Surat An-Nas ini Makkiyah menurut pendapat paling benar, terdiri dari 6
ayat. Ini merupakan ayat perlindungan yang kedua.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ﴿١﴾
مَلِكِ النَّاسِ ﴿٢﴾ إِلَٰهِ النَّاسِ ﴿٣﴾ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ﴿٤﴾
الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ ﴿٥﴾ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ﴿٦﴾
1.
Katakanlah, “Aku
berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
2. Raja manusia.
3. Sembahan manusia.
4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
6. Dari (golongan) jin dan manusia.”
2. Raja manusia.
3. Sembahan manusia.
4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
6. Dari (golongan) jin dan manusia.”
Muqaddimah
Sedangkan pada
surat An-Naas ini ancamannya dapat mencelakakan manusia baik di dunia maupun di
akhirat. Ancaman yang sangat halus, bukan merupakan kata-kata yang dapat
didengar, sehingga sulit untuk di deteksi. Kemudian yang dijadikan sasarannya
adalah hati, di mana hati manusia merupakan raja dari seluruh anggota tubuh.
Tentang hal tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَُحَتْ
صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ
الْقَلْبُ
“Sesungguhnya
dalam tubuh ini ada segumpal daging, jika baik, maka baiklah seluruh tubuhnya,
jika rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging
itu adalah hati.” (HR. Bukhari
& Muslim)
Tafsir
Ayat ke 4 sd 6
مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ
الْخَنَّاسِ
“Dari kejahatan (bisikan)
syaithan yang biasa bersembunyi.”
Makna Al was-was adalah bisikan
yang betul-betul tersembunyi dan samar, adapun al khannas adalah mundur. Maka
bagaimana maksud dari ayat ini?
Maksudnya, bahwasanya syaithan
selalu menghembuskan bisikan-bisikan yang menyesatkan manusia disaat manusia
lalai dari berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala. Sebagaimana firman-Nya
(artinya):
“Barangsiapa yang berpaling dari
pengajaran Rabb yang Maha Pemurah (Al Qur’an), Kami adakan baginya syaitan
(yang menyesatkan). Maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu
menyertainya.” (Az Zukhruf: 36)
Adapun ketika seorang hamba
berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala, maka syaithan bersifat khannas yaitu
‘mundur’ dari perbuatan menyesatkan manusia. Sebagaimana dalam firman-Nya
(artinya):
“Sesungguhnya syaitan itu tidak
mempunyai kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada
Rabb-nya.” (An Nahl: 99)
Jawaban ini dikuatkan oleh Al
Imam Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya ketika membawakan penafsiran dari
Sa’id bin Jubair dan Ibnu ‘Abbas, yaitu: “Syaithan bercokol di dalam hati
manusia, apabila dia lalai atau lupa maka syaithan menghembuskan was-was
padanya, dan ketika dia mengingat Allah subhanahu wata’ala maka syaithan lari
darinya.
الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ
النَّاسِ
“Yang membisikkan (kejahatan) ke
dalam dada manusia.”
Inilah misi syaithan yang selalu
berupaya menghembuskan was-was kepada manusia. Menghiasi kebatilan sedemikian
indah dan menarik. Mengemas kebenaran dengan kemasan yang buruk. Sehingga
seakan-akan yang batil itu tampak benar dan yang benar itu tampak batil.
Cobalah perhatikan, bagaimana
rayuan manis syaithan yang dihembuskan kepada Nabi Adam dan istrinya. Allah
subhanahu wata’ala kisahkan dalam firman-Nya (artinya):
“Maka syaitan membisikkan pikiran
jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari
mereka yaitu auratnya, dan syaitan berkata: “Rabb-mu tidak melarangmu untuk
mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau
tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam al jannah/surga)”. (Al A’raf: 20)
Hati sebagai
raja adalah yang memerintah seluruh anggota tubuh. Jika hatinya cenderung
kepada ketaatan, maka anggota tubuhnya akan melaksanakan kebaikan tersebut. Dan
begitu pula sebaliknya. Syaitan menjadikan hati sebagai target utama karena
hati adalah ‘tiket’ keselamatan seorang hamba di akhirat, di mana Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُوْنَ إِلَّا
مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
“(yaitu) di
hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang yang menghadap
Allah dengan hati yang bersih/selamat (saliim).” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)
Orang yang
selamat di akhirat adalah orang datang menjumpai Allah dengan hati yang bersih
(Qolbun Saliim). Bersih dan selamat dari penyakit syubhat dan syahwat.
Syubhat adalah bisikan-bisikan syaitan terhadap seorang hamba sehingga dia
meyakini kebenaran sebagai kebatilan, yang sunah sebagai bid’ah dan sebaliknya.
Sedangkan syahwat adalah bisikan syaitan untuk mengikuti segala yang diinginkan
oleh jiwa, meskipun harus menentang aturan Allah subhanahu wa ta’ala. Jika
seorang hamba selalu memperturutkan syahwatnya dan melanggar aturan Allah, maka
lama-kelamaan hatinya akan menganggap kemaksiatannya itu adalah suatu hal yang
biasa, sehingga menjerumuskannya kepada penghalalan suatu yang diharamkan
Allah.
Jika hati
diumpamakan sebagai sebuah benteng, maka syaitan adalah musuh yang hendak masuk
dan menguasai benteng tersebut. Setiap benteng memiliki pintu-pintu yang jika
tidak dijaga maka syaitan akan dapat memasukinya dengan leluasa. Pintu-pintu
itu adalah sifat-sifat manusia yang banyak sekali bilangannya. Di antaranya
seperti; cinta dunia, syahwat dan lain sebagainya. Jika dalam hati masih
bersemayam sifat-sifat tersebut, maka syaitan akan mudah berlalu lalang dan
memasukan bisikannya, sehingga mencegahnya dari mengingat Allah dan mengisi
hati dengan takwa.
Syaitan Jin dan
Manusia
Di kalangan
masyarakat ada yang menganggap bahwa syaitan, jin dan iblis adalah jenis
makhluk tersendiri. Maka ayat terakhir dari surat ini membantah anggapan yang
salah tersebut. Sesungguhnya makhluk yang mendapatkan beban syariat ada dua;
yaitu jin dan manusia. Iblis merupakan bangsa jin berdasarkan firman Allah
subhanahu wa ta’ala yang maknanya:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوْا
لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الجِنِّ
“Dan ketika
Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah
mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin…” (QS. Al-Kahfi: 50)
Sedangkan
syaitan adalah sejahat-jahat makhluk dari kalangan jin dan manusia yang
mengasung sebagian kepada yang lain ke neraka.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيِّ عَدُوًّا
شَيَاطِيْنَ الإِنْسِ وَالجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ القَوْلِ
غُرُورًا
“Dan
demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan
manusia dan jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu…” (QS. Al-An’am: 112)
Keutamaan surat An Naas
Surat ini termasuk golongan surat
Makkiyah (turun sebelum hijrah) menurut pendapat para ulama di bidang tafsir,
diantaranya Ibnu Katsir Asy Syafi’i dan Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’dy.
Surat An Naas merupakan salah
satu Al Mu’awwidzataini. Yaitu dua surat yang mengandung permohonan
perlindungan, yang satunya adalah surat Al Falaq. Kedua surat ini memiliki
kedudukan yang tinggi diantara surat-surat yang lainnya. Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
أُنْزِلَ أَوْ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ
آيَاتٌ لَمْ يُرَ مِثْلُهُنَّ قَطُّ الْمُعَوِّذَتَيْنِ
“Telah diturunkan kepadaku
ayat-ayat yang tidak semisal dengannya yaitu Al Mu’awwidataini (surat An Naas
dan surat Al Falaq).” (H.R Muslim no. 814, At Tirmidzi no. 2827, An Naasa’i no.
944)
Setelah turunnya dua surat ini,
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mencukupkan keduanya sebagai bacaan
(wirid) untuk membentengi dari pandangan jelek jin maupun manusia. (HR. At
Tirmidzi no. 1984, dari shahabat Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu)
Namun bila disebut Al
Mu’awwidzat, maka yang dimaksud adalah dua surat ini dan surat Al Ikhlash. Al
Mu’awwidzat, salah satu bacaan wirid/dzikir yang disunnahkan untuk dibaca
sehabis shalat. Shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir membawakan hadits dari Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau shalallahu ‘alaihi wasallam berkata:
اقْرَأُوا الْمُعَوِّذَاتِ فِيْ
دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ
“Bacalah Al Mu’awwidzat pada
setiap sehabis shalat.” (HR. Abu Dawud no. 1523, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al
Albani dalam Ash Shahihah no. 1514)
Al Mu’awwidzat juga dijadikan
wirid/dzikir di waktu pagi dan sore. Barangsiapa yang membacanya sebanyak tiga
kali diwaktu pagi dan sore, niscaya Allah subhanahu wata’ala akan mencukupinya
dari segala sesuatu. (HR. Abu Dawud no. 4419, An Naasaa’i no. 5333, dan At
Tirmidzi no. 3399)
Demikian pula disunnahkan membaca
Al Mu’awwidztat sebelum tidur. Caranya, membaca ketiga surat ini lalu meniupkan
pada kedua telapak tangannya, kemudian diusapkan ke kepala, wajah dan
seterusnya ke seluruh anggota badan, sebanyak tiga kali. (HR. Al Bukhari 4630
Al Muawwidzat juga bisa dijadikan
bacaan ‘ruqyah’ (pengobatan ala islami dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an).
Dipenghujung kehidupan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau dalam
keadaan sakit. Beliau meruqyah dirinya dengan membaca Al Muawwidzat, ketika
sakitnya semakin parah, maka Aisyah yang membacakan ruqyah dengan Al Muawwidzat
tersebut. (HR. Al Bukhari no. 4085 dan Muslim no. 2195)
Wallahu a’lam.
Rujukan:
- Taisir Karimirrahman fii Tafiiril Kalamil Mannaan (Syaikh Abdurrahaman bin Nashir As-Sa’dy).
- Terjemahan Mukhtashor Minhajul Qashidin (Ibnu Qudamah).
- Tafsiir ‘Usyril Akhiir Minal Qur’anil Kariim (DR. Sulaiman Al-Asyqor).
Jakarta 11/4/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar