Muqaddimah
Surat ini adalah
surat Madaniyah, terdiri dari tiga ayat, sebagai berita gembira bagi Nabi dan
sahabat yang berupa turunnya pertolongan Allah bagi agama mereka. Dibukanya
hati manusia untuk menerima agama ini lalu diperintahkannya mereka untuk
bertasbih dan mensucikan Allah. Sebab itu semua adalah faktor keberhasilan.
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ﴿١﴾وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا﴿٢﴾فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا﴿٣﴾
Artinya:
- Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
- Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
- Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat.
Nabi sangat
berambisi agar semua manusia beriman, terutama Quraisy dan bangsa Arab. Sebagai
manusia, Nabi juga tidak mengetahui yang gaib. Oleh karena itu terkadang ia
terguncang dan gusar kalau ada yang menimpa dakwah. Maka surat ini menjadi
berita gembira untuk beliau dan mengingatkan beliau, sebaiknya engkau tidak
bersikap demikian. Ini konteksnya, kebaikan orang-orang baik adalah kejahatan
orang-orang dekat. Boleh jadi sesuatu menjadi kebaikan bagimu namun bagi orang
lain dosa kecil yang tidak perlu minta ampun.
Jika pertolongan
Allah datang dan memang harus datang. Lalu datang pula kunci untuk negeri yang
tadinya tertutup dan hati yang terkatup. Anda melihat manusia masuk ke dalam
agama Allah berbondong-bondong dan berkelompok-kelompok. Untuk menyambut
kemenangan ini, wajib bersyukur dan memuji Allah karena Dia yang layak mendapat
pujian. Jika itu semua terjadi, kamu juga wajib bertasbih mensucikan Tuhanmu
seperti yang seharusnya. Bertasbihlah untuk-Nya dengan memuji-Nya atas
perbuatan indah-Nya, menyebut sifat-sifat-Nya yang laik dan nama-nama-Nya yang
bagus. Juga beristighfarlah untuk dosamu dan mintalah ampunan atas apa yang
pernah kamu lakukan dan tidak layak bagimu selaku penutup para dan rasul. Beristighfarlah
kepada Allah karena Dia Maha menerima taubat hamba-Nya serta memaafkan
kesalahannya. Dia Maha Mengetahui apa yang engkau lakukan. Yang menjadi objek
bicara surat ini adalah Nabi dan siapa saja pantas.
Diriwayatkan
bahwa surat ini merupakan belasungkawa untuk Nabi, karena Muhammad saw telah
menunaikan risalahnya secara sempurna. Jika telah menunaikan tugas, beliau akan
segera bertemu dengan Pertemanan Tertinggi, Allah Azza wa Jalla.
Sebagian sahabat memahami esensi surat ini lalu menangisi Rasulullah.
Ada sebuah
riwayat dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
“Umar Pernah
mengajakku dalam sebuah majlis orang dewasa, sehingga sebagian sahabat bertanya
"Mengapa si anak kecil ini kau ikut sertakan, kami juga punya anak-anak
kecil seperti dia?" Umar menjawab, "Seperti itulah yang kalian
tahu."
Suatu hari Umar
mengundang mereka dan mengajakku bersama mereka. Seingatku, Umar tidak
mengajakku saat itu selain untuk mempertontonkan kepada mereka kualitas
keilmuanku. Lantas Umar bertanya, "Bagaimana komentar kalian tentang ayat
(yang artinya), "Seandainya pertolongan Allah dan kemenangan datang (1)
dan kau lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong (2) -hingga
ahkir surat. (QS. An Nashr: 1-3). Sebagian sahabat berkomentar
(menafsirkan ayat tersebut), "Tentang ayat ini, setahu kami, kita
diperintahkan agar memuji Allah dan meminta ampunan kepada-Nya, ketika kita
diberi pertolongan dan diberi kemenangan." Sebagian lagi berkomentar,
"Kalau kami tidak tahu." Atau bahkan tidak ada yang berkomentar sama
sekali. Lantas Umar bertanya kepadaku, "Wahai Ibnu Abbas, beginikah kamu
menafsirkan ayat tadi? "Tidak", jawabku. "Lalu bagaimana
tafsiranmu?”, tanya Umar. Ibnu Abbas menjawab, "Surat tersebut adalah
pertanda wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sudah dekat.
Allah memberitahunya dengan ayatnya: "Jika telah datang pertolongan Allah
dan kemenangan', itu berarti penaklukan Makkah dan itulah tanda ajalmu
(Muhammad), karenanya "Bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah
ampunan, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat.” Kata Umar, "Aku tidak
tahu penafsiran ayat tersebut selain seperti yang kamu (Ibnu Abbas) ketahui."”
(HR. Bukhari no. 4294)
Asbabun Nuzul Ayat
Menurut
catatan Al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam kitabnya Al-Fathul-Bari, dalam Hadis yang
dirawikan oleh Abu Ya’la dari Abdullah bin Umar, Surat ini diturunkan ialah
ketika beliau berhenti di Mina di hari Tasyriq, pada waktu beliau melakukan
Haji Wada’. Maka mafhumlah beliau bahwa Surat ini pun adalah menjadi isyarat
juga baginya bahwa tugasnya sudah hampir selesai di dunia ini dan tidak lama
lagi dia pun akan dipanggil ke hadhrat Tuhan.
Ada juga
kemusykilan orang tentang riwayat itu. Sebab Haji Wada’ terjadi dua tahun
setelah Makkah takluk. Tetapi yang mempertahankan riwayat itu mengatakan bahwa
orang berbondong masuk ke dalam Agama Allah itu tidaklah putus-putus sampai pun
ketika Haji Wada’ itu, bahkan sampai setelah beliau kembali ke Madinah selesai
Haji Wada’.
Dan tersebut
juga dalam catatang riwayat bahwa beberapa orang sahabat yang utama, sebagai
Abu Bakar, Umar dan Abbas mengerti juga akan qiyas isyarat Surat ini. Karena
mereka mengerti bahasa Arab, bahasa mereka sendiri, tahulah bayangan kata,
kalau pertolongan telah datang dan kemenangan telah tercapai, artinya tugas
telah selesai.
Sebab itu ada
riwayat dari Muqatil, bahwa seketika ayat dibaca Nabi di hadapan
sahabat-sahabat, banyak yang bergembira, namun ada yang menangis, yaitu Abbas
bin Abdul Muthalib.
“Mengapa
menangis, paman?” Tanya Nabi SAW kepada beliau.
Abbas
menjawab: “Ada isyarat pemberitahuan waktumu telah dekat!” “Tepat apa yang
paman sangka itu,” kata beliau.
Dan hanya 60
hari saja, menurut keterangan Muqatil, sesudah beliau bercakap-cakap hal itu
dengan Nabi, memang berpulanglah Nabi ke hadhrat Tuhan.
Dalam sebuah
Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Umar bin Khattab pada masa pemerintahannya
memanggil orang-orang tua hadir dalam Perang Badar untuk pertemuan
Shilatur-rahmi. Di sana hadir Ibnu Abbas yang masih muda. Beliau tanyakan
pendapatnya tentang “Idzaa Jaa-a Nashrullaahi”, ini. Dia pun menyatakan
bahwa Surat ini pun isyarat bahwa ajal Nabi telah dekat.
Dan sejak
ayat itu turun, selalu Rasulullah membaca dalam sujud dan ruku’nya:
“Amat Suci
Engkau, ya Tuhan kami, dan dengan puji-pujian kepada Engkau. Ya Tuhanku,
ampunilah kiranya aku ini.”
Berkata Ibnu
Umar: “Surat Idzaa
Jaa-a ini turun di Mina ketika Haji Wada’ (Haji Rasulullah yang
terakhir, atau Haji Selamat Tinggal). Kemudian itu turunlah ayat “Al-Yauma
Akmaltu Lakum Diinakum.” (Surat 5, ayat 3). Setelah ayat itu turun,
80 hari di belakangnya Rasulullah SAW pun wafat. Sesudah itu turun pulalah ayat
Al-Kalalah (Suray 4, An-Nisa’, ayat 175 penutup Surat), maka 50 hari sesudah
ayat itu turun, Rasulullah SAW pun kembalilah ke hadhrat Tuhan. Kemudian
turunlah ayat “Laqad
Jaa-akum Rasuulun Min Anfusikum.” (Surat 9, At-Taubah, ayat 128),
maka 35 hari setelah ayat itu turun beliau pun meninggal. Akhir sekali turunlah
ayat “Wattaqquu
Yauman Turja’uu-na Fiihi Ilallaah.” (Surat 2, Al-Baqarah ayat 281).
Maka 21 hati setelah ayat itu turun, beliau pun meninggal.
Tafsir Ayat
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
1. (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan).
Kata nashr, artinya al ‘aun (pertolongan).[5]
Yang dimaksud dengan nashrullah dalam ayat ini, menurut Ibnu Rajab rahimahullah ialah pertolongan-Nya bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat berhadapan dengan musuh-musuhnya, sehingga berhasil beliau menundukkan bangsa ‘Arab semuanya dan berkuasa atas mereka, termasuk atas suku Quraisy, Hawazin dan suku-suku lainnya. [6]
Secara eksplisit, surat ini memuat bisyarah (kabar gembira) bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata,"Dalam surat ini terdapat bisyarah dan perintah kepada Rasul-Nya n pada saat kemunculannya. Kabar gembira ini berupa pertolongan Allah bagi Rasul-Nya dan peristiwa penaklukan kota Mekkah dan masuknya orang-orang ke agama Allah lSubhanahu wa Ta'ala dengan berbondong-bondong."[7]
Dalam menjelaskan pengertian ayat di atas, Syaikh Abu Bakr al Jazairi mengungkapkan: "Jika telah datang pertolongan Allah bagimu wahai Muhammad, hingga engkau berhasil mengalahkan para musuhmu di setiap peperangan yang engkau jalani, dan datang anugerah penaklukkan, yaitu penaklukan kota Mekkah, Allah membukanya bagi dirimu, sehingga menjadi wilayah Islam, yang sebelumnya merupakan daerah kekufuran”. [8]
Adapun pengertian al fathu pada surat ini adalah fathu Makkah. Yakni penaklukan kota suci Mekkah. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,"Yang dimaksud dengan al fathu yaitu fathu Makkah. (Ini merupakan) sebuah pendapat yang sudah bulat.” [9]
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari rahimahullah, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dan Imam al Qurthubi rahimahullah juga menegaskan pendapat senada. [10]
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
2. (Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong).
Disebutkan dalam Shahihul-Bukhari, dari ‘Amr bin Salimah, ia berkata:
وَكَانَتْ الْعَرَبُ تَلَوَّمُ بِإِسْلَامِهِمْ الْفَتْحَ فَيَقُولُونَ اتْرُكُوهُ وَقَوْمَهُ فَإِنَّهُ إِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِمْ فَهُوَ نَبِيٌّ صَادِقٌ فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ
(Dahulu) bangsa Arab menunggu-nunggu al Fathu (penaklukan kota Mekah) untuk memeluk Islam. Mereka berkata: "Biarkanlah dia (Rasulullah) dan kaumnya. Jika beliau menang atas mereka, berarti ia memang seorang nabi yang jujur". Ketika telah terjadi penaklukan kota Mekkah, setiap kaum bersegera memeluk Islam, dan ayahku menyegerakan keIslaman kaumnya Shallallahu 'alaihi wa sallam.[11]
Menurut Imam al Qurthubi, peristiwa tersebut terjadi ketika kota Mekkah berhasil dikuasi.
Bangsa Arab berkata: "Bila Muhammad berhasil mengalahkan para penduduk kota suci (Mekkah), padahal dulu mereka dilindungi oleh Allah dari pasukan Gajah, maka tidak ada kekuatan bagi kalian (untuk menahannya). Maka mereka pun memeluk Islam secara berbondong-bondong”. [12]
Tidak berbeda dengan keterangan itu, Ibnu Katsir rahimahullah juga memberi penjelasan: “Saat terjadi peristiwa penaklukan Mekkah, orang-orang memeluk agama Allah secara berbondong-bondong. Belum lewat dua tahun, Jazirah Arab sudah tersirami oleh keimanan dan tidak ada simbol di seluruh suku Arab, kecuali simbol Islam. Walillahil-Hamdu wal minnah”.[13]
Ayat ini juga menandakan, bahwa kemenangan akan terus berlangsung bagi agama ini dan akan semakin bertambah saat dilantunkannya tasbih, tahmid dan istighfar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini merupakan bentuk syukur. Faktanya yang kemudian dapat kita jumpai pada masa khulafaur-rasyidin dan generasi setelah mereka.
Pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala itu akan berlangsung terus-menerus sampai Islam masuk ke daerah yang belum pernah dirambah oleh agama lainnya. Dan ada kaum yang masuk Islam, tanpa pernah ada yang masuk ke agama lainnya. Sampai akhirnya dijumpai adanya pelanggaran pada umat ini terhadap perintah Allah, sehingga mereka dilanda bencana, yaitu berupa perpecahan dan terkoyaknya keutuhan mereka.[14]
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
3. (Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat).
Imam al Qurthubi rahimahullah menurutkan penafsirannya: "Jika engkau shalat, maka perbanyaklah dengan cara memuji-Nya atas limpahan kemenangan dan penaklukan kota Mekkah. Mintalah ampunan kepada Allah”. Inilah keterangan yang beliau rajihkan.[15
.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةً بَعْدَ أَنْ نَزَلَتْ عَلَيْهِ إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَّا يَقُولُ فِيهَا سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata: "Tidaklah Rasulullah n mengerjakan shalat setelah turunnya surat ini, kecuali membaca Subhanaka Rabbana wa bihamdika Allahummaghfirli (Maha Suci Rabb kami dan pujian kepada-Mu, ya Allah ampunilah aku)". [16]
Sejumlah sahabat mengartikan ayat ini dengan berkata: "(Maksudnya) Allah memerintahkan kami untuk memuji dan memohon ampunan kepada-Nya, manakala pertolongan Allah telah tiba dan sudah menaklukkan (daerah-daerah) bagi kita". Pernyataan ini muncul, saat 'Umar bin al Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengarahkan pertanyaan kepada mereka mengenai kandungan surat an-Nashr.[17]
Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari penjelasan ini dengan berkata: "Makna yang ditafsirkan oleh sebagian sahabat yang duduk bersama Umar Radhiyallahu 'anhum ialah, bahwa kita diperintahkan untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya ketika Dia telah menaklukkan wilayah Madain dan benteng-bentengnya, yaitu dengan melaksanan shalat karena-Nya dan memohon ampunan kepada-Nya merupakan pengertian yang memikat lagi tepat. Terdapat bukti penguat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat delapan raka'at pada hari penaklukan kota Mekkah. Dalam Sunan Abu Daud termaktub bahwa beliau mengucapkan salam pada setiap dua raka'at di hari penaklukan kota Mekkah. Demikianlah yang dilakukan Sa’ad bin Abil Waqqash Radhiyallahu 'anhu pada hari penaklukan kota Mada-in".[18]
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
4. (Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat).
Maksudnya, Allah Maha menerima taubat orang-orang yang bertasbih dan memohon ampunan. Dia mengampuni, merahmati mereka dan menerima taubat mereka. Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja yang sudah ma’shum (terpelihara dari dosa-dosa) diperintahkan untuk beristighfar, maka bagaimanakah dengan orang lain?[19]
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
1. (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan).
Kata nashr, artinya al ‘aun (pertolongan).[5]
Yang dimaksud dengan nashrullah dalam ayat ini, menurut Ibnu Rajab rahimahullah ialah pertolongan-Nya bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat berhadapan dengan musuh-musuhnya, sehingga berhasil beliau menundukkan bangsa ‘Arab semuanya dan berkuasa atas mereka, termasuk atas suku Quraisy, Hawazin dan suku-suku lainnya. [6]
Secara eksplisit, surat ini memuat bisyarah (kabar gembira) bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata,"Dalam surat ini terdapat bisyarah dan perintah kepada Rasul-Nya n pada saat kemunculannya. Kabar gembira ini berupa pertolongan Allah bagi Rasul-Nya dan peristiwa penaklukan kota Mekkah dan masuknya orang-orang ke agama Allah lSubhanahu wa Ta'ala dengan berbondong-bondong."[7]
Dalam menjelaskan pengertian ayat di atas, Syaikh Abu Bakr al Jazairi mengungkapkan: "Jika telah datang pertolongan Allah bagimu wahai Muhammad, hingga engkau berhasil mengalahkan para musuhmu di setiap peperangan yang engkau jalani, dan datang anugerah penaklukkan, yaitu penaklukan kota Mekkah, Allah membukanya bagi dirimu, sehingga menjadi wilayah Islam, yang sebelumnya merupakan daerah kekufuran”. [8]
Adapun pengertian al fathu pada surat ini adalah fathu Makkah. Yakni penaklukan kota suci Mekkah. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,"Yang dimaksud dengan al fathu yaitu fathu Makkah. (Ini merupakan) sebuah pendapat yang sudah bulat.” [9]
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari rahimahullah, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dan Imam al Qurthubi rahimahullah juga menegaskan pendapat senada. [10]
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
2. (Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong).
Disebutkan dalam Shahihul-Bukhari, dari ‘Amr bin Salimah, ia berkata:
وَكَانَتْ الْعَرَبُ تَلَوَّمُ بِإِسْلَامِهِمْ الْفَتْحَ فَيَقُولُونَ اتْرُكُوهُ وَقَوْمَهُ فَإِنَّهُ إِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِمْ فَهُوَ نَبِيٌّ صَادِقٌ فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ
(Dahulu) bangsa Arab menunggu-nunggu al Fathu (penaklukan kota Mekah) untuk memeluk Islam. Mereka berkata: "Biarkanlah dia (Rasulullah) dan kaumnya. Jika beliau menang atas mereka, berarti ia memang seorang nabi yang jujur". Ketika telah terjadi penaklukan kota Mekkah, setiap kaum bersegera memeluk Islam, dan ayahku menyegerakan keIslaman kaumnya Shallallahu 'alaihi wa sallam.[11]
Menurut Imam al Qurthubi, peristiwa tersebut terjadi ketika kota Mekkah berhasil dikuasi.
Bangsa Arab berkata: "Bila Muhammad berhasil mengalahkan para penduduk kota suci (Mekkah), padahal dulu mereka dilindungi oleh Allah dari pasukan Gajah, maka tidak ada kekuatan bagi kalian (untuk menahannya). Maka mereka pun memeluk Islam secara berbondong-bondong”. [12]
Tidak berbeda dengan keterangan itu, Ibnu Katsir rahimahullah juga memberi penjelasan: “Saat terjadi peristiwa penaklukan Mekkah, orang-orang memeluk agama Allah secara berbondong-bondong. Belum lewat dua tahun, Jazirah Arab sudah tersirami oleh keimanan dan tidak ada simbol di seluruh suku Arab, kecuali simbol Islam. Walillahil-Hamdu wal minnah”.[13]
Ayat ini juga menandakan, bahwa kemenangan akan terus berlangsung bagi agama ini dan akan semakin bertambah saat dilantunkannya tasbih, tahmid dan istighfar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini merupakan bentuk syukur. Faktanya yang kemudian dapat kita jumpai pada masa khulafaur-rasyidin dan generasi setelah mereka.
Pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala itu akan berlangsung terus-menerus sampai Islam masuk ke daerah yang belum pernah dirambah oleh agama lainnya. Dan ada kaum yang masuk Islam, tanpa pernah ada yang masuk ke agama lainnya. Sampai akhirnya dijumpai adanya pelanggaran pada umat ini terhadap perintah Allah, sehingga mereka dilanda bencana, yaitu berupa perpecahan dan terkoyaknya keutuhan mereka.[14]
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
3. (Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat).
Imam al Qurthubi rahimahullah menurutkan penafsirannya: "Jika engkau shalat, maka perbanyaklah dengan cara memuji-Nya atas limpahan kemenangan dan penaklukan kota Mekkah. Mintalah ampunan kepada Allah”. Inilah keterangan yang beliau rajihkan.[15
.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةً بَعْدَ أَنْ نَزَلَتْ عَلَيْهِ إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَّا يَقُولُ فِيهَا سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata: "Tidaklah Rasulullah n mengerjakan shalat setelah turunnya surat ini, kecuali membaca Subhanaka Rabbana wa bihamdika Allahummaghfirli (Maha Suci Rabb kami dan pujian kepada-Mu, ya Allah ampunilah aku)". [16]
Sejumlah sahabat mengartikan ayat ini dengan berkata: "(Maksudnya) Allah memerintahkan kami untuk memuji dan memohon ampunan kepada-Nya, manakala pertolongan Allah telah tiba dan sudah menaklukkan (daerah-daerah) bagi kita". Pernyataan ini muncul, saat 'Umar bin al Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengarahkan pertanyaan kepada mereka mengenai kandungan surat an-Nashr.[17]
Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari penjelasan ini dengan berkata: "Makna yang ditafsirkan oleh sebagian sahabat yang duduk bersama Umar Radhiyallahu 'anhum ialah, bahwa kita diperintahkan untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya ketika Dia telah menaklukkan wilayah Madain dan benteng-bentengnya, yaitu dengan melaksanan shalat karena-Nya dan memohon ampunan kepada-Nya merupakan pengertian yang memikat lagi tepat. Terdapat bukti penguat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat delapan raka'at pada hari penaklukan kota Mekkah. Dalam Sunan Abu Daud termaktub bahwa beliau mengucapkan salam pada setiap dua raka'at di hari penaklukan kota Mekkah. Demikianlah yang dilakukan Sa’ad bin Abil Waqqash Radhiyallahu 'anhu pada hari penaklukan kota Mada-in".[18]
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
4. (Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat).
Maksudnya, Allah Maha menerima taubat orang-orang yang bertasbih dan memohon ampunan. Dia mengampuni, merahmati mereka dan menerima taubat mereka. Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja yang sudah ma’shum (terpelihara dari dosa-dosa) diperintahkan untuk beristighfar, maka bagaimanakah dengan orang lain?[19]
Faedah dari ayat di atas:
- Wajibnya bersyukur ketika mendapatkan nikmat. Oleh karena itu, disyariatkannya sujud syukur ketika mendapatkan nikmat (luar biasa).
- Keistimewaannya tafsir Ibnu ‘Abbas daripada tafsir sahabat lainnya.
- Surat ini sebagai tanda semakin dekat wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Disyari’atkannya memberitahukan kematian seseorang kepada keluarganya namun tidak melalui pengumuman dengan suara yang keras. (Aysarut Tafaasir, 1501)
- Disunnahkan membaca dzikir “Subhanakallahumma robbana wa bi hamdika, Allahummagh firlii” ketika ruku’ dan sujud.
- Dianjurkan membaca dzikir “Subhanallah wa bi hamdihi astaghfirullah wa atuubu ilaih”.
Referensi:
Ahkamul Qur’an,
Al Jashshosh, Mawqi’ Al Islam
Aysarut Tafaasir,
Abu Bakr Jabir Al Jazairi, Maktabah Adhwaul Manaar
Tafsir Al Qur’an
Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah
Aisar at-Tafasir li Kalamil-'Aliyyil-Kabir, Abu Bakar Jabir al Jazairi, Cetakan VI, Tahun 1423 H/ 2003 M, Maktabah al Ulum wal- Hikam, al Madinah al Munawwarah, KSA.
2. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, Tahqiq Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan II, Tahun 1421 H/1999 M, Dar al Kitab al ‘Arabi.. Fathul-Bari Syarhu Shahihil-Bukhari, al Hafizh Ibnu Hajar.
Tafsir ath-Thabari (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath- Thabari (224-310 H), Cetakan I, Tahun 1423 H/2002 M, Dar Ibni Hazm.
Tafsiru Suratin-Nashar, al Hafizh Ibnu Rajab al Hambali, Tahqiq 'Abdullah al 'Ajmi.
Tafsir al Qur’an al ‘Azhim, Abu al Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir (700-774 H), Tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Cetakan I, Tahun 1422 H/2002 M, Dar ath-Thayibah, Riyadh.
Taisir al Karimir-Rahman fi Tafsiri Kalamil-Mannan, Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq Abdur-Rahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M, Dar as-Salam, Riyadh, KSA.
Taisirul-Lathifir Rahman fi Khulashati Tafsiril-Qur`an, 'Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Cetakan III, Tahun 1414H /1993M.
Zadul-Masir fi ‘Ilmit-Tafsir, Abul Faraj Abdur-Rahman bin ‘Ali (Ibnul Jauzi), Tahqiq 'Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001M, Darul Kitabil ‘Arabi.
Aisar at-Tafasir li Kalamil-'Aliyyil-Kabir, Abu Bakar Jabir al Jazairi, Cetakan VI, Tahun 1423 H/ 2003 M, Maktabah al Ulum wal- Hikam, al Madinah al Munawwarah, KSA.
2. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, Tahqiq Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan II, Tahun 1421 H/1999 M, Dar al Kitab al ‘Arabi.. Fathul-Bari Syarhu Shahihil-Bukhari, al Hafizh Ibnu Hajar.
Tafsir ath-Thabari (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath- Thabari (224-310 H), Cetakan I, Tahun 1423 H/2002 M, Dar Ibni Hazm.
Tafsiru Suratin-Nashar, al Hafizh Ibnu Rajab al Hambali, Tahqiq 'Abdullah al 'Ajmi.
Tafsir al Qur’an al ‘Azhim, Abu al Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir (700-774 H), Tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Cetakan I, Tahun 1422 H/2002 M, Dar ath-Thayibah, Riyadh.
Taisir al Karimir-Rahman fi Tafsiri Kalamil-Mannan, Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq Abdur-Rahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M, Dar as-Salam, Riyadh, KSA.
Taisirul-Lathifir Rahman fi Khulashati Tafsiril-Qur`an, 'Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Cetakan III, Tahun 1414H /1993M.
Zadul-Masir fi ‘Ilmit-Tafsir, Abul Faraj Abdur-Rahman bin ‘Ali (Ibnul Jauzi), Tahqiq 'Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001M, Darul Kitabil ‘Arabi.
WALLAH A’LAM
BISHAWAB
JAKARTA 14/4/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar