la
adalah Ibrahim bin Azar ‘alaihis, beliau dijuluki dengan gelar Abu adh-Dhaifan.
Menurut pendapat yang shahih, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dilahirkan di Babil.
Semua penghuni bumi pada saat itu ada di dalam kekafiran, kecuali Ibrahim
al-Khalil, Sarrah (istrinya), dan keponakannya Luth ‘alaihissalam.
Ibnu
Jarir berkata, “Pendapat yang benar bahwa nama bapaknya adalah Azar [1] . Boleh
jadi ia memiliki dua nama atau salah satu adalah gelarnya dan yang lain adalah
nama aslinya. Wallahu a’lam.”
Allah
ta’ala telah menyebutkan dialog dan perdebatan yang terjadi antara Ibrahim dan
bapaknya serta bagaimana ia menyeru bapaknya kepada kebenaran dengan ungkapan
yang lemah lembut dan isyarat yang lebih baik. Ibrahim menjelaskan kepada
bapaknya mengenai kebatilan peribadatan yang ia lakukan berupa penyembahan
terhadap berhala-berhala yang tidak mampu mendengar permohonan penyembahnya dan
tidak mampu pula melihat tempat orang yang
menyembahnya, lalu bagaimana ia bisa memberi sesuatu kepadanya berupa rezeki dan pertolongan? Tetapi, bapaknya justru menakuti-nakuti dan mengancamnya.
menyembahnya, lalu bagaimana ia bisa memberi sesuatu kepadanya berupa rezeki dan pertolongan? Tetapi, bapaknya justru menakuti-nakuti dan mengancamnya.
Di
antara nasehat Ibrahim kepada penduduk Harran yang menyembah bintang-bintang
adalah ia menjelaskan kepada mereka bahwa benda-benda langit yang terlihat di
atas itu berupa bintang-bintang gemerlapan tidak pantas dipertuhankan dan tidak
berhak untuk disekutukan dengan Allah. Sebab, bintang-bintang tersebut adalah
makhluk, yang ia terkadang terbit dan terkadang tenggelam, lalu hilang dari
alam ini. Sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan pemah hilang dari alam
dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagiNya. Bahkan Dia kekal abadi dan
tidak pernah hilang.
Ibrahim
‘alaihissalam mengingkari perbuatan kaumnya yang menyembah berhala-berhala; dia
menghinakannya serta merendahkannya. Para penyembah berhala-berhala tersebut
tidak memiliki hujjah melainkan hanya mengikuti tradisi nenek moyang mereka.
Tatkala mereka keluar menghadiri perayaan mereka, maka dengan cepat dan
diam-diam Ibrahim mendatangi patung-patung mereka, lantas menghancurkannya,
lalu meletakkan kapak (yang ia pakai untuk menghancurkan tadi) di leher patung
yang paling besar sebagai satu isyarat bahwa ia cemburu bila patung-patung yang
lebih kecil ikut disembah bersamanya. Saat orang-orang kembali dari perayaan
mereka dan mendapatkan apa yang menimpa tuhan-tuhan mereka, mereka bertanya
dengan nada pengingkaran terhadap orang yang melakukan perbuatan itu kepada
tuhan-tuhan mereka. Lalu mereka mengatakan bahwa mereka pernah mendengar ada
seorang pemuda yang bernama Ibrahim yang biasa mencela tuhan-tuhan mereka.
“Mereka berkata: ‘(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat
orang banyak agar mereka menyaksikan.”‘ (QS. Al-Anbiya’: 61) Yaitu, di hadapan
orang-orang banyak yang menyaksikannya agar mereka menyaksikan perkataannya dan
mendengarkan ucapannya.
Kejadian
ini merupakan harapan terbesar Ibrahim al-Khalil ‘alaihissalam, yaitu
berkumpulnya seluruh manusia, lalu ia menegakkan hujjah di hadapan semua para
penyembah berhala tersebut atas kebatilan perbuatan mereka, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Musa ‘alaihissalam kepada Fir’aun: “Berkata Musa, ‘Waktu untuk
pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya dan hendaklah dikumpulkan
manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik.”‘ (QS. Thaha: 95).
Ketika
orang-orang telah berkumpul dan telah menghadirkan Ibrahim, mereka berkata,
“Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai
Ibrahim?” Ibrahim menjawab, “Sebenarnya patung yang besar itulah yang
melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat
berbicara.” (QS. Al-Anbiya: 62-63).
Yang
dimaksudkan Ibrahim terhadap ucapannya ini tidak lain adalah agar mereka segera
menjawab bahwa berhala-berhala tersebut tidak mampu berbicara, sehingga mereka
mengakui bahwa berhala-berhala tersebut adalah benda mati sebagaimana benda
mati lainnya. Lalu mereka kembali kepada jiwa mereka dengan mencela diri.
Mereka bingung serta kehabisan hujjah dan tidak ada lagi yang tersisa melainkan
menggunakan kekuatan. Mereka pun segera mengumpulkan kayu bakar, kemudian
mereka kumpulkan di sebuah parit yang sangat besar dan menyalakannya. Api
tersebut berkobar-kobar sangat tinggi yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Kemudian mereka meletakkan Ibrahim ‘alaihissalam di piringan manjaniq (alat
pelempar semacam meriam) yang dibuat oleh seseorang yang berasal dari Akrad
yang bernama Haizan. Dialah orang yang pertama kali membuat manjaniq, Allah pun
menenggelamkannya ke dalam bumi. Ketika Ibrahim ‘alaihissalam diletakkan di
piringan manjaniq posisinya ada dalam keadaan terikat, kemudian mereka
melemparnya ke api. Saat itu Ibrahim berkata, “Hasbunallaah wa ni’mal wakiil
(Cukuplah Allah sebagai pelindung kami. Dan Allah adalah sebaik-baik pelindung).”
Imam
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya ia berkata, “Cukuplah
Allah sebagai pelindung kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.” Dzikir
ini diucapkan oleh Ibrahim saat ia dilempar ke dalam api. Dan diucapkan oleh
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamketika dikatakan kepadanya:
“(Yaitu)
orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang
yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kami, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah
keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan
Allah adalah sebaik-baik Pelindung. Maka mereka kembali dengan nikmat dan
karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa. “‘ (QS.
Ali lmran: 173-174).
Allah
ta’ala berfirman: “Hai api, menjadi dinginlah dan menjadilah keselamatan bagi
Ibrahim” (QS. Al-Anbiya’: 69). Maka tidak ada sesuatu pun yang terbakar dari
Ibrahim selain tali pengikatnya saja.
Dari
Ummu Syuraik bahwa Rasulullah pernah memerintahkan membunuh tokek/cicak dan
bersabda, “Dahulu ia meniup (api yang membakar) lbrahim.”[2]
Kemudian
Allah menyebutkan perdebatan kekasih-Nya dengan seorang raja tiran lagi kafir
yang mengaku dirinya sebagai tuhan. Lalu Ibrahim ‘alaihissalam berhasil
mementahkan hujjah sang raja. Raja tersebut adalah raja Babilonia. Namanya
adalah Namrud bin Kusy bin Sam bin Nuh. “Ibrahim berkata, ‘Tuhanku ialah yang
menghidupkan dan mematikan.”‘ (QS. Al-Baqarah: 258). Raja bodoh ini berkata, “Aku
juga dapat menghidupkan dan mematikan.” Dan para rasul telah diberi hujjah
(dalam menghadapi hal itu):
“Ibrahim
berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah
dia dari barat.’ Lalu terdiam heranlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang zhalim. (QS. Al-Baqarah: 258)
Setelah
kejadian tersebut, Ibrahim ‘alaihissalam hijrah ke Mesir, kemudian kembali
dengan ditemani oleh Hajar wanita Qibthi Mesir.
Adapun
Luth ‘alaihissalam, ia singgah di kota Sodom berdasarkan perintah Ibrahim.
Penduduk Sodom adalah orang-orang yang berlaku buruk, kafir, lagi fajir.
Kemudian
Hajar melahirkan tiga belas tahun sebelum kelahiran Ishaq. Tatkala Isma’il
lahir, Allah ta’ala mewahyukan kepada Ibrahim berupa kabar gembira akan
lahirnya Ishaq dari kandungan Sarah. Setelah kelahiran Isma’il dari Hajar,
memuncaklah kecemburuan Sarah. Sarah meminta kepada Ibrahim agar ia menjauhkan
Hajar darinya. Maka Ibrahim pergi membawa Hajar dan Isma’il hingga sampai ke
suatu tempat yang bernama Makkah. Ketika itu Makkah tidak didiami oleh seorang
pun dan juga tidak ada air di sana. Ibrahim hanya meletakkan sebuah kantong
yang berisi kurma dan kantong kulit berisi air di sisi keduanya. Kemudian
Ibrahim meninggalkan tempat tersebut. Ketika air yang di kantong mulai habis,
Hajar pun kehausan. Demikian halnya dengan anaknya ia menggelepar-gelepar
(karena kehausan). Hajar pun berbolak-balik antara Bukit Shafa dan Marwah demi
untuk mendapatkan air. Ia melakukan hal itu sebanyak tujuh kali dan ia tidak
melihat seorang pun. Kemudian ia mendengar suara. Ternyata suara itu datangnya
dari malaikat yang tengah berada di dekat Zam-zam. Malaikat tersebut
mengais-ngaiskan sayapnya hingga muncul air. Lalu Hajar pun membendung air
tersebut.
Air
Zamzam
Ibnu
‘Abbas berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Semoga Allah
merahmati ibu Isma’il. Jika saja ia membiarkan air Zam-zam itu, niscaya ia
menjadi mata air yang mengalir.”‘ [3] Akan tetapi Hajar membendung air tersebut
dengan kedua tangannya, disebabkan rasa semangat yang dimilikinya. Maka ia pun
meminum air itu dan menyusui anaknya. (Kondisi ini terus berlangsung) hingga
sebuah keluarga dari kalangan Jurhum melewati mereka. Lantas mereka pun singgah
di sekitar air tersebut dan mengirim utusan kepada keluarga mereka agar mereka
ikut datang dan menetap di sana bersama mereka. Sang bayi pun (Isma’il) tumbuh
besar dan belajar bahasa Arab dari mereka. Setelah dewasa mereka menikahkannya
dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Setelah itu ibu Isma’il meninggal
dunia. Kemudian Ibrahim datang dan berkata, “Wahai Isma’il, sesungguhnya Allah
memerintahku untuk membangun sebuah rumah di sini.” Saat itulah mereka berdua
meninggikan pondasi Baitullah.
Ilustrasi
Ka’bah
Maqom
Ibrahim
Adapun
kisah penyembelihan, maka tidak ada perbedaan di kalangan para ulama al-milal
wa an-nihal (pakar sejarah keagamaan) bahwa yang disembelih adalah Ismail
‘alaihissalam, putra dan anak remaja pertamanya “Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim.” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Yakni telah mencapai umur remaja dan bekerja untuk kemaslahatan dirinya seperti
halnya bapaknya. Pada saat itulah Ibrahim ‘alaihissalam bermimpi bahwa ia
diperintahkan menyembelih anaknya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
‘Abbas secara marfu’, “Mimpinya para Nabi adalah wahyu.” Maka Ibrahim pun
mengutarakan hal itu kepada putranya “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu.” (QS.
Ash-Shaffat: 102) Maka dengan bersegera putra yang santun itu memenuhi
keinginan bapaknya, al-Khalil Ibrahim dan berkata, “Hai bapakku, kerjakanlah
apa yang diberitahukan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102).
Ilustrasi
Jawaban
ini merupakan puncak ketenangan dan ketaatan serta ia berazam atas hal itu.
Ibrahim pun menorehkan pisaunya di atas tenggorokan putranya, namun pisau
tersebut sedikit pun tidak dapat memotongnya. Di saat seperti itu ia diseru
oleh Allah ‘azza wa alla “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan
mimpi itu …… (QS. Ash-Shaffat 104-105). Yaitu tercapai maksud dari ujian, ketaatan,
dan kesegeraanmu pada perintah Tuhan-Mu: “Dan Kami tebus anak itu dengan
sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 107) Yang masyhur dari mayoritas
ulama bahwa tebusan itu adalah domba putih, ada warna hitam di sekitar matanya,
dan bertanduk.
Kemudian,
Ibrahim dikaruniai seorang putra bernama Ishaq, setelah Ishaq disusul dengan
Ya’kub ‘alaihimussalam.
Foot
Note:
[1]
Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa nama bapaknya adalah Tarih –pentj-
[2]
HR. AI-Bukhari dalam Shahihnya (3109), Imam Ahmad dalam Musnadnya
(24463).
[3]
HR. AI-Bukhari (2195) dan Imam Ahmad dalam Musnadnya (3217)
Sumber:
Mukhtasar Bidayah wan Nihayah – Ibnu Katsir, Diringkas oleh Syaikh Ahmad Khani,
Penerbit Pustaka as Sunnah
Artikel: www.KisahIslam.net
JAKARTA 23/5/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar