PARA KEKASIH (WALI)
ALLAH SWT ?
Artinya: Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka
dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya
ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan
(kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Q.S.
Al Baqarah : 257)
أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ. الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu)
orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yunus: 62 & 63)
Muqaddimah
Makna wali versi masyarakat awam di atas harus
diluruskan. Oleh karena itu, di bawah ini kami akan sebutkan istilah yang benar
seputar makna wali, agar kita dapat mengetahui makna wali yang benar dengan
dasar ayat al-Qur`an, hadis dan penjelasan para ulama.
Ditinjau dari segi bahasa, wali berarti penolong, yang
mencintai, yang mengikuti, dan yang menaati. Sehingga dikatakan, seorang mukmin
adalah wali Allah, yakni yang mencintai dan menaati Allah. (Mu’jam Maqayis
al-Lughah, al-Mu’jam al-Wasithdan Lisan al-‘Arab, pada kata waw
lam ya’)
Sedangkan dari segi istilah, marilah kita simak
al-Qur`an berbicara tentang definisi wali. Allah ta’ala berfirman:
أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ. الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu)
orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yunus: 62 & 63)
Dalam hadis sahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِيْ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِيْ َلأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِيْ َلأُعِيْذَنَّهُ.
Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman: “Barang siapa
yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan (izinkan) ia untuk diperangi. Tidaklah
hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu amalan yang lebih Aku sukai
daripada amalan yang Aku wajibnkan atasnya. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan
diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku
telah mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang ia mendengar
dengannya, menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, menjadi tangan yang
ia memukul dengannya, sebagai kaki yang ia berjalan dengannya. Apabila ia
memohon kepada-Ku pasti akan Kuberi, dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku
pasti Kulindungi.” (HR. al-Bukhari, no. 6502)
Pengertian Wali Allah ?
Artinya: Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang
beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam
kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi
kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang
besar. ( Q.S. Yunus : 62 – 64).
Secara bahasa kata al-walii berasal dari kata dasar
al-walaayah yang artinya cinta dan kedekatan. Lawan kata dari kata al-walaayah
adalah al-‘adaawah yang artinya permusuhan. Orang yang taat kepada Allah
disebut wali Allah, karena kedekatannya dengan Allah melalui ibadah yang dia
lakukan dan ketundukannya untuk berusaha mengikuti semua aturan Sang Pencipta.
Allah ta’ala telah menjalaskan batasan, siapakah wali
Allah yang sesungguhnya. Dalam al Qur’an surat Yunus ayat 62-63, Allah telah
menjelaskan definisi wali Allah,
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati – jaminan masuk surga –
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”
Berdasarkan kriteria yang disebutkan dalam ayat di
atas, Imam Abu Ja’far At-Thahawi memberikan sebuah kaidah:
والمؤمنون كلهم أولياء الرحمن، وأكرمهم عند الله أطوعهم وأتبعهم للقرآن
“Setiap mukmin adalah wali Allah. Dan wali yang paling
mulia di sisi Allah adalah wali yang paling taat dan paling mengikuti Al
Qur’an. (Aqidah Thahawiyah).
ketika menafsirkan ayat ini, Ibn Katsir mengatakan:
يخبر تعالى أن أولياءه هم الذين آمنوا وكانوا يتقون، كما فسرهم ربهم، فكل من كان تقيا كان لله وليا
“Allah mengabarkan bahwa wali-wali-Nya adalah setiap
orang yang beriman dan bertaqwa. Sebagaimana yang Allah jelaskan. Sehingga
setiap orang yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah.” (Tafsir Ibn Katsir,
4/278).
Antara Wali Allah dengan wali setan ?
1). Wali Allah
adalah orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah, sedangkan wali setan tidak
beriman kepada Allah apalagi bertakwa kepada-Nya.
Syaikhul
Islam rahimahullah berkata: “Apabila sudah diketahui bahwa di antara
manusia ada yang menjadi wali Allah dan wali setan, maka wajib dibedakan antara
ini dan itu, sebagaimana Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
membedakan keduanya.
2). Wali Allah
adalah orang yang menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya, meniti jejak ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
mencintainya secara lahir dan batin, meskipun mereka tidak mengaku-ngaku sebagai
wali Allah, mereka adalah orang-orang mukmin yang saleh dan tulus dalam
beragama. Adapun wali setan, mereka mengaku-ngaku cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya, mengaku sebagai wali-wali-Nya, namun pada hakikatnya mereka tidak
mengikuti ajaran nabi, bahkan membencinya. Merekalah orang-orang yang fasik dan
munafik.
3). Bahwasanya
wali Allah beriman dan berkeyakinan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjadi perantara antara Allah dan makhluk-Nya dalam menyampaikan risalah ini,
adapun wali setan berkeyakinan bahwa ada wali tertentu yang memiliki jalur
spesial untuk sampai kepada Allah dengan tanpa mengikuti Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
4). Wali-wali
setan amalan mereka penuh dengan perbuatan dosa dan pelanggaran, seperti
kesyirikan, kezaliman, perbuatan keji, berlebih-lebihan atau bid’ah dalam hal
ibadah. Oleh karenanya, setan turun untuk singgah dan menyertai mereka, sehingga
mereka termasuk wali-wali setan bukan wali-wali Allah.
5). Bahwasanya
wali-wali Allah adalah orang-orang yang beriman dengan al-Qur`an dan syariat
yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti sekaligus
mengamalkan keduanya. Adapun wali-wali setan, terkadang mereka berzikir kepada
Allah siang dan malam dengan begitu zuhudnya –zuhud versi mereka-, beribadah
kepada-Nya dengan begitu antusiasnya, akan tetapi mereka tidak mengikuti
tuntunan al-Qur`an dan sunah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
beribadah. (al-Furqan, hal. 85)
Pandangan Syeikh Hasyim
Asy’ari tentang Wali ?
Pandangan Syeikh Hasyim tersebut sejalah dengan
Syeikh al-Qusyairi, ulama’ sufi tersohor dari Khurasan. Dalam kitabnya
al-Risalah al-Qusyairiyah, Syeikh al-Qusyairi menerangkan karakterisitik ahli
tasawwuf. Di antaranya hifdzul Adabi al-Syari’ah (menjaga adab syariah). Syeikh
Hasyim juga banyak menukil para sufi beraliran Sunni, yang terutama Syeikh
al-Junaid dan Hujjatul Islamm Imam al-Ghazali.
Dalam anggaran dasar NU, bahwa dalam aspek
tasawwuf NU mengikuti Syeikh al-Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.
Pemikiran sufi Syeikh Hasyim banyak dipengaruhi dua ulama sufi tersebut.
Corak pemikiran tersebut diadopsi oleh Syeikh
Hasyim Asy’ari. Orang yang mengaku dirinya wali tetapi dalam kesaksiannya tidak
mengikuti syariat Nabi Muhammad saw, maka orang tersebut adalah pendusta.
Beliau mengatakan:
فمن الدعى الولاية بدون شاهد المتابعة فدعواه زور وبهتان
“Barangsiapa yang mengaku dirinya wali tanpa
kesaksian bahwa dia mengikuti syariat Nabi Muhammad saw, maka pengakuan
tersebut dusta bohong.” (Hasyim Asy’ari, Al-Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il
al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 4).
Syeikh Hasyim berpendapat, wali tidak akan
memamerkan dirinya sebagai wali. Justru seorang sufi tidak menyukai
popularitas. Ia mengatakan: “Jenis fitnah itu banyak sekali. Di antara yang
banyak merusak seorang hamba adalah pengakuan seseorang menjadi guru tarekat
dan wali. Bahkan sampai mengaku dirinya wali quthb, dan imam mahdi. Padahal
mmereka bukan ahli syariat.” (Al-Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a
‘Asyarah, hal. 1).
Dikatakan bahwa karakter seorang wali justru
menyembunyikan kewalian dan mengedepankan tawadhu’. Ia mengatakan: “Wali itu
tidak membuka jalan popularitas dan juga tidak melakukan pengakuan akan
kewaliannya. Bahkan kalau bisa ia akan menyembunyikannnya. Karena itu orang
yang ingin terkenal dalam hal tersebut, bukanlah ia seorang ahli tariqah”
(Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 9).
Seorang tidak dapat disebut wali jika ia
meremehkan syariat, mengejek al-Qur’an, membela kesesatan. Sifat pokok kewalian
disebut oleh Syeikh Hasyim dengan “istiqamatu ‘ala adabi al-syari’ah
al-Islammiyah” (istiqamah dalam adab syariat Islam). Seseorang yang mengaku
secara dusta bahwa dirinya wali, sesungguhnya orang tersebut tertipu oleh bujuk
setan. Ia mengatakan:
فكل مى كان للشرع اعتراض فهو مغرور مخدوع
“Setiap orang yang bertentangan dengan
syariat, maka orang tersebut tertipu oleh nafsu dan setan.” (Dhurar
al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 6).
Kritik keras juga diungkapkan kepada konsep
tariqah yang tidak memalui jalur syariah. Beliau bukanlah sufi yang
anti-tariqah. Beliau dikenal menganut tariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Ia
berpendapat, tariqat mana saja yang ditempuh sesuai ajaran al-Qur’an dan Hadis
boleh diikuti. Bagi beliau, dalam bertariqah dilarang mengkultuskan secara
berlebihan di luar batas kepada guru sufinya. Ia mengatakan tidak boleh
mengikuti ucapan guru tariqah yang bertentangan dengan syariah (Dhurar
al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 8). Jika ada guru tariqah
yang maksiat, maka harus ditinggalkan.
Ikhtitam
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati – jaminan masuk surga –
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”
Sumber:1.Al-Qur’an Hadits 2.http://www.hidayatullah.com/artikel
3.https://abumusa81.wordpress.com
4http://www.konsultasisyariah.com
JAKARTA 4/3/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar