DEMI WAKTU Manusia Dalam Kerugian ?
Muqaddimah
Surat ini adalah surat Makkiyah yang turun sesudah Surat Alam Nasyrah
dan sebelum Surat Al-Adiyat. Surat ini merupakan surat ke-13 dilihat
dari segi urutan turunnya. Akan tetapi dalam urutan penyusunan mushaf Utsmani,
surat ini terletak setelah Surat At-Takatsur. Dalam Surat At-Takatsur
diterangkan bahwa setiap kenikmatan berupa umur, kekayaan, badan dan ilmu bakal
dimintai pertanggungjawaban. Sedangkan dalam Surat Al-‘Ashr
ini dijelaskan akan pentingnya menjaga waktu agar manusia tidak merugi di dunia
maupun akhirat.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani
melalui jalur sahabat Ubaidillah bin Hushain, diceritakan bahwa para sahabat
Rasulullah Saw. tidak berpisah sebelum mereka saling membacakan surat ini
kepada temannya. Imam Syafi’i pernah menyatakan “ Seandainya umat Islam
memikirkan kandungan surat ini niscaya (petunjuk-petunjuknya) mencukupi
mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, jilid IV hal. 550).
Waktu dan Perasan
“Wal ‘Ashr (1) Sesungguhnya
manusia benar-benar berada dalam kerugian (2) kecuali
orang-orang yang beriman dan beramal shaleh mereka saling menasehati dalam
kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran (3)”
Para ulama sepakat bahwa kata al-‘ashr artinya
adalah “waktu” atau “masa”. Namun mereka berbeda pendapat tentang waktu yang
dimaksud. Pendapat pertama menyatakan bahwa ia adalah “waktu” atau
“masa” secara umum, dimana langkah dan gerak tertampung di dalamnya. Pendapat kedua
menafsirkannya sebagai waktu tertentu yakni waktu dimana shalat Ashar dapat
dilaksanakan. Pendapat ketiga menyatakan bahwa istilah ini mengacu pada
waktu atau masa diutusnya Rasulullah Saw., yang mendekati akhir zaman.
Sebenarnya menurut Zulkarnain, Alquran menyebut “waktu”
dengan sejumlah istilah, bukan hanya ‘ashr. Alquran misalnya menyebut waktu dengan al-ajl
yang berarti batas waktu yang telah ditentukan. Ada pula istilah ad-dahr
yang berarti waktu yang panjang. Istilah ini biasanya digunakan untuk
perjalanan waktu dari masa terciptanya alam semesta sampai kiamat (lihat
misalnya dalam Q.S. Al-Jatsiyaat:24). Alquran pun menggunakan kata al-waqt:
batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu peristiwa. Contoh
penggunaan istilah ini dapat dilihat dalam Surat An-Nisaa:103 tentang
shalat.
Lantas mengapa Allah bersumpah dengan kata al-‘ashr?
Bukan dengan kata al-dahr atau al-waqt? Zulkarnain berpendapat, seolah-olah Allah
ingin menyampaikan bahwa hasil apapun yang dicapai manusia setelah memeras
keringatnya (tenaga), sesungguhnya ia akan merugi. Kecuali tentunya, jika ia
beriman dan beramal sholeh. Kerugian itu mungkin tidak akan dirasakannya pada
waktu dini, tetapi pasti akan disadarinya pada “waktu ashar” kehidupannya, menjelang
Matahari hayatnya terbenam.
“Demi masa!” (ayat 1). Atau demi waktu ‘Ashar, waktu
petang hari seketika bayang-bayang badan sudah mulai lebih panjang daripada
badan kita sendiri, sehingga masuklah waktu sembahyang ‘Ashar. Maka terdapatlah
pada ayat yang pendek ini dua macam tafsir.
Syaikh Muhammad Abduh menerangkan di dalam Tafsir Juzu’
Amma bahwa telah teradat bagi bangsa Arab apabila hari telah sore, mereka duduk
bercakap-cakap membicarakan soal-soal kehidupan dan ceritera-ceritera lain yang
berkenaan dengan urusan sehari-hari. Karena banyak percakapan yang melantur,
keraplah kejadian pertengkaran, bersakit-sakitan hati sehingga menimbulkan
permusuhan. Lalu ada yang mengutuki waktu ‘Ashar (petang hari), mengatakan
waktu ‘Ashar waktu yang celaka, atau naas, banyak bahaya terjadi di waktu itu.
Maka datanglah ayat ini memberi peringatan “Demi ‘Ashar”, perhatikanlah waktu
‘Ashar. Bukan waktu ‘Ashar yang salah. Yang salah adalah manusia-manusia yang
mempergunakan waktu itu dengan salah. Mempergunakannya untuk bercakap-cakap
yang tidak tentu ujung pangkal. Misalnya bermegah-megahan harta, memuji diri,
menghina merendahkan orang lain. Tentu orang yang dihinakan tiada terima, dan
timbullah saling sengketa.
Inilah satu tafsir.
Tafsir yang lain: “Demi Masa!”
Diambil Tuhanlah masa menjadi sumpah, atau menjadi
sesuatu yang mesti diingat-ingati. Kita hidup di dunia ini adalah melalui masa.
Setelah itu kita pun akan pergi. Dan apabila kita telah pergi, artinya mati,
habislah masa yang kita pakai dan yang telah lalu tidaklah dapat diulang lagi,
dan masa itu akan terus dipakai manusia yang tinggal, silih berganti, ada yang
datang dan ada yang pergi.
Diperingatkanlah masa itu kepada kita dengan sumpah, agar
dia jangan disia-siakan, jangan diabaikan. Sejarah kemanusiaan ditentukan oleh
edaran masa.
“Sesungguhnya manusia itu adalah di dalam kerugian.”
(ayat 2). Di dalam masa yang dilalui itu nyatalah bahwa manusia hanya rugi
selalu. Dalam hidup melalui masa itu tidak ada keuntungan sama-sekali. Hanya
rugi jua yang didapati: Sehari mulai lahir ke dunia, di hari dan sehari itu
usia sudah kurang satu hari. Setiap hari dilalui, sampai hitungan bulan dan
tahun, dari muda ke tua, hanya kerugian jua yang dihadapi.
Itu kalau umur panjang. Kalau usia pendek kerugian itu
akan lebih besar lagi. Belum ada apa-apa kita sudah pergi. Kerugianlah seluruh
masa hidup itu. Kerugian!
“Kecuali orang yang beriman.” (pangkal ayat 3). Yang
tidak akan merasakan kerugian dalam masa hanyalah orang-orang yang beriman.
Orang-orang yang mempunyai kepercayaan bahwa hidupnya ini adalah atas kehendak
Yang Maha Kuasa. Manusia datang ke dunia ini sementara waktu; namun masa yang
sementara itu dapat diisi dengan baik karena ada kepercayaan; ada tempat
berlindung. Iman menyebabkan manusia insaf dari mana datangnya. Iman
menimbulkan keinsafan guna apa dia hidup di dunia ini, yaitu untuk berbakti
kepada Maha Pencipta dan kepada sesama manusia. Iman menimbulkan keyakinan
bahwasanya sesudah hidup yang sekarang ini ada lagi hidup. Itulah hidup yang
sebenarnya, hidup yang baqa. Di sana kelak segala sesuatu yang kita lakukan
selama masa hidup di dunia ini akan diberi nailainya oleh Allah. “Dan beramal
shalih,” bekerja yang baik dan berfaedah. Sebab hidup itu adalah suatu
kenyataan dan mati pun kenyataan pula, dan manusia yang di keliling kita pun
suatu kenyataan pula. Yang baik terpuji di sini, yang buruk adalah merugikan
diri sendiri dan merugikan orang lain. Sinar Iman yang telah tumbuh dalamjiwa
itu dan telah menjadi keyakinan, dengan sendinya menimbulkan perbuatan baik.
Dalam kandungan perut ibu tubuh kita bergerak. Untuk lahir ke dunia kita pun
bergerak. Maka hidup itu sendiri pun adalah gerak. Gerak itu adalah gerak maju!
Berhenti sama dengan mati. Mengapa kita akan berdiam diri? Mengapa kita akan
menganggur? Tabiat tubuh kita sendiri pun adalah bergerak dan bekerja. Kerja
hanyalah satu dari dua, kerja baik atau kerja jahat. Setelah kita meninggalkan
dunia ini kita menghadapi dua kenyataan. Kenyataan pertama adalah sepeninggal
kita, yaitu kenang-kenangan orang yang tinggal. Dan kenyataan kedua ialah bahwa
kita kembali ke hadhirat Tuhan.
“Dan berpesan-pesanan dengan Kebenaran.” Karena nyatalah
sudah bahwa hidup yang bahagia itu adalah hidup bermasyarakat. Hidup
nafsi-nafsi adalah hidup yang sangat rugi. Maka hubungkanlah tali kasih-sayang dengan
sesama manusia, beri-memberi ingat apa yang benar. Supaya yang benar itu dapat
dijunjung tinggi bersama. Ingat-memperingatkan pula mana yang salah, supaya
yang salah itu sama-sama dijauhi.
Dengan demikian beruntunglah masa hidup. Tidak akan
pernah merasa rugi. Karena setiap pribadi merasakan bahwa dirinya tidaklah
terlepas dari ikatan bersama. Bertemulah pepatah yang terkenal: “Duduk seorang
bersempit-sempit, duduk ramai berlapang-lapang.” Dan rugilah orang yang
menyendiri, yang menganggap kebenaran hanya untuk dirinya seorang.
“Dan berpesan-pesanan dengan Kesabaran.” (ujung ayat 3).
Tidaklah cukup kalau hanya pesan-memesan tentang nilai-nilai Kebenaran. Sebab
hidup di dunia itu bukanlah jalan datar saja. Kerapkali kaki ini terantuk duri,
teracung kikil. Percobaan terlalu banyak. Kesusahan kadang-kadang sama
banyaknya dengan kemudahan. Banyaklah orang yang rugi karena dia tidak tahan
menempuh kesukaran dan halangan hidup. Dia rugi sebab dia mundur, atau dia rugi
sebab dia tidak berani maju. Dia berhenti di tengah perjalanan. Padahal
berhenti artinya pun mundur. Sedang umur berkurang juga.
Maka daripada pengecualian yang empat ini: (1) Iman, (2)
Amal shalih, (3) Ingat-mengingat tentang Kebenaran, (4) Ingat-mengingat tentang
Kesabaran, kerugian yang mengancam masa hidup itu pastilah dapat dielakkan.
Kalau tidak ada syarat yang empat ini rugilah seluruh
masa hidup.
Ibnul Qayyim di dalam kitabnya “Miftahu Daris-Sa’adah”
menerengkan: “Kalau keempat martabat telah tercapai oleh manusia, hasillah
tujuannya menuju kesempurnaan hidup. Pertama: Mengetahui Kebenaran. Kedua:
Mengamalkan Kebenaran itu. Ketiga: Mengajarkan kepada orang yang belum pandai
memakaikannya. Keempat: Sabar di dalam menyesuaikan diri dengan Kebenaran dan
mengamalkan dan mengajarkannya. Jelaslah susunan yang empat itu di dalam Surat
ini.
Ar-Razi menulis pula dalam tafsirnya: “Dalam Surat ini
terkandung peringatan yang keras. Karena sekalian manusia dianggap rugilah
adanya, kecuali barangsiapa yang berpegang dengan keempatnya ini. Yaitu: Iman,
Amal Shalih, Pesan-memesan kepada Kebenaran dan Pesan-memesan kepada Kesabaran.
Itu menunjukkan bahwa keselamatan hidup bergantung kepada keempatnya, jangan
ada yang tinggal. Dan dapat juga diambil kesimpulan dari Surat ini bahwa
mencari selamat bukanlah untuk diri sendiri saja, melainkan disuruh juga menyampaikan,
atau sampai-menyampaikan dengan orang lain. Menyeru kepada Agama, Nasihat atas
Kebenaran, Amar ma’ruf nahyi munkar, dan supaya mencintai atas saudaranya apa
yang dia cintai untuk dirinya. Dua kali diulang tentang pesan-memesan, wasiat
mewasiati, karena pada yang pertama menyerunya kepada jalan Allah dan pada yang
kedua supaya berteguh hati menjalankannya. Atau pada yang pertama menyuruh
dengan ma’ruf dan pada yang kedua mencegah dari yang munkar. Di dalam Surat
Luqman, 21:17 dengan terang-terang ditulis wasiat Luqman kepada anaknya agar
dia suka menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat munkar dan bersabar atas apa
pun jua yang menimpa diri.
Menurut keterangan Ibnu Katsir pula di dalam tafsirnya:
“Suatu keterangan daripada Ath-Thabrani yang ia terima dari jalan Hamaad bin
Salmah, dari Tsabit bin ‘Ubaidillah bin Hashn: “Kalau dua orang sahabat
Rasulullah SAW bertemu, belumlah mereka berpisah melainkan salah seorang di
antara mereka membaca Surat Al-‘Ashr ini terlebih dahulu, barulah mereka
mengucapkan salam tanda berpisah.”
Syaikh Muhammad Abduh dalam menafsirkan Hadis pertemuan
dan perpisahan dua sahabat ini berkata: “Ada orang yang menyangka bahwa ini
hanya semata-mata tabarruk (mengambil berkat) saja. Sangka itu salah.
Maksud membaca ketika akan berpisah ialah memperingatkan isi ayat-ayat, khusus
berkenaan dengan pesan-memesan Kebenaran dan pesan-memesan atas Kesabaran itu,
sehingga menimbulkan kesan yang baik.”
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Kalau manusia seanteronya sudi
merenungkan Surat ini, sudah cukuplah itu baginya.”
Syaikh Muhammad Abduh menafsirkan Surat ini dengan
tersendiri, dan Sayid Rasyid Ridha pernah mencetak tafsir gurunya ini dengan
sebuah buku tersendiri pula, dan menjadi salah satu pelajaran kami di Sumatera
Thawalib, Padang Panjang pada tahun 1922.
Keutamaan
Surat Al ‘Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Qur’an
yang banyak dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah dihafal. Namun
sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat memahaminya.
Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan makna yang
sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ
”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya
hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].
Iman yang Dilandasi dengan Ilmu
Dalam surat ini Allah ta’ala menjelaskan bahwa
seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam
ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat,
tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa
jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam
surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia
kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir
Karimir Rohmaan hal. 934].
Kriteria pertama, yaitu beriman kepada Allah. Dan
keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang
dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu. Ilmu
yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim wajib (fardhu
‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam
berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan syari’at-syari’at
Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa hal-hal yang
diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah, dan lain sebagainya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ
”Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah
nomor 224 dengan sanad shahih).
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
يَجِبُ أَنْ يَطْلَبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَهُ
”Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa membuat
dirinya mampu menegakkan agama.” [Al Furu’ 1/525].
Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk
mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan, misalnya yang
berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak lain dikarenakan
seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan sehingga ia perlu
meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah ta’ala berfirman,
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
”Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu
dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami
menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami
kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Asy Syuura: 52).
Mengamalkan Ilmu
Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu kecuali jika dia
berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut. Maksudnya,
seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya tersebut menjadi suatu
perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan amalnya.
Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah
Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah
لاَ يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلاً حَتىَّ يَعْمَلَ بِعِلْمِهِ فَإِذَا عَمِلَ بِهِ صَارَ عَالِمًا
”Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh
sampai dia dapat mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah dia
menjadi seorang alim” (Dikutip dari Hushul al-Ma’mul).
Perkataan ini mengandung makna yang dalam, karena apabila
seorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka (pada
hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak ada perbedaan antara dia
dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan ilmunya.
Oleh karena itu, seorang yang berilmu tapi tidak beramal
tergolong dalam kategori yang berada dalam kerugian, karena bisa jadi ilmu itu
malah akan berbalik menggugatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يَسْأَلَ عَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ
,”Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يَسْأَلَ عَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ
,”Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).
Berdakwah kepada Allah
Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah ta’ala, adalah
tugas para Rasul dan merupakan jalan orang- orang yang mengikuti jejak mereka
dengan baik. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)
“Katakanlah, “inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha
suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).
Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan Allah. Simak firman Allah ta’ala berikut,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan Allah. Simak firman Allah ta’ala berikut,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang
yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
“Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat :
33).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada
seseorang dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah”
(HR. Bukhari nomor 2783).
Oleh karena itu, dengan merenungi firman Allah dan sabda
nabi di atas, seyogyanya seorang ketika telah mengetahui kebenaran, hendaklah
dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan mengajak mereka untuk
memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar.
Sangat aneh, jika disana terdapat sekelompok orang yang
telah mengetahui Islam yang benar, namun mereka hanya sibuk dengan urusan
pribadi masing-masing dan “duduk manis” tanpa sedikit pun memikirkan kewajiban
dakwah yang besar ini.
Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
”Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian,
hingga ia senang apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang juga ia senangi.”
(HR. Bukhari nomor 13).
Jika anda merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan.
Jika anda merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan.
Bersabar dalam Dakwah
Kriteria keempat adalah bersabar atas gangguan yang
dihadapi ketika menyeru ke jalan Allah ta’ala. Seorang da’i (penyeru) ke jalan
Allah mesti menemui rintangan dalam perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal ini dikarenakan para dai’ menyeru
manusia untuk mengekang diri dari hawa nafsu (syahwat), kesenangan dan adat
istiadat masyarakat yang menyelisihi syari’at [Hushulul ma’mul hal. 20].
Hendaklah seorang da’i mengingat firman Allah ta’ala
berikut sebagai pelipur lara ketika berjumpa dengan rintangan. Allah ta’ala
berfirman,
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ (٣٤)
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ (٣٤)
”Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul
sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan
(yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap
mereka” (QS. Al-An’am : 34).
Seorang da’i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah ta’ala menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang artinya),
Seorang da’i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah ta’ala menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang artinya),
”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah)” (QS. Luqman :17).
JAKARTA
10/4/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar