“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat ihsan,
serta memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran” (An-Nahl: 90)
Ayat ini merupakan diantara sekian ayat yang terbilang
paling akrab di telinga kaum muslimin karena biasa dijadikan ayat penutup yang
dibaca oleh khatib sebelum mengakhiri khutbah jum’at atau khutbah hari raya.
Secara cermat ditemukan bahwa redaksi ayat ini bersifat umum, karena perintah
Allah dalam ayat ini tidak ditujukan kepada sasaran tertentu, misalnya
“Ya’murukum” (memerintah kalian) seperti dalam ayat-ayat yang lain, tetapi
cukup dengan kata “Ya’muru” (memerintah). Sehingga ayat ini harus dipahami
sebagai ayat universal yang mengikat seluruh hamba Allah tanpa ada beban
fanatisme golongan, ideologi, suku bangsa dan sebagainya. Karena secara fithrah
memang manusia dilahirkan membawa prinsip-prinsip kebaikan yang diperintahkan
dalam ayat ini dan membenci perilaku keburukan yang dicegah dalam ayat ini.
Bahkan dengan tegas -karena melihat kandungan yang terangkum di dalam ayat ini-
Abdullah bin Mas’ud ra sampai menyimpulkan bahwa ayat ini adalah ayat yang
paling komprehensif (yang paling luas cakupannya) di dalam Al-Qur’an tentang
kebaikan-kebaikan yang diperintahkan dan keburukan-keburukan yang harus
dicegah.
Bagi Utsman bin Madh’un, ayat ini memiliki keistimewaan dan
kesan tersendiri. Pada mulanya, ia memeluk Islam hanya karena malu dengan
Rasulullah saw. Namun ketika ia berada di sisi Rasulullah saw dan ikut
menyaksikan peristiwa saat ayat ini turun, ia merasakan satu kekuatan iman yang
menembus ke dalam hatinya. Ia mulai yakin akan keagungan prinsip-prinsip hidup
dan kehidupan yang akan ditegakkan oleh Islam dalam kehidupan pribadi,
keluarga, masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad mengenai sebab turun ayat ini,
bahwa Abdullah bin Abbas menceritakan, “Ketika Rasulullah saw sedang duduk di
halaman rumahnya, tiba-tiba Utsman bin Madh’un melintas di depan. Maka
Rasulullah memanggilnya dan mengajaknya duduk bersama. Namun ketika sedang
berlangsung pembicaraan diantara keduanya, tiba-tiba Rasulullah menengadahkan
pandangannya ke langit beberapa saat, kemudian menundukkan kepalanya dan
bergeser dari tempat duduknya ke sebelah kanan. Beliau menganggukkan kepala
seakan-akan mengiyakan apa yang disampaikan kepadanya. Selang beberapa saat,
beliau kembali mengangkat pandangannya ke langit seperti yang terjadi pada kali
pertama, lantas beliau kembali ke tempat duduknya di samping Utsman bin
Madh’un. Maka melihat kejadian yang tidak biasa tersebut, Utsman bertanya
kepada Rasulullah saw, “Hai Muhammad, kenapa aku melihat engkau tadi mengangkat
pandanganmu ke langit dan mengangguk-anggukan kepala seakan-akan mengiayakan
sesuatu dan engkau bergeser menjauh dariku?”. Rasulullah balik bertanya,
“Apakah engkau tadi memperhatikan apa yang terjadi?”. Utsman menjawab singkat,
“Ya”. Rasulullah berkata, “Telah datang kepadaku tadi seorang Rasul Allah”.
Dengan nada terkejut Utsman bertanya, “Seorang Rasul Allah?”. Rasulullah
menjawab, “Benar”. Utsman bertanya lagi, “Apakah yang ia sampaikan kepadamu?”.
Rasulullah menjelaskan, “Ia datang membawa wahyu kepadaku” Lantas Rasulullah
membacakan surah An-Nahl ayat 90?.
Dalam riwayat Al-Qurthubi, setelah kejadian ini, dengan modal
keyakinan yang mendalam Utsman bin Madh’un lantas membacakan ayat ini kepada
Al-Walid bin Al-Mughirah, seorang yang sangat dikenal piawai dalam dalam bidang
sastra di kalangan orang-orang Arab pada masa itu. Demi mendengar ayat tersebut
dibacakan kepadanya, spontan keluar dari lisannya pernyataan yang memeranjatkan
semua orang, termasuk para pemuka Quraisy yang memang menaruh dendam kepada
Rasulullah, “Demi Allah, sungguh Al-Qur’an ini memiliki kelezatan dan
keindahan. Di atasnya berbuah dan di bawahnya berakar, dan ini bukanlah
kata-kata manusia”. Bahkan diriwayatkan bahwa Al-Walid meminta Utsman untuk
mengulangi bacaan ayat ini.
Berdasarkan komprehensifitas kandungan ayat ini, terdapat
tiga prinsip yang terangkum di dalamnya yang ditawarkan oleh Al-Qur’an agar
dijadikan landasan dalam upaya membangun umat dan menata sebuah masyarakat,
yaitu prinsip keadilan, prinsip ihsan dan prinsip takaful yang dicontohkan
dalam skala mikro dengan memberi bantuan kepada kaum kerabat. Ketiga sendi ini
merupakan landasan aplikatif untuk membendung dan mengantisipasi gerak
Al-Fahsya’ yaitu segala perbuatan yang didasarkan pada pemenuhan hawa nafsu,
seperti zina, minuman yang memabukkan dan sebagainya. Al-Munkar, yaitu
perbuatan buruk yang bertentangan dengan akal sehat, seperti mencuri, merampok
dan tindakan aniaya lainnya. Al-Baghyu, yaitu tindakan yang mengarah kepada
permusuhan, seperti kezaliman, tindakan sewenang-wenang dan sebagainya. Ketiga
kekuatan perusak ini merupakan penyakit masyarakat yang akan senantiasa merongrong
keutuhan dan eksistensi umat. Karenanya, sebuah masyarakat tidak mungkin bisa
tegak di atas dasar kekejian, kemungkaran dan permusuhan. Demikian juga, sebuah
masyarakat yang telah tersebar di tengah-tengahnya perbuatan keji dengan segala
warna dan kemasannya, kemungkaran dengan segala daya tariknya dan permusuhan
dengan segala bentuknya tidak akan mungkin bangkit dari keterpurukan dan
senantiasa berada dalam kesengsaraan.
Ibnu Katsir mengomentari bahwa dalam ayat ini Allah
memerintahkan semua hamba-hambaNya agar menjunjung tinggi nilai keadilan dan
keseimbangan dalam semua urusan dan selanjutnya menganjurkan bersikap ihsan
dalam setiap perbuatan. Maka ayat ini merupakan dalil akan perintah berlaku
adil dan anjuran untuk bersikap ihsan. Sedangkan hubungan yang ketara antara
adil dan ihsan adalah bahwa keadilan merupakan sebuah kewajiban syariat,
sedangkan ihsan merupakan sikap yang lebih di atas sikap adil. Karenanya
berusaha mencapai derajat ihsan dalam semua perbuatan merupakan satu hal yang
sangat dianjurkan.
Berbeda dengan Syekh Abu Hamid Al-Ghozali. Ia menuturkan
pandangannya tentang konsep adil dan ihsan sebagai sebuah perintah yang harus
dilaksanakan secara bersamaan. Ia menyatakan bahwa melalui ayat ini, Allah
memerintahkan hambaNya agar bersikap adil dan ihsan secara bersamaan. Karena
sikap adil hanya akan membawa kepada keselamatan. Seperti halnya dalam
aktifitas perniagaan, hanya mengembalikan modal. Sedangkan sikap ihsanlah yang
akan memberikan kemenangan dan kebahagiaan. Yaitu keuntungan yang lebih dari
modal dalam konteks perniagaan. Sehingga, sepatutnya seorang hamba Allah tidak
cukup berpuas hati karena hanya mampu melaksanakan adil tanpa dibarengi dengan
ihsan. Oleh karenanya, Allah menggandengkan kedua sikap ini dalam ayatNya.
Bahkan, Allah justru banyak memuji sikap ihsan di dalam ayat-ayatNya.
Diantaranya, “Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami
tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya)
dengan ihsan”. (Al-Kahfi: 30). “Dan berbuat ihsanlah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu”. (Al-Qashash: 77)
Dalam konteks ini, Sayid Qutb memaparkan pemahaman tafsirnya
dengan pendekatan ijtima’i yang menjadi ciri khas tafsirnya, bahwa di ayat
inilah Al-Qur’an datang dengan membawa mabadi’ (prinsip-prinsip) yang akan
menguatkan simpul-simpul yang terjalin di dalam sebuah masyarakat yang akan
menjadi penenang bagi setiap individu, umat dan bangsa. Allah mengawalinya
dengan prinsip Al-Adl yang harus dijadikan penopang sebagai kaidah yang baku dalam pergaulan
sehari-hari. Terlebih lagi, prinsip Al-Adl di dalam ayat ini digandengkan
dengan Al-Ihsan untuk melembutkan ketajaman keadilan yang solid. Karena kata
Ihsan lebih luas penunjukannya. Maka ihsan mencakup seluruh sendi-sendi
kehidupan dari hubungan seorang hamba dengan Rabbnya, hubungan dengan
keluarganya, masyarakatnya dan dengan kemanusiaan dalam arti yang luas.
Menurut susunan kalimat dalam ayat ini, penyebutan
“Ita’idzil Qurba” (memberi kepada kaum kerabat) setelah Al-Adl dan Al-Ihsan
adalah untuk menunjukkan bentuk konkret salah satu dari perbuatan ihsan.
Penyebutan khusus kalimat ini hanyalah dalam konteks ta’dzim (pengagungan)
terhadap hubungan dengan kaum kerabat dan sebagai ta’kid (penegasan) terhadap
konsep ihsan tersebut yang bisa dilakukan secara bertahap, dari wilayah yang
paling dekat sampai ke wilayah yang jauh yang meliputi seluruh anggota
masyarakat.
Betapa paksi keadilan, ihsan dan takaful dalam struktur
bangunan masyarakat ini terasa semakin lenyap dan hilang dari kesehariannya,
baik dalam skala pribadi, keluarga maupun masyarakat. Kalaupun ada, masih
sangat terbatas dan sangat rapuh. Sedangkan tiga kekuatan penghancur yang
tampil dalam kemasan kekejian, kemungkaran dan permusuhan justru semakin menunjukkan
eksistensi kekuatannya di tengah umat yang sedang berusaha bangkit dari
keterpurukan. Tiga kekuatan ini muncul serentak dalam beragam bentuk dan
warnanya. Cukuplah ayat ini menjadi wejangan yang sangat berharga untuk
mengembalikan izzatul Islam wal Muslimin. “Dia (Allah) memberi pengajaran
kepadamu (dengan ayat ini) agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Allahu a’lam
Jakarta 10-1-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar