Hukum
BPJS ?
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), bagaimana
tinjauan hukum Islam mengenai BPJS? Bolehkah menjadi anggota BPJS?
Mengenal BPJS
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS merupakan
lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di
Indonesia menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 24
Tahun 2011. Sesuai Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional, BPJS merupakan badan hukum nirlaba.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS
akan menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang ada di Indonesia yaitu
lembaga asuransi jaminan kesehatan PT Askes Indonesia menjadi BPJS Kesehatan
dan lembaga jaminan sosial ketenaga kerjaan PT Jamsostek menjadi BPJS
Ketenagakerjaan. Transformasi PT Askes dan PT Jamsostek menjadi BPJS dilakukan
secara bertahap. Pada awal 2014, PT Askes akan menjadi BPJS Kesehatan,
selanjutnya pada 2015 giliran PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
Lembaga ini bertanggung jawab terhadap Presiden. BPJS
berkantor pusat di Jakarta, dan bisa memiliki kantor perwakilan di tingkat
provinsi serta kantor cabang di tingkat kabupaten kota.
Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang
sudah berdiam di Indonesia selama minimal enam bulan wajib menjadi anggota
BPJS. Ini sesuai pasal 14 UU BPJS.
Setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya
sebagai anggota BPJS. Sedangkan orang atau keluarga yang tidak bekerja pada
perusahaan wajib mendaftarkan diri dan anggota keluarganya pada BPJS. Setiap
peserta BPJS akan ditarik iuran yang besarnya ditentukan kemudian. Sedangkan
bagi warga miskin, iuran BPJS ditanggung pemerintah melalui program Bantuan
Iuran.
Menjadi peserta BPJS tidak hanya wajib bagi pekerja di
sektor formal, namun juga pekerja informal. Pekerja informal juga wajib menjadi
anggota BPJS Kesehatan. Para pekerja wajib mendaftarkan dirinya dan membayar
iuran sesuai dengan tingkatan manfaat yang diinginkan.
Jaminan kesehatan secara universal diharapkan bisa
dimulai secara bertahap pada 2014 dan pada 2019, diharapkan seluruh warga
Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan tersebut. Menteri Kesehatan Nafsiah
Mboi menyatakan BPJS Kesehatan akan diupayakan untuk menanggung segala jenis
penyakit namun dengan melakukan upaya efisiensi.
Peserta BPJS
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 jenis
Iuran dibagi menjadi:
– Iuran Jaminan Kesehatan bagi penduduk yang
didaftarkan oleh Pemerintah daerah dibayar oleh Pemerintah Daerah (orang miskin
dan tidak mampu).
– Iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta Pekerja
Penerima Upah (PNS, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, Pegawai pemerintah non
pegawai negeri dan pegawai swasta) dibayar oleh Pemberi Kerja yang dipotong
langsung dari gaji bulanan yang diterimanya.
– Pekerja Bukan Penerima Upah (pekerja di luar
hubungan kerja atau pekerja mandiri) dan Peserta bukan Pekerja (investor,
perusahaan, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan, janda, duda, anak
yatim piatu dari veteran atau perintis kemerdekaan) dibayar oleh Peserta yang
bersangkutan.
Untuk jumlah iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta
Pekerja Penerima Upah yang terdiri atas PNS, Anggota TNI, Anggota Polri,
Pejabat Negara, dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri akan dipotong sebesar
5 persen dari gaji atau Upah per bulan, dengan ketentuan 3 persen dibayar oleh
pemberi kerja, dan 2 persen dibayar oleh peserta.
Tapi iuran tidak dipotong sebesar demikian secara
sekaligus. Karena secara bertahap akan dilakukan mulai 1 Januari 2014 hingga 30
Juni 2015 adalah pemotongan 4 persen dari Gaji atau Upah per bulan, dengan
ketentuan 4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja dan 0,5 persen dibayar oleh
Peserta.
Namun mulai 1 Juli 2015, pembayaran iuran 5 persen
dari Gaji atau Upah per bulan itu menjadi 4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja
dan 1 persen oleh Peserta.
Sementara bagi peserta perorangan akan membayar iuran
sebesar kemampuan dan kebutuhannya. Untuk saat ini sudah ditetapkan bahwa:
– Untuk mendapat fasilitas kelas I dikenai iuran Rp
59.500 per orang per bulan
– Untuk mendapat fasilitas kelas II dikenai iuran Rp
42.500 per orang per bulan
– Untuk mendapat fasilitas kelas III dikenai iuran Rp
25.500 per orang per bulan
Pembayaran iuran ini dilakukan paling lambat tanggal
10 setiap bulan dan apabila ada keterlambatan dikenakan denda administratif
sebesar 2 persen dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3
(tiga) bulan. Dan besaran iuran Jaminan Kesehatan ditinjau paling lama dua
tahun sekali yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Rincian Hukum BPJS
BPJS dikategorikan menjadi 3:
1- PBI (Peserta Bantuan Iuran)
Murni gratis dengan subsidi dari pemerintah bagi WNI
yang telah direkomendasikan sebagai warga yg tidak mampu.
2- Non PBI diperuntukkan bagi PNS/POLRI/TNI/ABRI,
organisasi, lembaga dan perusahaan. Dana ditanggung oleh instansi yang
bersangkutan dan juga sebagiannya ditanggung peserta.
3- Mandiri
Bersifat premi iuran dengan tiga kategori kelas
sebagaimana telah disebutkan. Jika terjadi keterlambatan menyetor iuran maka
terkena denda dan ini masuk kategori unsur riba dan gharar.
Jadi, BPJS yg diperbolehkan adalah kategori 1 karena
murni gratis tanpa premi dan tanpa denda. Kategori 2 dibolehkan bila tanpa
premi (tidak ada premi yang dipotong dari gaji) dan tidak ada denda.
Sedangkan kategori 3, haram untuk diikuti dengan
karena ada unsur gharar dan riba. Ghararnya dari sisi spekulasi yang tinggi
untuk rugi karena resiko tidak bisa dipastikan. Accident belum pasti pula
terjadi. Pengertian gharar sebagaimana dikatakan oleh Al Jarjani,
مَا يَكُوْنُ مَجْهُوْلُ العَاقِبَةِ لاَ يَدْرِى
أَيَكُوْنُ أَمْ لَا
“Sesuatu yang ujung-ujungnya tidak jelas, hasilnya
akan ada ataukah tidak.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 31: 149).
Gharar seperti inilah yang dilarang oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ
الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang
dari jual beli ghoror.” (HR. Muslim no. 1513)
Contoh gharar di masa silam yang terlarang sebagaimana
disebutkan dalam hadits berikut. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى
عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ ، وَكَانَ بَيْعًا يَتَبَايَعُهُ أَهْلُ
الْجَاهِلِيَّةِ ، كَانَ الرَّجُلُ يَبْتَاعُ الْجَزُورَ إِلَى أَنْ تُنْتَجَ
النَّاقَةُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis
jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi
jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta
secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor
unta yang dimiliki oleh penjual lahir.” (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim,
no. 3883). Cucu dari unta tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya.
Pembayarannya baru akan diberi setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas
waktunya. Bisa jadi pula unta tersebut tidak memiliki cucu. Itulah ghoror
karena ujung akhirnya tidaklah jelas diperoleh.
Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi berpendapat bahwa sebagian
besar dengan adanya BPJS ini sangat baik dan bagus dari pemerintah terhadap
rakyatnya, hanya saja karena ada satu akad yang mengandung unsur ribawi yakni
bila terjadinya keterlambatan pembayaran maka pada bulan berikutnya akan
dikenakan denda Rp 10 rb. Unsur inilah yang pada akhirnya dipermasalahkan dan
menjadikan BPJS: haram. (Dinukil dari SalamDakwah.Com)
Jika Sakit Parah dan Untuk Berobat
Butuh Biaya Besar
Jika kita tidak bisa masuk kategori 1 karena tidak ada
rekomendasi dari RT bahwa kita tidak mampu, kita juga tidak bisa ikut kategori
2 karena kita bukan PNS atau semisalnya, maka bisa mendaftar BPJS ketika
kondisi dlm kedaruratan.
Contoh: Ada seseorang yang sakit parah hingga harus
keluar biaya puluhan juta. Awalnya keluarganya bukan kategori orang miskin.
Namun saat itu mereka benar-benar tidak mampu membayar biaya sebesar itu, maka
boleh bagi mereka mendaftar BPJS kategori 1, tentu dengan pengantar dari RT/RW
setempat.
Wallahu a’lam bish showab. Moga bermanfaat bagi pembaca
Muslim.Or.Id sekalian.
Referensi:
Kajian Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi tentang BPJS saat di
Jogja
Bermodalkan Ilmu Sebelum Berdagang, Muhammad Abduh
Tuasikal, terbitan Pustaka Muslim (penjelasan Asuransi)
JAKARTA 30/3/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar