Biografi Muhammad Abduh
Nama
lengkapnya adalah Muhammad Abduh bin Hasan Khoirillah, lahir pada tahun 1266
H/1849 M dan wafat pada tahun 1323 H /1905 M berasal dari desa Mahallah
Nashr provinsi al-Buhairah Mesir. Orang
tua Muhammad Abduh adalah seorang dermawan yang sangat dihormati di kampungnya
dan sangat mencintai ilmu, sehingga memotivasi Muhammad Abduh untuk menuntut
ilmu. Syaikh Muhammad Abduh adalah seorang ulama besar di al-Azhar, pernah
menjabat sebagai Mufti di Mesir, serta menjadi murid dari tokoh yang masyhur,
Jamaluddin al-Afghani.[1][4]
Abduh memulai studinya di Masjid al-Ahmadi di Thanta dengan
mempelajari ilmu al-Qur’an dan ilmu Tajwid. Beliau belajar di majelis milik
pamannya Syekh Mujahid. Kemudian karena beliau tidak mengerti metode
belajarnya, beliau melanjutkan studinya bersama pamannya juga yaitu Syekh
Darwis Khidr di desa Syibril Khoir, beliau adalah seorang ulama yang
benar-benar memahami al-Qur’an dan menganut tarekat al-Ayadzaliyah.[5]
Syaikh Muhammad Abduh telah merintis benih-benih kebangkitan
yang berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam
dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini. Kebangkitan ini
dimulai dengan gerakan Jamaludddin al-Afghani, yakni guru Muhammad Abduh.[6]
Biografi Muhammad
Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha ibn ‘Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baha’uddin ibn
al-Sayyid Manlan ‘Ali Khalifah al-Bagdadi.[3] Ia dilahirkan pada hari rabu,
tanggal 27 Jumadi al-Ula 1282 H atau 18 Oktober 1865 M di Qalamun, sebuah desa yang
terletak di pantau Laut Tengah, sekitar tiga mil jauhnya di sebelah selatan
kota Tripoli, Libanon.[4] Ayah dan ibunya berasal dari keturunan al-Husayn,
putera Ali ibn Abi al-Thalib dengan Fatimah, puteri Rasulallah Saw. Itulah
sebabnya ia menyandang gelar al-Sayyid di depan namanya.
Gelar ”Sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang bisa
diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut. Keluarga Rasyid
Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama
serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan
”Syaikh”.[13] Rasyid Rasyid di kenal seorang penulis dan penuntut ilmu yang
rajin, dan di Mesir beliau berguru kepada Muhammad Abduh seorang ulama
revolusioner dalam ilmu dan ide-idenya dibidang revormasi dan social dan
menerbitkan banyak karya-karya beliau.
Tafsir Al-Manar
Al-Manar
adalah salah satu kitab tafsir yang banyak berbicara tentang sastra-budaya dan
kemasyarakatan. Suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat
Al-Qur'an pada segi-segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan
ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penekanan pada tujuan utama
turunnya Al-Qur'an, yakni memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia, dan
merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku
dalam masyarakat dan kemajuan peradaban manusia.
Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh
tentang Tafsir al-Qur’an yang disampaikan di Universitas al-Azhar, yang disusun
setelah ia wafat (tahun 1905) oleh Muhammad Rashid Ridha dengan judul Tafsir
al-Qur’an al-Hakim. Namun kemudian, kitab ini lebih populer dengan sebutan
Tafsir al-Manar yang pernah diterbitkan secara serial dan periodik.
Kitab ini terdiri dari 12 juz pertama dari al-Qur’an, yaitu surat al-Fatihah sampai dengan ayat 53 surat Yusuf. Penafsiran dari awal sampai ayat 126 surat An-Nisa’ diambil dari pemikiran tafsir Muhammad Abduh, selebihnya dilakukan oleh Rasyid Ridha dengan mengikuti metode yang digunakan Abduh.
Kitab ini terdiri dari 12 juz pertama dari al-Qur’an, yaitu surat al-Fatihah sampai dengan ayat 53 surat Yusuf. Penafsiran dari awal sampai ayat 126 surat An-Nisa’ diambil dari pemikiran tafsir Muhammad Abduh, selebihnya dilakukan oleh Rasyid Ridha dengan mengikuti metode yang digunakan Abduh.
Dalam penafsirannya Abduh cenderung mengkombinasikan antara
riwayat yang shahih dan nalar yang rasional, yang diharapkan bisa menjelaskan
hikmah-hikmah syari’at sunnatullah, serta eksistensi al-Qur’an sebagai petunjuk
bagi manusia. Selain itu, juga merujukkan penafsirannya pada Tafsir Jalalain.
Sedangkan yang khas dari penafsiran Rasyid Ridha – yang tidak terdapat pada
Muhammad Abduh -- yaitu: Pertama, tergantung pada riwayat dari Nabi Saw; dan
Kedua, banyak menukil pemikiran para mufassir lain. Hal ini dilakukan Ridha,
karena ia menilai bahwa Syekh Muhammad Abduh setiap kali dihadapkan dengan
masalah selalu mengikuti kata pikiran dan hatinya saja, serta sesuai dengan apa
yang beliau baca dan renungkan dalam al-Qur’an.
Metodologi Tafsir al-Manar
Secara global dapat dikemukakan bahwa Muhammad Abduh (guru
Muhammad Rasyid Ridha)[8] hidup dalam suatu masyarakat yang tengah disentuh
oleh berbagai perkembangan yang ada di Eropa, dimana masyarakatnya sangat kaku,
beku dan menutup pintu ijtihad, hal ini muncul karena adanya kecenderungan umat
yang merasa cukup dengan produk ulama-ulam terdahulu, sehingga akal mereka beku
(jumud), sementara di Eropa sendiri sedang berkembang biak pola kehidupan yang
mendewakan akal.[9] Sehingga muncul kelompok yang taqlid (mayoritas jumlahnya)
dan kelompok tajdid (minoritas jumlahnya).
Berdasarkan kondisi di atas, Muhammad Abduh bermaksud dalam
setiap penuangan pikirannya termasuk dalam kitab tafsirnya berkeinginan untuk
selalu mengingatkan sekaligus menyadarkan umat untuk kembali kepada al-Qur’an
dan Hadis. Seruan ini pula yang mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam
memahami al-Qur’an.
Secara umum sebenarnya metode yang dipakai dalam tafsir
al-Manar tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lain yang
menggunakan metode Tahlili[12] dengan menerapkan sistematika tertib Mushafi.
Namun karena penekanannya terhadap operasionalisasi petunjuk al-Qur’an dalam
kehidupan umat Islam secara nyata, maka tafsir ini bisa dikatakan berbeda
dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Metode yang dirintis oleh Muhammad Abduh ini
selanjutnya dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha, al-Maraghi dan
Amin Khuli.[13]
Pada dasarnya Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan
ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Muhammad Abduh. Persamaannya
yaitu:
1. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat
yang serasi
2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum
3. Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat
Al-Qur’an
5. Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
6. Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat
Ide Pembaharuan dalam Tafsir al-Manar
Salah satu ide pembaruan Rasyid Ridha dalam tafsirnya
disebabkan adanya kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek dan kehidupan
lantaran mereka tidak lagi menganut ajaran Islam yang sebenarnya. Perilaku umat
Islam juga sudah banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Bid’ah
yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat sudah banyak masuk ke dalam
Islam. Misalnya, anggapan yang menyatakan bahwa dalam Islam terdapat ajaran
kekuatan rohani yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang
dikehendakinya. Padahal menurut ajaran agama, kebahagiaan dunia dan akhirat
hanya dapat diperoleh melalui amal usaha yang sesuai dengan sunatullah.[14]
Sebagai tafsir yang membawa pembaharuan, tafsir al-Manar
banyak berbicara tentang sunatullah dan menggugah kesadaran umat terhadapnya.
Hal tersebut terlihat dengan jelas ketika menafsirkan ayat-ayat akidah
(teologis) khususnya yang berkenaan dengan hubungan antara takdir, kehendak,
kekuasaan, dan keadilan Allah dengan kehendak, kebebasan, dan kemampuan
manusia. Karena itu, maju-mundurnya suatu bangsa, berkembang-runtuhnya suatu
negara, bahagia-sengsaranya seseorang dan kalah menangnya suatu kaum di dalam
peperangan menurut teologi yang dikembangkan oleh Rasyid Ridha, tidak
tergantung pada nasib, tetapi tergantung pada sejauh mana adanya keserasiannya
antara perilaku mereka dengan sunatullah.[15]
Profil dan Tujuan
Pokok Tafsir Al-Manar
Tafsir al-Manar yang bernama tafsir al-Qur’an al-Hakim memperkenalkan
dirinya sebagai ”Kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang
shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah
serta sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan
fungsi al-Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan
tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslim
dewasa ini (pada masa diterbitkannya) yang telah berpaling dari petunjuk itu.”
tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari
istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam,
tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendikiawan). Itulah cara
yang ditempuh oleh filosof Islam Syaikh Muhammad Abduh dalam pengajaran di
al-Azhar.
Karya-karya Muhammad Abduh dalam bidang Tafsir[7]
1. Tafsir Juz
‘Amma, yang dikarangnya untuk menjadi pegangan para guru mengaji di Maroko pada
tahun 1321 H.[8]
2. Tafsir Surah
Wal ‘Ashr, karya ini berasal dari kuliyah atau pengajian-pengajian yang
disampaikannya di hadapan ulama dan pemuka-pemuka masyarakat Al-Jazair.[9]
3. Tafsir
ayat-ayat surah an-Nisa ayat 77 dan 87, al-Hajj ayat 52 sampai 54 dan al-Ahzab
ayat 37. Karya ini dimaksudkan untuk membantah tanggapan-tanggapan negativ
terhadap Islam dan nabinya.[10]
4. Tafsir
al-Quran bermula dari al-Fatihah sampai dengan surah an-Nisa ayat 129 yang
disampaikannya di Masjid al-Azhar, Kairo, sejak awal Muharram 1317 H sampai
dengan pertengahan Muharram 1332 H. walaupun penafsiran ayat-ayat tersebut
tidak ditulis langsung oleh Syaikh Muhammad Abduh, namun itu dapat dikatakan
sebagai hasil karyanya, karena muridnya (M. Rasyid Ridha) yang menulis
kuliah-kuliah tafsir tersebut menunjukan artikel yang dimuatnya ini kepada
Abduh yang terkadang memperbaikinya dengan penambahan dan pengurangan satu atau
beberapa kalimat, sebelum disebarluaskan dalam majalah Al-Manar.[11]
Karya-karya Rasyid Ridha
Disamping tafsir al-Manar Muhammad Rasyid Ridha berhasil
menulis banyak karya ilmiah. Beberapa karyanya yang patut dicatat antara lain:
Al-Hikmah Asy-Syar’iyyah fi Muhakamati Al-Qadariyyah wa ar-Rifa’iyyah (buku ini
adalah awal kitab yang disusunnya ketika beliau masih pelajar di Tripoli negeri
Syam), Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh (terdiri 3 jilid), Nida al-Jins
al-Latif (Huqûq an-Nisâ fi al-Islâm), Al-Wahyu al-Muhammady, Al-Manâr wa
al-Azhar, Dzikrâ al-Maulid an-Nabawy, Al-Wihdatu al-Islâmiyyah, Yusru al-Islâm
wa ushûl al-Tasyri’ al-Âm, Al-Khilafatu au al-Imamah al ‘Udma, Al-Wahabiyyun wa
al-Hijaz, Haqiqatu ar-Riba, Muswatu ar-Rajul bi al-Mar’ah, As-Sunnah wa
asy-Syi’ah, Manasik al-Haj, Ahkamuhu wa Hukmuhu, Risalah fi Hujjati al-Islam
al-Ghazali, Al-Maqshuratu ar-Rasyidiyyah, Syubhatu an-Nashara wa Hujjaju
al-Islam, ‘Aqidatu ash-Shulbi wa al-Fida, Al-Muslimun wa al-Qibti wa al-Muktamar
al- Mashry, Muhawaratu al-Mushallih wa al-Muqallid.[6]
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengalami kecalakaan ketika
dalam perjalanan pulang setelah mengantarkan pangeran Sa’ud al-Faisal. Ia
menderita gegar otak, kemudian wafat pada tanggal 22 Agustus 1935 M.[7]
1. Majalah
al-Manar, adalah karya yang bahannya bersumber dari uraian yang Muhhammad Abduh
uraikan dibeberapa kesempatan ilmiah
yang diterbitkan sebanyak 34 jilid, dalam kisaran tahun 1315 H/1898 M
sampai 1354 H /1935 M.
2. Al-Hikmah Asy-Syar’iyah fii muhakkmat
ad-Dadiriyah wa al-Rifa’iyah, buku ini adalah karya pertamanya sewaktu dia
masih belajar, isinya adalah bantahan kepada ‘Abd al-Hadi Asy-Syath yang
mengecilkan tokoh-tokoh sufi besar seperti Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailani,
juga menjelaskan kekeliruan yang dilakukan oleh para sufi, tentang busana
muslim, sikap meniru non-muslim, Imam Mahdi, dan masalah dakwah dan
kekeramatan.
3. Al-Azhar dan
al-Manar isinya antara lain : sejarah al-Azhar, perkembangan dan misinya, serta
bantahan terhadap ulama yang menentang pendapat ulama-ulama al-Azhar.
4. Tarikh
al-Ustadz al-Imam, berisi riwayat hidup Muhammad Abduh dan perkembangan
masyarakat Mesir pada masanya.
5. Nida’ li
al-Jins al-lathif, berisi tentang uraian tentang hak dan kewajiban wanita.[15]
Sumber Penafsiran
Dengan melihat dan mencermati kandungan tafsir al-Manar,
bisa dikatakan bahwa tafsir itu
merupakan kolaborasi antara tafsir bi al-matsur/bi al-riwayat dan tafsir bi
al-Ra’yi/logika. Dalam penjelasan-penjelasannya, ayat-ayat al-Qur’an menjadi
sumber utama dalam penafsirannya. Dan hadits-hadits Nabi yang shahih menurut
ilmu-ilmu hadits menjadi sumber berikutnya
dan semuanya dikaitkan dengan
al-Qur’an sesuai dengan problema yang
terjadi di masyarakat.[24]
Karakteristik tafsir al-Manar
Menurut Syahata, sistematika penulisan tafsir Muhammad Abduh
memiliki Sembilan ciri:[28]
1. Melihat setiap
surat sebagai satu kesatuan ayat yang
serasi
2. Ayat al-Qur’an
bersifat umum.
3. Al-Qur’an
sumber aqidah dan hukum.
4. Penggunaan
secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
5. Menentang dan
memberantas taqlid
6. Tidak
memerinci yang mubham
7. Selektif dalam
memasukan hadits
8. Kritis
terhadap pendapat sahabat dan menolak israiliyyat
9. Mengaitkan
tafsir al-Qur’an dengan kehidupan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
· Faizah Ali
Syibromalisi, MA dan Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern”.
Jakarta: LITBANG UIN. 2011
· Izzan,
Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsi. Bandung: Tafakur. 2011
· Mani’ Abd
Halim Mahmud. “Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir”.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006
· al-Qattan,
Manna’. Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an. Kairo: Maktabah Wahdah. 2007
· Nawawi,
Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Jakarta: Paramadina, 2002
· al-Khalidi,
Sholah Abdul Fatah. Ta’rif ad-DarisÎn bi Manahij al-MufassirÎn. Beirut: Dar
al-Syamiyah. 2002
· Shihab,
Qurais, rasionalitas Al-Quran. Tangerang: lentera Hati. 2006.
· ‘Abd Halim
Mahmud, Mani’. Metodologi Tafsir, kajian komprehensif metode para ahli tafsir.
Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2003.
JAKARTA 8/4/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar