Sabtu, 11 Mei 2013

DEPOSITO DAN INVESTASI



              HUKUM DEPOSITO DAN INVESTASI DALAM ISLAM

 Muqaddimah
Deposito di bank konvensional jelas diharamkan di dalam syariat Islam, karena secara praktek menggunakan sistem riba yang diharamkan di semua agama. Namun memang sangat disayangkan sekali melihat kenyataan bahwa masih terlalu banyak umat Islam yang tidak mengerti hukumnya. Keharaman sistem bunga baik dalam tabungan atau deposito pada bank konvensional sudah sering kami tampilkan dalam forum ini, sehingga silahkan Anda cari topik yang berkaitan dengan mengapa diharamkan dan apa dalil-dalilnya.
Alternatif yang bisa dilakukan adalah mendepositokan harta Anda pada bank-bank syariah yang kini sudah cukup banyak menjamur dimana-mana. Inilah bank yang menjalankan sistem bagi hasil sesuai dengan sistem Islam yang jelas lebih cocok dan pas buat kita semua. Anehnya, di beberapa negara maju seperti Eropa, justru ada trend baru dimana mereka mendirikan bank dengan sistem syariah ini, padahal mereka bukan muslim. Baik pemilik bank, karyawan hingga para nasabahnya adalah orang-orang kafir.
Alasan utama mereka bukan masalah fanatisme agama, karena umumnya mereka bukan beragama Islam, tapi karena secara empiris terbukti bahwa sistem syariah ini menguntungkan kedua belah pihak dan tidak ada yang dizalimi. Kalau kita sebagai pewaris syah dari syariat Islam justru merasa tidak bisa hidup tanpa sistem kapitalis yang ribawi, maka pasti ada yang salah dalam konsep berpikir kita sendiri. Kalau dulu alasannya karena tidak ada bank Islam, tapi dengan menjamurnya bank-bank syariah, alasan apa lagi yang ingin dikemukakan.
Pengertian Deposito
Secara umum istlah deposito adalah sebuah nama yang diberikan pada simpanan deposan di Bank yang lazim dilekatkan pada persyaratan jangka waktu penyimpanan. Dalam sistim perbankan Islam deposito disebut tabungan mudharabah, merupakan simpanan pihak ketiga (perorangan atau badan hukum) yang penarikannya pada waktu jatuh tempo dengan mendapatkan imbalan bagi hasil (Perwaatmadja, Antonio, 1993 : 20 ). Sedangkan investasi, berarti menanam, menginvestasikan uang atau capital. (Echols Shadily, 1984 : 330). Dalam praktek investasi mudharabah adalah transaksi yang dilakukan shahib al-mal sebagai penyandang dana dengan ‘amil sebagai pengelola dengan nisbah penghasilan yang disepakati ‘amil dalam mengelola dana yang diinvestasikan shahib al-mal terikat dengan hak dan kewajiban. Diantara hak ‘amil ialah uang belanja dari mudharabah (Zuhalli, 1989 : 864).
Kemudian ‘amil mendapat keuntungan dari mudharabahnya, Jika dalam mudharabah itu mengalami keuntungan. ‘Amil tidak mendapatkan apa-apa dari mudharabahnya, jika tidak mendapat keuntungan, karena ia bekerja untuk dirinya, maka tidak berhak untuk mendapat upah. (Zuhalli, 4, 1980 : 867).
Konsekuensi dari hal itu, dalam suatu mudharabah ‘amil tidak bertanggung jawab atas kerugian yang mungkin terjadi di dalam kegiatan mudharabahnya, selama kerugian itu akibat dari kerugian bisnis itu sendiri, bukan akibat penyelewengan yang keluar dari kesepakatan. Untuk itu ‘amil juga mempunyai kewajiban, antara lain tidak boleh melakukan tindakan mudharabah (jual beli) tanap seizin rabb al-mal. Jika ia melak
Deposito mudharabah diartikan sebagai suatu bentuk simpanan kepada Bank Islam sebagai mudharib berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui dan penarikannya dapat dilakukan pada setiap saat atau beberapa kali sesuai dengan perjanjian. Berbeda halnya  dengan apa yang dikenal pada Bank Konvensional, di mana deposito dianggap sebagai simpanan para deposan yang mempunyai kelebiahn uang yang tidak dikonsumtif atau tidak dipergunakan kepada Bank dengan perhitungan bungan tertentu. Lama masa penyimpanan ditentukan waktunya dan tinggi rendahnya bunga ditentukan oleh jangka waktu penyimpanan, makin lama waktu yang diinginkan semakin tinggi pula bunganya.
Pada dasarnya deposito yang dikenal dalam sistem perbankan Islam adalah tabungan mudharabah yang penarikannya dapat dilakukan dalam waktu tertentu sesuai kesepakatan dengan mendapatkan imbalan  bagi hasil dalam bentuk pembagian pendapatan atas penggunaan dana tersebut secara syari’ah, dengan proporsi pembagian antara shahib al-mala (deposan) dan mudharib (depositaris). Misalnya 70% untuk deposan dan 30% untuk depositaris (Perwataatamadja & Antonio 1993 : 20-21). Dalam hal ini deposan sebagai pihak ketiga tidak bertanggung jawab atas kemungkinan resiko yang mungkin dialami depositaris, karena ia tidak membiayai langsung dan keseluruhan usaha yang dilakukan oleh depositaris, sebagaimana dalam bentuk investasi.
Adapun investasi mudharabah, bukan sebagai simpanan dari pihak ketiga, tetapi merupakan suatu transaksi dalam bentuk perjanjian antara  pemilik modal dan pengusaha. Di mana pemilik modal bertindak sebagai penyandang seluruh dana yang diperlukan dan pihak pengusaha melakukan pengelolaan dana tersebut dalam menggerakkan suatu usaha. Hal itu sesuai dengan prinsip mudharabah. Menurut Ibn Mufith, yaitu penyerahan harta (dana) tertentu kepada orang yang memperdagangkannya (mengelolanya) sebagai pekerja dengan pembagian keuntungan atas kesepakatan (Ibn Mufith, 1967:378-379) (Lihat juga Ibnu Jinzayi, 1974 : 309). Para imam madzhab juga sepakat mengatakan bahwa dalam mudharabah kedudukan amil (pekerja) adalah sebagai wakil dari shahib al-mala dan berposisi sebagai pemegang titipan terhadap barang  yang ada di tangannya.  Untuk ia harus mengelolanya sesuai dengan izin pemiliknya. (Zuhalli, 4, 1989:854).
Dalam investasi mudhrabah, hasil usaha bersama antara shahib al-mal dan ‘amil dibagi sesuai dengan “nisbah”  yang telah disepakati sewaktu mengadakan perjanjian.  Selama kerugian yang mungkin dialami dalam suatu mudharabah bukan disebabkan penyelewangan dari kesepakatan, tetapi betul-betul resiko dari suatu usaha, maka ‘amil tidak bertanggung jawab atas kerugian itu dan ‘amil hanya akan kerugian tenaga dan managerial sekaligus akan kehilangan nisbah keuntungan yang telah disepakati. Dengan kata lain, kerugian menjadi tanggung jawab shahib al-mal dan ia tidak berkewajiban membayar upah kerja si ‘amil.
Dengan demikian jelaslah perbedaan deposito mudharabah sebagai simpanan yang tidak memiliki resiko kerugian atau kehilangan modal dengan investasi mudharabah, dimana shahib al-mal menanggung resiko kerugian jika usaha yang dijalankan si ‘amil tidak berhasil. Dari hal itu timbul pertanyaan “bagaimana pandangan fuqaha tentang hukum percampuran deposito dan investasi”?  Dalam makalah ini dengan segala keterbatasannya mengungkapkan masalah tersebut dari perspektif fiqh Islam. Mengingat deposito dan investasi berada dalam ruang lingkup mudharabah, maka pembahasan berikutnya dilakukan pada permasalahan mudharabah.
Deposito Syari’ah
Investasi Deposito Syariah Setelah mempelajari sedikit tentang investasi emas dan pergerakannya, sekarang saya lagi ingin tahu tentang investasi yang lainnya yaitu Deposito Syariah. Hm..apa sih sebenarnya deposito syariah itu? Tetapi sebelum sampai sana, lebih baik kita cari tahu apa itu bank syariah terlebih dahulu. Bank syariah adalah bank yang menjalankan bisnis perbankan dengan menganut sistem syariah yang berbasis hukum Islam. Inti sitem syariah ini sebenarnya adalah menghindarkan dari riba, karena di Islam semua bentuk riba itu adalah haram.

 Bank syariah tidak menerapkan sistem bunga tetapi menerapkan sistem bagi hasil. Perhitungan bagi hasil didasarkan pada mufakat pihak bank bersama nasabah yang menginvestasikan dananya di bank syariah. Besarnya hak nasabah terhadap banknya dalam perhitungan bagi hasil tersebut, di tetapkan dengan sebuah angka ratio atau besaran bagian yang disebut Nisbah. Lalu apa itu

 Deposito Syariah? Well, menurut BI dalam kodifikasi produk perbankan syariah disebutkan bahwa deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah dengan bank dengan sistem akad yang disebut mudharabah.

 Lalu apa itu mudharabah? Mudharabah adalah akad transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Jadi misalnya Anda memiliki deposito di bank syariah sebesar Rp 10 juta dengan Nisbah bagi hasil Nasabah : bank = 70 : 30, dan jangka waktu deposito 1 bulan. Maka pada akhir jangka waktu simpanan, bank akan membagi keuntungannya sesuai nisbah dimana 70% didapatkan nasabah dan 30% didapatkan oleh bank.

Dengan demikian bisa di lihat sistem bagi hasil ini lebih adil karena jika 70:30 ini merupakan prosentase dari keuntungan dana kelolaan bank, maka ketika keuntungan bank kecil, maka kecil pula bagi hasil untuk nasabah, dan ketika keuntungan bank naik maka naik pula bagi hasil untuk nasabah. Hm..lalu gimana tingkat keamanan dan tingkat besaran hasil nisbah dari Deposito syariah itu? Tingkat Keamanan. Tingkat Keamanan di sini maksudnya apakah dana kita di bank tersebut aman atau tidak. Well, saat ini semua simpanan masyarakat di perbankan syariah dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) . Dengan demikian tabungan sampai 2 Milyar akan aman disimpan di Bank syariah sebagaimana disimpan di bank konvensional lainnya Tingkat Hasil Bagi. Tingkat hasil bagi disini maksudnya adalah banyaknya yang didapat hasil dari nisbah setelah habis jangka waktu deposito tersebut.

Berdasarkan data publikasi Bank Indonesia (BI) per Maret 2008, rata-rata realisasi bagi hasil perbankan syariah sebesar 7,38 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan bunga deposito dua bank umum konvensional. Data publikasi BI menyebutkan, realisasi bagi hasil deposito perbankan syariah pada Januari lalu tercatat sebesar 7,49 persen. Sedangkan, realisasi bagi hasil deposito Februari dan Maret lalu masing-masing sebesar 7,5 dan 7,14 persen. Dibandingkan bank umum konvensional, baik bank umum pemerintah, deposito berjangka waktu satu hingga 24 bulan hanya mencatat kisaran 5,25 hingga 6,25 persen. Sementara, suku bunga deposito di salah satu bank swasta besar di Indonesia berjangka waktu satu hingga 12 bulan berada pada kisaran 5,5 hingga 6,5 persen. Dengan demikian deposito di bank syariah sudah dapat bersaing bahkan lebih menguntungkan dibandingkan bank konvensional berdasarkan dari data tersebut. Wew, ternyata gambaran deposito syariah itu seperti itu ya. .

Perbeaan antara Deposito dengan Investasi
1.      Deposito mudharabah sebagai tabungan pihak ketiga yang bertindak sebagai shahib al-mal dan pihak Bank Islam sebagai mudharib. Dalam hal ini deposan (penyimpan) tidak harus mengadakan perjanjian dengan pihak Bank untuk mengeluarkan dana suatu proyek misalnya. Deposan hanya menyimpan tanap mengetahui kemana dana itu dipergunakan oleh pihak Bank.  Sedangkan dalam investasi berbentuk perjanjian antara shahib al-mal dengan ‘amil dan dalam hal ini keseluruhan dana milik shahib al-mal.
2.      Dalam deposito, deposan menyimpan uang dalam bentuk berbagai keuntungan, tanpa harus tahu apakah pihak beruntung atau merugi. Hal itu terbukti dari adanya jatuh tempo pengambilan kembali simpanan dan keuntungan, sedangkan dalam investasi pembagian keuntungan tidak dikaitkan dengan jangka waktu tetapi dari hasil akhir antara pertimbangan modal dan keadaan.
Secara yuridis antara deposito dan investasi berada pada suatu tatan hukum, sama-sama dalam bentuk berbagi hasil dalam konsep mudharabah yang dibolehkan dalam syari’at Islam. Ibn Quddman mengatakan bahwa hukum mudharabah sama dengan hukum Asyirkah al-iman (Ibn Quddaman, 5, 1992 : 129). Al-Zuhaili mengatakan bahwa para imam madzhab sepakat dalam kebolehan mudharabah, berdasarkan petunjuk Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Al Zuhaili menunjuk Alqur’an Surat Al Muzammil ayat 20, Surat Al Jum’at ayat 10 dan Surat Al-Baqarah ayat 198. Ayat-ayat ini dengan keumumannya, kata Al Zuhaili berisikan kebebasan berbuat dalam harta benda dengan mudharabah. Al Zuhaili juga mengutip riwayat Ibn Abbas tentang Saidina Abbas Ibn Abd Muthalib, jika ia memberikan dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak yang berparu-paru basah. Jika mudharabah menyalahi persyaratan itu, maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Hal itu telah disampaikannya kepada Rasulullah SAW bersabda : ada tiga hal di dalamnya terhadap keberkahan, menjual dengan bayaran secara angsuran (mudharabah) dan mencampurkan gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual (Zuhaili, 4, 1989 : 858).
Ibn Qaddamah selain mengutip surat Al Muzammil ayat 20, juga mengutip riwayat Ibn Khattab pernah memberikan harga anak yatim di Iraq kepada seseorang untuk dijadikan mudharabah. Riwayat lain juga menyebutkan bahwa Abdullah dan Ubaidillah putera Umar Ibn Khattab dalam suatu perjalanan pulang ke Madina mendapat titipan uang dari Abu Musa Al Asy’ari untuk disampaikan kepada Umar. Uang itu mereka gunakan untuk membeli barang dagangan dan sesampainya di Madina mereka jual dan beruntung penjualan diserahkan keseluruhannya. Tetapi kedua puteranya menolak dan berkata : sekiranya barang-barang itu rusak, akan menjadi tanggung jawab kami,  lalu mengapa keuntungannya bukan untuk kami ? Seorang laki-laki lain berkata : Wahai Amir al-mukminin, bagaimana kalau engkau jadikan hal itu sebagai qiradh ? Umar berkata : Sesungguhnya hal itu akan jadikan sebagai qiradh dan bagi mereka berdua separuh dari keuntungannya. (Ibn Quddamah, 5, 1992 : 130).
 Penutup
Dengan mempelajari berbagai ungkapan dan pendapat di atas dapat dipahami bahwa tabungan deposito mudharabah meruapakan bagian dari mudharabah itu sendiri yang meruapakan kerjasama antara deposan dengan Bank sebagai dharib. Selama keuntungan yang diterima oleh deposan meruapakan hasil dari apa yang dikerjakan oleh ‘amil (Bank) sesuai dengan prinsip mudharabah, dianggap sebagai sesuatu yang halal. Demikian juga halnya dengan investasi mudharabah yang dilakukan atas kesepakatan rabal-mal dengan mudharib dapat dibenarkan dalam pandangan syara’. Nampaknya antara deposito dan investasi hanya berbeda pada bentuk dan pembagian keuntungan, bukan pada persyaratan pokok tentang mudharabah itu sendiri.
 DAFTAR KEPUSTAKAAN 
Al Bahuti, Manshur Ibn Yusuf Ibn Idris, Kassyaf al-qina ‘al Mata al-Iqma , juz 3 Ta’liq Hilal Mushailihi Musthafa Hilal, Dar al-Fikr, Beirut, 1962
A, Firnathi, Muhammad Ibn Ahmad Ibn Juzai (Al Maliki) Qawarin al Ahkam al Syariah wa masail al-Fiqhiah, Dar al ilm  Lilmalayin, Beirut 1974
Al Jaziri, Abdularrahman, Kitab al fiqh ‘ala Madzaib al-arba’ah, juz 2, Dar al Fikr, Beirut, 1962
Al Zuhaili, Wahbah, Al Fiqh al-Islami wa Adilatih, juz 4  Dar al fikr, Beirut 1984
Anwari, Ahmad, Praktek Perbankan di Indonesi , (Depositor berjangka) , Balai Aksara, Cet II, Jakarta, 1963
Echols John M dan Hasan Shdily, Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Cet XIII, Jakarta, 1964
Ibn  Muuflih, Abi Abdilah Muhammad, Kitab al-furu juz 4 ‘alim al-kutub, Mesir 1967
Ibn quddamah, Abi Muhammad Abdullah Ibn Ahmad, Al Mughni wa al-Syarh al-Kahir juz 5, Dar al-Fikr, Beirut, 1992
Purwataatmadja, Karnaen Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bakti Wakaf, Cet II, Yogyakarta, 1993
Qulyubi dan ‘Umairah, Hasylata ‘ala Syarh Minhaj al-Thalibin, (Al Nawawi, Dar al-Ahya al-Kutub al-Arabiah, Mesir tt
Saqib Sayid, Fiqh al-Sunnag, Juz 3, Dar al-Fikr, Beirut, 1983
JAKARTA  12/5/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman