Selasa, 04 Juni 2013

MAQAM Ibrahim, Hijir Isma'il dan Hajar Aswad


 KEUTAMAAN Maqam Ibrahim, Hijir Isma’il dan Hajar Aswad
HAJI DAN UMRAH

Maqam Ibrahim yaitu batu tempat ia berdiri di saat membangun Ka’bah. Karena membangun Ka’bah adalah amalan yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia menjadikan jejak kaki Ibrahim sebagai suatu hal yang patut diperingati dan diambil pelajaran oleh anak dan cucunya.

Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Sa’id bin Jubair bahwa dia berkata, “Batu itu adalah tempat Nabi Ibrahim berdiri, batu tersebut dibuat Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi lunak dan Dia jadikan sebagai rahmat dan Nabi Ibrahim berdiri di atasnya, sedangkan Nabi Ismail mengambilkan batu.”

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala menyetujuiku dalam 3 hal; aku berkata “Wahai Rasulullah! Andai engkau menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, lalu turun ayat,

Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.” (QS. Al-Baqarah: 125)

At-Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan dari jalur Sa’id bin Abi Urubah dari Qatadah tentang ayat di atas: “Mereka hanya diperintahkan melakukan shalat di sisinya bukan untuk mengusapnya.” Ia (Qatadah) berkata: “Orang-orang yang melihat bekas jejak telapak kaki Nabi Ibrahim di batu tersebut menceritakan kepada kami, bahwa jejak tersebut dahulunya tampak, tetapi orang-orang selalu mengusapnya hingga menjadi licin dan terhapus bersih.”

Maqam ini semenjak zaman Nabi Ibrahim menempel pada Baitullah hingga pada masa khilafah Umar radhiallahu ‘anhu. Ia memindahkannya ke belakang ke tempatnya saat ini. Hal ini diriwayatkan oleh Abdul Raqaq dalam kita “Mushannaf” dengan sanad yang shahih dari Atha dan juga dari Mujahid, dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang kuat, semakna dengan lafadz di atas, “Sesungguhnya maqam Ibrahim pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khilafah Abu Bakar radhiallahu ‘anhu bertaut dengan Baitullah. Kemudian dipindahkan Umar radhiallahu ‘anhu ke belaang, dan para sahabat tidak mengingkari tindakan Umar radhiallahu ‘anhu dan juga orang-orang setelahnya, inai menunjukkan terjadinya Ijma.

Umar radhiallahu ‘anhu melihat bahwa membiarkan maqam tetap pada tempatnya akan berakibat sempitnya kawasan orang yang melakukan thawaf atau shalat, maka ia memindahkannya ke tempat yang dianggap dapat menyelesaikan masalah. Perbuatan Umar radhiallahu ‘anhu ini sangat dapat dibenarkan karena ia yang mengusulkan untuk menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.

 Hijir Ismail

Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa hijir Ismail masih termasuk Baitullah, dan termasuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj: 29)

Oleh karena itu, ketika thawaf kita harus mengelilingi hijir Ismail. Jika tidak mengitarinya maka thawaf kita tidak sah. Hijir yaitu: tempat di mana Nabi Ibrahim meletakkan istrinya Hajar dan putranya Ismail, ketika ia membawa mereka ke Mekah. Ia memerintahkan Hajar membuat bangsal di tempat tersebut.

Bangsa Quraisy telah memasukkan sebagian dari Ka’bah ke dalam hijir, karena kurangnya anggaran mereka ketika membangunnya kembali setelah dipugar. Di saat Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhu menguasai Mekah, ia memugar Ka’bah dan membangunnya kembali, dan memasukkan kembali bagian Ka’bah yang dikeluarkan oleh Quraisy ke hijir. Tetapi setelah terbunuhnya Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu, Hajjaj mengembalikannya lagi ke dalam hijir, dan membangun dinding di atas pondasi yang dibangun oleh Quraisy, dan demikianlah hingga sekarang.

Maka jadilah sebagian hijir termasuk bagian dari Ka’bah dan sebagian yang lain bukan termasuk Ka’bah. Dalil yang menunjukkan bahwa sebagian hijir termasuk bagian dari Ka’bah, adalah hadis yang diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anhu

Kalaulah bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kesyirikan (kejahiliyahan), niscaya aku telah menghancurkan ka’bah dan pintunya aku buat menjadi sejajar dengan tandah an aku membuat dua pintu; pintu sebelah timur dan pintu sebelah barat dan aku tambahkan dan hijir sebanyak 6 hasta, karena sesungguhnya Quraisy menguranginya di saat membangun Ka’bah.

Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Sungguh sekiranya Aisyah mendengar ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menurutku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyentuh dua sudut yang berhadapan dengan hijir, melainkan karena Baitullah dibangun tidak sempurna seperti yang dibangun oleh nabi Ibrahim.”

Banyak ulama yang menyebutkan bahwa Nabi Ismail dimakamkan di hijir di sisi kuburan ibunya. Tetapi semua riwayat ini dha’if (lemah) tidak satu pun yang shahih. Di antara alasan dhaifnya adalah banyak sahabat yang menyaksikan dan ikut serta ketika Quraisy membangun Ka’bah, dan menggali pondasi Ka’bah saat itu, dan tidak seorang pun dari mereka yang melihat ada bekas kuburan. Jika di sana memang ada kuburan, tentu kita tidak dibenarkan menginjak kuburan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya menginjak dan duduk-duduk di atas kubur.

Banyak hadis yang menjelaskan, bahwa masuk ke dalam hijir berarti masuk kedalam Baitullah. Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Dahulu aku ingin sekali masuk ke Baitullah dan shalat di dalamnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik tanganku dan membawaku ke dalam hijir seraya bersabda:

Jika engkau ingin masuk ke Baitullah, maka shalatlah di sini (hijir) karena ini adalah bagian dari Baitullah, karena kaummu menguranginya di saat membangunnya kembali.”

Diriwayatkan dari Abdul Hamid bin Jubair dari bibinya Shafiyyah binti Syaibah, ia berkata, “Aisyah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Bolehkah aku masuk ke Baitullah?”, beliau Bersabda:

Masuklah ke dalam hijir, karena ia masih bagian dari Baitullah.”

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, “Lakukanlah shalat di tempat orang-orang pilihan, dan minumlah minuman orang-orang yang baik! Lalu ada yang berkata, “Di mana tempat shalat orang-orang pilihan itu?” Ia menjawab, “Di Bawah Mizab (pancuran emas),” dan ada yang bertanya, “Apa minuman orang-orang yang baik?” Ia menjawab, “Air zam-zam.”

Hadis di atas menjelaskan keutamaan shalat di hijir.

Adapun hadis yang diriwayatkan dari Atha, bahwa ia berkata, “Siapa yang berdiri di bawah pancuran Ka’bah, lalu berdoa, niscaya dikabulkan, dan dia keluar dari dosanya seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.”

Hadis ini dha’if tidak bisa dijadikan hujah. Perkataan ini berkaitan dengan hal-hal yang ghaib, naifnya lagi tidak disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kepada salah seorang sahabat.

Keutamaan Hajar Aswad

Banyak riwayat yang menekankan keutamaan Hajar Aswad dan anjuran untuk menyentuh dan menciumnya saat thawaf. Dan cukuplah menjadi keutamaannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyentuh dengan tangannya yang lembut dan mencium dengan bibirnya yang mulia.

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu mencium Hajar Aswad seraya berkata, “Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu adalah batu yang tidak dapat mendatangkan bahaya dan memberi manfaat, kalaulah karena aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, niscaya aku tak akan menciummu.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Hajar Aswad diturunkan dari surga, saat itu warnanya lebih putih dari susu, lalu dosa-dosa, keturunan Adam membuatnya berubah menjadi hitam.”

Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Hajar Aswad:

Demi Allah! Hajar Aswad akan dibangkitkan pada hari kiamat, Allah memberinya mata yang dapat melihat dan lidah yang dapat berbicara, memberikan persaksian terhadap orang yang menyentuhnya dengan kebenaran.”

Musafi bin Syaibah berkata, “Aku mendengar Abdulah bin Amru bin Ash radhiallahu ‘anhu berkata: ‘Aku bersaksi dengan nama Allah! (sambil meletakkan anak jarinya di telinga) aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya Hajar Aswad dan Maqam adalah dua buah batu di antara batu-batu Yaqut (batu mulia) di surga, yang dihilangkan oleh Allah cahayanya, andaikan Allah tidak menghilangkan cahayanya, niscaya sinarnya menerangi antara timur dan barat’.”

Di saat Nabi Ibrahim membangun Ka’bah, tinggal satu bagian yang belum terpasang batu, lalu Nabi Ismail pergi mencari sesuatu. Nabi Ibrahim berkata, “Carilah sebuah batu seperti yang telah aku perintahkan!” Nabi Ismail berangkat mencari batu. Ketika ia datang dengan membawa batu, ia dapati di tempat tersebut telah terpasang Hajar Aswad, maka ia berkata, “Ayahku! Siapa yang membawa batu ini kepadamu?” Ia berkata, “Yang membawanya kepadaku adalah orang yang tidak bergantung kepada usahamu, Jibril telah membawanya dari langit.”

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, bahwa ia selalu menyentuh Hajar Aswad, kemudian mencium tangannya, dan berkata, “Aku tak pernah meninggalkan perbuatan ini semenjak aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya.”

Sumber: Sejarah Kota Mekah oleh Syaikh Syaifurrahman Mubarakfury

JAKARTA  4/6/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman