Muqaddimah
Deposito di bank konvensional jelas
diharamkan di dalam
syariat Islam, karena secara praktek menggunakan sistem riba yang diharamkan
di semua agama. Namun memang sangat disayangkan sekali melihat kenyataan
bahwa masih terlalu banyak umat Islam yang tidak mengerti hukumnya. Keharaman
sistem bunga baik dalam tabungan atau deposito pada bank konvensional sudah
sering kami tampilkan dalam forum ini, sehingga silahkan Anda cari topik yang
berkaitan dengan mengapa diharamkan dan apa dalil-dalilnya.
Alternatif
yang bisa dilakukan adalah mendepositokan harta Anda pada bank-bank syariah
yang kini sudah cukup banyak menjamur dimana-mana. Inilah bank yang
menjalankan sistem bagi hasil sesuai dengan sistem Islam yang jelas lebih
cocok dan pas buat kita semua. Anehnya, di beberapa negara maju seperti
Eropa, justru ada trend baru dimana mereka mendirikan bank dengan sistem
syariah ini, padahal mereka bukan muslim. Baik pemilik bank, karyawan hingga
para nasabahnya adalah orang-orang kafir.
Alasan
utama mereka bukan masalah fanatisme agama, karena umumnya mereka bukan
beragama Islam, tapi karena secara empiris terbukti bahwa sistem syariah ini
menguntungkan kedua belah pihak dan tidak ada yang dizalimi. Kalau kita
sebagai pewaris syah dari syariat Islam justru merasa tidak bisa hidup tanpa
sistem kapitalis yang ribawi, maka pasti ada yang salah dalam konsep berpikir
kita sendiri. Kalau dulu alasannya karena tidak ada bank Islam, tapi dengan
menjamurnya bank-bank syariah, alasan apa lagi yang ingin dikemukakan.
Pengertian
Deposito
Secara umum istlah deposito adalah sebuah
nama yang diberikan pada simpanan deposan di Bank yang lazim dilekatkan pada
persyaratan jangka waktu penyimpanan. Dalam sistim perbankan Islam deposito
disebut tabungan mudharabah, merupakan simpanan pihak ketiga (perorangan atau
badan hukum) yang penarikannya pada waktu jatuh tempo dengan mendapatkan
imbalan bagi hasil (Perwaatmadja, Antonio, 1993 : 20 ). Sedangkan investasi,
berarti menanam, menginvestasikan uang atau capital. (Echols Shadily, 1984 :
330). Dalam praktek investasi mudharabah adalah transaksi yang dilakukan
shahib al-mal sebagai penyandang dana dengan ‘amil sebagai pengelola dengan
nisbah penghasilan yang disepakati ‘amil dalam mengelola dana yang
diinvestasikan shahib al-mal terikat dengan hak dan kewajiban. Diantara hak
‘amil ialah uang belanja dari mudharabah (Zuhalli, 1989 : 864).
Kemudian ‘amil mendapat keuntungan dari
mudharabahnya, Jika dalam mudharabah itu mengalami keuntungan. ‘Amil tidak
mendapatkan apa-apa dari mudharabahnya, jika tidak mendapat keuntungan,
karena ia bekerja untuk dirinya, maka tidak berhak untuk mendapat upah.
(Zuhalli, 4, 1980 : 867).
Konsekuensi dari hal itu, dalam suatu
mudharabah ‘amil tidak bertanggung jawab atas kerugian yang mungkin terjadi
di dalam kegiatan mudharabahnya, selama kerugian itu akibat dari kerugian
bisnis itu sendiri, bukan akibat penyelewengan yang keluar dari kesepakatan.
Untuk itu ‘amil juga mempunyai kewajiban, antara lain tidak boleh melakukan
tindakan mudharabah (jual beli) tanap seizin rabb al-mal. Jika ia melak
|
Deposito
mudharabah diartikan sebagai suatu bentuk simpanan kepada Bank Islam sebagai
mudharib berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan kesepakatan yang telah
disetujui dan penarikannya dapat dilakukan pada setiap saat atau beberapa kali
sesuai dengan perjanjian. Berbeda halnya
dengan apa yang dikenal pada Bank Konvensional, di mana deposito dianggap
sebagai simpanan para deposan yang mempunyai kelebiahn uang yang tidak
dikonsumtif atau tidak dipergunakan kepada Bank dengan perhitungan bungan
tertentu. Lama masa penyimpanan ditentukan waktunya dan tinggi rendahnya bunga
ditentukan oleh jangka waktu penyimpanan, makin lama waktu yang diinginkan
semakin tinggi pula bunganya.
Pada
dasarnya deposito yang dikenal dalam sistem perbankan Islam adalah tabungan
mudharabah yang penarikannya dapat dilakukan dalam waktu tertentu sesuai
kesepakatan dengan mendapatkan imbalan
bagi hasil dalam bentuk pembagian pendapatan atas penggunaan dana
tersebut secara syari’ah, dengan proporsi pembagian antara shahib al-mala
(deposan) dan mudharib (depositaris). Misalnya 70% untuk deposan dan 30% untuk
depositaris (Perwataatamadja & Antonio 1993 : 20-21). Dalam hal ini deposan
sebagai pihak ketiga tidak bertanggung jawab atas kemungkinan resiko yang
mungkin dialami depositaris, karena ia tidak membiayai langsung dan keseluruhan
usaha yang dilakukan oleh depositaris, sebagaimana dalam bentuk investasi.
Adapun
investasi mudharabah, bukan sebagai simpanan dari pihak ketiga, tetapi
merupakan suatu transaksi dalam bentuk perjanjian antara pemilik modal dan pengusaha. Di mana pemilik
modal bertindak sebagai penyandang seluruh dana yang diperlukan dan pihak
pengusaha melakukan pengelolaan dana tersebut dalam menggerakkan suatu usaha.
Hal itu sesuai dengan prinsip mudharabah. Menurut Ibn Mufith, yaitu penyerahan
harta (dana) tertentu kepada orang yang memperdagangkannya (mengelolanya)
sebagai pekerja dengan pembagian keuntungan atas kesepakatan (Ibn Mufith,
1967:378-379) (Lihat juga Ibnu Jinzayi, 1974 : 309). Para imam madzhab juga
sepakat mengatakan bahwa dalam mudharabah kedudukan amil (pekerja) adalah
sebagai wakil dari shahib al-mala dan berposisi sebagai pemegang titipan
terhadap barang yang ada di
tangannya. Untuk ia harus mengelolanya
sesuai dengan izin pemiliknya. (Zuhalli, 4, 1989:854).
Dalam
investasi mudhrabah, hasil usaha bersama antara shahib al-mal dan ‘amil dibagi
sesuai dengan “nisbah” yang telah
disepakati sewaktu mengadakan perjanjian.
Selama kerugian yang mungkin dialami dalam suatu mudharabah bukan
disebabkan penyelewangan dari kesepakatan, tetapi betul-betul resiko dari suatu
usaha, maka ‘amil tidak bertanggung jawab atas kerugian itu dan ‘amil hanya
akan kerugian tenaga dan managerial sekaligus akan kehilangan nisbah keuntungan
yang telah disepakati. Dengan kata lain, kerugian menjadi tanggung jawab shahib
al-mal dan ia tidak berkewajiban membayar upah kerja si ‘amil.
Dengan
demikian jelaslah perbedaan deposito mudharabah sebagai simpanan yang tidak
memiliki resiko kerugian atau kehilangan modal dengan investasi mudharabah,
dimana shahib al-mal menanggung resiko kerugian jika usaha yang dijalankan si
‘amil tidak berhasil. Dari hal itu timbul pertanyaan “bagaimana pandangan
fuqaha tentang hukum percampuran deposito dan investasi”? Dalam makalah ini dengan segala
keterbatasannya mengungkapkan masalah tersebut dari perspektif fiqh Islam.
Mengingat deposito dan investasi berada dalam ruang lingkup mudharabah, maka
pembahasan berikutnya dilakukan pada permasalahan mudharabah.
Deposito
Syari’ah
Investasi Deposito Syariah Setelah
mempelajari sedikit tentang investasi emas dan pergerakannya, sekarang saya
lagi ingin tahu tentang investasi yang lainnya yaitu Deposito Syariah. Hm..apa
sih sebenarnya deposito syariah itu? Tetapi sebelum sampai sana, lebih baik
kita cari tahu apa itu bank syariah terlebih dahulu. Bank syariah adalah bank
yang menjalankan bisnis perbankan dengan menganut sistem syariah yang berbasis
hukum Islam. Inti sitem syariah ini sebenarnya adalah menghindarkan dari riba,
karena di Islam semua bentuk riba itu adalah haram.
Bank syariah tidak menerapkan sistem bunga
tetapi menerapkan sistem bagi hasil. Perhitungan bagi hasil didasarkan pada
mufakat pihak bank bersama nasabah yang menginvestasikan dananya di bank
syariah. Besarnya hak nasabah terhadap banknya dalam perhitungan bagi hasil
tersebut, di tetapkan dengan sebuah angka ratio atau besaran bagian yang
disebut Nisbah. Lalu apa itu
Deposito Syariah? Well, menurut BI dalam
kodifikasi produk perbankan syariah disebutkan bahwa deposito adalah simpanan
yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan
perjanjian antara nasabah dengan bank dengan sistem akad yang disebut
mudharabah.
Lalu apa itu mudharabah? Mudharabah adalah
akad transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada
pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai
syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah
yang telah disepakati sebelumnya. Jadi misalnya Anda memiliki deposito di bank
syariah sebesar Rp 10 juta dengan Nisbah bagi hasil Nasabah : bank = 70 : 30,
dan jangka waktu deposito 1 bulan. Maka pada akhir jangka waktu simpanan, bank
akan membagi keuntungannya sesuai nisbah dimana 70% didapatkan nasabah dan 30%
didapatkan oleh bank.
Dengan demikian bisa di lihat sistem
bagi hasil ini lebih adil karena jika 70:30 ini merupakan prosentase dari
keuntungan dana kelolaan bank, maka ketika keuntungan bank kecil, maka kecil
pula bagi hasil untuk nasabah, dan ketika keuntungan bank naik maka naik pula
bagi hasil untuk nasabah. Hm..lalu gimana tingkat keamanan dan tingkat besaran
hasil nisbah dari Deposito syariah itu? Tingkat Keamanan. Tingkat Keamanan di sini
maksudnya apakah dana kita di bank tersebut aman atau tidak. Well, saat ini
semua simpanan masyarakat di perbankan syariah dijamin oleh Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) . Dengan demikian tabungan sampai 2 Milyar akan aman disimpan di
Bank syariah sebagaimana disimpan di bank konvensional lainnya Tingkat Hasil
Bagi. Tingkat hasil bagi disini maksudnya adalah banyaknya yang didapat hasil
dari nisbah setelah habis jangka waktu deposito tersebut.
Berdasarkan data publikasi Bank
Indonesia (BI) per Maret 2008, rata-rata realisasi bagi hasil perbankan syariah
sebesar 7,38 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan bunga deposito
dua bank umum konvensional. Data publikasi BI menyebutkan, realisasi bagi hasil
deposito perbankan syariah pada Januari lalu tercatat sebesar 7,49 persen.
Sedangkan, realisasi bagi hasil deposito Februari dan Maret lalu masing-masing
sebesar 7,5 dan 7,14 persen. Dibandingkan bank umum konvensional, baik bank
umum pemerintah, deposito berjangka waktu satu hingga 24 bulan hanya mencatat
kisaran 5,25 hingga 6,25 persen. Sementara, suku bunga deposito di salah satu
bank swasta besar di Indonesia berjangka waktu satu hingga 12 bulan berada pada
kisaran 5,5 hingga 6,5 persen. Dengan demikian deposito di bank syariah sudah
dapat bersaing bahkan lebih menguntungkan dibandingkan bank konvensional
berdasarkan dari data tersebut. Wew, ternyata gambaran deposito syariah itu
seperti itu ya. .
Perbeaan
antara Deposito dengan Investasi
1.
Deposito mudharabah sebagai tabungan pihak ketiga yang bertindak sebagai shahib
al-mal dan pihak Bank Islam sebagai mudharib. Dalam hal ini deposan (penyimpan)
tidak harus mengadakan perjanjian dengan pihak Bank untuk mengeluarkan dana
suatu proyek misalnya. Deposan hanya menyimpan tanap mengetahui kemana dana itu
dipergunakan oleh pihak Bank. Sedangkan
dalam investasi berbentuk perjanjian antara shahib al-mal dengan ‘amil dan
dalam hal ini keseluruhan dana milik shahib al-mal.
2.
Dalam deposito, deposan menyimpan uang dalam bentuk berbagai keuntungan, tanpa
harus tahu apakah pihak beruntung atau merugi. Hal itu terbukti dari adanya
jatuh tempo pengambilan kembali simpanan dan keuntungan, sedangkan dalam
investasi pembagian keuntungan tidak dikaitkan dengan jangka waktu tetapi dari
hasil akhir antara pertimbangan modal dan keadaan.
Secara yuridis antara deposito dan investasi
berada pada suatu tatan hukum, sama-sama dalam bentuk berbagi hasil dalam
konsep mudharabah yang dibolehkan dalam syari’at Islam. Ibn Quddman mengatakan
bahwa hukum mudharabah sama dengan hukum Asyirkah al-iman (Ibn Quddaman, 5,
1992 : 129). Al-Zuhaili mengatakan bahwa para imam madzhab sepakat dalam
kebolehan mudharabah, berdasarkan petunjuk Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Al Zuhaili menunjuk Alqur’an Surat Al Muzammil ayat 20, Surat Al Jum’at ayat 10
dan Surat Al-Baqarah ayat 198. Ayat-ayat ini dengan keumumannya, kata Al
Zuhaili berisikan kebebasan berbuat dalam harta benda dengan mudharabah. Al
Zuhaili juga mengutip riwayat Ibn Abbas tentang Saidina Abbas Ibn Abd Muthalib,
jika ia memberikan dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang
berbahaya atau membeli ternak yang berparu-paru basah. Jika mudharabah
menyalahi persyaratan itu, maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana
tersebut. Hal itu telah disampaikannya kepada Rasulullah SAW bersabda : ada
tiga hal di dalamnya terhadap keberkahan, menjual dengan bayaran secara
angsuran (mudharabah) dan mencampurkan gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah tangga, bukan untuk dijual (Zuhaili, 4, 1989 : 858).
Ibn
Qaddamah selain mengutip surat Al Muzammil ayat 20, juga mengutip riwayat Ibn
Khattab pernah memberikan harga anak yatim di Iraq kepada seseorang untuk
dijadikan mudharabah. Riwayat lain juga menyebutkan bahwa Abdullah dan
Ubaidillah putera Umar Ibn Khattab dalam suatu perjalanan pulang ke Madina
mendapat titipan uang dari Abu Musa Al Asy’ari untuk disampaikan kepada Umar.
Uang itu mereka gunakan untuk membeli barang dagangan dan sesampainya di Madina
mereka jual dan beruntung penjualan diserahkan keseluruhannya. Tetapi kedua
puteranya menolak dan berkata : sekiranya barang-barang itu rusak, akan menjadi
tanggung jawab kami, lalu mengapa
keuntungannya bukan untuk kami ? Seorang laki-laki lain berkata : Wahai Amir
al-mukminin, bagaimana kalau engkau jadikan hal itu sebagai qiradh ? Umar
berkata : Sesungguhnya hal itu akan jadikan sebagai qiradh dan bagi mereka
berdua separuh dari keuntungannya. (Ibn Quddamah, 5, 1992 : 130).
Penutup
Dengan
mempelajari berbagai ungkapan dan pendapat di atas dapat dipahami bahwa
tabungan deposito mudharabah meruapakan bagian dari mudharabah itu sendiri yang
meruapakan kerjasama antara deposan dengan Bank sebagai dharib. Selama
keuntungan yang diterima oleh deposan meruapakan hasil dari apa yang dikerjakan
oleh ‘amil (Bank) sesuai dengan prinsip mudharabah, dianggap sebagai sesuatu
yang halal. Demikian juga halnya dengan investasi mudharabah yang dilakukan
atas kesepakatan rabal-mal dengan mudharib dapat dibenarkan dalam pandangan
syara’. Nampaknya antara deposito dan investasi hanya berbeda pada bentuk dan
pembagian keuntungan, bukan pada persyaratan pokok tentang mudharabah itu
sendiri.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al Bahuti,
Manshur Ibn Yusuf Ibn Idris, Kassyaf al-qina ‘al Mata al-Iqma , juz 3 Ta’liq
Hilal Mushailihi Musthafa Hilal, Dar al-Fikr, Beirut, 1962
A, Firnathi,
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Juzai (Al Maliki) Qawarin al Ahkam al Syariah wa masail
al-Fiqhiah, Dar al ilm Lilmalayin,
Beirut 1974
Al Jaziri,
Abdularrahman, Kitab al fiqh ‘ala Madzaib al-arba’ah, juz 2, Dar al Fikr,
Beirut, 1962
Al Zuhaili,
Wahbah, Al Fiqh al-Islami wa Adilatih, juz 4
Dar al fikr, Beirut 1984
Anwari, Ahmad,
Praktek Perbankan di Indonesi , (Depositor berjangka) , Balai Aksara, Cet II,
Jakarta, 1963
Echols John M dan
Hasan Shdily, Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Cet XIII, Jakarta, 1964
Ibn Muuflih, Abi Abdilah Muhammad, Kitab al-furu
juz 4 ‘alim al-kutub, Mesir 1967
Ibn quddamah, Abi
Muhammad Abdullah Ibn Ahmad, Al Mughni wa al-Syarh al-Kahir juz 5, Dar al-Fikr,
Beirut, 1992
Purwataatmadja,
Karnaen Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bakti
Wakaf, Cet II, Yogyakarta, 1993
Qulyubi dan
‘Umairah, Hasylata ‘ala Syarh Minhaj al-Thalibin, (Al Nawawi, Dar al-Ahya
al-Kutub al-Arabiah, Mesir tt
Saqib Sayid, Fiqh
al-Sunnag, Juz 3, Dar al-Fikr, Beirut, 1983
JAKARTA 12/5/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar