Siapakah yang disebut Nafsul-Muthmainnah?
Al-Qur’an sendiri menyebutkan tingkatan yang ditempuh
oleh nafsu atau diri manusia. Pertama Nafsul Ammarah, yang selalu
mendorong akan berbuat sesuatu di luar pertimbangan akal yang tenang. Maka
keraplah manusia terjerumus ke dalam lembah kesesatan karena nafsul-ammarah
ini. (Lihat Surat 12, Yusuf; ayat 53).
Bilamana langkah telah terdorong, tibalah penyesalan diri
atas diri. Itulah yang dinamai Nafsul-Lawwamah. Itulah yang dalam bahasa
kita sehari-hari dinamai “tekanan batin”, atau merasa berdosa. Nafsul-Lawwamah
ini dijadikan sumpah kedua oleh Allah, sesudah sumpah pertama tentang ihwal
hari kiamat. (Surat 75, Al-Qiyamah ayat 2).
Demikian pentingnya, sampai dijadikan sumpah. Karena bila
kita telah sampai kepada Nafsul-Lawwamah, artinya kita telah tiba dipersimpangan
jalan; atau akan menjadi orang yang baik, pengalaman mengajar diri, atau
menjadi orang celaka, karena sesal yang tumbuh tidak dijadikan pengajaran, lalu
timbul sikap yang dinamai “keterlanjuran”.
Karena pengalaman dari dua tingkat nafsu itu, kita dapat
naik mencapai “An-Nafsul-Muthmainnah”, yakni jiwa yang telah mencapai
tenang dan tenteram. Jiwa yang telah digembleng oleh pengalaman dan
penderitaan. Jiwa yang telah melalui berbagai jalan berliku, sehingga tidak
mengeluh lagi ketika mendaki, karena di balik pendakian pasti ada penurunan.
Dan tidak gembira melonjak lagi ketika menurun, karena sudah tahu pasti bahwa
dibalik penurunan akan bertemu lagi pendakian. Itulah jiwa yang telah mencapai
Iman! Karena telah matang oleh berbagai percobaan.
Jiwa inilah yang mempunyai dua sayap. Sayap pertama
adalah syukur ketika mendapat kekayaan, bukan mendabik dada. Dan sabar
ketika rezeki hanya sekedar lepas makan, bukan mengeluh. Yang keduanya telah
tersebut dalam ayat 15 dan 16 tadi.
Jiwa inilah yang tenang menerima segala khabar gembira
(basyiran) ataupun khabar yang menakutkan (nadziran).
Jiwa inilah yang diseru oleh ayat ini:
“Wahai jiwa yang telah mencapai ketentraman.” (ayat 27).
Yang telah menyerah penuh dan tawakkal kepada Tuhannya: Telah tenang, karena
telah mencapai yakin: terhadap Tuhan.
Berkata Ibnu ‘Atha’: “Yaitu jiwa yang telah mencapai
ma’rifat sehingga tak sabar lagi bercerai dari Tuhannya walau sekejap mata.”
Tuhan itu senantiasa ada dalam ingatannya, sebagai tersebut dalam ayat 38 dari
Suray 13, Ar-Ra’ad.
Berkata Hasan Al-Bishri tentang muthmainnah ini: “Apabila
Tuhan Allah berkehendak mengambil nyawa hamba-Nya yang beriman, tenteramlah
jiwanya terhadap Allah, dan tenteram pula Allah terhadapnya.”
Berkata sahabat Rasulullah SAW ‘Amr bin Al-‘Ash (Hadis
mauquf): “Apabila seorang hamba yang beriman akan meninggal, diutus Tuhan
kepadanya dua orang malaikat, dan dikirim beserta keduanya suatu bingkisan dari
dalam syurga. Lalu kedua malaikat itu menyampaikan katanya: “Keluarlah, wahai
jiwa yang telah mencapai keternteramannya, dengan ridha dan diridhai Allah.
Keluarlah kepada Roh dan Raihan. Tuhan senang kepadamu, Tuhan tidak marah
kepadamu.” Maka keluarlah Roh itu, lebih harum dari kasturi.”
“Kembalilah kepada Tuhanmu, dalam keadaan ridha dan
diridhai.” (ayat 28). Artinya: setelah payah engkau dalam perjuangan hidup di
dunia yang fana, sekarang pulanglah engkau kembali kepada Tuhanmu, dalam
perasaan sangat lega karena ridha; dan Tuhan pun ridha, karena telah
menyaksikan sendiri kepatuhanmu kepada_nya dan tak pernah mengeluh.
“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.” (ayat
29). Di sana telah menunggu hamba-hamba-Ku yang lain, yang sama taraf
perjuangan hidup mereka dengan kamu; bersama-sama di tempat yang tinggi dan
mulia. Bersama para Nabi, para Rasul, para shadiqqin dan syuhadaa. “Wa
hasuna ulaa-ika rafiiqa”; Itulah semuanya yang sebaik-baik teman.
“Dan masuklah ke dalam syurga-Ku.” (ayat 30). Di situlah
kamu berlepas menerima cucuran nikmat yang tiadakan putus-putus daripada Tuhan;
Nikmat yang belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya,
dan lebih daripada apa yang dapat dikhayalkan oleh hati manusia.
Dan ada pula satu penafsiran yang lain dari yang lain;
yaitu annafs diartikan dengan roh manusia, dan rabbiki diartikan
tubuh tempat roh itu dahulunya bersarang. Maka diartikannya ayat ini: “Wahai
Roh yang telah mencapai tenteram, kembalilah kamu kepada tubuhmu yang dahulu
telah kamu tinggalkan ketika maut memanggil,” sebagai pemberitahu bahwa di hari
kiamat nyawa dikembalikan ke tubuhnya yang asli. Penafsiran ini didasarkan
kepada qiraat (bacaan) Ibnu Abbas, Fii ‘Abdii dan qiraat umum Fii
“Ibaadil.
Wallahu A’lam Bishshawaabi.{HAMKA}
Jiwa Yang Tenang (Tafsir QS al-Fajr [89]: 27-30)
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾
Hai jiwa yang tenang, kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam
jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS al-Fajr [89]: 27-30).
Dalam ayat-ayat sebelumnya dijelaskan tentang celaan dan
ancaman terhadap para pelaku maksiat. Ancaman itu benar-benar akan menjadi
kenyataan ketika datang Hari Kiamat. Mereka harus menerima siksaan yang amat
dahsyat. Demikian dahsyatnya hingga tidak satu pun siksaan manusia di dunia
yang menyamainya. Mereka pun menyesali perbuatan mereka. Namun, penyesalan itu
sudah terlambat sehingga tidak bermanfaat sama sekali bagi mereka.
Kemudian dalam ayat ini diberitakan tentang adanya
golongan lain dari kalangan manusia. Mereka tidak termasuk yang ditimpa siksaan
tiada tara itu. Mereka justru mendapat kabar gembira dan dimasukkan ke dalam
surga-Nya.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Yâ ayyatuhâ an-nafsu
al-muthmainnah (Hai jiwa yang tenang). Ayat ini memberitakan
tentang pemanggilan an-nafs al-muthmainnah. Kata an-nafs bisa
digunakan untuk menyebut zat (benda) secara keseluruhan (lihat: QS al-Zumar
[39]: 56; QS al-An’am [6]: 151);[1] bisa
juga untuk menyebut ruh (lihat: QS al-An’am [6]: 93).[2]
Adapun kata al-muthmainnah merupakan ism al-fâ’il dari al-thuma’nînah
wa al-ithmi’nân. Secara bahasa, kata al-thuma’nînah berarti
as-sukûn (diam,
tenang, tidak bergerak).[3]
Dijelaskan juga oleh al-Asfahani, kata tersebut berarti as-sukûn
ba’da al-inzi’âj (tenang setelah gelisah atau cemas).[4] Menurut
at-Tunisi, kata ithma’anna
digunakan ketika hâdi[an] ghayra mudhtharib wa lâ munza’ij (tenang,
tidak cemas dan tidak gelisah). Kata itu juga bisa juga digunakan untuk
menunjuk ketenangan jiwa karena membenarkan apa yang dalam al-Quran tanpa ada
keraguan dan kebimbangan. Oleh karena itu, penyebutan tersebut merupakan pujian
atas jiwa tersebut. Bisa pula, ketenangan jiwa tersebut tanpa takut dan fitnah
di akhirat.[5]
Siapa yang dimaksud dengan orang yang berjiwa tenang
dalam ayat ini? Ada beberapa penjelasan. Menurut Ibnu Abbas, dia adalah al-muthmainnah
bi tsawâbil-Lâh (jiwa yang tenteram dengan pahala Allah); juga
bermakna jiwa yang mukmin.[6] Al-Hasan
menafsirkannya sebagai al-mu’minah al-mûqînah (jiwa yang mukmin dan yakin).
Athiyah berpendapat, ia adalah jiwa yang ridha terhadap qadha Allah.[7]
Dikemukakan al-Khazin, yang dimaksud dengannya adalah
jiwa yang teguh di atas iman dan keyakinan, membenarkan apa yang difirmankan
Allah SWT, meyakini Allah SWT sebagai Tuhannya, serta tunduk dan taat terhadap
perintah-Nya.[8] Ibnu
Jarir ath-Thabari memaknainya sebagai orang yang tenteram dengan janji Allah
SWT yang disampaikan kepada ahli iman di dunia berupa kemuliaan bagi dirinya di
akhirat, kemudian dia membenarkan janji itu.[9] Abu
Hayyan al-Andalusi menyatakan, al-muthmainah adalah al-âminah (orang yang
aman dan tenteram) tidak diliputi oleh ketakutan dan kekhawatiran; atau
tenteram dengan kebenaran dan tidak dicampuri dengan keraguan.[10]
Diterangkan Fakhruddin ar-Razi, al-itmi’nân berarti
al-istiqrâr
wa ats-tsabbât (kekokohan dan keteguhan). Bentuk keteguhan itu ada
beberapa. Pertama:
meyakini kebenaran dengan pasti (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 260).
Kedua:
an-nafs
al-âminah (jiwa yang aman dan tenteram) tidak bercampur dengan
ketakutan dan kekhawatiran (Lihat: QS Fushilat [41]: 30).
Jika diperhatikan, sekalipun menggunakan redaksional yang
berbeda-beda, sesungguhnya obyek yang ditunjuk tidak berbeda, yakni orang
Mukmin yang taat dan ikhlas. Ini juga ditegaskan oleh al-Qurthubi, bahwa yang
benar adalah jiwa tersebut bersifat umum mencakup semua jiwa yang mukmin,
muklish
dan taat.[11]
Kepada jiwa yang tenang itu diserukan: Irji’î ilâ
Rabbika râdhiyah mardhiyyah (kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas lagi diridhai). Jiwa itu dipanggil untuk kembali kepada Rabbiki. Yang
dimaksud dengan Rabbiki
di sini adalah Allah SWT.[12]
Digunakan kata Rabbiki,
menurut al-Alusi, untuk menambah kelembutan.[13] Di-mudhâf-kan
kepada dhamîr
an-nafs al-mukhâthah—yakni kata ganti orang kedua yang menunjuk
pada an-nafs—berguna
sebagai tasyrîf[an]
lahu (untuk memuliakannya).[14] Menurut
Ibnu Zaid, perkataan ini disampaikan ketika mati dan keluarnya ruh dari jasad
seorang Mukmin di dunia.[15] Dari
Said berkata, “Saya membaca ayat ini (Yâ ayyatuhâ an-nafsu al-muthmainnah; Irji’î ilâ Rabbiki râdhiyah
mardhiyyah) di samping Rasulullah saw., lalu Abu Bakar ra.
berkata, “Sungguh
ini sesuatu yang bagus.” Kamudian Rasulullah saw. bersabda:
أما إنَّ المَلَكَ سَيَقُولُهَا لَكَ عِنْدَ المَوتِ
Ada juga yang menafsirkan Rabbiki di sini
adalah jasadnya. Artinya, an-nafs dimaknai sebagai ar-rûh lalu
dikembalikan pada jasadnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu
‘Abbas, Ikrimah dan ‘Atha`; juga ath-Thabari dan al-Qurthubi.[17] Menurut
ath-Thabari, perkataan itu disampaikan pada Hari Kebangkitan. Dalilnya adalah
kalimat berikutnya: Fa [i]dkhulî fî ‘ibâdî Wa [id]khulî jannatî.[18]
Disebutkan bahwa jiwa tersebut kembali dalam keadaan râdhiyat[an]
mardhiyyat[an]. Kata râdhiyah berarti râdhiyah bimâ ûtiyatihi (jiwa itu puas dengan apa
yang diberikan kepadanya). Adapun mardhiyyah berarti mardhiyyah ‘indal-Lâh bi ‘amalika (jiwa itu diridhai
di sisi Allah dengan amal kalian).[19] Dengan
kata lain, jiwa tersebut ridha kepada Allah beserta kemuliaan yang diberikan
kepadanya berupa pahala dan Allah pun ridha terhadap jiwa itu.[20]
Kemudian dikatakan kepadanya: Fa [i]dkhulî fî ‘ibâdî (lalu
masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku). Seruan ini berarti: Masuklah ke
dalam kumpulan hamba-Ku yang shalih dan bergabunglah bersama mereka.
Sebab, maksud ibâdî
(para hamba-Ku) sebagaimana dijelaskan mufassir adalah ibâdî
ash-shâlihîn, para hamba-Ku yang shalih. Di antara yang
mengatakan demikian adalah Qatadah, al-Qurthubi, al-Khazin, Abu Hayyan,
as-Samarqandi, al-Jazairi, dan lain-lain.[21] Menurut
al-Qurthubi, ini sebagaimana firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَنُدْخِلَنَّهُمْ فِي الصَّالِحِينَ ﴿٩﴾
Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
salih benar-benar akan Kami masukkan ke dalam (golongan) orang-orang yang salih
(QS al-Ankabut [29]: 9).
Kemudian dikatakan pula kepadanya: Wa [id]khulî
jannatî (dan masuklah ke dalam surga-Ku). Mereka juga dipersilakan
masuk ke dalam surga-Nya. Mereka menjadi penghuninya yang kekal dan abadi.
Mereka benar-benar mendapatkan apa yang dijanjikan Allah SWT, yakni surga yang
di dalamnya terdapat segala yang disenangi manusia. Allah SWT berfirman:
فِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ ۖ وَأَنتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿٧١﴾
Di dalam surga itu terdapat segala yang
diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya (QS az-Zukhruf [43]: 71).
Itulah sebaik-baik tempat kembali. Semua karunia
itu diberikan kepada mereka sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan
selama di dunia.
Keberuntungan Jiwa yang Tenang
Ayat-ayat ini adalah di antara ayat yang memberitakan
kabar gembira kepada orang-orang Mukmin dan beramal shalih yang tetap istiqamah
hingga akhir hayatnya. Sebagaimana dipaparkan di muka, merekalah yang
mendapatkan kehormatan berupa sebutan: an-nafs al-muthaminnah.
Sebutan tersebut benar-benar sesuai dengan keadaan dan
realitas mereka, terutama pada Hari Kiamat kelak. Pada saat orang-orang kafir
dan para pelaku kemaksiatan merasakan ketakutakan luar biasa ketika datangnya
Hari Kiamat yang memang mengerikan, mereka justru dijamin keamanannya. Mereka
tidak perlu takut dan khawatir. Bahkan mereka dipanggil dengan panggilan yang
amat lembut: Yâ
ayyatuhâ an-nafs al-muthaminnah (Wahai jiwa yang tenang lagi
tenteram).
Ketika orang-orang kafir dan pelaku maksiat menerima azab
tiada tara di neraka, mereka dijauhkan dari siksa yang amat dahsyat itu. Mereka
pun dipanggil untuk bergabung bersama dengan para hamba Allah SWT yang shalih
lainnya. Mereka adalah sebaik-baik teman sebagaimana ditegaskan dalam
firman-Nya:
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا ﴿٦٩﴾
Siapa saja yang menaati Allah dan Rasul-Nya,
mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh
Allah, yaitu: para nabi, shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang salih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (QS an-Nisa’ [4]: 69).
Mereka juga dipersilakan memasuki surga-Nya yang penuh
dengan kenikmatan. Mereka pun amat puas terhadap semua karunia Allah SWT itu.
Allah SWT juga ridha terhadap mereka. Itulah balasan untuk mereka atas keimanan
dan amal shalih mereka. Ini sebagaimana diberitakan dalam firman Allah SWT:
جَزَاؤُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ ﴿٨﴾
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah
Surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.
Itulah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya (QS al-Bayyinah [98]: 8).
Mereka adalah orang-orang yang beruntung. Balasan yang
yang mereka terima jauh lebih besar daripada yang mereka korbankan. Sewaktu di
dunia, mereka memang harus bersusah-payah menjaga keimanan dan memperbanyak
amal shalih. Mereka harus berjuang keras mengekang hawa nafsunya dan menahan
diri tidak mengumbar kesenangannya. Mereka juga harus bersabar menjalani semua
perintah-Nya dan menjauhi semua laranangan-Nya. Demikian pula tatkala
menghadapi berbagai godaan, cobaan dan ujian; mereka harus tetap kokoh dan
teguh. Sikap itu harus terus dipelihara sekalipun harus menanggung penderitaan
dan rasa sakit. Akan tetapi, semua beban berat itu lenyap seketika tatkala
mereka mengecap kenikmatan surga. Demikian nikmatnya hingga seolah-olah tidak
pernah merasakan penderitaan sedikit pun.
Keadaan mereka berkebalikan dengan orang-orang kafir dan
para pelaku maksiat. Segala kesenangan yang mereka rasakan tidak sebanding
dengan dahsyatnya siksa yang harus mereka terima. Begitu dimasukkan ke dalam
neraka, semua kesenangan itu langsung sirna tak bersisa. Seolah mereka tidak
pernah mengenyam kenikmatan sedikit pun. Rasulullah saw. bersabda:
يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِى النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ فَيَقُولُ لاَ وَاللهِ يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِى الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِى الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ فَيَقُولُ لاَ وَاللهِ يَا رَبِّ مَا مَرَّ بِى بُؤُسٌ قَطُّ وَلاَ رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ
Pada Hari Kiamat akan didatangkan
penduduk neraka yang paling bahagia sewaktu di dunia. Lalu ia dicelupkan ke
neraka sekali celupan, kemudian dikatakan kepadanya, “Wahai anak Adam, adakah
engkau melihat kebaikan? Apakah engkau pernah merasakan kenikmatan?” Ia
menjawab, ”Tidak, demi Allah, wahai Rabb-ku.” Didatangkan pula seorang penghuni
surga yang paling sengsara sewaktu di dunia, lalu ia dicelupkan sekali celupan
di surga, kemudian ia ditanya, ”Adakah engkau merasakan penderitaan? Apakah
engkau pernah merasakan kesengsaraan?” Ia menjawab,”Tidak, demi Allah, wahai
Rabb-ku. Aku tidak merasakan penderitaan sedikitpun dan sama sekali belum
pernah mengalami kesengsaraan (HR
Muslim dari Anas bin Malik).
Inilah gambaran besarnya kenikmatan surga dan dahsyatnya
siksa neraka. Maka sungguh beruntung orang-orang yang tidak tertipu dengan
dunia. Orang-orang yang senantiasa mengumpulkan bekal sebanyak-banyak
menyongsong kehidupan akhirat yang abadi. Merekalah orang-orang beriman dan
memenuhi kehidupannya dengan catatan amal shalih. Semoga kita termasuk di
dalamnya.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. {HIZBUT TAHRIR}
Catatan kaki:
[1]
Muhammad Thahir al-Tunisi, At-Tahrîr wa at-Tanwîr , vol. 3 (Tunisia: Dar
al-Tunisiyah, 1984), 342.
[2]
Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Damaskus: Dar al-Qalam,
1992), 868.
[3]
Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 13 (Beirut: Dar Shadir, tt), 268.
[4]
Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân, 534.
[5]
At-Tunis, At-Tahrîr wa at-Tanwîr , vol. 3.
[6]
Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, 20 (Kairo:
Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 57.
[7]
Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur`ân, vol. 5 (Beirut:
Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 253.
[8]
Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420 H).
[9]
Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur`ân, vol. 24 (tt:
al-Risalah, 1420 H), 423.
[10]
Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth fî Tafsîr, vol. 10
(Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 476.
[11]
Al-Qurthubi, Al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qur’ân, 20, 58.
[12]
Al-Qinuji, Fat-h
al-Bayân,15 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 233.
[13]
Al-Alusi, Rûh
al-Ma’ânî, vol. 20 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 347.
[14]
AT-Tunisi, At-Tahrîr
wa at-Tanwîr , vol. 3, 341.
[15]
Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth fî Tafsîr, vol. 10,
476.
[16]
Ath-Thabari, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur`ân, vol. 24, 424.
[17]
Ath-Thabari, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur`ân, vol. 24, 425; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur`ân, 20, 58.
[18]
Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf,
4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 72.
[19]
Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth fî Tafsîr, vol. 10,
477.
[20]
As-Sa’di, Taysîr
al-Karîm ar-Rahmân (tt: al-Risalah, 2000), 924.
[21]
Ath-Thabari, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 423; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur`ân, 20, 59; al-Khazin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 427; Abu
Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth fî Tafsîr, vol. 10,
477; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 ( ); al-Jazairi, Aysar
al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Makyabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003),
571.
JAKARTA
9/4/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar