A. Riba Haram
Dalam
kamus al-Mu`jam al-Wasith, jilid I karya Dr. Ibrahim Anis dkk. dijelaskan bahwa
riba secara etimologis berarti kelebihan dan tambahan (al-fadhl wa az-ziyadah),
sedang menurut syarak adalah kelebihan (tambahan) tanpa imbalan yang
disyaratkan kepada salah satu dari dua orang yang melakukan akad. Dalam
Ensiklopedi Hukum Islam jilid V, karya Drs. H. A. Hafizh Dasuki, MA, dkk
dijelaskan bahwa para ulama fikih mendefinisikan riba sebagai “Kelebihan harta
dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya.” Maksudnya, tambahan
terhadap modal uang yang timbul sebagai akibat suatu transaksi utang piutang
yang harus diberikan terutama kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo.
Memang
dalam berbagai kitab fikih ditemukan definisi tentang riba yang sedikit
banyaknya berbeda antara satu dengan lainnya oleh para ulama. Namun, setelah
mengemukakan beberapa definisi tersebut, Muhammad Baiba dalam kitabnya,
al-Adillah al-Wafiyah fi Idhah al-Mu`amalat ar-Ribawiyah, halaman 21
menyimpulkan bahwa pada hakikatnya pengertian riba di kalangan ulama dari
berbagai mazhab sama. Mereka berbeda pada redaksi saja. Muhammad Baiba
menjelaskan pula bahwa umat telah ijmak (sepakat) atas haramnya riba. Tidak ada
yang berpendapatr lain tentang hukum riba. Imam an-Nawawi juga dalam kitabnya,
Syarh al-Muhazzab, jilid IX halaman 391 menjelaskan ijmak kaum Muslim tentang
haramnya riba. Muhammad Baiba juga menegaskan bahwa banyak sekali ulama yang
menerangkan tentang ijmak atas haramnya riba. Dari ulama kontemporer, Dr. Yusuf
al-Qardhawi dalam kitabnya, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram, halaman 14
menegaskan bahwa Islam sangat mengharamkan riba melalui nash-nash yang jelas
dengan kandungan makna yang pasti (qath`i).
Adapun dalil haramnya riba dari Alquran antara lain adalah surat al-Baqarah ayat 275, “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”; surat Ali Imran ayat 130, “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” Dalam surat al-Baqarah ayat 278 ditegaskan agar meninggalkan sisa riba, “ Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak menunaikannya (perintah tinggalkan ini) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
Adapun dalil haramnya riba dari Alquran antara lain adalah surat al-Baqarah ayat 275, “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”; surat Ali Imran ayat 130, “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” Dalam surat al-Baqarah ayat 278 ditegaskan agar meninggalkan sisa riba, “ Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak menunaikannya (perintah tinggalkan ini) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
Sementara
itu, Nabi saw. dengan berbagai ungkapan banyak sekali mengeluarkan larangan
praktik riba. Antara lain adalah hadis riwayat Muslim, Abdullah berkata : Rasul
saw. melaknat orang yang memakan riba dan yang memberikan riba.” Dalam riwayat
Muslim juga diterangkan oleh Jabir bin Abdullah ra. : Rasul saw, melaknat orang
yang memakan riba, orang yang memberinya, orang yang menulisnya, dan dua orang
yang menjadi saksinya.” Dengan ungkapan lain al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan
bahwa Rasul saw. bersabda : “Hindari kamulah tujuh hal yang membinasakan.
Mereka (para sahabat) bertanya, “ Apa itu ya Rasul? Rasul saw, menerangkan:
Syirik kepada Allah, sihir, membunuh orang yang diharamkan Allah tanpa hak, dan
memakan riba. Demikianlah seterusnya banyak sekali hadis tentang larangan
melakukan riba dan haramnya hasil riba.
B. Bunga Bank
Sama Dengan Riba
Selanjutnya
timbul pertanyaan, apakah bunga bank sebagaimana yang dipahami secara
konvensional dewasa ini sama dengan riba. Sistem bank konvensional tidak ada di
masa Rasul, bahkan tidak ditemukan di zaman klasik dan pertengahan, Menurut
sementara informasi, bank konvensional pertama sekali didirikan pada tahun 1157
M di Itali. Kemudian, sistem ini berkembang pada seperempat terakhir dari abad
XVI dan mulai masuk ke negeri-negeri Islam pada akhir abad XIX. Oleh karena
tidak tidak ditemukan di zaman Rasul, maka tidak ditemukan pula nash yang jelas
tentang hukum bunga bank konvensional. Bahkan, dalam literatur klasik dan zaman
pertengahan pun tidak ditemukan.
Sebagai
pedoman hidup sepanjang zaman, Islam harus mempunyai sikap terhadap bunga bank.
Suatu hal perlu diingat, bahwa dalil hukum dalam Islam itu tidak hanya Alquran
dan Hadis. Selain itu ada ijmak, qiyas (analogi), mashlahah mursalah, istihsan,
istishhab, uruf, syar`u man qablana, dan pendapat sahabat Nabi, Lebih daripada
itu, dalam menetapkan hukum, Islam memiliki sejumlah kaedah yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang timbul dalam masya-rakat. Dalam
menerapkan dalil dan kaedah ini para ulama menggunakan ijtihad mereka yang
kadang-kadang berakhir dengan perebedaan pendapat. Karena itu, mengenai hukum
bunga bank juga terjadi perbedaan pendapat.
Meskipun
sejak lama sudah banyak ulama yang meng-haramkannya, namun masih ada yang
memandangnya tidak sama dengan riba. Misalnya, Muhammad Baiba, Yusuf
al-Qardhawi, Abu al-A`la al-Maududi, H.Nukman Sulaiman, H. Hamdan Abbas, dan
sejumlah ulama telah lama memandang bung bank sama dengan riba. Akan tetapi,
Rasyid Rida, A. Hassan, dan M. Qjuraish Shihab memandang keduanya berbeda
sehingga hukumnya pun berbeda. Bahkan, di MUI Tk.I SU sendiri masalah hukum
bunga bank dibicarakan pada tahun 1985 dan 2003 dan hasilnya masih tidak
sepakat atas keharamannya. Akan tetapi, dengan keluarnya fatwa MUI Pusat
tentang keharaman bunga bank tahun 2003, maka seluruh MUI tingkat daerah tunduk
kepada fatwa MUI Pusat tersebut, termasuk MUI Tk.I SU.
C. Fatwa dan
Konsensus Tentang Bunga Bank
Selain
dari pendapat-pendapat para ulama secara pribadi mengenai haramnya bunga bank,
telah terbentuk beberapa fatwa dan konsensus tentang haramnya bunga bank, baik
dalam negeri maupun di luar negeri. Misalnya, Lembaga Pengkajian Islam Al-Azhar
(Majma` al-Buhuts al-Islamiyah Al-Azhar) Mesir sejak lama telah mencapai
konsensus tentang haramnya bunga bank. Pada tahun 1965 lebih dari 350 ulama dan
pakar hukum Islam dari seluruh dunia melakukan pengkajian di Universitas
al-Azhar. Ternyata mereka juga sampai kepada kesimpulan bahwa bunga bank
termasuk riba yang diharamkan dalam Islam. Pada tahun 1985, Fiqh Academy
negara-negara OKI juga menyim-pulkan keharaman bunga bank. Pada tahun 1979 Dar
al-Ifta Arab Saudi; pada tahun 1986 Fiqh Academy Muslim World; dan pada tahun
1999 Mahkamah Syari`ah Pakistan semuanya berkesimpulan tentang haramnya bunga
bank. Delapan belas fatwa dari keputusan-keputusan para mufti Mesir sejak tahun
1907 sampai 2002 hampir seluruhynya mengharamkan bunga bank.
Secara
organisasi, pada tahun 1991 Persis telah menetapkan bahwa bunga bank adalah
haram. Pada Muktamar di Bandar Lampung tahun 1992, Nahdhatul Ulama meminta PB
NU untuk mengupayakan memiliki bank yang tidak mengandung unsur yang haram.
Pada tahun 1998, Muhammadiyah telah menetapkan bahwa hukum bunga bank syubhat
yang harus dihindari. Pada tahun 2001, Al-Washliyah menetapkan bunga bank
termasuk riba dan hukumnya haram.Terakhir, pada tahun 2003 secara nasional MUI
Pusat mengeluarkan fatwa tentang keharaman bunga bank.
D. Keabsahan
Fatwa MUI Pusat
Badan
yang membidangi hukum dalam MUI adalah Komisi Fatwa. Komisi Fatwa ini terdiri
dari para ulama dan pakar hukum Islam. Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank
disepakati oleh ketua-ketua atau yang mewakili ketua komisi fatwa dari seluruh
wilayah dan wakil-wakil dari ormas-ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, dan
Al-Washliyah. Oleh karena itu, para peserta ijtima` yang memutuskan fatwa
tersebut adalah orang-orang yang berkompeten dari sudut akademis dan memiliki
kewenangan legal di bidangnya secara organisatoris maka ijtihad mereka dalam
bentuk fatwa hukum adalah sah. Bahkan, sebelum fatwa dalam skala nasional ini
keluar, fatwa dalam sekala internasional pun sudah berulang kali dikeluarkan
dalam berbagai kesempatan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Karena itu,
keberatan dari sementara orang tentang fatwa ini tidak perlu menimbulkan
keraguan. Apalagi, keberatan itu memang munculnya dari orang-orang yang cara
berpikirnya dikenal sekuler, tentunya tidak perlu dipertimbangkan.
Kemudian,
dalam kenyataan pun telah jelas bagaimana rapuhnya sistem bunga. Perjalanan
perbankan konvensional di Indonesia cukup melelahkan. Kita tidak tahu sampai
kapan program penyehatan perbankan yang menerapkan sistem bunga berlangsung.
Meskipun telah banyak yang dilikuidasi, namun yang masih hidup terus menjadi
beban nasional. Sebaliknya, bank-bank syariah sejauh ini belum ada yang
memberati negara dan cenderung berkembang.
Secara
historis, sistem bagi hasil berawal di Pakistan dan Malaysia pada tahun 1940-an
dalam hal pengelolaan haji. Dalam bentuk embrio perbankan syariah mulai di
Mesir pada dekade 1960-an yang berbentuk semacam lembaga keuangan unit desa.
Pada tahun 1975 berdirilah Islamic Development Bank (IDB) yang sekarang banyak
membantu lembaga-lembaga Islam di dunia, termasuk bidang pendidikan dan
pertanian. Lembaga perbankan syariah terus berkembang sehingga pada akhir 1999
tercatat 200 buah di seluruh dunia, termasuk di Eropa, Amerika, dan Australia.
Pada tahun 1992, sistem perbankan syariah mulai diterapkan di Indonesia
berdasarkan UU No. 7 tahun 1992. Sekarang, bank-bank konvensional sendiri sudah
banyak membuka divisi syariah di mana-mana. Ini merupakan bagian dari bukti
kemaslahatan yang terkandung dalam sistem perbankan syariah.
Oleh: Prof. Dr.
H. Ramli Abdul Wahid, MA
Wakil Ketua
Komisi Fatwa MUI Tk. I MUI-SU
Sumber: ramliaw.wordpress.com
JAKARTA 27/5/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar