Dalam kitab Tadzkiratul Auliya, Syeikh Fariduddin ‘Aththar
menjelaskan, bahwa Syeikh Abul Qasim Al-Junayd ibnu Muhammad al-Zujaj (Junayd
al-Baghdadi) adalah putera dari seorang pedagang barang pecah belah (kaca) dari
Nahawand dan keponakan Sarri as-Saqathi, Ia juga dekat dengan Al-Muhasibi.
Beliau lahir dan besar di Irak.
Abul Qasim Al-Junayd merupakan tokoh paling terkemuka dari
mazhab Tasawuf, bahkan kelak beliau mendapat gelar sebagai Sayyidush Shufiyah
(Pangeran Kaum Sufi).
Ia memerinci sebuah doktrin teosofikal yang menentukan
seluruh rangkaian latihan sufisme ortodoks dalam Islam.
Ia menjelaskan teori-teorinya dalam
pengajaran-pengajarannya, serta dalam serangkaian suratnya yang hingga kini
masih ada, yang ditujukan kepada sejumlah tokoh pada masanya.
Abul Qasim Al-Junayd merupakan pemimpin sebuah mazhab yang
besar dan berpengaruh. Beliau juga dikenal sebagai seorang mufti dalam mazhab
Abu Tsaur, murid Imam Syafi’i.
Al-Junayd wafat di Baghdad pada hari Sabtu tahun 297H/910M.
Masa Kecil Junayd al-Baghdadi
Sejak kecil, Junayd telah memiliki kedalaman spiritual,
telah menjadi seorang pencari Tuhan yang bersungguh-sungguh, sangat disiplin,
bijaksana, cepat mengerti dan memiliki intiusi yang tajam.
Suatu hari, ia pulang ke rumah dari sekolah. Ia menemukan
ayahnya tengah menangis.
“Ayah, apa yang terjadi?” Tanya Junayd.
“Ayah ingin memberikan sedekah kepada pamanmu, Sarri,” tutur
sang ayah. “Namun ia tidak mau menerimanya. Ayah menangis karena ayah telah
mencurahkan seluruh hidup ayah untuk dapat menyisihkan uang lima dirham ini,
namun ternyata uang ini tidak memenuhi syarat untuk dapat diterima oleh salah
seorang sahabat Allah.”
“Berikan uang itu kepadaku dan aku akan memberikannya kepada
paman Sarri. Dengan begitu, ia mungkin mau menerimanya,” kata Junayd.
Sang ayah memberikan uang itu kepadanya, lalu Junayd pun
pergi. Sesampainya di rumah pamannya, Junayd mengetuk pintu.
“Siapa itu?” terdengar suara dari dalam rumah.
“Junayd,” jawab sang bocah. “Buka pintu dan terimalah
tawaran sedekah ini.
“Aku tidak menerimanya,” pekik Sarri.
“Aku mohon, terimalah ini, demi Allah Yang telah begitu
dermawan padamu dan telah bagitu adil pada ayahku,” pekik Junayd.
“Junayd, apa maksudmu Allah begitu dermawan kepadaku dan
begitu adil kepada ayahmu?” Tanya Sarri.
Junayd manjawab, “Allah begitu dermawan padamu karena Dia
menganugerahimu kemiskinan. Sedangkan kepada ayahku, Allah telah begitu adil
dengan menyibukkannya dengan urusan-urusan dunia. Engkau memiliki kebebasan
untuk menerima atau menolak sekehendak hatimu. Sedangkan ayahku, suka atau
tidak, harus menyampaikan sedekah yang dititipkan Allah padanya kepada orang
yang berhak.”
Jawaban Junayd ini menyenangkan hati Sarri. “Anakku, sebelum
aku menerima sedekah ini, aku telah lebih dulu menerimamu,” ujar Sarri.
Setelah berkata begiru, Sarri membuka pintu dan menerima
sedekah itu. Ia menempatkan Junayd di tempat yang istimewa dalam hatinya.
Junayd baru berusia tujuh tahun saat Sarri mengajaknya
berhaji. Di Masjidil Haram, masalah syukur tengah dibahas oleh empat ratus
syeikh. Masing-masing syeikh mengemukakan pandangannya.
“Utarakanlah pendapatmu,” kata Sarri pada Junayd.
Junayd berkata, “Syukur berarti engkau tidak bermaksiat
kepada Allah dengan menggunakan karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu,
juga tidak menjadikan karunia-Nya sebagai sumber ketidak-taatan pada-Nya.
“Bagus sekali, benar-benar merupakan pelipur lara bagi para
Mukmin sejati,” pekik para syeikh itu.
Keempat ratus syeikh itu sepakat, bahwa tidak ada definisi
syukur yang lebih baik daripada apa yang telah dikatakan oleh Junayd.
“Anakku,” ujar Sarri, “segera tiba saatnya, lidahmu menjadi
sebuah karunia istimewa dari Allah untukmu.”
Junayd menangis tatkala
mendengan pamannnya berkata begitu.
“Darimana engkau belajar?” tanya Sarri.
“Dari duduk bersamamu,” jawab Junayd.
Junayd lalu kembali ke Baghdad dan menjadi penjual barang
pecah belah. Setiap hari ia pergi ke tokonya, menutup tirai toko, lalu
mendirikan shalat empat ratus rakaat.
Selang bebenapa lama, Ia akan meninggalkan tokonya dan pergi
kesebuah ruangan di serambi rumah Sarri. Disana ia menyibukkan diri dengan
penjagaan hati. Ia menghamparkan “sajadah wara’”, sehingga tak ada sesuatu pun
yang terlintas di pikiran selain Allah.
Junayd Menunjukkan Bukti
Selama empat puluh tahun, Junayd sibuk menekuni latihan
sufi. Selama tiga puluh tahun, ia mendirikan salat malam, lalu berdiri dan
mengulang-ulang lafadz ‘Allah’ hingga fajar, kemudian ia mendirikan shalat
subuh dengan wudlu yang ia lakukan pada malam sebelumnya.
Ia berkata, “Setelah empat puluh tahun berlalu, kesombongan
merasuki diriku; aku merasa telah mencapai tujuanku. Tiba-tiba sebuah suara
terdengar dari langit berbicara padaku, “Junayd, telah tiba saatnya bagi-Ku
untuk memperlihatkan padamu ikatan korset bagimu.”
Ketika aku mendengar kata-kata ini, aku pun berseru, “Ya
Allah, dosa apa yang telah dilakukan oleh Junayd?”
Suara itu menjawab, “Untuk apa engkau tanyakan itu? Apakah
engkau ingin mencari-cari dosa yang lebih menyedihkan daripada apa yang engkau
perbuat?” Junayd menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya.
Ia berbisik, “Ia, yang tidak cukup berharga untuk penyatuan,
segala perbuatan baiknya adalah dosa.”
Ia, terus duduk di dalam kamarnya sambil memekik “Allah...
Allah...” sepanjang malam.
Lidah-lidah panjang para pemfitnah menyerangnya dan tingkah
lakunya dilaporkan kepada Khalifah.
“Ia tidak dapat dihukum tanpa bukti,” kata sang Khalifah.
Mereka (Para pemfitnah menyatakan, “Banyak orang tergoda
oleh kata-katanya.”
Sang Khalifah mempunyai seorang budak wanita yang
kecantikannya tak ada duanya. Sang Khalifah sangat mencintainya, ia membeli
budak wanita itu seharga tiga ribu dinar. Sang Khalifah memerintahkan
agar budak wanita itu didandani dengan pakaian bagus dan
perhiasan-perhiasan mahal.
Sang Khalifah memberikan instruksi kepada budak wanita itu,
“Pergilah ke suatu tempat. Berdirilah di dekat Junayd dan perlihatkan wajahmu.
Biarkan ia melihat perhiasan dan pakaianmu. Katakan padanya, ‘Aku memiliki
harta benda yang berlimpah namun hatiku telah lelah dengan urusan-urusan
duniawi. Aku datang ke sini untuk memintamu melamarku, agar dengan bimbinganmu
aku dapat mengabdikan diriku untuk beribadah pada-Nya. Hatiku tidak menemukan
ketenangan kecuali dalam dirimu.’ Pertontonkan dirimu padanya. Perlihatkan
kecantikanmu, dan berusahalah sekuat tenaga untuk membujuknya.”
Budak wanita itu pergi menemui Junayd dengan ditemani oleh
seorang pelayan. Ia lalu mendekati dan menjalankan apa-apa yang telah
diinstruksikan kepadanya. Tanpa sengaja, Junayd memandang budak wanita itu.
Junayd tetap diam dan tidak menjawab. Budak wanita itu mengulangi ceritanya.
Junayd menundukkan kepalanya, lalu ia mendongak.
“Ah,” serunya sambil menghembuskan napasnya ke arah budak
wanita itu. Seketika budak wanita itu jatuh ke tanah dan mati.
Pelayan yang menemaninya kembali menemui Khalifah dan
melaporkan apa yang telah terjadi. Jiwa sang Khalifah serasa terbakar dan ia
bertobat atas yang telah ia lakukan.
Sang Khalifah berkata, “Ia, yang memperlakukan orang lain
tidak sebagaimana mestinya, melihat apa yang harusnya tidak ia lihat.”
Sang Khalifah kemudian bangkit dan memerintah pembantunya
untuk memanggil Junayd. “Sungguh seseorang yang tak dapat dipanggil untuk
menghadap,” komentarnya.
Khalifah bertanya, “Wahai Syeikh, bagaimana engkau tega
membunuh seseorang yang begitu cantik?”
Junayd menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kasih sayangmu
kepada orang-orang mukmin begitu besarnya, sampai-sampai engkau ingin
meleyapkan empat puluh tahun kedisiplinanku yang ku isi dengan wara’ dan
penyangkalan diri. Memangnya siapa aku ini? Janganlah melakukan apa yang engkau
tidak sukai bagi dirimu sendiri!”
Setelah peristiwa itu, urusan-urusan Junayd berjalan dengan
baik. Kemasyhurannya tersebar keseluruh penjuru dunia. Seberapapun seringnya ia
disiksa, reputasinya meningkat seribu kali lipat.
Ia mulai berkhotbah. Suatu kali ia menjelaskan, “Aku tidak
berkhotbah di muka umum sampai tiga puluh wali besar mengatakan padaku bahwa
aku telah pantas untuk menyeru manusia kepada Allah.”
Ia berkata, “Selama empat puluh tahun aku duduk menjaga
hatiku. Kemudian selama sepuluh tahun hatiku menjagaku. Kini telah genap
duapuluh tahun dimana aku tidak mengetahui apa pun tentang hatiku dan hatiku
pun tidak mengetahui apapun tentang aku.”
Ia melanjutkan, “Selama tiga puluh tahun, Allah berbicara
kepada Junayd dengan lidah Junayd, Junayd tidak berada disana sama sekali,
namun manusia tidak mengetahuinya.”
Junayd Berkhotbah
Saat lidah Junaid telah mahir mengutarakan kata-kata yang
menakjubkan, Sarri as-Saqathi mengatakan kepadanya bahwa telah wajib, baginya
untuk berkhotbah dimuka umum.
Awalnya Junaid merasa ragu, tidak ingin melakukan hal itu.
“Saat ada sang guru, tak pantas bagi si murid untuk berkhotbah,” kata Junaid
mengutarakan keberatannya.
Sampai akhirnya pada suatu malam, Junayd bertemu dengan Nabi
Saw. Dalam mimpinya. “Berkhotbahlah,” kata Nabi Saw.
Keesokan paginya pada suatu malam, Junaid pun bangkit dan
hendak pergi menemui Sarri untuk menceritakan mimpinya. Namun, ketika hendak
keluar, ia menemukan Sarri tengah berdiri didepan pintu.
Sarri berkata, “Sampai saat ini, engkau masih ragu-ragu,
menunggu orang-orang lain memintamu untuk berkhotbah. Kini engakau harus bicara
(berkhotbah di muka umum), karena kata-katamu telah dijadikan sarana bagi
keselamatan seluruh dunia.”
Engkau tidak mau bicara saat para murid membujukmu untuk
bicara. Engkau tidak mau bicara saat para syeikh kota Baghdad memintamu untuk bicara.
Engkau juga tidak mau bicara kendati aku telah mendesakmu untuk bicara.
Sekarang, Nabi Saw. Telah memerintahkanmu untuk bicara, maka engkau harus
bicara.”
“Ya Allah, maafkanlah hamba,” tutur Junaid “Paman, bagaimana
engkau tahu kalau aku bertemu dengan Nabi Saw dalam mimpiku?”
Sarri menjelaskan, “Aku bertemu dengan Allah dalam mimpiku.
Dia berkata, ‘Aku telah mengutus Rasul-Ku untuk meminta Junayd berkhotbah di
atas mimbar’.”
“Kalau begitu, aku akan berkhotbah,” kata Junaid kemudian.
“Namun dengan satu syarat, yang hadir tidak lebih dari empat puluh orang.”
Suatu hari, Junayd berkhotbah di hadapan empatpuluh orang
hadirin. Delapan belas orang di antaranya meninggal dunia dan duapuluh dua
orang lainnya jatuh ketanah tak sadarkan diri. Mereka kemudian diangkat dan
dibawa pulang ke rumah mereka masing-masing.
Dilain hari, Junayd berkhotbah. Diantara hadirin ada seorang
pemuda Kristen, namun tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa pemuda itu
beragama Nasrani.
Pemuda itu mendekati Junayd dan berkata, “Nabi bersabda,
‘berhati-hatilah terhadap pengetahuan orang yang beriman, kanena ia melihat
dengan cahaya Tuhan’.”
Junayd menjawab, “Yang benar adalah engkau harus menjadi
seorang Muslim dan memotong korset Nasranimu, kanena ini adalah acara khusus
bagi Muslim.”
Seketika itu Pula pemuda tadi menjadi seorang Muslim.
Setelah Junayd berkhotbah beberapa kali, masyarakat
menyuarakan penentangannya. Akhinnya Junayd pun berhenti berkhotbah dan
kemudian kembali ke kamarnya. Ia didesak untuk terus berkhotbah namun ia
menolak.
“Sudah cukup,” katanya. “Aku tidak dapat mengusahakan
kehancuranku sendiri.”
Beberapa waktu kemudian, Junayd naik ke mimbar dan mulai
berkhotbah tanpa pemberitahuan sebelumnya.
“Kebijaksanaan apa yang terdapat di dalam apa yang engkau perbuat
ini?” ia ditanya.
Junayd menjawab, “Aku menemukan sebuah hadist di mana Nabi
Saw. bersabda, ‘Pada akhir zaman, yang menjadi juru bicara suatu masyarakat
adalah orang yang terburuk di antara mereka. Ia akan berkata pada mereka, Aku
tahu bahwa aku adalah orang yang terburuk di antara kalian. Aku berkhotbah
karena apa yang telah disabdakan oleh Nabi Saw. Dengan begitu, aku tidak
menentang kata-kata beliau.”
Al-Jurairy mengabarkan, “Aku baru saja pulang dan Mekkah,
dan hal pertama yang kulakukan adalah mengunjungi al-Junayd agar tidak
mengangan-angan diriku. Aku Ialu memberi salam kepadanya dan pulang ke rumah.
Keesokan harinya ketika aku shalat subuh di masjid, aku melihatnya berdiri pada
shaf di belakangku. Aku berkata, ‘Aku mendatangimu kemarin hanya supaya engkau
tidak mengharap harap diriku.’ Ia menjawab, ‘Itulah keutamaanmu. Dan itulah
hakmu’.”
JAKARTA 28/5/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar