Makna Ulil Amri dalam Kitab Tafsir
ulama' dan umara' |
Kata Ulil Amri merupakan kata yang akrab ditelinga kita. Seringkali dalam
perbincangan sehari-hari kita menggunakan istilah ini. Istilah Ulil Amri
sebenarnya dirujuk dari Al-Quran Surat An-Nisa: 59 : "Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu...".
Akan tetapi apa sebenarnya makna ulil amri yang dimaksud dalam ayat
tersebut? Tulisan berikut ini mencoba merujuk kepada sejumlah kitab tafsir
untuk menjawab akan makna Ulil Amri di dalam ayat 59 surat an-Nisa.
Tafsir Makna Ulil Amri
Tafsir at-Thabari, sebuah kitab tafsir klasik yang ditulis
oleh ulama besar Abu Jafar Muhammad bin Jarir at-Thabari dan banyak dirujuk
oleh para mufassir berikutnya, menyebutkan bahwa para ahli ta'wil berbeda
pandangan mengenai arti ulil amri. Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan ulil amri adalah umara. Berkata sebagian ulama lain, masih
dalam kitab tafsir yang sama, bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi wal fiqh
(mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqh). Sebagian ulama yang lain
berpendapat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah-lah yang dimaksud dengan ulil
amri. Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar.
(Lihat lebih jauh dalam Tafsir at-Thabari, juz 5, h. 147-149)
Imam al-Mawardi dalam kitab tafsirnya menyebutkan ada empat
pendapat dalam mengartikan kalimat "ulul amri" pada QS An-Nisa:59.
Pertama, ulil amri bermakna umara (para pemimpin yang konotasinya adalah
pemimpin masalah keduniaan). Ini merupakan pendapat Ibn Abbas, as-Sady, dan Abu
Hurairah serta Ibn Zaid. Imam al-Mawardi memberi catatan bahwa walaupun mereka
mengartikannya dengan umara namun mereka berbeda pendapat dalam sabab nuzul
turunnya ayat ini. Ibn Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
Abdullah bin Huzafah bin Qays as-Samhi ketika Rasul mengangkatnya menjadi
pemimpin dalam sariyah (perang yang tidak diikuti oleh Rasulullah saw.).
Sedangkan As-Sady berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amr bin
Yasir dan Khalid bin Walid ketika keduanya diangkat oleh Rasul sebagai pemimpin
dalam sariyah.
Kedua, ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut
pendapat Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah. Ketiga,
Pendapat dari Mujahid yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah
sahabat-sahabat Rasulullah saw. Pendapat keempat, yang berasal dari Ikrimah,
lebih menyempitkan makna ulil amri hanya kepada dua sahabat saja, yaitu Abu
Bakar dan Umar. (Tafsir al-Mawardi, jilid 1, h. 499-500)
Ahmad Mustafa al-Maraghi menyebutkan bahwa ulil amri itu
adalah umara, ahli hikmah, ulama, pemimpin pasukan dan seluruh pemimpin lainnya
dan zuama yang manusia merujuk kepada mereka dalam hal kebutuhan dan
kemaslahatan umum. Dalam halaman selanjutnya al-Maraghi juga menyebutkan contoh
yang dimaksud dengan ulil amri ialah ahlul halli wal aqdi (legislatif ?) yang
dipercaya oleh umat, seperti ulama, pemimpin militer dan pemimpin dalam
kemaslahatan umum seperti pedagang, petani, buruh, wartawan dan sebagainya.
(Tafsir al-Maraghi, juz 5, h. 72-73)
Imam Fakhur Razi mencatat ada empat pendapat tentang makna
ulil amri. Pertama, makna ulil amri itu adalah khulafa ar-rasyidin. Kedua,
pendapat lain mengatakan bahwa ulil amri bermakna pemimpin perang (sariyah). Ketiga,
Ulil amri itu adalah ulama yang memberikan fatwa dalam hukum syara dan
mengajarkan manusia tentang agama (islam). Keempat, dinukil dari kelompok
rawafidh bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah imam-imam yang mashum.
(Tafsir al-fakhr ar-Razi, juz 10, h. 144)
Senada dengan sejumlah kitab tafsir di atas, al-Alusi, pengarang tafsir
Ruh al-Maani, mendata adanya beberapa pandangan tentang makna ulil amri. Ada
yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah pemimpin kaum muslimin (umara
al-muslimin) pada masa Rasul dan sesudahnya. Mereka itu adalah para khalifah,
sultan, qadhi (hakim) dan yang lainnya. Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya
adalah pemimpin sariyah. Juga ada yang berpendapat bahwa ulil amri itu adalah
ahlul ilmi (cendekiawan?). (Tafsir Ruh al-Maani, juz 5, h 65)
Ibn Katsir, setelah mengutip sejumlah hadis mengenai makna
ulil amri, menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah, menurut zhahirnya, ulama.
Sedangkan secara umum ulil amri itu adalah umara dan ulama" (Tafsir
al-Quran al-Azhim, juz 1, h. 518)
Dr. Wahbah az-Zuhaili, ulama masa kini yang semasa dengan
Dr. Yusuf Qardhawi, dalam kitab tafsirnya, at-Tafsir al-Munir, menyebutkan
bahwa sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa makna ulil amri itu adalah ahli
hikmah atau pemimpin perang. Sebagian lagi berpendapat bahwa ulil amri itu
adalah ulama yang menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum syara'.
Sedangkan syiah, masih menurut Wahbah Az-Zuhaili, berpendapat bahwa ulil amri
itu adalah imam-imam yang mashum. (at-Tafsir al-Munir, juz 5, h. 126). Dalam
kitab ahkam al-Quran, Ibn al-arabi berkata: "yang benar dalam pandangan
saya adalah ulil amri itu umara dan ulama semuanya". (Ahkam al-Quran, juz
1, h. 452)
Dari sejumlah kitab tafsir yang dikutip di atas dapat diberikan catatan
singkat sebagai berikut: Para ulama berbeda pendapat mengenai makna ulil amri.
Ada yang mencoba meluaskan makna ulil amri dengan semua ulama dan umara. Ada
pula yang mencoba menyempitkannya dengan khusus pada Abu Bakar dan Umar semata.
Ada yang hanya melihat pada ulama saja (ahlul ilm) dan ada yang hanya berpegang
pada arti pemimpin perang.
Sejumlah kitab tafsir, khususnya kitab tafsir klasik semisal Tafsir
at-Thabari dan Ruh al-Maani, hanya menyebutkan contoh ulil amri itu pada
jabatan atau profesi yang dipandang krusial pada masanya. Sedangkan Tafsir
al-Maraghi, yang merupakan kitab tafsir yang ditulis pada abad 20 ini,
menyebutkan contoh-contoh ulil amri itu tidak hanya berkisar pada ahlul halli
wal aqdi, ulama, pemimpin perang saja; tetapi juga memasukkan profesi wartawan,
buruh, pedagang, petani ke dalam contoh ulil amri.
Sebagai catatan akhir, kita memang diperintah oleh Allah untuk taat
kepada ulil amri (apapun pendapat yang kita pilih tentang makna ulil amri).
Namun perlu diperhatikan bahwa perintah taat kepada ulil amri tidak
digandengkan dengan kata "taat"; sebagaimana kata "taat"
yang digandengkan dengan Allah dan Rasul (periksa redaksi QS an-Nisa: 59).
Quraish Shihab, yang disebut-sebut sebagai mufassir Indonesia, memberi ulasan
yang menarik: "Tidak disebutkannya kata "taat" pada ulil amri
untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi
berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti
bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya,
maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal kaidah
yang sangat populer yaitu: "La thaat li makhluqin fi ma'shiyat
al-Khaliq". Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam
kemaksiatan kepada Khaliq (Allah)."
Pendapat Para Mufassir
> - Berkata Atha': "taat kepada Rasul dengan mengikuti sunnahnya."
> - Berkata Ibnu Zaid: "(taat kepada Rasul) bila masih hidup."
> - Berkata Ibnu Jarir: "yang benar dari perkataan di atas adalah:
> ini merupakan perintah dari Allah untuk taat kepada apa yang
> diperintahkan dan dilarang oleh Rasul-Nya semasa beliau masih
> hidup. Adapun setelah beliau wafat, dengan mengikuti sunnahnya."
"wa ulil amri minkum"
Berkata Abu Hurairah: "mereka adalah Umara'."
Berkata Maimun bin Mahran: "para panglima perang di zaman
Rasulullah."Berkata Atha': "para fuqaha (ahli fikih) dan ulama."
Berkata Ikrimah: "Abu Bakar dan Umar." (At-Thabari 4/150-153)
Berkata Ad-Dhahhak: "mereka adalah para shahabat Rasulullah dan
mereka adalah perawi hadits dan para da'i." (Ad-Durrul Mantsur 2/575)
Berkata Abu Bakar Ibnul 'Arabi: "menurut saya, yang benar adalah mereka
itu para Umara dan ulama." (Ahkamul Qur'an 1/452)
"Fa-in tanaza'-tum fii syai-in farudduuhu ilallohi wa rosuuli "
Berkata Mujahid: "Kitabullah dan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam."
Berkata Maimun bin Mahran: "kembali kepada Allah adalah kembali
kepada kitab-Nya dan kembali kepada rasul-Nya semasa beliau hidup, dan ketika Allah
mewafatkannya maka kembali kepada sunnahnya." (At-Thabari 4/154)
"Dzalika Khoiru wa akhsanu ta-wiila "
Berkata Qatadah: "lebih baik pahala dan akibatnya."
Berkata Mujahid: "lebih baik balasannya." (At-Thabari 4/155)
Asbabul Nuzul
Dari As-Suddi, dia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
mengirim sepasukan sariyyah (pasukan yang tidak dipimpin oleh
Rasulullah) di
bawah komando Khalid bin Al-Walid. Di antara mereka ada Ammar bin
Yasir.Mereka kemudian berangkat menuju suatu kaum yang diinginkan dan ketika
sudah dekat, mereka pun berhenti (untuk beristirahat). Setelah itu datang
kepada kaum tersebut Dzul Uyainatain (pengintai musuh) dan memberitahukan
tentang kedatangan pasukan Khalid. Mereka pun lari semua kecuali seorang
laki-laki.Ia menyuruh keluarganya untuk mengumpulkan barang-barangnya. Kemudian
dia berjalan di kegelapan malam hingga sampai di pasukan Khalid. Di sana
iabertanya tentang Ammar bin Yasir. Setelah itu didatanginya (Ammar bin
Yasir)
dan bertanya kepadanya: "Wahai Abu Yaqdzan, sesungguhnya aku telah
Islam dan telah bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah
dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Sesungguhnya kaumku telah
lariketika mendengar kabar kedatangan kalian dan hanya aku yang tinggal. Apakah Islamku bermanfaat bagiku besok? Kalau tidak aku pun lari." Ammar berkata:
"Ya, keislamanmu akan bermanfaat bagimu, maka tetaplah kamu di tempat."
Maka laki-laki itu pun menetap. Ketika pagi datang, Khalid bin Walid
menyerbu mereka dan tidak menjumpai siapa-siapa selain laki-laki tadi. Maka dia
ditangkap dan diambil hartanya, khabar (penangkapan) tersebut akhirnya
sampai kepada Ammar. Ia segera datang kepada Khalid seraya berkata: "Lepaskan laki-laki ini karena sesungguhnya dia telah Islam dan dia
dalam jaminan keamanan dariku." Berkata Khalid: "Kenapa kamu lindungi dia?"
Maka keduanya saling menyalahkan dan mengadukannya kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah membolehkan jaminan keamanan dari Ammar
tetapi melarang Ammar untuk melanggar hak-hak Amir lagi untuk kedua kalinya.
Maka Allah menurunkan ayat yang artinya: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kalian." (At-Thabari 4/151)
Tafsir Al-Qurthubi berkata: "Di dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk taat
kepada-Nya, kemudian kepada Rasul-Nya, kemudian kepada para Umara,
menurut perkataan jumhur, Abu Hurairah, ibnu Abbas, dll."Ibnu Khuwaidzi Mandad berkata: "Adapun taat kepada sultan maka wajib
dalam rangka taat kepada Allah dan tidak wajib dalam perkara maksiat kepadaAllah..." (Al-Jami' lil Ahkamil Qur`an 5/167, 168) Syaikh Abdur Rahman As-Sa'di berkata: "(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan(kaum mukminin) untuk taat kepada-Nya dan taat kepada Rasul-Nya yaitu dengan mengerjakan perintah keduanya baik yang wajib maupun yang sunnah dengan menjauhi larangan keduanya. Dan Allah juga memerintahkan (kepada kaum mukminin) untuk taat kepada Ulil Amri, yaitu orang yang mengurusi kepentingan umat, baik itu Umara, pemerintah maupun mufti-mufti karena sesungguhnya tidak akan konsisten urusan Dien dan dunia kecuali dengan
taat kepada mereka dan tunduk kepada perintah-perintah mereka dalam rangka
taat kepada Allah dan mengharap pahala yang ada di sisi-Nya. Akan tetapi
dengan syarat mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Apabila mereka
memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak ada taat kepada makhluk
dalam bermaksiat kepada Allah. Barangkali inilah rahasia dibuangnya fi'il
athi'u (taatilah) dalam perintah taat kepada Ulil Amri. Di samping itu disebutkannya perintah taat kepada mereka itu menyertai taat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Rasul tidak pernah memerintahkan selain kepada Allah sehingga
barangsiapa yang taat kepadanya (Rasulullah) maka dia telah taat kepada Allah.
Adapun syarat taat kepada Ulil Amri adalah jika tidak ada unsur-unsur maksiat kepada Allah. Di samping itu Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala
permasalahan yang diperselisihkan oleh umat manusia kepada Allah dan Rasul-Nya,
yakni taat kepada Kitab (Al-Qur`an) dan As-Sunnah. Ini karena Al-Qur`an dan
As-Sunnah adalah hakim yang menyelesaikan segala permasalahan
khilafiyyah (permasalahan yang diperselisihkan) baik itu dari nash yang sharih
(jelas),nash umum, syarat, peringatan, maupun pemahaman ayat. Agama ini
dibangun di atas pondasi Al-Qur`an dan As-Sunnah sehingga tidak akan istiqamah
(komitmen) iman seseorang kecuali dengan berpegangan kepada Al-Qur`an
dan As-Sunnah. Oleh karena itulah kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah merupakan syarat keimanan. Allah berfirman (yang artinya): "Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir..." (An-Nisa: 59)
Maka ayat ini menunjukkan bahwasanya orang-orang yang tidak
mengembalikan masalah khilafiyyah kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah, dia bukanlah
seorang mukmin yang hakiki, bahkan dia adalah seorang yang beriman kepada
thaghut (sebagaimana yang akan disebutkan dalam ayat sesudahnya 4:60).
Kembali kepada Allah dan Rasul-Nya itu lebih baik balasannya dan lebih
baik akibatnya, karena hukum Allah dan Rasul-Nya adalah sebaik-baik hukum
dan merupakan hukum yang membawa maslahah (kebaikan) bagi umat manusia
baik itu dalam urusan Dien (agama) maupun urusan dunia. (Taisirul Karimir
Rahman fiTafsiri Kalamil Mannan 2/89-90) Menyoroti ayat ini, Ibnul Qayyim berkata dalam I'lamul Muwaqqi'in
1/38: "(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan (kaum muslimin) untuk taat
kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dan Allah mengulangi fi'il (ati'uu) (=taatilah)
sebagai i'lam (pemberitahuan) bahwa taat kepada rasul itu harus
disendirikan dengan tanpa dicocokkan terlebih dahulu kepada apa yang Allah
perintahkan dalam Al-Qur`an. Jadi, kalau Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan sesuatu maka wajib ditaati secara mutlak, baik perintah
itu ada dalam Al-Qur`an maupun tidak, karena Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam diberi Al-Qur`an dan juga semisalnya (As-Sunnah).
Dalam ayat ini juga, Allah tidak memerintahkan untuk menyendirikan
taat kepada Ulil Amri. Bahkan Allah membuang fi'il (ati'uu) dan
menjadikannya di dalam kandungan taat kepada Rasul, sebagai pemberitahuan bahwa mereka
(Ulil Amri) itu ditaati dalam rangka taat kepada Rasul." (lihat Hujiyyatu
Ahaditsil Ahad fil Ahkami Al-Aqaid hal. 11-12) Dalam Tulisan Ustad Arifin Badri:
...pada ayat ini Alloh memerintahkan kita semua untuk taat kepada
Alloh, yaitu dengan mengikuti kitab-Nya, dan menaati Rasulullah shalallahu
'alaihi wa sallam dengan mengikuti sunnahnya, serta menaati para pemimpin
(ulul 'amri) di antara kita, baik ulul 'amri dari kalangan ulama atau umara
(penguasa). Ini adalah kewajiban kita semua untuk senantiasa taat
kepada Alloh, Rosululloh dan para pemimpin di antara kita. Akan tetapi walau
demikian, pada ayat ini Alloh ta'ala mengulang perintah untuk taat,
yaitu kata "taatilah" sebanyak dua kali, yaitu taat kepada Alloh dan taat
kepadaRosululloh sholallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi ketika
menyebutkan ulul 'amri, Alloh tidak mengulang kata taatilah . Hal ini mengisyaratkan
kepada kita bahwa kewajiban taat kepada Alloh dan Rasul-Nya bersifat mutlak
karena sebagai konsekuensi pengakuan dan keimanan kita kepada Alloh dan
Rasul-Nya adalah senantiasa taat dan untuk tidak beramal selain dengan
syariat yang Alloh dan Rasul-Nya ajarkan. Sedangkan ketaatan kepada
ulul 'amri tidak bersifat mutlak, akan tetapi ketaatan kepada mereka hanya
wajib atas kita sebatas dalam hal yang ma'ruf atau selama tidak melanggar
dengan kewajiban ta'at kepada Alloh dan Rasul-Nya. Pemahaman semacam ini dengan tegas telah disabdakan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
"Dari sahabat Ibnu Umar rodhiallohu 'anhu dari Nabi shalallahu 'alaihi
wa sallam, "Wajib atas setiap orang muslim untuk mendengar dan menaati,
baik dalam hal yang ia suka atau yang ia benci, kecuali kalau ia
diperintahkan dengan kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan menaati". (HR
Bukhori dan Muslim)Hal ini atau prinsip ini bukan hanya berlaku dalam hubungan interaksi antara rakyat dan pemerintah dan ulama akan tetapi berlaku dalam
segala urusan, sampai-sampai dalam hubungan antara anak dan orang tuanya
prinsip ini tetap berlaku dan wajib diindahkan oleh setiap muslim.
Perhatikanlah firman Alloh berikut ini
"Dan jika keduanya (Ayah dan ibu) memaksamu untuk mempersekutukan
denga Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu patuhi keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik...."
(Q Luqman: 15)
Dan masih banyak lagi dalil serta keterangan ulama Ahlusunnah tentang
prinsip ketaatan kepada sesama manusia, baik pemerintah, atau orang
tua atau atasan dalam sebuah organisasi, atau perusahaan atau lainnya,
yang semuanya menguatkan apa yang saya utarakan ini, yaitu ketaatan kepada
sesama manusia hanya boleh dilakukan selama tidak melanggar syariat Alloh.
Pendapat Para Mufassir
> - Berkata Atha': "taat kepada Rasul dengan mengikuti sunnahnya."
> - Berkata Ibnu Zaid: "(taat kepada Rasul) bila masih hidup."
> - Berkata Ibnu Jarir: "yang benar dari perkataan di atas adalah:
> ini merupakan perintah dari Allah untuk taat kepada apa yang
> diperintahkan dan dilarang oleh Rasul-Nya semasa beliau masih
> hidup. Adapun setelah beliau wafat, dengan mengikuti sunnahnya."
"wa ulil amri minkum"
Berkata Abu Hurairah: "mereka adalah Umara'."
Berkata Maimun bin Mahran: "para panglima perang di zaman
Rasulullah."Berkata Atha': "para fuqaha (ahli fikih) dan ulama."
Berkata Ikrimah: "Abu Bakar dan Umar." (At-Thabari 4/150-153)
Berkata Ad-Dhahhak: "mereka adalah para shahabat Rasulullah dan
mereka adalah perawi hadits dan para da'i." (Ad-Durrul Mantsur 2/575)
Berkata Abu Bakar Ibnul 'Arabi: "menurut saya, yang benar adalah mereka
itu para Umara dan ulama." (Ahkamul Qur'an 1/452)
"Fa-in tanaza'-tum fii syai-in farudduuhu ilallohi wa rosuuli "
Berkata Mujahid: "Kitabullah dan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam."
Berkata Maimun bin Mahran: "kembali kepada Allah adalah kembali
kepada kitab-Nya dan kembali kepada rasul-Nya semasa beliau hidup, dan ketika Allah
mewafatkannya maka kembali kepada sunnahnya." (At-Thabari 4/154)
"Dzalika Khoiru wa akhsanu ta-wiila "
Berkata Qatadah: "lebih baik pahala dan akibatnya."
Berkata Mujahid: "lebih baik balasannya." (At-Thabari 4/155)
Asbabul Nuzul
Dari As-Suddi, dia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
mengirim sepasukan sariyyah (pasukan yang tidak dipimpin oleh
Rasulullah) di
bawah komando Khalid bin Al-Walid. Di antara mereka ada Ammar bin
Yasir.Mereka kemudian berangkat menuju suatu kaum yang diinginkan dan ketika
sudah dekat, mereka pun berhenti (untuk beristirahat). Setelah itu datang
kepada kaum tersebut Dzul Uyainatain (pengintai musuh) dan memberitahukan
tentang kedatangan pasukan Khalid. Mereka pun lari semua kecuali seorang
laki-laki.Ia menyuruh keluarganya untuk mengumpulkan barang-barangnya. Kemudian
dia berjalan di kegelapan malam hingga sampai di pasukan Khalid. Di sana
iabertanya tentang Ammar bin Yasir. Setelah itu didatanginya (Ammar bin
Yasir)
dan bertanya kepadanya: "Wahai Abu Yaqdzan, sesungguhnya aku telah
Islam dan telah bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah
dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Sesungguhnya kaumku telah
lariketika mendengar kabar kedatangan kalian dan hanya aku yang tinggal. Apakah Islamku bermanfaat bagiku besok? Kalau tidak aku pun lari." Ammar berkata:
"Ya, keislamanmu akan bermanfaat bagimu, maka tetaplah kamu di tempat."
Maka laki-laki itu pun menetap. Ketika pagi datang, Khalid bin Walid
menyerbu mereka dan tidak menjumpai siapa-siapa selain laki-laki tadi. Maka dia
ditangkap dan diambil hartanya, khabar (penangkapan) tersebut akhirnya
sampai kepada Ammar. Ia segera datang kepada Khalid seraya berkata: "Lepaskan laki-laki ini karena sesungguhnya dia telah Islam dan dia
dalam jaminan keamanan dariku." Berkata Khalid: "Kenapa kamu lindungi dia?"
Maka keduanya saling menyalahkan dan mengadukannya kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah membolehkan jaminan keamanan dari Ammar
tetapi melarang Ammar untuk melanggar hak-hak Amir lagi untuk kedua kalinya.
Maka Allah menurunkan ayat yang artinya: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kalian." (At-Thabari 4/151)
Tafsir Al-Qurthubi berkata: "Di dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk taat
kepada-Nya, kemudian kepada Rasul-Nya, kemudian kepada para Umara,
menurut perkataan jumhur, Abu Hurairah, ibnu Abbas, dll."Ibnu Khuwaidzi Mandad berkata: "Adapun taat kepada sultan maka wajib
dalam rangka taat kepada Allah dan tidak wajib dalam perkara maksiat kepadaAllah..." (Al-Jami' lil Ahkamil Qur`an 5/167, 168) Syaikh Abdur Rahman As-Sa'di berkata: "(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan(kaum mukminin) untuk taat kepada-Nya dan taat kepada Rasul-Nya yaitu dengan mengerjakan perintah keduanya baik yang wajib maupun yang sunnah dengan menjauhi larangan keduanya. Dan Allah juga memerintahkan (kepada kaum mukminin) untuk taat kepada Ulil Amri, yaitu orang yang mengurusi kepentingan umat, baik itu Umara, pemerintah maupun mufti-mufti karena sesungguhnya tidak akan konsisten urusan Dien dan dunia kecuali dengan
taat kepada mereka dan tunduk kepada perintah-perintah mereka dalam rangka
taat kepada Allah dan mengharap pahala yang ada di sisi-Nya. Akan tetapi
dengan syarat mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Apabila mereka
memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak ada taat kepada makhluk
dalam bermaksiat kepada Allah. Barangkali inilah rahasia dibuangnya fi'il
athi'u (taatilah) dalam perintah taat kepada Ulil Amri. Di samping itu disebutkannya perintah taat kepada mereka itu menyertai taat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Rasul tidak pernah memerintahkan selain kepada Allah sehingga
barangsiapa yang taat kepadanya (Rasulullah) maka dia telah taat kepada Allah.
Adapun syarat taat kepada Ulil Amri adalah jika tidak ada unsur-unsur maksiat kepada Allah. Di samping itu Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala
permasalahan yang diperselisihkan oleh umat manusia kepada Allah dan Rasul-Nya,
yakni taat kepada Kitab (Al-Qur`an) dan As-Sunnah. Ini karena Al-Qur`an dan
As-Sunnah adalah hakim yang menyelesaikan segala permasalahan
khilafiyyah (permasalahan yang diperselisihkan) baik itu dari nash yang sharih
(jelas),nash umum, syarat, peringatan, maupun pemahaman ayat. Agama ini
dibangun di atas pondasi Al-Qur`an dan As-Sunnah sehingga tidak akan istiqamah
(komitmen) iman seseorang kecuali dengan berpegangan kepada Al-Qur`an
dan As-Sunnah. Oleh karena itulah kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah merupakan syarat keimanan. Allah berfirman (yang artinya): "Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir..." (An-Nisa: 59)
Maka ayat ini menunjukkan bahwasanya orang-orang yang tidak
mengembalikan masalah khilafiyyah kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah, dia bukanlah
seorang mukmin yang hakiki, bahkan dia adalah seorang yang beriman kepada
thaghut (sebagaimana yang akan disebutkan dalam ayat sesudahnya 4:60).
Kembali kepada Allah dan Rasul-Nya itu lebih baik balasannya dan lebih
baik akibatnya, karena hukum Allah dan Rasul-Nya adalah sebaik-baik hukum
dan merupakan hukum yang membawa maslahah (kebaikan) bagi umat manusia
baik itu dalam urusan Dien (agama) maupun urusan dunia. (Taisirul Karimir
Rahman fiTafsiri Kalamil Mannan 2/89-90) Menyoroti ayat ini, Ibnul Qayyim berkata dalam I'lamul Muwaqqi'in
1/38: "(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan (kaum muslimin) untuk taat
kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dan Allah mengulangi fi'il (ati'uu) (=taatilah)
sebagai i'lam (pemberitahuan) bahwa taat kepada rasul itu harus
disendirikan dengan tanpa dicocokkan terlebih dahulu kepada apa yang Allah
perintahkan dalam Al-Qur`an. Jadi, kalau Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan sesuatu maka wajib ditaati secara mutlak, baik perintah
itu ada dalam Al-Qur`an maupun tidak, karena Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam diberi Al-Qur`an dan juga semisalnya (As-Sunnah).
Dalam ayat ini juga, Allah tidak memerintahkan untuk menyendirikan
taat kepada Ulil Amri. Bahkan Allah membuang fi'il (ati'uu) dan
menjadikannya di dalam kandungan taat kepada Rasul, sebagai pemberitahuan bahwa mereka
(Ulil Amri) itu ditaati dalam rangka taat kepada Rasul." (lihat Hujiyyatu
Ahaditsil Ahad fil Ahkami Al-Aqaid hal. 11-12) Dalam Tulisan Ustad Arifin Badri:
...pada ayat ini Alloh memerintahkan kita semua untuk taat kepada
Alloh, yaitu dengan mengikuti kitab-Nya, dan menaati Rasulullah shalallahu
'alaihi wa sallam dengan mengikuti sunnahnya, serta menaati para pemimpin
(ulul 'amri) di antara kita, baik ulul 'amri dari kalangan ulama atau umara
(penguasa). Ini adalah kewajiban kita semua untuk senantiasa taat
kepada Alloh, Rosululloh dan para pemimpin di antara kita. Akan tetapi walau
demikian, pada ayat ini Alloh ta'ala mengulang perintah untuk taat,
yaitu kata "taatilah" sebanyak dua kali, yaitu taat kepada Alloh dan taat
kepadaRosululloh sholallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi ketika
menyebutkan ulul 'amri, Alloh tidak mengulang kata taatilah . Hal ini mengisyaratkan
kepada kita bahwa kewajiban taat kepada Alloh dan Rasul-Nya bersifat mutlak
karena sebagai konsekuensi pengakuan dan keimanan kita kepada Alloh dan
Rasul-Nya adalah senantiasa taat dan untuk tidak beramal selain dengan
syariat yang Alloh dan Rasul-Nya ajarkan. Sedangkan ketaatan kepada
ulul 'amri tidak bersifat mutlak, akan tetapi ketaatan kepada mereka hanya
wajib atas kita sebatas dalam hal yang ma'ruf atau selama tidak melanggar
dengan kewajiban ta'at kepada Alloh dan Rasul-Nya. Pemahaman semacam ini dengan tegas telah disabdakan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
"Dari sahabat Ibnu Umar rodhiallohu 'anhu dari Nabi shalallahu 'alaihi
wa sallam, "Wajib atas setiap orang muslim untuk mendengar dan menaati,
baik dalam hal yang ia suka atau yang ia benci, kecuali kalau ia
diperintahkan dengan kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan menaati". (HR
Bukhori dan Muslim)Hal ini atau prinsip ini bukan hanya berlaku dalam hubungan interaksi antara rakyat dan pemerintah dan ulama akan tetapi berlaku dalam
segala urusan, sampai-sampai dalam hubungan antara anak dan orang tuanya
prinsip ini tetap berlaku dan wajib diindahkan oleh setiap muslim.
Perhatikanlah firman Alloh berikut ini
"Dan jika keduanya (Ayah dan ibu) memaksamu untuk mempersekutukan
denga Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu patuhi keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik...."
(Q Luqman: 15)
Dan masih banyak lagi dalil serta keterangan ulama Ahlusunnah tentang
prinsip ketaatan kepada sesama manusia, baik pemerintah, atau orang
tua atau atasan dalam sebuah organisasi, atau perusahaan atau lainnya,
yang semuanya menguatkan apa yang saya utarakan ini, yaitu ketaatan kepada
sesama manusia hanya boleh dilakukan selama tidak melanggar syariat Alloh.
Jakarta 5-1-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar