IMAM
ABU HANIFAH
(Ulama Yang ‘Alim dan Sholeh)
Nama lengkapnya Abu Hanifah Al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zutha Al-Kufi. Ia lahir pada tahun 80 H/699 M di Anbar, kota yang termasuk bagian dari propinsi Kufah. Ayahnya berasal dari keturunan Persia. Kakeknya, Zutha berasal dari Kabul, Afganistan yang sebelumnya masuk bagian wilayah Persia. Ketika Tsabit masih dalam kandungan, ia dibawa ke Kufah dan menetap di sini hingga Abu Hanifah lahir. Konon ketika Zutha bersama anaknya Tsabit berkunjung kepada Ali ibn Abi Thalib, dengan serta merta kedua orang ini didoakan agar mendapat keturunan yang luhur dan mulia.
Abu Hanifah tumbuh di kota Kufah. Di kota ini ia mulai belajar dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Selain pernah melakukan pengembaraan ke Basrah, Makkah dan Madinah dalam rangka mengembangkan wawasan dan memperluas ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya. Di antara guru-guru yang ditemuinya adalah Hammad ibn Abu Sulaiman Al-Asy’ari (w. 120 H/738 M) faqih kota Kufah, ‘Atha’ ibn Abi Rabah (w. 114 H/732 M) faqih kota Makkah, ‘Ikrimah (w. 104 H/723 M) maula dan pewaris ilmu Abdullah ibn Abbas, Nafi’ (w. 117 H/735 M) maula dan pewaris ilmu Abdullah ibn Umar dan lain-lain. Ia juga belajar kepada ulama Ahlul-Bait seperti Zaid ibn Ali Zainal ‘Abidin (79-122 H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir (57-114 H/676-732 M), Ja’far ibn Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/699-765 M) dan Abdullah ibn Al-Hasan. Ia juga pernah bertemu dengan beberapa orang sahabat seperti Anas ibn Malik (10 SH-93 H/612-712 M), Abdullah ibn Abi Aufa (w. 85 H/704 M) di Kufah, Sahal ibn Sa’ad Al-Sa’idi (8 SH-88 H/614-697 M) di Madinah dan Abu Al-Thufail Amir ibn Watsilah (w. 110 H/729 M) di Makkah.
Akan tetapi dari sekian banyak guru yang paling berpengaruh dalam pembentukan karakter intelektual dan corak mazhab Abu Hanifah adalah Hammad ibn Abi Sulaiman. Ia belajar kepada Hammad selama 18 tahun sampai Hammad wafat. Dan setelah itu ia mengganti kedudukan Hammad mengajar di majlis ilmu fiqih di Kufah dengan gelar imam ahl al-ra’y (Pemimpin ulama ahlu al-ra’y). Dalam hal ini ia berkata: “Aku tidak menunaikan shalat kecuali mendoakan guruku Hammad dan setiap orang yang pernah mengajariku atau belajar kepadaku.”
Karya-karya Abu Hanifah yang sampai kepada kita adalah Kitab Al-Fiqh Al-Akbar, Kitab Al-Fiqh Al-Absath, Kitab Al-Risalah, Kitab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim dan Kitab Al-Washiyyah. Dalam bidang fiqih, Abu Hanifah tidak menulis karangan. Akan tetapi, murid-muridnya telah merekam semua pandangan dan hasil ijtihad Abu Hanifah secara lengkap sehingga menjadi mazhab yang diikuti oleh kaum Muslimin. Di antara murid-muridnya adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn Muhammad Al-Anshari (113-182 H/731-797 M), Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibani (132-189 H/750-805 M), Zufar ibn Al-Hudzail (110-157 H/729-774 M) dan Hasan ibn Ziyad Al-Lu’lu`i (w. 204 H/819 M).
Abu Hanifah diakui sebagai ulama besar dengan keluasan ilmu pengetahuannya dalam segala bidang studi keislaman sehingga ia merupakan imam mujtahid besar (al-imam al-a’zham) yang menjadi panutan kaum Muslimin sepanjang masa. Muhammad ibn Maslamah berkata: “Ilmu agama diturunkan oleh Allah kepada Nabi saw. Kemudian diturunkan kepada para sahabat. Kemudian diturunkan kepada tabi’in. Kemudian diturunkan kepada Abu Hanifah dan murid-muridnya.”[1]
Imam Al-Syafi’i berkata: “Barangsiapa hendak mengetahui ilmu fiqih, maka belajarlah kepada Abu Hanifah dan murid-muridnya. Karena manusia dalam bidang fiqih membutuhkan Abu Hanifah.”
Sufyan ibn ‘Uyainah, salah satu fuqaha Kufah berkata: “Ada dua perkara yang tidak aku sangka akan melampaui jembatan Kufah, qira’ah-nya Hamzah dan pandangan fiqih Abu Hanifah.”
Muthi’ ibn Al-Hakam berkata: “Aku belum pernah melihat seorang ahli hadits yang lebih faqih daripada Sufyan Al-Tsauri. Tetapi Abu Hanifah lebih faqih daripada Sufyan.”
Imam Yazid ibn Harun pernah ditanya: “Siapa menurut Anda yang lebih faqih, Abu Hanifah atau Sufyan?” Ia menjawab: “Sufyan lebih hafal terhadap hadits. Tetapi Abu Hanifah lebih faqih.”[2]
Suatu ketika Al-Syafi’i bertanya kepada gurunya Imam Malik tentang Abu Hanifah, maka ia menjawab: “Menurutku, andaikan ia berbicara kepadamu bahwa tiang ini terbuat dari emas, niscaya ia akan dapat menyampaikan argumentasinya.”
Al-Nazhar ibn Syumail berkata: “Manusia pada mulanya tidur dari ilmu fiqih sehingga Abu Hanifah yang membangunkan mereka.”[3]
Sufyan Al-Tsauri dan Abdullah ibn Al-Mubarak berkata: “Abu Hanifah adalah faqih terbesar di dunia pada masanya.”
Abu Hanifah membangun mazhabnya di atas fondasi Al-Kitab, Al-Sunnah, ijma’, qiyas dan istihsan. Dewasa ini mazhab Hanafi diikuti oleh penduduk Turki dan negara-negara sekitarnya, negera-negara Asia Tengah bekas jajahan Rusia, Pakistan, Afganistan, India, Bangladesh dan sebagian penduduk Afrika dan Timur Tengah.
Dalam hal ini dikutip dalam perkataan Abu Hanifah sendiri sebagai berikut: sesungguhnya saya mengistinbath hukum dari al-qur’an. Bila tidak didapatkan, saya mencarinya dari hadist dan atsar shahih yang diriwayatkan oleh periwayat yang Tsaqiat, apabila masih saja belum saya ketemukan, maka saya mengambil perkataan sahabat yang saya kehendaki, jika semua itu telah saya lakukan, walaupun saya menemukan pendapat Ibrahim Al-Nakha-i Atau Sya’bi Atau Sa’id Ibn Musayyab, maka saya berijtihad sebagaimana mereka berijtihad. (Muhammad Musa, t.t.60).
Dari pernyataan diatas menunjukkan bahwa Abu Hanifah menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dan utama, kemudian al-hadist sebagai sumber hukum kedua, disusul dengan ijma’ shahabat sebagai sumber hukum ketiga. Setelah itu ijtihad dipergunakan sebagai metode untuk menetapkan hukum.
Yang tergolong dalam ijtihadnya AbuHanifah adalah qiyas , istihsan, dan U’ruf . sedangkan hadist yang pergunakan hujjah oleh Abu Hanifah adalah hadist Mutawatir, masyhur , ahad, dan mursal selama diriwayatkan oleh periwayat Stiqat (yang dipentingkan adalah periwayatnya) (Muhammad Musa, t.t; 63). Sedangkan persyaratan lain untuk hadist ahad adalah periwayat hadist ahad tersebut harus mengemalkan isi hadist yang diriwayatkan, apabila tidak mengamalkan, perbuatan periwayat yang dibuat pegangan (Abu Zahrah, 1908: 109). Dan hadist ahad tersebut tidak bertentangan dengan hadist masyhur.
[1] Al-Hafizh Al-Khathib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, juz XIII, hal. 336.
[2] Abdul Mun’im Al-Hasyimi, Al-Imam Abu Hanifah, hal. 68.
[3] Sayid Dawud ibn Sulaiman Al-Baghdadi, Asyadd Al-Jihad fi Ibthal Da’wa Al-IJtihad, hal. 3.
Mengenai keterangan sahabat menurut Abu Hanifah ada dua bentuk, yaitu ketetapan yang berbentuk ijma’ dan dalam bentuk fatwa, ketentuan hukum dalam bentuk ijtima’ mengikat dan dalam bentuk fatwa tidak mengikat. (wahbah al-zuhaili, 1978: 107). Ijma’ masih dapat dilakukan dalam kontek penetapan hukum untuk persoalan-persoalan temporer yang dihadapi para mujtahid, sejauh ulama bisa menyatakan pendapatnya secara bersama, walaupun dengan cara cara ijma’ sukuti.
Sedangkan tentang u’ruf atau tradisi masyarakat, selama tidak bertentangan dengan nash, dan sejalan dengan semangat syari’at dapat diangkat sebagai ketentuan hukum (Abu Zahrah, t.t: 162 – 163). Bahkan dapat dikatakan bahwa Abu Hanifah adalah imam Madzhab yang selalu mempertimbangkan maslahah dengan fokus kehidupan masyarakat dan merefleksi kebutuhan sosiologis dengan metode andalannya, yakni istihsan.
Secara sederhana istihsan yang dimaksud Abu Hanifah adalah “memandang lebih baik sesuai dengan tujuan syari’at, untuk meninggalkan ketentuan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Misalnya, dililkhusus sunnah menentukan bahwa harta wakaf tidak boleh dipindah masyarakat Madinah (Abu Zahrah, 1908: 109-111).
Dari nampak bahwa jika nash dan yang dikategorikan sebagai nash belum dapat mengatasi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi, maka mengkajinya dengan menggunakan pendekatan penalaran , yakni qiyas, ihtihsan maslahah, mursalah, da saddud dara’i. Dalam hal ini imam malik menekankan pada “maslahah mursalah”. Jika konsep ihtihsannya Abu Hanifah dalam mengalihkan furu’ kepada ashal yang lain yang illahnya lemah, tetapi hasilnya lebih baik konsep ihtihsannya (yang dikenal dengan maslahah mursalah) ini adalah berlain dari kajian qiyas menuju kajian maslahah, yakni menetapkan hukum untukberbagai persoalan temporer dengan mempertimbangkan maqasid al-syari’ah, (memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta). Yang proses analisisnya ditentukan oleh para mujtahid sendiri.
Kajian maslahah yang dilaksanakan imam Malik itu lebih diperkuat lagi dengan al-dzari’ah, yaitu menetapkan hukum dengan melihat kemunkinan akibat yang akan timbul dari suatu perbuatan. Kendati perbuatan itu asalnya boleh. Tetapi akan menimbulkan mafsadah terhadap yang melaksanakannya, maka perbuatan yang tadi hukumnya menjadi tidak boleh. Dan atau sebaliknya. Semstara maslahah mursalah sendiri dapat dikatakan sebagai “penetapan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam nash, dengan pertimbangan untuk kepntingan hidup manusia, yang bersendikan atas asas menarik manfaat dan menghindarkan madarat. (Mahdi Fadillah, 1987: 294). Sebagai contohnya adalah “adanya keharusan pencatatan nikah yang dapat dikatakan tidak ada satupun nash yang memerintahkan atau melarangnya. Pencatatan perkawinan bertujuan memperoleh kepastian hukum atas terjadinya perkawinan, yang akan dipergunakan oleh nagara untuk melindungi hak masing-masing suami istri. Tampa pencatata, negara tidak mempunyai otentik atas terjadinya perkawinan. (Azhar Basyir, 1992: 49).
Abu Hanifah memiliki wajah bagus dan rupa nan elok serta ucapan yang fasih dan manis. Ia tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu pendek, selalu memakai pakaian yang bagus dan enak dipandang, demikian juga suka memakai minyak wangi, orang akan mengetahui Abu Hanifah dari bau harum minyak wanginya sebelum ia terlihat. Itulah an-Nu'man bin Tsabit bin al-Marzuban yang dikenal dengan nama Abu Hanifah, orang yang pertama kali menyingkap keutamaan dan keistimewaan yang ada dalam ilmu fiqih.
Abu Hanifah mendapati masa akhir kekhilafahan Bani Umayyah dan awal masa pemerintahan Bani Abbas. Ia hidup di sebuah masa yang mana para penguasa sering menghadiahkan harta kepada orang-orang yang berjasa kepada negara, mereka sering mendapatkan harta yang sangat banyak tanpa mereka sadari.
Akan tetapi Abu Hanifah memuliakan ilmu dan dirinya dari hal demikian, ia bertekad untuk hidup dari hasil jerih payahnya sendiri, sebagaimana ia juga bertekad agar tangannya selalu di atas (selalu memberi).
Pada suatu waktu al-Manshur memanggil Abu Hanifah ke rumahnya, maka tatkala ia sampai, al-Manshur memberi salam penghormatan dan sambutan yang sangat hangat serta memuliakannya, kemudian duduk di dekat Abu Hanifah dan mulai bertanya tentang permasalahan-permasalahan duniawi dan ukhrowi.
Di saat Abu Hanifah hendak pamit, al-Manshur memberinya sebuah kantung yang berisi tiga puluh ribu dirham –meskipun diketahui bahwa al Manshur termasuk orang yang pelit- maka Abu Hanifah berkata kepadanya, “Wahai Amirul mu'minin, sesungguhnya aku adalah orang asing di Baghdad, aku tidak memiliki tempat untuk menyimpan uang sebanyak ini dan aku takut kalau nanti ia akan hilang, maka dari itu jika boleh aku minta tolong agar ia disimpankan di Baitul Mal sehingga jika aku membutuhkan aku akan mengambilnya.” Kemudian al Manshur mengabulkan permintaannya. Akan tetapi setelah kejadian itu, Abu Hanifah tidak hidup lama. Ketika ajal menjemput, ditemukan di rumahnya harta titipan orang banyak yang jumlahnya melebihi tiga puluh ribu dirham, maka tatkala al Manshur mendengar akan hal itu ia berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah, dia telah memperdayaiku. Ia telah menolak sesuatu pun dari pemberian kami.” Yang demikian itu tidaklah aneh, karena Abu Hanifah meyakini bahwasanya tidaklah seseorang makan satu suap lebih suci dan lebih mulia dari hasil jerih payahnya sendiri. Oleh karena itu, kita mendapati bahwa sebagian hidupnya adalah untuk berniaga. Ia berdagang al-Khiz (tenunan dari sutera dan bulu) dan bermacam pakaian yang terbuat darinya. Ia berdagang pulang pergi dari kota ke kota yang berada di Iraq. Ia memiliki sebuah toko terkenal yang didatangi oleh banyak pengunjung karena mereka mendapati Abu Hanifah sebagai orang yang jujur dan amanah, di samping, mereka juga mendapatkan barang yang bagus di tokonya.
Dari perdagangannya tersebut Abu Hanifah diberi anugerah oleh Allah berupa kekayaan yang melimpah.
Jika sampai masa satu tahun dari perdagangannya ia menghitung seluruh laba dan kemudian mengambil dari laba tersebut apa yang mencukupinya, setelah itu sisanya ia belikan barang-barang kebutuhan bagi para Qari, ahli hadits, ulama fiqih dan para penuntut ilmu dan juga membelikan makanan dan pakaian bagi mereka. Kemudian setiap dari mereka diberi sejumlah uang seraya berkata, “Ini adalah laba dari barang dagangan kalian yang diberi oleh Allah melalui tanganku, Demi Allah aku tidaklah memberi kalian sedikitpun dari hartaku, akan tetapi ia adalah karunia dari Allah bagi kalian melalui tanganku. Tidaklah seseorang memiliki daya untuk mendapatkan rizki kecuali dari Allah.”
Kabar tentang kedermawanan Abu Hanifah telah tersebar di timur dan barat, khususnya di kalangan para sahabat dan teman dekatnya. Sebagai suatu contoh, pada suatu hari seorang temannya pergi ke tokonya dan berkata, “Sesungguhnya aku membutuhkan pakaian dari bahan al-Khizz, wahai Abu Hanifah.” Abu Hanifah bertanya,”Apa warnanya?” Orang itu menjawab, “Begini dan begini.” “Sabar dan tunggulah sampai aku mendapatkan pakaian tersebut,” kata Abu Hanifah.
Seminggu kemudian pakaian yang dipesan telah jadi, maka tatkala temannya itu melewati toko, Abu Hanifah memanggilnya dan berkata, “Aku punya pakaian yang kamu pesan.” Temannya merasa gembira dan bertanya kepada Abu Hanifah, “Berapa aku harus membayar pegawaimu?”
“Satu dirham,” jawab Abu Hanifah. Ia merasa heran dan bertanya lagi, “Cuma satu dirham?” “Ya,” kata Abu Hanifah Temannya berkata, “Wahai Abu Hanifah, engkau tidak sedang bergurau bukan?”
Abu Hanifah manjawab, “Aku tidaklah bergurau, karena aku telah membeli pakaian ini dan yang satunya lagi dengan harga dua puluh dinar emas plus satu dirham perak, kemudian aku menjual salah satunya dengan dua puluh dinar emas sehingga tersisa satu dirham. Dan aku tidak akan mengambil untung dari teman dekatku sendiri.”Pada waktu yang lain ada seorang perempuan tua datang ke tokonya dan memesan sebuah baju dari bahan al-Khizz, tatkala Abu Hanifah memberikan baju pesanannya, perempuan tua tadi berkata, “Sungguh aku adalah seorang perempuan yang sudah tua dan aku tidak tahu harga barang sedangkan baju pesananku adalah amanah seseorang. Maka juallah baju itu dengan harga belinya kemudian tambahkan sedikit laba atasnya, karena sesungguhnya aku orang miskin.”
Abu Hanifah menjawab, “Sesungguhnya aku telah membeli dua jenis pakaian dengan satu akad (transaksi), kemudian aku jual salah satunya kurang empat dirham dari harga modal, maka ambillah pakaian itu dengan harga empat dirham itu dan aku tidak akan meminta laba darimu.”
Pada suatu hari, Abu Hanifah melihat baju yang sudah usang sedang dipakai oleh salah seorang teman dekatnya. Ketika orang-orang-orang telah pergi dan tidak ada seorangpun di tempat itu kecuali mereka berdua, Abu Hanifah berkata kepadanya, “Angkat sajadah ini dan ambillah apa yang ada di bawahnya.” Maka temannya mengangkat sajadah tersebut, tiba-tiba ia menemukan di bawahnya seribu dirham. Kemudian Abu Hanifah berkata, “Ambil dan perbaikilah kondisi dan penampilanmu.” Akan tetapi temannya kemudian berkata, “Sesungguhnya aku seorang yang mampu (berkecukupan) dan sungguh Allah telah memberiku nikmat-Nya sehingga aku tidak membutuhkan uang tersebut.”
Berkata Abu Hanifah, “Jika Allah telah memberimu nikmat, maka di mana bekas dan tanda nikmata-Nya itu? Tidakkah sampai kepadamu bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya Allah suka melihat bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.” Karena itu, seyogyanya kamu memperbaiki penampilanmu agar temanmu ini tidak sedih melihatnya.”
Kedermawanan Abu Hanifah dan kebaikannya kepada orang lain telah sampai pada taraf di mana bila ia memberikan nafkah kepada keluarganya, maka ia pun mengeluarkan jumlah yang sama untuk orang lain yang menghajatkannya. Dan jika ia memakai baju baru maka ia akan membelikan orang-orang miskin baju yang seharga dengan baju barunya. Jika dihidangkan makanan di hadapannya, maka ia akan mengambil dua kali lipat dari apa yang biasa ia makan kemudian ia berikan kepada orang fakir.
Di antara hal yang diriwayatkan darinya adalah janjinya yang tidak akan bersumpah atas nama Allah di sela-sela perkataannya kecuali ia akan bersedekah dengan satu dirham perak. Kemudian lama-kelamaan janji pada dirinya itu ditingkatkan menjadi satu dinar emas. Sehingga setiap ia bersumpah atas nama Allah maka ia akan bersedekah sebanyak satu dinar.
Hafsh bin Abdur Rahman merupakan relasi dagang Abu Hanifah dalam sebagian perniagaannya. Ia menyiapkan barang-barang dagangan berupa al-Khizz dan mengirimnya bersamanya (Hafsh) ke sebgian kota yang ada di Iraq. Pada suatu waktu beliau menyiapkan untuk dibawa Hafsh barang dagangan yang banyak dan memberi tahu kepadanya bahwa di antara barang-barang tersebut ada yang cacat, ia berkata, “Apabila kamu mau menjualnya maka terangkanlah kepada pembeli tentang cacat yang ada pada barang tersebut.”
Maka kemudian Hafsh menjual semua barang yang dititipkan dan ia lupa untuk memberi tahu sebagian barang yang ada cacatnya kepada para pembeli. Ia telah berupaya mngingat-ingat orang-orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, tetapi tidak berhasil. Maka tatkala Abu Hanifah tahu akan hal itu dan tidak mungkinnya mengenali orang-orang yang telah membeli barang yang cacat itu, hatinya tidak tenang sampai ia bersedekah dengan harga semua barang yang diperdagangkan oleh Hafsh.
Di samping semua sifat yang telah disebutkan di atas, ia juga seorang yang baik dalam bergaul dengan orang lain, teman dekatnya akan merasa bahagia bila bersamanya dan orang yang jauh darinya tidak akan merasa tersakiti bahkan musuhnya sekalipun. Salah seorang sahabatnya pernah berkata, aku telah mendengar Abdullah bin al-Mubarak berkata kepada Sufyan ats-Tsauri, “Wahai Abu Abdillah,m membaca al-Qur'an atau berdoa menengadahkan tangannya kepada Allah dengan penuh ketundukan.
Bisa jadi, ia membaca al-Qur'an 30 juz dalam satu rakaat atau mungkin saja ia menghidupkan seluruh malamnya dengan satu ayat saja.
Di dalam sebuah riwayat disebutkan bahwasanya pada suatu malam, ia menghidupkan seluruh malam dengan mengulang-ulang firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya, “Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (al-Qamar:46) Sembari menangis tersedu-sedu, sebuah tangisan yang mengiris hati.
Abu Hanifah dikenal sebagai orang yang melakukan shalat Shubuh dengan wudhu shalat 'Isya selama empat puluh tahun, tidak pernah sekal pun ia meninggalkan kebiasaan itu. Demikian juga, ia dikenal sebagai orang yang menghatamkan al-Qur'an di satu tempat di mana ia meninggal sebanyak 7000 kali.
Jika membaca surat az-Zalzalah, tubuhnya gemetar dan hatinya dirundung rasa ketakutan dan serta-merta ia memegang jenggotnya seraya mulai melantunkan,
Wahai Dzat Yang membalas kebaikan dengan kebaikan walaupun hanya seberat dzarrah
Wahai Dzat Yang membalas kejelekan dengan kejelekan walaupun seberat dzarrah
Berilah perlindungan kepada hamba-Mu yang bernama an-Nu'man dari api neraka
Jauhkanlah antara dirinya dengan sesuatu yang dapat mendekatkannya dari neraka
Dan masukkanlah ia ke dalam luasnya rahmat-Mu, wahai Yang Maha Pengasih dari sang pengasih
Imam Abu Hanifah meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 150H/767M ketika berusia
70 tahun.
PENDIDIKAN
Imam Abu Hanifah mendapat banyak peluang menuntut ilmu sejak kecil sehingga ke peringkat yang paling tinggi. Beliau mempelajari pelbagai ilmu terutama ilmu undangundang Islam. Selain daripada menjadi seorang ilmuwan, beliau juga seorang ahli perniagaan. Penglibatannya dalam perniagaan dan kemantapan ilmu agama membolehkan beliau mengeluarkan pendapat tentang hukum Islam dan mempraktikkannya. Beliau cuba untuk memperluaskan perlaksanaan hukum-hukum Islam dalam setiap bidang kehidupan.
Imam Abu Hanifah berguru dengan beberapa orang `ulama’ yang hidup sezaman dengannya. Guru fiqh yang banyak memberi sumbangan kepada dirinya ialah Imam Hammad bin Abi Sulayman selama 18 tahun. Selain berguru dengan para tabi`in, beliau juga menemuï beberapa orang sahabat Nabi, antaranya Anas bin Malik, `Abdu Llah bin Abi Awfa, `Abdu Llah bin Al-Hasan, Zayd bin `Aliy, `Abdu Llah bin Al-Haris bin Juz’, dan Ma`qal bin Yasar, Abu t-Tufayl `Amir bin Wasilah.
Imam Abu Hanifah mempunyaï ramai murid yang masyhur seperti Abu Yusuf, Asad bin `Amr, Al-Qasim bin Ma`n, Zafr bin Al-Huzayl, Al-Walid bin Aban, Abu Bakr Al-Hazliy, Ya`qub bin Ibrahim Al-Ansariy Al-Kufiy, Muhammad bin Al-Hasan bin Asy-Syaybaniy dan Al-Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu’iy Al-Kufiy.
SUMBANGAN KEPADA TAMADDUN ISLAM
1- Kebanyakan masanya digunakan untuk mengajar di masjid.
2- Berfikiran secara kritis dan terbuka dalam menyelesaikan masalah fiqh.
3- `Ulama’ pertama yang menyusun kitab fiqh mengikut bab dan fasl dengan baik dan tersusun. Mohd `Adlan Bin Mohd Shariffuddin (2009). Biografi Imam Mazhab Empat.
4- Seorang yang amat teliti dalam menentukan hukum mengikut martabat hadis.
5- Menyusun cara mengeluarkan hukum berdasarkan kepada kaedah-kaedah tertentu.
6- Antara kitab yang ditulis oleh beliau ialah Al-Fiqhu l-Akbar dan Kitabu l-Fara’idh.
7- Beliau juga seorang yang amat teliti terhadap hadis. Beliau hanya menerima hadis yang sahih dan kuat sanadnya.
PENGARUH MAZHAB ABU HANIFAH
Aliran mazhab Imam Abu Hanifah dikenali dengan nama Mazhab Hanafiy. Sejak ia muncul, ia tersebar luas dan begitu berpengaruh di Iraq. Mazhab Hanafiy ialah mazhab rasmi Dawlah `Usmaniyyah, dan masih berpengaruh di negara-negara bekas jajahan Dawlah `Usmaniyyah seperti Mesir, Syria, Lubnan, Bosnia dan Turki.
(Ulama Yang ‘Alim dan Sholeh)
Nama lengkapnya Abu Hanifah Al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zutha Al-Kufi. Ia lahir pada tahun 80 H/699 M di Anbar, kota yang termasuk bagian dari propinsi Kufah. Ayahnya berasal dari keturunan Persia. Kakeknya, Zutha berasal dari Kabul, Afganistan yang sebelumnya masuk bagian wilayah Persia. Ketika Tsabit masih dalam kandungan, ia dibawa ke Kufah dan menetap di sini hingga Abu Hanifah lahir. Konon ketika Zutha bersama anaknya Tsabit berkunjung kepada Ali ibn Abi Thalib, dengan serta merta kedua orang ini didoakan agar mendapat keturunan yang luhur dan mulia.
Abu Hanifah tumbuh di kota Kufah. Di kota ini ia mulai belajar dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Selain pernah melakukan pengembaraan ke Basrah, Makkah dan Madinah dalam rangka mengembangkan wawasan dan memperluas ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya. Di antara guru-guru yang ditemuinya adalah Hammad ibn Abu Sulaiman Al-Asy’ari (w. 120 H/738 M) faqih kota Kufah, ‘Atha’ ibn Abi Rabah (w. 114 H/732 M) faqih kota Makkah, ‘Ikrimah (w. 104 H/723 M) maula dan pewaris ilmu Abdullah ibn Abbas, Nafi’ (w. 117 H/735 M) maula dan pewaris ilmu Abdullah ibn Umar dan lain-lain. Ia juga belajar kepada ulama Ahlul-Bait seperti Zaid ibn Ali Zainal ‘Abidin (79-122 H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir (57-114 H/676-732 M), Ja’far ibn Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/699-765 M) dan Abdullah ibn Al-Hasan. Ia juga pernah bertemu dengan beberapa orang sahabat seperti Anas ibn Malik (10 SH-93 H/612-712 M), Abdullah ibn Abi Aufa (w. 85 H/704 M) di Kufah, Sahal ibn Sa’ad Al-Sa’idi (8 SH-88 H/614-697 M) di Madinah dan Abu Al-Thufail Amir ibn Watsilah (w. 110 H/729 M) di Makkah.
Akan tetapi dari sekian banyak guru yang paling berpengaruh dalam pembentukan karakter intelektual dan corak mazhab Abu Hanifah adalah Hammad ibn Abi Sulaiman. Ia belajar kepada Hammad selama 18 tahun sampai Hammad wafat. Dan setelah itu ia mengganti kedudukan Hammad mengajar di majlis ilmu fiqih di Kufah dengan gelar imam ahl al-ra’y (Pemimpin ulama ahlu al-ra’y). Dalam hal ini ia berkata: “Aku tidak menunaikan shalat kecuali mendoakan guruku Hammad dan setiap orang yang pernah mengajariku atau belajar kepadaku.”
Karya-karya Abu Hanifah yang sampai kepada kita adalah Kitab Al-Fiqh Al-Akbar, Kitab Al-Fiqh Al-Absath, Kitab Al-Risalah, Kitab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim dan Kitab Al-Washiyyah. Dalam bidang fiqih, Abu Hanifah tidak menulis karangan. Akan tetapi, murid-muridnya telah merekam semua pandangan dan hasil ijtihad Abu Hanifah secara lengkap sehingga menjadi mazhab yang diikuti oleh kaum Muslimin. Di antara murid-muridnya adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn Muhammad Al-Anshari (113-182 H/731-797 M), Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibani (132-189 H/750-805 M), Zufar ibn Al-Hudzail (110-157 H/729-774 M) dan Hasan ibn Ziyad Al-Lu’lu`i (w. 204 H/819 M).
Abu Hanifah diakui sebagai ulama besar dengan keluasan ilmu pengetahuannya dalam segala bidang studi keislaman sehingga ia merupakan imam mujtahid besar (al-imam al-a’zham) yang menjadi panutan kaum Muslimin sepanjang masa. Muhammad ibn Maslamah berkata: “Ilmu agama diturunkan oleh Allah kepada Nabi saw. Kemudian diturunkan kepada para sahabat. Kemudian diturunkan kepada tabi’in. Kemudian diturunkan kepada Abu Hanifah dan murid-muridnya.”[1]
Imam Al-Syafi’i berkata: “Barangsiapa hendak mengetahui ilmu fiqih, maka belajarlah kepada Abu Hanifah dan murid-muridnya. Karena manusia dalam bidang fiqih membutuhkan Abu Hanifah.”
Sufyan ibn ‘Uyainah, salah satu fuqaha Kufah berkata: “Ada dua perkara yang tidak aku sangka akan melampaui jembatan Kufah, qira’ah-nya Hamzah dan pandangan fiqih Abu Hanifah.”
Muthi’ ibn Al-Hakam berkata: “Aku belum pernah melihat seorang ahli hadits yang lebih faqih daripada Sufyan Al-Tsauri. Tetapi Abu Hanifah lebih faqih daripada Sufyan.”
Imam Yazid ibn Harun pernah ditanya: “Siapa menurut Anda yang lebih faqih, Abu Hanifah atau Sufyan?” Ia menjawab: “Sufyan lebih hafal terhadap hadits. Tetapi Abu Hanifah lebih faqih.”[2]
Suatu ketika Al-Syafi’i bertanya kepada gurunya Imam Malik tentang Abu Hanifah, maka ia menjawab: “Menurutku, andaikan ia berbicara kepadamu bahwa tiang ini terbuat dari emas, niscaya ia akan dapat menyampaikan argumentasinya.”
Al-Nazhar ibn Syumail berkata: “Manusia pada mulanya tidur dari ilmu fiqih sehingga Abu Hanifah yang membangunkan mereka.”[3]
Sufyan Al-Tsauri dan Abdullah ibn Al-Mubarak berkata: “Abu Hanifah adalah faqih terbesar di dunia pada masanya.”
Abu Hanifah membangun mazhabnya di atas fondasi Al-Kitab, Al-Sunnah, ijma’, qiyas dan istihsan. Dewasa ini mazhab Hanafi diikuti oleh penduduk Turki dan negara-negara sekitarnya, negera-negara Asia Tengah bekas jajahan Rusia, Pakistan, Afganistan, India, Bangladesh dan sebagian penduduk Afrika dan Timur Tengah.
Dalam hal ini dikutip dalam perkataan Abu Hanifah sendiri sebagai berikut: sesungguhnya saya mengistinbath hukum dari al-qur’an. Bila tidak didapatkan, saya mencarinya dari hadist dan atsar shahih yang diriwayatkan oleh periwayat yang Tsaqiat, apabila masih saja belum saya ketemukan, maka saya mengambil perkataan sahabat yang saya kehendaki, jika semua itu telah saya lakukan, walaupun saya menemukan pendapat Ibrahim Al-Nakha-i Atau Sya’bi Atau Sa’id Ibn Musayyab, maka saya berijtihad sebagaimana mereka berijtihad. (Muhammad Musa, t.t.60).
Dari pernyataan diatas menunjukkan bahwa Abu Hanifah menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dan utama, kemudian al-hadist sebagai sumber hukum kedua, disusul dengan ijma’ shahabat sebagai sumber hukum ketiga. Setelah itu ijtihad dipergunakan sebagai metode untuk menetapkan hukum.
Yang tergolong dalam ijtihadnya AbuHanifah adalah qiyas , istihsan, dan U’ruf . sedangkan hadist yang pergunakan hujjah oleh Abu Hanifah adalah hadist Mutawatir, masyhur , ahad, dan mursal selama diriwayatkan oleh periwayat Stiqat (yang dipentingkan adalah periwayatnya) (Muhammad Musa, t.t; 63). Sedangkan persyaratan lain untuk hadist ahad adalah periwayat hadist ahad tersebut harus mengemalkan isi hadist yang diriwayatkan, apabila tidak mengamalkan, perbuatan periwayat yang dibuat pegangan (Abu Zahrah, 1908: 109). Dan hadist ahad tersebut tidak bertentangan dengan hadist masyhur.
[1] Al-Hafizh Al-Khathib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, juz XIII, hal. 336.
[2] Abdul Mun’im Al-Hasyimi, Al-Imam Abu Hanifah, hal. 68.
[3] Sayid Dawud ibn Sulaiman Al-Baghdadi, Asyadd Al-Jihad fi Ibthal Da’wa Al-IJtihad, hal. 3.
Mengenai keterangan sahabat menurut Abu Hanifah ada dua bentuk, yaitu ketetapan yang berbentuk ijma’ dan dalam bentuk fatwa, ketentuan hukum dalam bentuk ijtima’ mengikat dan dalam bentuk fatwa tidak mengikat. (wahbah al-zuhaili, 1978: 107). Ijma’ masih dapat dilakukan dalam kontek penetapan hukum untuk persoalan-persoalan temporer yang dihadapi para mujtahid, sejauh ulama bisa menyatakan pendapatnya secara bersama, walaupun dengan cara cara ijma’ sukuti.
Sedangkan tentang u’ruf atau tradisi masyarakat, selama tidak bertentangan dengan nash, dan sejalan dengan semangat syari’at dapat diangkat sebagai ketentuan hukum (Abu Zahrah, t.t: 162 – 163). Bahkan dapat dikatakan bahwa Abu Hanifah adalah imam Madzhab yang selalu mempertimbangkan maslahah dengan fokus kehidupan masyarakat dan merefleksi kebutuhan sosiologis dengan metode andalannya, yakni istihsan.
Secara sederhana istihsan yang dimaksud Abu Hanifah adalah “memandang lebih baik sesuai dengan tujuan syari’at, untuk meninggalkan ketentuan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Misalnya, dililkhusus sunnah menentukan bahwa harta wakaf tidak boleh dipindah masyarakat Madinah (Abu Zahrah, 1908: 109-111).
Dari nampak bahwa jika nash dan yang dikategorikan sebagai nash belum dapat mengatasi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi, maka mengkajinya dengan menggunakan pendekatan penalaran , yakni qiyas, ihtihsan maslahah, mursalah, da saddud dara’i. Dalam hal ini imam malik menekankan pada “maslahah mursalah”. Jika konsep ihtihsannya Abu Hanifah dalam mengalihkan furu’ kepada ashal yang lain yang illahnya lemah, tetapi hasilnya lebih baik konsep ihtihsannya (yang dikenal dengan maslahah mursalah) ini adalah berlain dari kajian qiyas menuju kajian maslahah, yakni menetapkan hukum untukberbagai persoalan temporer dengan mempertimbangkan maqasid al-syari’ah, (memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta). Yang proses analisisnya ditentukan oleh para mujtahid sendiri.
Kajian maslahah yang dilaksanakan imam Malik itu lebih diperkuat lagi dengan al-dzari’ah, yaitu menetapkan hukum dengan melihat kemunkinan akibat yang akan timbul dari suatu perbuatan. Kendati perbuatan itu asalnya boleh. Tetapi akan menimbulkan mafsadah terhadap yang melaksanakannya, maka perbuatan yang tadi hukumnya menjadi tidak boleh. Dan atau sebaliknya. Semstara maslahah mursalah sendiri dapat dikatakan sebagai “penetapan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam nash, dengan pertimbangan untuk kepntingan hidup manusia, yang bersendikan atas asas menarik manfaat dan menghindarkan madarat. (Mahdi Fadillah, 1987: 294). Sebagai contohnya adalah “adanya keharusan pencatatan nikah yang dapat dikatakan tidak ada satupun nash yang memerintahkan atau melarangnya. Pencatatan perkawinan bertujuan memperoleh kepastian hukum atas terjadinya perkawinan, yang akan dipergunakan oleh nagara untuk melindungi hak masing-masing suami istri. Tampa pencatata, negara tidak mempunyai otentik atas terjadinya perkawinan. (Azhar Basyir, 1992: 49).
Abu Hanifah memiliki wajah bagus dan rupa nan elok serta ucapan yang fasih dan manis. Ia tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu pendek, selalu memakai pakaian yang bagus dan enak dipandang, demikian juga suka memakai minyak wangi, orang akan mengetahui Abu Hanifah dari bau harum minyak wanginya sebelum ia terlihat. Itulah an-Nu'man bin Tsabit bin al-Marzuban yang dikenal dengan nama Abu Hanifah, orang yang pertama kali menyingkap keutamaan dan keistimewaan yang ada dalam ilmu fiqih.
Abu Hanifah mendapati masa akhir kekhilafahan Bani Umayyah dan awal masa pemerintahan Bani Abbas. Ia hidup di sebuah masa yang mana para penguasa sering menghadiahkan harta kepada orang-orang yang berjasa kepada negara, mereka sering mendapatkan harta yang sangat banyak tanpa mereka sadari.
Akan tetapi Abu Hanifah memuliakan ilmu dan dirinya dari hal demikian, ia bertekad untuk hidup dari hasil jerih payahnya sendiri, sebagaimana ia juga bertekad agar tangannya selalu di atas (selalu memberi).
Pada suatu waktu al-Manshur memanggil Abu Hanifah ke rumahnya, maka tatkala ia sampai, al-Manshur memberi salam penghormatan dan sambutan yang sangat hangat serta memuliakannya, kemudian duduk di dekat Abu Hanifah dan mulai bertanya tentang permasalahan-permasalahan duniawi dan ukhrowi.
Di saat Abu Hanifah hendak pamit, al-Manshur memberinya sebuah kantung yang berisi tiga puluh ribu dirham –meskipun diketahui bahwa al Manshur termasuk orang yang pelit- maka Abu Hanifah berkata kepadanya, “Wahai Amirul mu'minin, sesungguhnya aku adalah orang asing di Baghdad, aku tidak memiliki tempat untuk menyimpan uang sebanyak ini dan aku takut kalau nanti ia akan hilang, maka dari itu jika boleh aku minta tolong agar ia disimpankan di Baitul Mal sehingga jika aku membutuhkan aku akan mengambilnya.” Kemudian al Manshur mengabulkan permintaannya. Akan tetapi setelah kejadian itu, Abu Hanifah tidak hidup lama. Ketika ajal menjemput, ditemukan di rumahnya harta titipan orang banyak yang jumlahnya melebihi tiga puluh ribu dirham, maka tatkala al Manshur mendengar akan hal itu ia berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah, dia telah memperdayaiku. Ia telah menolak sesuatu pun dari pemberian kami.” Yang demikian itu tidaklah aneh, karena Abu Hanifah meyakini bahwasanya tidaklah seseorang makan satu suap lebih suci dan lebih mulia dari hasil jerih payahnya sendiri. Oleh karena itu, kita mendapati bahwa sebagian hidupnya adalah untuk berniaga. Ia berdagang al-Khiz (tenunan dari sutera dan bulu) dan bermacam pakaian yang terbuat darinya. Ia berdagang pulang pergi dari kota ke kota yang berada di Iraq. Ia memiliki sebuah toko terkenal yang didatangi oleh banyak pengunjung karena mereka mendapati Abu Hanifah sebagai orang yang jujur dan amanah, di samping, mereka juga mendapatkan barang yang bagus di tokonya.
Dari perdagangannya tersebut Abu Hanifah diberi anugerah oleh Allah berupa kekayaan yang melimpah.
Jika sampai masa satu tahun dari perdagangannya ia menghitung seluruh laba dan kemudian mengambil dari laba tersebut apa yang mencukupinya, setelah itu sisanya ia belikan barang-barang kebutuhan bagi para Qari, ahli hadits, ulama fiqih dan para penuntut ilmu dan juga membelikan makanan dan pakaian bagi mereka. Kemudian setiap dari mereka diberi sejumlah uang seraya berkata, “Ini adalah laba dari barang dagangan kalian yang diberi oleh Allah melalui tanganku, Demi Allah aku tidaklah memberi kalian sedikitpun dari hartaku, akan tetapi ia adalah karunia dari Allah bagi kalian melalui tanganku. Tidaklah seseorang memiliki daya untuk mendapatkan rizki kecuali dari Allah.”
Kabar tentang kedermawanan Abu Hanifah telah tersebar di timur dan barat, khususnya di kalangan para sahabat dan teman dekatnya. Sebagai suatu contoh, pada suatu hari seorang temannya pergi ke tokonya dan berkata, “Sesungguhnya aku membutuhkan pakaian dari bahan al-Khizz, wahai Abu Hanifah.” Abu Hanifah bertanya,”Apa warnanya?” Orang itu menjawab, “Begini dan begini.” “Sabar dan tunggulah sampai aku mendapatkan pakaian tersebut,” kata Abu Hanifah.
Seminggu kemudian pakaian yang dipesan telah jadi, maka tatkala temannya itu melewati toko, Abu Hanifah memanggilnya dan berkata, “Aku punya pakaian yang kamu pesan.” Temannya merasa gembira dan bertanya kepada Abu Hanifah, “Berapa aku harus membayar pegawaimu?”
“Satu dirham,” jawab Abu Hanifah. Ia merasa heran dan bertanya lagi, “Cuma satu dirham?” “Ya,” kata Abu Hanifah Temannya berkata, “Wahai Abu Hanifah, engkau tidak sedang bergurau bukan?”
Abu Hanifah manjawab, “Aku tidaklah bergurau, karena aku telah membeli pakaian ini dan yang satunya lagi dengan harga dua puluh dinar emas plus satu dirham perak, kemudian aku menjual salah satunya dengan dua puluh dinar emas sehingga tersisa satu dirham. Dan aku tidak akan mengambil untung dari teman dekatku sendiri.”Pada waktu yang lain ada seorang perempuan tua datang ke tokonya dan memesan sebuah baju dari bahan al-Khizz, tatkala Abu Hanifah memberikan baju pesanannya, perempuan tua tadi berkata, “Sungguh aku adalah seorang perempuan yang sudah tua dan aku tidak tahu harga barang sedangkan baju pesananku adalah amanah seseorang. Maka juallah baju itu dengan harga belinya kemudian tambahkan sedikit laba atasnya, karena sesungguhnya aku orang miskin.”
Abu Hanifah menjawab, “Sesungguhnya aku telah membeli dua jenis pakaian dengan satu akad (transaksi), kemudian aku jual salah satunya kurang empat dirham dari harga modal, maka ambillah pakaian itu dengan harga empat dirham itu dan aku tidak akan meminta laba darimu.”
Pada suatu hari, Abu Hanifah melihat baju yang sudah usang sedang dipakai oleh salah seorang teman dekatnya. Ketika orang-orang-orang telah pergi dan tidak ada seorangpun di tempat itu kecuali mereka berdua, Abu Hanifah berkata kepadanya, “Angkat sajadah ini dan ambillah apa yang ada di bawahnya.” Maka temannya mengangkat sajadah tersebut, tiba-tiba ia menemukan di bawahnya seribu dirham. Kemudian Abu Hanifah berkata, “Ambil dan perbaikilah kondisi dan penampilanmu.” Akan tetapi temannya kemudian berkata, “Sesungguhnya aku seorang yang mampu (berkecukupan) dan sungguh Allah telah memberiku nikmat-Nya sehingga aku tidak membutuhkan uang tersebut.”
Berkata Abu Hanifah, “Jika Allah telah memberimu nikmat, maka di mana bekas dan tanda nikmata-Nya itu? Tidakkah sampai kepadamu bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya Allah suka melihat bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.” Karena itu, seyogyanya kamu memperbaiki penampilanmu agar temanmu ini tidak sedih melihatnya.”
Kedermawanan Abu Hanifah dan kebaikannya kepada orang lain telah sampai pada taraf di mana bila ia memberikan nafkah kepada keluarganya, maka ia pun mengeluarkan jumlah yang sama untuk orang lain yang menghajatkannya. Dan jika ia memakai baju baru maka ia akan membelikan orang-orang miskin baju yang seharga dengan baju barunya. Jika dihidangkan makanan di hadapannya, maka ia akan mengambil dua kali lipat dari apa yang biasa ia makan kemudian ia berikan kepada orang fakir.
Di antara hal yang diriwayatkan darinya adalah janjinya yang tidak akan bersumpah atas nama Allah di sela-sela perkataannya kecuali ia akan bersedekah dengan satu dirham perak. Kemudian lama-kelamaan janji pada dirinya itu ditingkatkan menjadi satu dinar emas. Sehingga setiap ia bersumpah atas nama Allah maka ia akan bersedekah sebanyak satu dinar.
Hafsh bin Abdur Rahman merupakan relasi dagang Abu Hanifah dalam sebagian perniagaannya. Ia menyiapkan barang-barang dagangan berupa al-Khizz dan mengirimnya bersamanya (Hafsh) ke sebgian kota yang ada di Iraq. Pada suatu waktu beliau menyiapkan untuk dibawa Hafsh barang dagangan yang banyak dan memberi tahu kepadanya bahwa di antara barang-barang tersebut ada yang cacat, ia berkata, “Apabila kamu mau menjualnya maka terangkanlah kepada pembeli tentang cacat yang ada pada barang tersebut.”
Maka kemudian Hafsh menjual semua barang yang dititipkan dan ia lupa untuk memberi tahu sebagian barang yang ada cacatnya kepada para pembeli. Ia telah berupaya mngingat-ingat orang-orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, tetapi tidak berhasil. Maka tatkala Abu Hanifah tahu akan hal itu dan tidak mungkinnya mengenali orang-orang yang telah membeli barang yang cacat itu, hatinya tidak tenang sampai ia bersedekah dengan harga semua barang yang diperdagangkan oleh Hafsh.
Di samping semua sifat yang telah disebutkan di atas, ia juga seorang yang baik dalam bergaul dengan orang lain, teman dekatnya akan merasa bahagia bila bersamanya dan orang yang jauh darinya tidak akan merasa tersakiti bahkan musuhnya sekalipun. Salah seorang sahabatnya pernah berkata, aku telah mendengar Abdullah bin al-Mubarak berkata kepada Sufyan ats-Tsauri, “Wahai Abu Abdillah,m membaca al-Qur'an atau berdoa menengadahkan tangannya kepada Allah dengan penuh ketundukan.
Bisa jadi, ia membaca al-Qur'an 30 juz dalam satu rakaat atau mungkin saja ia menghidupkan seluruh malamnya dengan satu ayat saja.
Di dalam sebuah riwayat disebutkan bahwasanya pada suatu malam, ia menghidupkan seluruh malam dengan mengulang-ulang firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya, “Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (al-Qamar:46) Sembari menangis tersedu-sedu, sebuah tangisan yang mengiris hati.
Abu Hanifah dikenal sebagai orang yang melakukan shalat Shubuh dengan wudhu shalat 'Isya selama empat puluh tahun, tidak pernah sekal pun ia meninggalkan kebiasaan itu. Demikian juga, ia dikenal sebagai orang yang menghatamkan al-Qur'an di satu tempat di mana ia meninggal sebanyak 7000 kali.
Jika membaca surat az-Zalzalah, tubuhnya gemetar dan hatinya dirundung rasa ketakutan dan serta-merta ia memegang jenggotnya seraya mulai melantunkan,
Wahai Dzat Yang membalas kebaikan dengan kebaikan walaupun hanya seberat dzarrah
Wahai Dzat Yang membalas kejelekan dengan kejelekan walaupun seberat dzarrah
Berilah perlindungan kepada hamba-Mu yang bernama an-Nu'man dari api neraka
Jauhkanlah antara dirinya dengan sesuatu yang dapat mendekatkannya dari neraka
Dan masukkanlah ia ke dalam luasnya rahmat-Mu, wahai Yang Maha Pengasih dari sang pengasih
Imam Abu Hanifah meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 150H/767M ketika berusia
70 tahun.
PENDIDIKAN
Imam Abu Hanifah mendapat banyak peluang menuntut ilmu sejak kecil sehingga ke peringkat yang paling tinggi. Beliau mempelajari pelbagai ilmu terutama ilmu undangundang Islam. Selain daripada menjadi seorang ilmuwan, beliau juga seorang ahli perniagaan. Penglibatannya dalam perniagaan dan kemantapan ilmu agama membolehkan beliau mengeluarkan pendapat tentang hukum Islam dan mempraktikkannya. Beliau cuba untuk memperluaskan perlaksanaan hukum-hukum Islam dalam setiap bidang kehidupan.
Imam Abu Hanifah berguru dengan beberapa orang `ulama’ yang hidup sezaman dengannya. Guru fiqh yang banyak memberi sumbangan kepada dirinya ialah Imam Hammad bin Abi Sulayman selama 18 tahun. Selain berguru dengan para tabi`in, beliau juga menemuï beberapa orang sahabat Nabi, antaranya Anas bin Malik, `Abdu Llah bin Abi Awfa, `Abdu Llah bin Al-Hasan, Zayd bin `Aliy, `Abdu Llah bin Al-Haris bin Juz’, dan Ma`qal bin Yasar, Abu t-Tufayl `Amir bin Wasilah.
Imam Abu Hanifah mempunyaï ramai murid yang masyhur seperti Abu Yusuf, Asad bin `Amr, Al-Qasim bin Ma`n, Zafr bin Al-Huzayl, Al-Walid bin Aban, Abu Bakr Al-Hazliy, Ya`qub bin Ibrahim Al-Ansariy Al-Kufiy, Muhammad bin Al-Hasan bin Asy-Syaybaniy dan Al-Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu’iy Al-Kufiy.
SUMBANGAN KEPADA TAMADDUN ISLAM
1- Kebanyakan masanya digunakan untuk mengajar di masjid.
2- Berfikiran secara kritis dan terbuka dalam menyelesaikan masalah fiqh.
3- `Ulama’ pertama yang menyusun kitab fiqh mengikut bab dan fasl dengan baik dan tersusun. Mohd `Adlan Bin Mohd Shariffuddin (2009). Biografi Imam Mazhab Empat.
4- Seorang yang amat teliti dalam menentukan hukum mengikut martabat hadis.
5- Menyusun cara mengeluarkan hukum berdasarkan kepada kaedah-kaedah tertentu.
6- Antara kitab yang ditulis oleh beliau ialah Al-Fiqhu l-Akbar dan Kitabu l-Fara’idh.
7- Beliau juga seorang yang amat teliti terhadap hadis. Beliau hanya menerima hadis yang sahih dan kuat sanadnya.
PENGARUH MAZHAB ABU HANIFAH
Aliran mazhab Imam Abu Hanifah dikenali dengan nama Mazhab Hanafiy. Sejak ia muncul, ia tersebar luas dan begitu berpengaruh di Iraq. Mazhab Hanafiy ialah mazhab rasmi Dawlah `Usmaniyyah, dan masih berpengaruh di negara-negara bekas jajahan Dawlah `Usmaniyyah seperti Mesir, Syria, Lubnan, Bosnia dan Turki.
(SUMBER: Hayaah at-Taabi’iin karya Dr.
Abdurrahman Ra`fat al-Basya, Jld.VI, h.127-144).
http://fauzanppsi.blogspot.com
http://fauzanppsi.blogspot.com
JAKARTA 26/5/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar