BAGAIMA BEROBAT
DENGAN BENDA NAJIS ?
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk. (QS.
Al-A'raf : 157)
إِنَّ
اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا
وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya
Allah menurunkan penyakit dan obatnya. Dan Allah menetapkan untuk setiap
penyakit ada obatnya. Karena itu, carilah obat itu dan jangan berobat dengan
yang haram.” (HR. Abu
Daud 3874 dan dinilai dhaif oleh sebagian ulama).
إن
الله لم يَجعلْ شفاءَكم فيما حَرم عليكم
Sesungguhnya
Allah tidaklah menjadikan obat untuk penyakit kalian dalam benda yang
diharamkan untuk kalian. (HR. Bukhari
secara Muallaq, 7/110).
Muqaddimah
Terkait
dengan pengobatan memakai barang najis (kencing, misalnya), maka hal ini dapat
dikaitkan dengan menjaga eksistensi jiwa (nyawa, chifdhunnafs), artinya orang
yang sakit itu bisa terancam jiwanya, karenaitu harus berobat sebagai upaya
penyembuhan dalam rangka mempertahankan eksistensi jiwanya. Maka dari itu para
fuqaha’ sepakat, bahwa berobat itu hukumnya wajib. Mengenai cara yang ditempuh
untuk pengobatan suatu penyakit, maka
boleh dengan cara apa saja asal tidak melanggar ketentuan pokok ajaran islam,
yakni tidak menempuh jalan syirik. Tetapi dalam pengobatan ini mestinya semua
muslim mengerti dan pada dasarnya harus meyakini, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obatnya. Dan
menjadikan obat pada setiap penyakit. Maka berobatlah kamu tetapi jangan
berobat dengan yang haram” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidziy, an-Nasa-iy dan
al-BAihaqiy dari Abu Darda’). Jadi prinsip ini yang harus di pedomani terlebih
dahulu, yakni berobat dengan yang halal, atau tidak berobat dengan yang haram.
Tetap jika ada penyakit yang belum ditemukan obatnya, dan baru diketahui
obatnya yang justru dari barang haram, maka hal ini tentu masuk dalam kategori
perkecualian, dan boleh menggunakan dasar darurat.
Pendapat Berobat dengan
yang Haram ?
Secara umum para ulama sepakat mengharamkan benda
najis digunakan untuk berobat, kecuali bila dalam keadaan yang bersifat
darurat.
Ada begitu banyak dalil yang digunakan untuk
mengharamkan pengobatan dengan benda-benda najis, di antaranya adalah sabda
Nabi SAW berikut ini :
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ: إِنَّ
اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءُ فَتَدَاوُوا
وَلاَ تَتَدَاوُوا بِحَرَامٍ
Dari Abi Ad-Darda' radhiyallahuanhu bahwa Nabi saw.
bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat. Dan Dia
menjadikan buat tiap-tiap penyakit ada obatnya. Maka, makanlah obat, tapi
janganlah makan obat dari yang haram. (HR. Abu Daud)
عَنْ طاَرِقِ بْنِ سُوَيدٍ الجَعْفِي أَنَّهُ سَأَلَ
رَسُولُ اللهِ عَنِ الخَمْرِ فَنَهَاهُ عَنْهَا فَقَالَ: إِنَّمَا
أَصْنَعُهَا لِلدَّوَاءِ. فَقَالَ: إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ
Thariq bin Suwaid al-Ja'fi radhiyallahuanhu berkata
bahwa dirinya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hukum minum khamar dan
Rasulullah saw. mengharamkannya. Dia bertanya,”Tetapi ini untuk pengobatan.”
Maka Rasulullah saw. menjawab, “Khamar itu bukan obat, tetapi penyakit.” (HR. Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan
Tirmizy)
أَنَّ دَيْلَمْ الحُمَيْرِي سَأَلَ النَّبِيَّ r فَقَالَ : يَا رَسُولَ الله إِنَّا بِأَرْضٍ
بَارِدَةٍ نُعَالِجُ فِيْهَا عَمَلاً شَدِيْدًا وَإِنَّا نَتَّخِذُ شَرَابًا مِنْ
هَذَا القَمْحِ نَتَقَوَّى بِهِ عَلَى أَعْمَالِنَا وَعَلىَ بَرْدِ بِلاَدِنَا.
قَالَ رَسُولُ اللهِ : هَلْ يُسْكِر؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فاَجْتَنِبُوه، قَالَ:
إِنَّ النَّاسَ غَيْرَ تَارِكِيْهِ. قاَلَ: فَإِنْ لَمْ يَتْرُكُوهُ
فَقَاتِلُوهُمْ
Dailam Al-Humairi bertanya kepada Nabi saw.,”Ya
Rasulullah, kami tinggal di negeri yang sangat dingin, tempat kami melawannya
dengan perbuatan dahsyat, yaitu dengan cara meminum qamh ini. Khasiatnya bisa
menguatkan tubuh kami dan melawan rasa dingin negeri kami.” Rasulullah saw.
bertanya, ”Apakah minuman itu memabukkan?” “Ya, memabukkan,” jawabnya.
"Tinggalkanlah,” kata Rasulullah saw. “Tapi orang-orang tidak mau
meninggalkan minuman itu,” balasnya. Maka Nabi saw. bersabda,”Kalau mereka
tidak mau meninggalkan minuman itu, perangilah mereka.” (HR. Abu Daud)
1.Namun ada sedikit pengecualian dari mazhab Al-Hanabilah. Meski tetap
sepakat bahwa berobat dengan benda najis itu diharamkan, mazhab ini beranggapan
bahwa air kencing unta bukan termasuk benda najis. Sehingga hukumnya boleh digunakan untuk berobat.
Dalilnya adalah bahwa Rasulullah SAW mengizinkan
seorang shahabatnya minum air kencing unta sebagai obat untuk penyembuhan.
قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ
فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ r بِلِقَاحٍ
وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا. متفق عليه
Beberapa orang dari kabilah 'Ukel dan Urainah singgah
di kota Madinah. Tidak berapa lama perut mereka menjadi kembung dan bengkak
karena tak tahan dengan cuaca Madinah. Menyaksikan tamunya mengalami hal itu,
Nabi SAW memerintahkan mereka untuk mendatangi unta-unta milik Nabi yang
digembalakan di luar kota Madinah, lalu minum dari air kencing dan susu unta-unta
tersebut. (HR. Bukhari Muslim)
Pendapat ini tentu ditentang oleh para ulama lainnya.
Dan hadits di atas dijawab bahwa hal itu terjadi sebagai khusushiyah
(kekhususan) dalam satu kasus dan tidak berlaku untuk dijadikan sandaran dalam
setiap hukum.
2.Menurut madzhab Syafi’i, sebagaimana dijelaskan oleh an-Nawawi dalam
al-Majmu’ (9/50-51) berobat dengan benda najis selain khamr hukumnya boleh, dengan syarat (1) tidak ada obat yang
berasal dari bahan yang suci yang bisa menggantikannya, jika terdapat obat dari
bahan yang suci maka haram berobat dengan benda najis, dan (2) jika memang
benda najis itu diketahui –secara ilmu kedokteran- berkhasiat obat dan tidak
ada obat lain dari bahan yang suci yang bisa menggantikannya.
Pemahaman
ini diambil dari hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang orang-orang dari
‘Urainah yang berobat dengan air kencing unta, dan kencing unta menurut madzhab
Syafi’i hukumnya najis. Dan mereka memahami hadits ‘Sesungguhnya Allah tidak
menjadikan kesembuhan kalian dari apa-apa yang diharamkan atas kalian’[1], ‘Sesungguhnya Allah
telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya,
maka berobatlah, dan janganlah berobat dengan yang haram’[2], dan ‘Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berobat dengan obat yang kotor (khabits)’[3] adalah jika didapatkan
obat dari bahan yang suci, dan jika tidak ada obat tersebut, maka berobat
dengan benda najis, selain khamr, hukumnya boleh.
Al-Baihaqi,
sebagaimana dikutip oleh an-Nawawi, menegaskan bahwa dua hadits yang disebutkan
terakhir, jika shahih, ia adalah larangan berobat dengan sesuatu yang
memabukkan dan berobat dengan yang haram tanpa ada kondisi darurat, sebagai
bentuk jama’ antara dua hadits tersebut dengan hadits tentang
orang-orang ‘Urainah.
Tentang
pengecualian khamr dari kebolehan berobat dengan benda najis dalam keadaan
darurat, hal ini merupakan pendapat yang shahih menurut jumhur ‘ulama
Syafi’iyah, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi dan ar-Rafi’i. Mereka berdalil
dengan hadits riwayat Muslim, dari Wail ibn Hujr radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Thariq ibn Suwaid al-Ju’fi bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang khamr, dan Rasulullah melarangnya serta membenci pembuatannya, Thariq
kemudian berkata, ‘Aku membuatnya sebagai obat’, Rasulullah kemudian menjawab
‘Ia bukan obat, tapi penyakit’.
Jika ada
yang menyatakan bahwa dibolehkannya orang-orang ‘Urainah meminum kencing unta
menunjukkan sucinya air kencing tersebut, sebagaimana yang dikemukakan kalangan
Hanabilah, ulama Syafi’iyah sudah ada jawabannya. Madzhab Syafi’i berpendapat
bahwa air kencing dan kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya, hukumnya
najis. Mereka menguatkan pendapatnya dengan beberapa hadits dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya hadits riwayat al-Bukhari tentang orang
Arab badui yang kencing di masjid Nabawi, dan hadits riwayat al-Bukhari dan
Muslim tentang dua orang yang disiksa di kuburnya, salah satunya akibat ia
tidak menjaga diri dari air kencing. Menurut mereka, air kencing yang dianggap
najis ini berlaku umum, bukan hanya untuk kencing manusia.
Sedangkan
tentang kenajisan kotoran hewan, mereka berargumentasi dengan hadits riwayat
al-Bukhari, bahwa suatu waktu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin buang
hajat, kemudian beliau memerintahkan Ibn Mas’ud untuk mencari tiga buah batu
untuk beliau beristinja. Ternyata Ibn Mas’ud hanya menemukan dua buah batu,
kemudian beliau membawa dua buah batu tersebut beserta rautsah (kotoran
hewan yang sudah kering) kepada Nabi, kemudian Nabi mengambil dua buah batu
itu, dan membuang rautsah tersebut seraya berkata, ‘haadzaa riksun’.
Dan ulama Syafi’iyah memahami makna riksun adalah najis, sebagaimana
misalnya diungkapkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di dalam Fathul Bari (1/125).
Asy-Syaukani pun, yang notabene bukan dari kalangan Syafi’iyah, dalam Nailul
Authar (1/126) menyatakan bahwa sebab dilarangnya menggunakan rauts
adalah karena ia najis, dan najis tidak bisa digunakan untuk menghilangkan
najis yang lain.
Sebagai
penutup, saya kemukakan bantahan an-Nawawi dalam al-Majmu’ (2/549)
terhadap argumentasi orang-orang yang menyatakan kesucian air kencing dan
kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya. Argumentasi pertama dengan hadits
dari Anas tentang orang-orang ‘Ukl dan ‘Urainah yang meminum air kencing unta,
dijelaskan oleh an-Nawawi bahwa itu adalah untuk pengobatan, dan berobat dengan
benda najis selain khamr hukumnya boleh. Sedangkan argumentasi dengan hadits
yang diriwayatkan oleh al-Barra’ secara marfu’, ‘Apa saja yang dimakan dagingnya,
maka tidak apa-apa (tidak najis) air kencingnya’, dan juga diriwayatkan yang
serupa dengannya dari Jabir secara marfu’, dijawab oleh an-Nawawi bahwa kedua
hadits itu didhaifkan oleh ad-Daraquthni.
Ikhtitam
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَل شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ
عَلَيْكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu pada
apa-apa yang Dia haramkan untukmu. (HR. Bukhari)
Sumber:1.https://abufurqan.wordpress.com
2.http://myfiqhkontemporer.blogspot.com
JAKARTA 10/3/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar