MAHABBAH (CINTANYA)
PARA SUFI ?
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali-Imran:31)
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan
manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai
daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya
karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci
dilemparkan ke neraka. (HR Bukhari)
Muqaddimah
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah)
lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta
kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan
kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik
dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian
dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana
dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang
memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia
dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk
menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu
mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.
Makna Mahabbah
?
Mahabbah menurut arti bahasa adalah
saling cinta mencintai. Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah
dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan
kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta
menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.
Mahabbah juga dapat diertikan
sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk bertemu
dengan Kekasih iaitu Allah SWT.
Oleh kerana itu Harun Nasution cinta
sering diertikan sebagai berikut:
1. Menyukai kepatuhan kepada Tuhan
dan membenci sikap melawanNya;
2. Menyerahkan seluruh diri (jiwa
dan raga) kepada yang dikasihi;
3. Mengosongkan hati daripada
segala-galanya, kecuali daripada yang
dikasihi.
Cintanya Para
Sufi Kepata Tuhannya ?
Sabda Rasulullah SAW, Diriwayatkan oleh Abu Hurayrah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya. Dan barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya" (H.R. Bukhari).
Sabda Rasulullah SAW, Diriwayatkan oleh Abu Hurayrah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya. Dan barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya" (H.R. Bukhari).
1.Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa
pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat
itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang
sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada
rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh
Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting
dalam dunia tasawuf.
Sedemikian tulusnya
cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya,
dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku beribadah
kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan
sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku
darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu,
Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”
Saking besar
dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi
seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain
Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di
kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya
telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan
dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap
seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.
2.Bagi
al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan
kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam
mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang
terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu
karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai
orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri.
Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta
terhadap Allah.
3.Menurut Abu Yazid al-Busthami
mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan
menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah
al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan
menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta adalah
kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan
segala milik-Nya tanpa rasa beban.
4.Adalah Imam
al Qusyairi, pengarang Risâlah al Qusyairiyyah mendefinisikan cinta (mahabbah)
Allah kepada hamba sebagai kehendak untuk memberikan nikmat khusus kepada siapa
saja yang Ia kehendaki. Apabila kehendak tersebut tidak diperuntukkan khusus
melainkan umum untuk semua hambaNya--menurut Qusyairi--dinamakan Rahmat;
kemudian jika irâdah tersebut berkaitan dengan adzab disebut dengan
murka(ghadlab).
Masih dalam
konteks yang sama, lebih jauh al Qusyairi memaparkan definisi mahabbah tersebut
versi kaum salaf; mereka mengartikan cinta sebagai salah satu sifat khabariyyah
lantas menjadikannya sebagai sesuatu yang mutlak, tidak dapat diartikulasikan
sebagaimana rupa seperti halnya mereka cenderung tidak memberikan pentafsiran
yang lebih dalam lagi, sebab apabila cinta diidentikkan dengan kecenderungan
pada sesuatu ataupun sikap ketergantungan, alias cinta antara dua manusia, maka
mereka menganggap hal itu sangatlah mustahil untuk Allah Swt. Interprestasi
yang demikian ini memang lebih cenderung berhati-hati seperti halnya mereka
(baca:kaum salaf) sangat menekankan metode tafwîdl dalam permasalahan yang
bersifat ilâhiyah.
5.Al Junaidi Al
Baghdadi menyebutkan, mahabbah itu sebagai suatu kecenderungan hati, artinya,
hati seseorang cenderung kepada Allah SWT dan kepada segala sesuatu yang datang
daripada- Nya tanpa usaha.
6.Abu Nasr as
Sarraj at-Tusi seorang tokoh sufi terkenal membagi mahabbah kepada tiga tingkat
: (1) Mahabbah orang biasa, yaitu orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan
zikir dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa
memuji-Nya, (2) Mahabbah orang siddik (orang jujur, orang benar) yaitu orang
yang mengenal Allah tentang kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah
orang siddik ini dapat menghilangkan hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka
tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini
sanggup menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan
rindu dan cinta kepada Allah, (3) Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang
yang telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif
ini, yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Pada akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.
Cinta pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat
berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
Cinta Terbagi ?
Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian.
Pertama, mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karena orang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain juga mencintai Allah.
Kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang paling kuat dengan cinta ini.
Ketiga, Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
Keempat, Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian.
Pertama, mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karena orang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain juga mencintai Allah.
Kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang paling kuat dengan cinta ini.
Ketiga, Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
Keempat, Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.
Ikhtitam
( الما ئدة : 54 ).فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ
وَيُحِبُّونَهُ
“Maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya”.
Juga hadits yang menyatakan:
وَلاَ يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَا فِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمُعًاوَبَصَرًا وَ يَـدًا
“Hamba-hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya.
Orang yang kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”(Al-Hadits)
Sumber:1.Al-Qur’an
Hadits 2.https://racheedus.wordpress.com
3http://belajarilmutasawuf.blogspot.com
JAKARTA
3/3/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar