Antara
Aqidah Islam dan Doktrin Kristen
Dalam Islam, Isa Almasih Alaihissalam diyakini sebagai salah
seorang rasul dan bukan Tuhan. Ia diutus oleh Allah Subhaanahu Wata’ala kepada
Bani Israil (Yahudi dan Kristen). Ia wajib diimani oleh setiap muslim dan tidak
mendikotomikannya dari rasul yang lain, sebagaimana dalam firman-Nya, artinya,
“Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para rasul-Nya.” (QS. al-Baqarah: 285).
Ia juga diyakini telah naik atau diangkat oleh Allah Subhaanahu Wata’ala ke sisi-Nya. Keyakinan naiknya Almasih dalam Islam ini, ternyata jauh berbeda dengan konsep naiknya beliau dalam doktrin Kristen.
“Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para rasul-Nya.” (QS. al-Baqarah: 285).
Ia juga diyakini telah naik atau diangkat oleh Allah Subhaanahu Wata’ala ke sisi-Nya. Keyakinan naiknya Almasih dalam Islam ini, ternyata jauh berbeda dengan konsep naiknya beliau dalam doktrin Kristen.
Doktrin Kristen tentang Kenaikan
Almasih
Keyakinan naiknya Almasih ke surga atau ke sisi Allah dalam
doktrin Kristen, sangat terkait dengan klaim wafatnya beliau di tiang salib.
Jika orang-orang Yahudi mengklaim bahwa mereka telah berhasil membunuh dan
menyalibnya atas berbagai tuduhan, maka orang-orang Kristen meyakini wafatnya
di tiang tersebut semata-mata untuk menebus dosa turunan Adam Alaihissalam.
Beliau diyakini wafat pada hari Jumat dan dikuburkan pada malam Sabtu, dan
masih berada di dalam kuburnya hingga malam Ahad.
Konon kabarnya, dua hari setelah ia mati disalib, yaitu pada pagi hari Ahad, ia bangkit dan keluar dari kuburnya dan akhirnya bertemu dengan para pengikutnya di daerah al-Jalil, di Palestina. Setelah empat puluh hari berada di tengah-tengah mereka—pasca penyaliban, beliau pun naik ke langit.
Konon kabarnya, dua hari setelah ia mati disalib, yaitu pada pagi hari Ahad, ia bangkit dan keluar dari kuburnya dan akhirnya bertemu dengan para pengikutnya di daerah al-Jalil, di Palestina. Setelah empat puluh hari berada di tengah-tengah mereka—pasca penyaliban, beliau pun naik ke langit.
Akidah Islam tentang Naiknya Almasih
Sangat berbeda dengan keyakinan Kristen, dalam Islam beliau
diyakini tidak mati disalib. Ia telah diselamatkan oleh Allah Azza Wajalla dari
konspirasi orang-orang yahudi. Beliau lolos dari penyaliban setelah Allah Azza
Wajalla menyerupakannya dengan seseorang. Pada akhirnya, orang yang serupa
dengan Almasih itulah yang disalib.
Setelah Allah Subhaanahu Wata’ala membantah klaim orang-orang Yahudi, “Kami telah membunuh Isa Almasih”, Allah menjelaskan peristiwa yang sebenarnya, yaitu, “Mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, akan tetapi ia telah diserupakan (dengan seseorang) untuk mereka.” Lalu Allah pertegas posisi Almasih setelah selamat dari upaya pembunuhan tersebut.
“Bahkan Allah telah mengangkatnya ke sisi-Nya, dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Lihat QS. an-Nisa: 157-158).
Jumhur ulama Islam memandang bahwa beliau saat itu diangkat dengan ruh dan jasadnya dalam keadaan masih hidup, dan akan terus seperti itu sampai Allah menurunkannya kembali di akhir zaman sebagai salah satu tanda semakin dekatnya hari kiamat. Keyakinan ini, didukung dengan beberapa argumen dan fakta, antara lain:
Pertama; Allah menyebutkan peristiwa diangkatnya Almasih ke sisi Allah dalam konteks bantahan terhadap klaim orang-orang Yahudi bahwa mereka telah berhasil membunuhnya. Sekiranya ia diangkat hanya dengan ruhnya saja tanpa jasad dalam keadaan telah wafat, maka bantahan Allah terhadap mereka sama sekali tidak memiliki arti apa-apa, sebab semua orang yang telah wafat, baik secara normal maupun yang mati disalib, semuanya terangkat rohnya ke langit.
Kedua; Allah menyinggungkan kasus diangkatnya ke sisi Allah dalam surat Ali Imran ayat: 55 dalam konteks penyebutan keistimewaan-keistimewaannya. Sekiranya ia diangkat hanya dengan ruhnya, maka hal itu bukan sesuatu yang istimewa, karena semua manusia baik nabi maupun manusia lainnya juga mengalami hal yang sama.
Agumentasi ini diperkuat oleh fakta yang disebutkan oleh Allah dalam firmannya:
“Dan tidak ada seorang pun di antara Ahlul Kitab, kecuali pasti ia akan beriman kepadanya (Isa) sebelum wafatnya, dan pada hari Kiamat dia (Isa) akan menjadi saksi atas mereka.” (QS. An Nisa:159)
Ayat ini sangat transparan menjelaskan bahwa beliau tidak akan wafat sebelum Ahlul Kitab seluruhnya beriman kepadanya, padahal sejarah—baik klasik maupun kontemporer—telah mencatat bahwa tidak semua mereka beriman kepadanya, bahkan mayoritas mengingkarinya. Secara faktual, Ahlul Kitab yang beriman kepada Isa Almasih saat berdakwah di tengah mereka sangat sedikit, sebagian ahli sejarah menyebutkan hanya sebelas atau dua orang saja, yaitu; mereka yang dikenal dengan istilah kaum hawariyyiin. Sementara ayat tersebut telah menegaskan bahwa ia tidak akan wafat sebelum semua Ahlul Kitab beriman kepadanya. Fakta ini menunjukkan bahwa tugas Almasih belum sempurna, tetapi kelak ia akan menyempurnakannya sebelum ia wafat.
Fakta lain yang mendukung bahwa beliau belum wafat, dan hanya diangkat oleh Allah adalah bahwa beliau akan berkomunikasi dengan umat manusia saat usianya telah senja, Allah berfirman, artinya, “Dan dia berbicara dengan manusia (sewaktu) dalam buaian dan saat usia senja, dan dia termasuk di antara orang-orang shaleh.” (QS. Ali Imran: 46).
Sebenarnya, kemampuan seseorang berkomunikasi pada usia senja, yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan fase kahl atau kuhulah, yaitu umur yang telah lewat empat puluh tahun ke atas, bukanlah sesuatu yang istimewa, tapi mengapa Allah menyebutkannya dalam konteks keistimewaan dan memaralelkannya dengan kemampuannya berbicara saat masih bayi? Hal tersebut dapat terjawab dengan memahami fakta perjalanan hidupnya, yaitu; beliau diangkat oleh Allah ke sisi-Nya saat usianya baru berkisar 33 tahun.
Dan pada saat kembali ke permukaan bumi ini di akhir zaman, ia akan hidup selama 40 tahun, maka apabila usia 33 tahun dikalkulasi dengan 40 tahun, hasilnya menjadi 73 tahun, yaitu usia yang benar-benar tepat dikatakan sebagai fase alkahl atau alkuhulah. Dengan demikian, ayat tersebut mengindikasikan bahwa ia akan melanjutkan perjalanan hidupnya di atas muka bumi ini sebelum akhirnya beliau menemui ajalnya.
Setelah Allah Subhaanahu Wata’ala membantah klaim orang-orang Yahudi, “Kami telah membunuh Isa Almasih”, Allah menjelaskan peristiwa yang sebenarnya, yaitu, “Mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, akan tetapi ia telah diserupakan (dengan seseorang) untuk mereka.” Lalu Allah pertegas posisi Almasih setelah selamat dari upaya pembunuhan tersebut.
“Bahkan Allah telah mengangkatnya ke sisi-Nya, dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Lihat QS. an-Nisa: 157-158).
Jumhur ulama Islam memandang bahwa beliau saat itu diangkat dengan ruh dan jasadnya dalam keadaan masih hidup, dan akan terus seperti itu sampai Allah menurunkannya kembali di akhir zaman sebagai salah satu tanda semakin dekatnya hari kiamat. Keyakinan ini, didukung dengan beberapa argumen dan fakta, antara lain:
Pertama; Allah menyebutkan peristiwa diangkatnya Almasih ke sisi Allah dalam konteks bantahan terhadap klaim orang-orang Yahudi bahwa mereka telah berhasil membunuhnya. Sekiranya ia diangkat hanya dengan ruhnya saja tanpa jasad dalam keadaan telah wafat, maka bantahan Allah terhadap mereka sama sekali tidak memiliki arti apa-apa, sebab semua orang yang telah wafat, baik secara normal maupun yang mati disalib, semuanya terangkat rohnya ke langit.
Kedua; Allah menyinggungkan kasus diangkatnya ke sisi Allah dalam surat Ali Imran ayat: 55 dalam konteks penyebutan keistimewaan-keistimewaannya. Sekiranya ia diangkat hanya dengan ruhnya, maka hal itu bukan sesuatu yang istimewa, karena semua manusia baik nabi maupun manusia lainnya juga mengalami hal yang sama.
Agumentasi ini diperkuat oleh fakta yang disebutkan oleh Allah dalam firmannya:
“Dan tidak ada seorang pun di antara Ahlul Kitab, kecuali pasti ia akan beriman kepadanya (Isa) sebelum wafatnya, dan pada hari Kiamat dia (Isa) akan menjadi saksi atas mereka.” (QS. An Nisa:159)
Ayat ini sangat transparan menjelaskan bahwa beliau tidak akan wafat sebelum Ahlul Kitab seluruhnya beriman kepadanya, padahal sejarah—baik klasik maupun kontemporer—telah mencatat bahwa tidak semua mereka beriman kepadanya, bahkan mayoritas mengingkarinya. Secara faktual, Ahlul Kitab yang beriman kepada Isa Almasih saat berdakwah di tengah mereka sangat sedikit, sebagian ahli sejarah menyebutkan hanya sebelas atau dua orang saja, yaitu; mereka yang dikenal dengan istilah kaum hawariyyiin. Sementara ayat tersebut telah menegaskan bahwa ia tidak akan wafat sebelum semua Ahlul Kitab beriman kepadanya. Fakta ini menunjukkan bahwa tugas Almasih belum sempurna, tetapi kelak ia akan menyempurnakannya sebelum ia wafat.
Fakta lain yang mendukung bahwa beliau belum wafat, dan hanya diangkat oleh Allah adalah bahwa beliau akan berkomunikasi dengan umat manusia saat usianya telah senja, Allah berfirman, artinya, “Dan dia berbicara dengan manusia (sewaktu) dalam buaian dan saat usia senja, dan dia termasuk di antara orang-orang shaleh.” (QS. Ali Imran: 46).
Sebenarnya, kemampuan seseorang berkomunikasi pada usia senja, yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan fase kahl atau kuhulah, yaitu umur yang telah lewat empat puluh tahun ke atas, bukanlah sesuatu yang istimewa, tapi mengapa Allah menyebutkannya dalam konteks keistimewaan dan memaralelkannya dengan kemampuannya berbicara saat masih bayi? Hal tersebut dapat terjawab dengan memahami fakta perjalanan hidupnya, yaitu; beliau diangkat oleh Allah ke sisi-Nya saat usianya baru berkisar 33 tahun.
Dan pada saat kembali ke permukaan bumi ini di akhir zaman, ia akan hidup selama 40 tahun, maka apabila usia 33 tahun dikalkulasi dengan 40 tahun, hasilnya menjadi 73 tahun, yaitu usia yang benar-benar tepat dikatakan sebagai fase alkahl atau alkuhulah. Dengan demikian, ayat tersebut mengindikasikan bahwa ia akan melanjutkan perjalanan hidupnya di atas muka bumi ini sebelum akhirnya beliau menemui ajalnya.
Turunnya Isa Almasih ke Permukaan
Bumi
Perjalanan hidup Isa Almasih belum berakhir dengan
diangkatnya ke sisi Allah, tapi masih akan berlanjut dengan turunnya kembali di
akhir zaman ke permukaan bumi ini untuk menunaikan tugas mulia yang belum
sempat ditunaikannya atau belum sempurna pada priode kehidupannya yang lalu.
Kedatangannya nanti di akhir zaman menjadi salah satu tanda dekatnya hari
kiamat, sebagaimana dalam firman Allah Azza Wajalla, artinya,
“Dan sesungguhnya dia (Isa) benar-benar menjadi pertanda akan datangnya hari kiamat, karena itu maka janganlah engkau ragu tentang hari kiamat tersebut.” (QS.az Zukhruf : 61)
Turunnya kembali Isa putra Maryam juga ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam beberapa sabdanya, antara lain,
"Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh sudah dekat turunnya putra Maryam sebagai pemimpin yang adil. Ia akan menghancurkan salib, membunuh babi dan mengapus jizyah (pajak).” (Muttafaqun alaihi)
“Dan sesungguhnya dia (Isa) benar-benar menjadi pertanda akan datangnya hari kiamat, karena itu maka janganlah engkau ragu tentang hari kiamat tersebut.” (QS.az Zukhruf : 61)
Turunnya kembali Isa putra Maryam juga ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam beberapa sabdanya, antara lain,
"Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh sudah dekat turunnya putra Maryam sebagai pemimpin yang adil. Ia akan menghancurkan salib, membunuh babi dan mengapus jizyah (pajak).” (Muttafaqun alaihi)
Kesimpulan:
Meskipun doktrin orang-orang Kristen
juga meyakini kenaikan Isa Almasih Alaihissalam, tapi keyakinan tersebut sangat
berbeda dengan akidah islamiyah. Dalam Islam, beliau diyakini sebagai sosok
hamba yang dijadikan rasul kepada Bani Israil, lalu diangkat oleh Allah Azza
Wajalla ke sini-Nya dalam keadaan hidup setelah orang-orang Yahudi berusaha
untuk membunuh dan menyalibnya. Ia masih hidup dan tidak akan wafat kecuali
setelah ia turun kembali ke permukaan bumi ini di akhir zaman. Pada saat itu,
semua Ahlul Kitab pasti beriman kepadanya.
Referensi Utama:
-Asyraatus Saa’ah, Dr. Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al-Wabil.
-Az-Zatul Ilahiyah bainal Islam wan Nashraniyah, Dr. Abdus Syakur bin Muhammad Aman al-‘Arusiy.
-Dirasat fil adyaan, al-Yahudiyah wan Nashraniyah, Dr. Su’ud bin Abdul Aziz al-Khalaf.
(Al Fikrah No.12 Tahun XI/22 Jumadil Ula 1431 H)
Referensi Utama:
-Asyraatus Saa’ah, Dr. Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al-Wabil.
-Az-Zatul Ilahiyah bainal Islam wan Nashraniyah, Dr. Abdus Syakur bin Muhammad Aman al-‘Arusiy.
-Dirasat fil adyaan, al-Yahudiyah wan Nashraniyah, Dr. Su’ud bin Abdul Aziz al-Khalaf.
(Al Fikrah No.12 Tahun XI/22 Jumadil Ula 1431 H)
JAKARTA
8/5/201
Tidak ada komentar:
Posting Komentar