mereka persiapkan untuk berbuka.
Sebuah
pelajaran yang amat mengharukan dari keluarga Rasulullah Muhammad SAW, yang
penyantun dan penyabar. “Idza da’ahul miskinu ajabahu ijabatan mu`ajjalah (Jika
orang miskin menyerunya, dijawabnya sesegera mungkin).” Demikian untaian kata
Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi dalam uraian Maulid Nabi karyanya, Simthud
Durar.
Kisah
Sayyidina Ali ini Allah Ta’ala abadikan dalam surah Al-Insan (76): 8-10, “Dan
mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan
orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Tuhan
kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh
kesulitan.”
Sudah
menjadi suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk mencari nafkah guna memenuhi
kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Tidak dipungkiri, banyak saudara muslim
yang memperoleh keluasan dan kemudahan atas ikhtiarnya itu. Sementara di sisi
lain, ada sebahagian saudara yang hidup sebatas cukup, bahkan di bawah standar
kecukupan. Dan Islam pun telah mengatur skema dan mekanisme sedekah dan
jenis-jenisnya, seperti zakat, infak, hibah, sehingga kehidupan sosial berjalan
sesuai titian yang ditunjukkan Allah SWT.
Bersedekah
merupakan aktivitas seorang muslim yang memiliki sifat keutamaan, karena
ketinggian derajat seorang muslim sangat ditentukan oleh sebesar dan sejauh
mana ia memiliki kepedulian dan kepekaan sosial kepada muslim lainnya.
Harta bukan
untuk ditumpuk dan dinikmati sendiri. Seorang muslim harus ingat bahwa ada
kewajiban yang harus ditunaikan terhadap harta itu, karena di dalamnya juga ada
hak orang lain. Sesungguhnya, bersedekah bukan hanya untuk kepentingan orang
lain, tapi juga terlebih untuk kepentingan kita sendiri, sebagai bekal, baik di
dunia maupun di akhirat.(Majalah al-kisah)
JAKARTA 4/6/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar