Maqam Ibrahim
yaitu batu tempat ia berdiri di saat membangun Ka’bah. Karena membangun Ka’bah
adalah amalan yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia
menjadikan jejak kaki Ibrahim sebagai suatu hal yang patut diperingati dan
diambil pelajaran oleh anak dan cucunya.
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Sa’id bin Jubair bahwa dia berkata, “Batu itu adalah tempat Nabi Ibrahim berdiri, batu tersebut dibuat Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi lunak dan Dia jadikan sebagai rahmat dan Nabi Ibrahim berdiri di atasnya, sedangkan Nabi Ismail mengambilkan batu.”
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Sa’id bin Jubair bahwa dia berkata, “Batu itu adalah tempat Nabi Ibrahim berdiri, batu tersebut dibuat Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi lunak dan Dia jadikan sebagai rahmat dan Nabi Ibrahim berdiri di atasnya, sedangkan Nabi Ismail mengambilkan batu.”
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu bahwa Umar bin Khaththab
radhiallahu ‘anhu berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyetujuiku dalam 3 hal; aku berkata “Wahai Rasulullah! Andai engkau
menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, lalu turun ayat,
“Dan jadikanlah sebagian Maqam
Ibrahim sebagai tempat shalat.” (QS. Al-Baqarah: 125)
At-Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan
dari jalur Sa’id bin Abi Urubah dari Qatadah tentang ayat di atas: “Mereka
hanya diperintahkan melakukan shalat di sisinya bukan untuk mengusapnya.” Ia
(Qatadah) berkata: “Orang-orang yang melihat bekas jejak telapak kaki Nabi
Ibrahim di batu tersebut menceritakan kepada kami, bahwa jejak tersebut
dahulunya tampak, tetapi orang-orang selalu mengusapnya hingga menjadi licin
dan terhapus bersih.”
Maqam ini semenjak zaman Nabi Ibrahim
menempel pada Baitullah hingga pada masa khilafah Umar radhiallahu ‘anhu.
Ia memindahkannya ke belakang ke tempatnya saat ini. Hal ini diriwayatkan oleh
Abdul Raqaq dalam kita “Mushannaf” dengan sanad yang shahih dari Atha
dan juga dari Mujahid, dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah radhiallahu
‘anhu dengan sanad yang kuat, semakna dengan lafadz di atas, “Sesungguhnya
maqam Ibrahim pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khilafah
Abu Bakar radhiallahu ‘anhu bertaut dengan Baitullah. Kemudian
dipindahkan Umar radhiallahu ‘anhu ke belaang, dan para sahabat tidak
mengingkari tindakan Umar radhiallahu ‘anhu dan juga orang-orang
setelahnya, inai menunjukkan terjadinya Ijma.
Umar radhiallahu ‘anhu melihat
bahwa membiarkan maqam tetap pada tempatnya akan berakibat sempitnya kawasan
orang yang melakukan thawaf atau shalat, maka ia memindahkannya ke tempat yang
dianggap dapat menyelesaikan masalah. Perbuatan Umar radhiallahu ‘anhu
ini sangat dapat dibenarkan karena ia yang mengusulkan untuk menjadikan maqam
Ibrahim sebagai tempat shalat.
Hijir Ismail
Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa hijir Ismail
masih termasuk Baitullah, dan termasuk dalam firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala,
“Dan hendaklah mereka melakukan
thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj: 29)
Oleh karena itu, ketika thawaf kita
harus mengelilingi hijir Ismail. Jika tidak mengitarinya maka thawaf kita tidak
sah. Hijir yaitu: tempat di mana Nabi Ibrahim meletakkan istrinya Hajar dan
putranya Ismail, ketika ia membawa mereka ke Mekah. Ia memerintahkan Hajar
membuat bangsal di tempat tersebut.
Bangsa Quraisy telah memasukkan
sebagian dari Ka’bah ke dalam hijir, karena kurangnya anggaran mereka ketika
membangunnya kembali setelah dipugar. Di saat Abdullah bin Zubair radhiallahu
‘anhu menguasai Mekah, ia memugar Ka’bah dan membangunnya kembali, dan
memasukkan kembali bagian Ka’bah yang dikeluarkan oleh Quraisy ke hijir. Tetapi
setelah terbunuhnya Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu, Hajjaj
mengembalikannya lagi ke dalam hijir, dan membangun dinding di atas pondasi
yang dibangun oleh Quraisy, dan demikianlah hingga sekarang.
Maka jadilah sebagian hijir termasuk
bagian dari Ka’bah dan sebagian yang lain bukan termasuk Ka’bah. Dalil yang
menunjukkan bahwa sebagian hijir termasuk bagian dari Ka’bah, adalah hadis yang
diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anhu”
“Kalaulah bukan karena kaummu baru
saja meninggalkan kesyirikan (kejahiliyahan), niscaya aku telah menghancurkan
ka’bah dan pintunya aku buat menjadi sejajar dengan tandah an aku membuat dua
pintu; pintu sebelah timur dan pintu sebelah barat dan aku tambahkan dan hijir
sebanyak 6 hasta, karena sesungguhnya Quraisy menguranginya di saat membangun
Ka’bah.”
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu
berkata, “Sungguh sekiranya Aisyah mendengar ini dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, menurutku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak menyentuh dua sudut yang berhadapan dengan hijir, melainkan karena
Baitullah dibangun tidak sempurna seperti yang dibangun oleh nabi Ibrahim.”
Banyak ulama yang menyebutkan bahwa
Nabi Ismail dimakamkan di hijir di sisi kuburan ibunya. Tetapi semua riwayat
ini dha’if (lemah) tidak satu pun yang shahih. Di antara alasan dhaifnya
adalah banyak sahabat yang menyaksikan dan ikut serta ketika Quraisy membangun
Ka’bah, dan menggali pondasi Ka’bah saat itu, dan tidak seorang pun dari mereka
yang melihat ada bekas kuburan. Jika di sana memang ada kuburan, tentu kita
tidak dibenarkan menginjak kuburan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang umatnya menginjak dan duduk-duduk di atas kubur.
Banyak hadis yang menjelaskan, bahwa
masuk ke dalam hijir berarti masuk kedalam Baitullah. Di antaranya hadis yang
diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Dahulu aku
ingin sekali masuk ke Baitullah dan shalat di dalamnya, maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menarik tanganku dan membawaku ke dalam hijir seraya
bersabda:
“Jika engkau ingin masuk ke
Baitullah, maka shalatlah di sini (hijir) karena ini adalah bagian dari
Baitullah, karena kaummu menguranginya di saat membangunnya kembali.”
Diriwayatkan dari Abdul Hamid bin
Jubair dari bibinya Shafiyyah binti Syaibah, ia berkata, “Aisyah berkata kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Bolehkah
aku masuk ke Baitullah?”, beliau Bersabda:
“Masuklah ke dalam hijir, karena ia
masih bagian dari Baitullah.”
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhu berkata, “Lakukanlah shalat di tempat orang-orang pilihan, dan
minumlah minuman orang-orang yang baik! Lalu ada yang berkata, “Di mana tempat
shalat orang-orang pilihan itu?” Ia menjawab, “Di Bawah Mizab (pancuran emas),”
dan ada yang bertanya, “Apa minuman orang-orang yang baik?” Ia menjawab, “Air
zam-zam.”
Hadis di atas menjelaskan keutamaan
shalat di hijir.
Adapun hadis yang diriwayatkan dari
Atha, bahwa ia berkata, “Siapa yang berdiri di bawah pancuran Ka’bah, lalu
berdoa, niscaya dikabulkan, dan dia keluar dari dosanya seperti pada hari ia
dilahirkan oleh ibunya.”
Hadis ini dha’if tidak bisa
dijadikan hujah. Perkataan ini berkaitan dengan hal-hal yang ghaib, naifnya
lagi tidak disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
kepada salah seorang sahabat.
Keutamaan Hajar Aswad
Banyak riwayat yang menekankan
keutamaan Hajar
Aswad dan anjuran untuk menyentuh dan menciumnya saat
thawaf. Dan cukuplah menjadi keutamaannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah menyentuh dengan tangannya yang lembut dan mencium dengan
bibirnya yang mulia.
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab radhiallahu
‘anhu mencium Hajar Aswad seraya berkata, “Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu
adalah batu yang tidak dapat mendatangkan bahaya dan memberi manfaat, kalaulah
karena aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menciummu, niscaya aku tak akan menciummu.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hajar Aswad diturunkan dari surga,
saat itu warnanya lebih putih dari susu, lalu dosa-dosa, keturunan Adam
membuatnya berubah menjadi hitam.”
Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
tentang Hajar Aswad:
“Demi Allah! Hajar Aswad akan
dibangkitkan pada hari kiamat, Allah memberinya mata yang dapat melihat dan
lidah yang dapat berbicara, memberikan persaksian terhadap orang yang
menyentuhnya dengan kebenaran.”
Musafi bin Syaibah berkata, “Aku
mendengar Abdulah bin Amru bin Ash radhiallahu ‘anhu berkata: ‘Aku
bersaksi dengan nama Allah! (sambil meletakkan anak jarinya di telinga) aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Sesungguhnya Hajar Aswad dan Maqam
adalah dua buah batu di antara batu-batu Yaqut (batu mulia) di surga, yang
dihilangkan oleh Allah cahayanya, andaikan Allah tidak menghilangkan cahayanya,
niscaya sinarnya menerangi antara timur dan barat’.”
Di saat Nabi Ibrahim membangun Ka’bah,
tinggal satu bagian yang belum terpasang batu, lalu Nabi Ismail pergi mencari
sesuatu. Nabi Ibrahim berkata, “Carilah sebuah batu seperti yang telah aku
perintahkan!” Nabi Ismail berangkat mencari batu. Ketika ia datang dengan
membawa batu, ia dapati di tempat tersebut telah terpasang Hajar Aswad, maka ia
berkata, “Ayahku! Siapa yang membawa batu ini kepadamu?” Ia berkata, “Yang
membawanya kepadaku adalah orang yang tidak bergantung kepada usahamu, Jibril
telah membawanya dari langit.”
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu
‘anhu, bahwa ia selalu menyentuh Hajar Aswad, kemudian mencium tangannya,
dan berkata, “Aku tak pernah meninggalkan perbuatan ini semenjak aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya.”
Sumber: Sejarah Kota Mekah oleh
Syaikh Syaifurrahman Mubarakfury
JAKARTA 4/6/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar