KITAB TAFSIR AL-KASYSYAF ?
Latar Belakang Keilmuan al-Zamakhsyari
Nama lengkap al-Zamakhsyari adalah Abdul Qoaim mahmud ibn Muhammad
ibn Umar al-Zamakhsyari. Ada juga yang menulis Muhammad ibn Umar ibn Muhamma
al-Khawarizmi al-Zamaksyari. Ia lahir di Zamakhsyar, sebuah kota kecil di
Khawarizmi pada hari Rabu 27 Rajab 467 H atau 18 Maret 1075 M, pada masa
pemerintahan Sultan Jalal al-Din Abi al-Fath Malikisyah dengan Wazir Nizam
al-Mulk.[1]
Sejak usia remaja, al-Zamaksyari sudah pergi merantau, yaitu
menuntut ilmu pengetahuan ke Bukhara yangmana pada saat itu menjadi pusat
kegiatan keilmuan dan terkenal dengan para sastrawan. Baru beberapa tahun
belajar, ia merasa terpanggil untuk pulang sehubungan dengan dipenjarakannya ayahnya
oleh pihak penguasa dan kemudian wafat. Al-Zamaksyari masih beruntung, bisa
berjumpa dengan ulam terkenal di Khawarizm, yaitu Abu Mudar al-Nahwi (w. 508
H). Berkat bimbingan dan bantuan yang diberikan Abu Mudar, ia berhasil menjadi
murid yang terbaik, menguasai bahasa dan sastra Arab, logika, filsafat dan ilmu
kalam.[2]
Tafsir Al-Kasysyaf
AMALKAN ALQUR'AN |
Kitab Tafsir
al-Khasysyaf ialah karya Abu Qasim Mahmud bin Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsyari. Ia lahir 27
Rajab tahun 487 H di Zamakhsyari, dan wafat pada tahun 538 H di Jurjaniyah. Kata Zamakhsyari pada hujung namanya dinisbahkan kepada desa Zamakhsyar
di Khawarizmi, desa kelahiranya, ia bergelar Jarullah. Tafsir al-Kasysyaf
adalah salah satu buah pena Zamakhsyari yang ditulis selama tiga tahun di
Makkah al-Mukaramah atas permintaan Abu Hasan Ali Ibnu Hamzah.
Tafsir ini ditulis berdasarkan susunan mushaf (tahlili), corak
tafsirnya termasuk tafsir bil-ra’yi. Tafsir ini di dalamnya penuh dengan
romantika balghah (kajian pilologi) serta kental dengan unsur-unsur teologi
Mu’tazilah. Tafsir ini termasuk tafsir apologis, yang menjadikan Qur’an sebagai
alat legitimasi demi kepentingan peribadi, mazhab dan golongan.
Tafsir
al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang
dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastera. Penafsirannya
kadang-kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada
ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah
yang populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau
nahwu.
Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan Mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan kedudukan Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.
Corak dan Metode Penafsiran
Kitab tafsir ini berjudul al-Kasysyaf an Haqaiq al-tanzil ‘Uyun
al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil bermula dari permintaan suatu kelompok yang
menamakan diri al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adliyah. Kelompok yang dimaksud di sini
adalah kolompok Mu’tazilah. Dalam muqoddimah tafsir al-Kasysyafi
disebutkan sebagai berikut: ..... mereka
menginginkan adanya sebuah kitab tafsir dan mereka meminta saya supaya
mengungkapkan hakikat makna al-Quran dan semua kisah yang terdapat di dalamnya,
termasuk segi-segi penakwilannya.[7]
Kitab al-Kasysyaf adalah sebuah kitab tafsir yang paling masyhur
diantara sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufassir bi al-ra’yi yang mahir
dalam bidang bahasa. Al-Alusi, Abu Su’ud an-nasafi dan para mufassir lannya
banyak menukil dari kitab tersebut tetapi tanpa menyebutkan sumbernya. Paham
kemu’tazilahan dalam tafsirnya itu telah diungkapkan dan telah diteliti oleh
‘Allamah Ahmad an-Nayyir yang dituangkan dalam bukunya al-Intisaf. Dalam kitab
ini an-Nayyir menyerang al-Zamkhsyari dengan mendiskusikan masalah akidah
madzhab mu’tazilah yang dikemukakannya dan mengemmukakan pandangan yang
berlawananan dengannya sebagaimana ia mendiskusikan masalah kebahasaan.[8]
Penafsiran yang ditempuh al-Zamakhsyari dalam karyanya ini sangat
menarik, karena uraiannya singkat dan jelas sehingga para ulama’ Mu’tazilah
mengusulkan agar tafsir tersebut dipresentasikan pada para ulama Mu’tazilah dan
mengusulkan agar penafsirannya dilakukan dengan corak i’tizali, dan hasilnya
adalah tafsir al-Kasysyaf yang ada saat ini.[9]
al-Zamakhsyari
melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai
ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari
sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan
menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat
Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya
sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. al-Zamakhsyari sebenarnya tidak
melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena
penafsirannya melakukan sebahagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini
dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika al-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid al-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu memerlukan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya;
Al-Zamakhsyari
Mu’tazilah
Dari kajian
yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir al-Kasysyaf
tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, iaitu:
1. al-Zamakhsyari telah menampilkan dirinya
sebagai seorang pemikir Mu’tazilah;
2. Penampilan dirinya sebagai penafsir atsari,
yang berdasarkan atas hadis Nabi;
3. Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa;
4. Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu;
5. Penampilan dirinya sebagai ahli qira’at,
6. Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh,
7. Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan
8. Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.
3. Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa;
4. Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu;
5. Penampilan dirinya sebagai ahli qira’at,
6. Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh,
7. Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan
8. Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.
Dari ke lapan
aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek penampilannya sebagai seorang Mu’tazilah
dianggap paling dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di atas
menggambarkan bahwa huraian-huraian yang dilakukan oleh al-Zamakhsyari dalam
kitab tafsirnya banyak mengambarkan berbagai pandangan yang mendukung dan mengarah
pada pandangan-pandangan Mu'tazilah.
Ibnu Khaldun
memberikan analisa dan penilaian terhadap al-Khasysyaf karya Zamakhsyari
tersebut di saat membicarakan tentang rujukan tafsir mengenai pengetahuan
tentang bahasa, I’rab, dan balaghah. Dia mengatakan:
“ Di antara
kitab tafsir paling baik yang mencakup bidang tersebut ialah kitab al-Khasysyaf
karya Zamakhsyari, seorang penduduk khawarizm di Irak. Hanya saja pengarangnya
termasuk pengikut fanatik Mu’tazilah. Karena itulah ia senantiasa mendatangkan
argementasi-argumentasi untuk membela mazhabnya yang rusak setiap ia
menerangkan ayat-ayat al-Quran dari segi balaghah. Cara demikian bagi para
penyelidik dari kaum ahli sunnah dipandang sebagai penyimpangan dan, bagi
jumhur, merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan al-Quran. Namun
demikian mereka tetap mengakui kekokohan langkahnya dalam hal berkaitan dengan
bahasa dan balaghah. Tetapi jika orang membacanya tetap berpijak pada mazhab
sunni dan menguasai hujah-hujahnya, tentu ia akan selamat dari
perangkap-perangkapnya. Oleh karena itu, kitab tersebut perlu di baca mengingat
keindahan dan keunikan seni bahasanya ”.
Karya-Karya al-Zamakhsyari
Zamaksyari seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’ani dan
bayan. Dalam kitab ilmu nahwu dan
balaghah sering ditemukan keterangan-keterangan yang dikutip dari kitab
Zamakhsyari sebagai hujjah. Misalnya mereka mengatakan: “Zamaksyari berkata
dalam kitab al-Kasysyaf atau dalam Asasul Balaghahnya...”. [6] Selain kitab
tafsir, al-Zamaksyari mempunyai banyak karya dalam bidang hadis, nahwu, bahasa,
ma’ani dan lain sebagainya. Diantara karangannya yaitu:
a) Dibidang tafsir:
Tafsir Al-kasysyaf ‘an Haq Al-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujub Al-Ta’wil.
b) Bidang Hadits:
Al-Fa’iq fi garib Al-Hadits.
c) Bidang Fiqh: Ar-Ra’id
fi Al-Faraid.
d) Bidang Ilmu Bumi:
Al-Jibal wa Al-Amkinah.
e) Bidang Akhlaq:
Mutasyabih Asma’ Al-Ruwat, Al-Kalim Al-Nabawing fil Al-Mawa’iz Al-Nasa’ib
Al-Kibar Al-Nas’ib Al-Sigar, Maqamat Fil Al-Mawa’iz, kitab fi Manaqib Al-Imam
Abi Hanifah.
f) Bidang Sastra:
Diwan Rasa’il, Diwan Al-Tamasil, Taliyat Al-Darir.
g) Bidang Ilmu Nahwu:
Al-Namuzaj fi Al-Nahwu, Syarh Al-Katib Sibawaih, Syarh Al-Mufassal fi Al-nahw.
h) Bidang Bahasa: Asas
Al-balaghah, Jawahir Al-Lughah, Al-Ajnas, Muqadimah Al-Adab fi Al-Lughah.
JAKARTA 8/4/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar