Muqaddimah
Tafsir Ruhul Ma’ani merupakan karya
besar Abu al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud al Alusi al Baghdadi, salah
seorang intelektual muda yang dimiliki Islam pada zamannya. Kitab ini terdiri
dari 15 jilid kitab ditambah 1 jilid indeks. Jadi keseluruhan ada 16 jilid.
Sebagai karya ulama belakangan,
Tafsir Ruhul Ma’ani banyak mengutip pendapat ulama terdahulu (mutaqaddimin).
Hal ini penting karena dengan demikian rabithah (benang merah) dengan mufassir
terdahulu tetap terjaga. Selain itu Tafsir Ruhul Ma’ani juga banyak
mengemukakan pendapat ulama belakangan (mutaakhkhirin). Hal ini juga penting
untuk rabithah dengan zaman di mana Tafsir Ruhul Ma’ani disusun.
Nama Pengarang
Nama lengkapnya adalah Abu al Sana
Shihab al Din al Sayyid Mahmud al Alusi al Baghdadi. Nama al Alusi diambil dari
nama suatu tempat di tepi barat Sungai Eufrat yang terletak di antarakota Abu
Kamal dan kota Ramadi, Irak. Beliau lahir dari keluarga besar yang terpelajar
di Baghdad pada tahun 1217 H / 1802 M.[1]
Al Alusi pernah menjabat sebagai
Mufti Baghdad[2]. Ia memiliki pengetahuan yang luas baik dalam bidang ‘aqli
maupun naqli. Ia juga seorang mahaguru, pemikir dan ahli berpolemik. Sejak usia
muda ia sudah mulai mengarang. Namun hanya sedikit karyanya yang diwariskan kepada
generasi sekarang[3], diantaranya adalah Tafsir Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al
Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani (Semangat makna dalam Tafsir al Qur’an dan
al Sab’ al Masani).[4]
Abu Sana’ Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud Afandi
al-Alusi al-Bagdadi. Beliau dilahirkan pada hari Jumat tanggal 14 Sya’ban tahun
1217 H/1802 M, di dekat daerah Kurkh, Baghdad, Irak.[[1][1]] Beliau
seorang ulama Irak yang pernah menjabat mufti Baghdad, maha guru, pemikir, ahli
ilmu agama dan ahli berpolemik. Keluarga besarnya, al-Alusi, merupakan keluarga
terpelajar di Baghdad pada abad ke-19. Nama al-Alusi berasal dari kata Alus,
suatu tempat di tepi barat Sungai Eufrat, yaitu antara kota Abu Kamal dan kota
Ramadi.[[2][2]]
Metode
Penafsiran
Ditilik dari sumbernya, Tafsir Ruh
al Ma’ani selain menggunakan dalil nash al Qur’an, al Hadis, aqwal al ‘ulama
juga ra’yu. Ra’yu inilah yang paling besar porsinya. Sehingga tidak heran
apabila Dr. Jam’ah memasukkannya ke dalam golongan Tafsir bil Ra’yi.[8] Akan
tetapi menurut hemat penulis, Tafsir Ruh al Ma’ani bisa juga dikelompokkan ke
dalam golongan tafsir bil iqtirani, yakni tafsir yang memadukan antara sumber
penafsiran yang ma’tsur juga menggunakan ra’yu.[9]
Dala memberikan penjelasan, al Alusi
banyak mengutip pendapat paraahli yang berkompeten. Seringkali ia juga memiliki
pendapat sendiri yang berbeda dengan pendapat yang dikutip. Bahkan ia
kadang-kadang juga mengomentari dan terkadang juga menganggap kurang tepat
diantara pendapat-pendapat yang disebutkannya. Menilik cara menjelaskan, Tafsir
Ruh al Ma’ani digolongkan ke dalam kelompok Tafsir Muqarin/Komparatif.[10]
Penjelasan yang diberikan oleh al
Alusi terbilang detil, bahkan sangat detil. Sehingga tepatlah jika Tafsir Ruh
al Ma’ani dimasukkan ke dalam golongan Tafsir Ithnabi (Tafsili)/Detail.[11]
Penjelasan di awal surat biasanya diawali dari nama surat, asbabun nuzul,
munasabah dengan surat sebelumnya, makna kata, i’rab, pendapat para ulama,
dalil yang ma’tsur (namun jarang), makna di balik lafaz (makna isyari) dan jika
pembahasannya panjang terkadang juga diberi kesimpulan.
Sasaran dan
Tertib Ayat yang ditafsirkan
Tafsir Ruh al Ma’ani memberikan
penjelasan terhadap al Qur’an secara berurutan sesuai dengan tertib mushaf.
Dimulai dari Surat al Fatihah diakhiri dengan Surat al Nas. Sehingga tafsir ini
masuk daam golongan Tafsir Tahlili.[12]
Sistematika
Penafsiran
Pendekatan yang dipakai dalam menafsirkan salah
satunya adalah pendekatan sufistik (Isyary), meskipun ia juga tidak
mengesampingkan pendekatan bahasa, seperti nahwu-.saraf balagah, pendekatan
makna dhohir dan batin ayat, dan sebagainya. Bahkan sebagaimana penilaian
al-Zahabi, porsi sufistiknya relatif lebih sedikit.
Sistematika sebagai langkah metodis yang
ditempuhnya, biasanya al-Alusi menempuh langkah-langkah di bawah ini:
1. Menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan langsung
menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat.
2. Dalam analisisnya, terkadang juga al-Alusi
menyebutkan asbab al-nuzul terlebih dahulu, namun kadang beliau langsung
mengupas dari segi gramatikanya, kemudian mengutip riwayat hadis atau qawl
tabi’in[[3][13]].
3. Menerangkan kedudukan suatu kata atau
kalimat yang ada di dalam ayat tersebut dari segi kaidah bahasa (ilmu nahwu).
4. Menafsirkan dengan ayat-ayat lain.
5. Memberikan keterangan dari hadis Nabawi bila
ada.
6. Mengumpulkan pendapat para penafsir
terdahulu.
Karya-Karyanya
Sebagai mufassir, ia juga menaruh perhatian
kepada beberapa ilmu, seperti ilmu Qiraah, ilmu Munasabah, dan ilmu Asbabun
Nuzul. Ia banyak melihat syair-syair Arab yang mengungkapkan suatu kata, dalam
menentukan Asbabun Nuzulnya.[[4][5]]
Sekitar tahun 1248 H, al-Allusi mengikuti fatwa-fatwa para kalangan Hanafiyah.
Ia sudah mendalami dalam perbedaan madzhab-madzhab serta berbagai corak
pemikiran dan aliran akidah. Ia beraliran salaf dan bermadzhab Syafii, meskipun
ia banyak mengikuti Imam Hanafi dalam banyak hal, namun, ia banyak menggunakan
ijtihad.[[5][6]]
Hasil karya tulisan beliau antara lain:
Hasyiyah ‘ala al-Qatr al-Salim tentang ilmu logika, al-Ajwibah al-‘Iraqiyyah
Iraniyyah, Durrah al-Gawas fi Awham al-Khawass, al-Nafakhat al-Qudsiyyah fi
Adab al-Bahs Ruh al-Maani fi Tafsir al-Quran al-Azmi wa al-Sab’i al-Masani dan
lain-lain. Beliau wafat pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H, dimakamkan di dekat
kuburan Syaikh Ma’ruf al-Karkhi, salah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal
di kota Kurkh.[[6][7]]
Setelah meninggal, kitab Ruh al-Maani disempurnakan oleh anaknya, as-Sayyid
Nu’man al-Alusi.
Pendapat Ulama Terhadap Tafsirnya
Tafsir Ruh al-Ma'ani dinilai oleh sebagian
ulama sebagai tafsir yang bercorak isyari (tafsir yang mencoba menguak dimensi
makna batin berdasar isyarat atau ilham dan ta'wil sufi) sebagaimana tafsir
al-Naisaburi. Namun anggapan ini dibantah oleh al-Dzahabi dengan menyatakan
bahwa tafsir Ruh al-Ma’ani bukan untuk tujuan tafsir isyari, maka tidak dapat
dikategorikan sebagai tafsir isyari. Al-Zahabi memasukkan tafsir al-Alusi ke
dalam tafsir bi al-ra’yi al-mahmud (tafsir berdasar ijtihad yang terpuji).[7][22]
Ada ulama sependapat dengan al-Dzahabi, sebab
memang maksud utama dari penulisan tafsir bukan untuk menafsirkan al-Qur’an
berdasarkan isyarat-isyarat, melainkan menafsirkan al-Qur’an berdasarkan apa
yang dimaksud oleh lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang sahih.
Meskipun tidak dapat diingkari, bahwa beliau juga memberikan penafsiran secara
isyari, tetapi porsinya relatif lebih sedikit dibanding yang bukan isyari.
Menentukan corak suatu tafsir mesti berdasarkan kecenderungan yang paling
menonjol dari sekian kecenderungan.
Imam Ali al-Sabuni sendiri juga menyatakan
bahwa al-Alusi memang memberi perhatian kepada tafsir isyari, segi-segi balagah
dan bayan. Dengan apresiatif beliau lalu mengatakan bahwa tafsir al-Alusi dapat
dianggap sebagai tafsir yang paling baik untuk dijadikan rujukan dalam kajian
tafsir bi al-riwayah, bi al-dirayah dan isyarah.
Menurut al-Dzahabi dan Abu Syuhbah, tafsir Ruh
al-Ma’ani merupakan kitab tafsir yang dapat menghimpun sebagian besar pendapat
para mufassir dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih terhadap
pendapat-pendapat yang beliau kutip. Di samping itu, sebagaimana dikutip M.
Quraish Shihab, Rasyid Rida juga menilai bahwa al-Alusi sebagai mufassir yang
terbaik di kalangan ulama muta’akhkhirin karena keluasan pengetahuannya
menyangkut pendapat-pendapat muta’akhkhirin dan mutaqaddimin. Namun, al-Alusi
tidak luput dari kritikan. seperti, dia dituduh sebagai penjiplak pendapat
ulama-ulama sebelumnya, bahkan tanpa merubah redaksi-redaksi yang dijiplaknya.[[8][23]
Keistimewaan
dan Kelemahannya
1.penjelasan yang diberikan sangat
luas dengan memperhatikan qiraah (cara baca), munasabah (hubungan antar
surat/ayat), asbab al nuzul (sebab turunnya al Qur’an), i’rab (ketatabahasaan)
2.banyak merujuk pendapat para ahli tafsir
terdahulu dan sya’ir-syair Arab.
3.banyak menjelaskan makna samar yang
diisyaratkan oleh ayat yang sulit dijangkau oleh manusia biasa, sehingga
memperkaya khazanah keilmuan, menambah ketakjuban dan keyakinan terhadap al
Qur’an.
4.keluasan pembahasan terkadang juga
menjemukan, terutama bagi pembaca pemula
5. munasabah dan asbab al nuzul
jarang dijelaskan
6.sangat jarang mengemukakan dalil nash baik
al Qur’an maupun al Hadith.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa tafsir al-Alusi
menggunakan metode tahlili, pendekatan sufistik (menurut adz-Dzahabi ini hanya
sedikit) , bahasa serta ilmu-ilmu lainnya. Dengan ijtihadnya dalam
penafsirannya berimplikasi pada corak tafsirnya disebut sebagai tafsir
bil-ra’yi. Sumber‑sumber yang dipakai, di samping dirayah juga riwayah.
Sistematika isi penafsirannya adalah menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan
langsung menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat, dalam analisisnya,
terkadang juga al-Alusi menyebutkan asbab al-nuzul terlebih dahulu, namun
kadang beliau langsung mengupas dari segi gramatikanya, kemudian mengutip
riwayat hadis atau qawl tabi’in, menerangkan kedudukan suatu kata atau kalimat
yang ada di dalam ayat tersebut dari segi kaidah bahasa (ilmu nahwu),
menafsirkan dengan ayat-ayat lain, memberikan keterangan dari hadis Nabawi bila
ada, mengumpulkan pendapat para penafsir terdahulu. Kandungan isi penafsirannya
ada yang membahas tentang ayat-ayat kauniyah, cerita israiliyat, tentang
qiraah, dan pertentangannya dengan aliran yang bukan suni, dll.
Daftar Pustaka
1. Ilyas, Hamim. Studi Kitab Tafsir.
Jogjakarta: Teras. 2004.
2. Basuki, Hafiz. Ensiklopedi Islam jilid V.
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove. 1993.
3. Adz-Dzahabi. at-Tafsir wa al-Mufassirun.
Kairo: Darul Hadis, 2005.
4. Al-Alusi. Ruhul Ma’ani. Beirut-Libanon:
Idarah Tiba’ah Munirah. 1971.
5. LAL. Anshori. Tafsir Bil Ra’yi. Menafsirkan
AL-Qur’an dan ijtuhad, Gaung Persada Press, jakarta 2010
6.Al
Alusi, Abu al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud. Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al
Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani, Juz 1. Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah,
1994
7.Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, Jilid I. Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997
8.Qadir,
Jam’ah Ali Abd. Zad al Raghibin fi
Manahij al Mufassirin. Kairo:Jami’ah al Azhar, Kuliah Ushul al Din, 1986
9.Nasir,
Ridlwan. Diktat Mata Kuliah Studi al Qur’an. Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2004
10.[1]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid I (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997), 130
11.[2]
Jam’ah Ali Abd Qadir, Zad al Raghibin fi Manahij al Mufassirin (Kairo:Jami’ah
al Azhar, Kuliah Ushul al Din, 1986), 127
12.[4]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid I, 130
13.[5]
Al Alusi, Abu al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud, Ruh al Ma’ani Fi Tafsir
al Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani, Juz 1 (Beirut: Dar al Kutub al
‘Ilmiyah, 1994), hal 4-5
WALLAH
A’LAM BISHAWAB
JAKARTA 9/4/2013
[1][1] Tafsir (Jogjakarta
Hamim Ilyas, Studi Kitab: Teras, 2004), hlm. 153.
[2][2] Hafiz Basuki,
Ensiklopedi Islam jilid V(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove, 1993), hlm. 130.
[3][13] Opcit, hlm 157.
[4][5] Hafiz Basuki, Ensiklopedi Islam jilid
V(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove, 1993), hlm. 131.
[5][6] Ibid, hlm. 130.
[6][7] Hamim Ilyas, Studi
Kitab Tafsir (Jogjakarta: Teras, 2004), hlm. 155.
[7][22] Adz-Dzahabi. at-Tafsir
wa al-Mufassirun. Kairo: Darul Hadis, 2005.
[8][23] Hamim Ilyas, Studi
Kitab Tafsir (Jogjakarta: Teras, 2004), hlm 159
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusjazakumullah atas ilmu dan infonya
BalasHapus