DZIKRULLAH PEMBERSIH
HATI ?
Artinya:“Hai orang-orang yang
beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama Allah), dzikir yang
sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang”.
عن معاذبن جبل قال: قال رسول الله صلعم: ماعمل ادمي عملا انجى له من عذاب
القبر من ذكر الله (أخرجه أحمد)
“Tidak ada amal yang dapat dilakukan oleh anak adam (manusia) untuk
menyelamatkannya dari siksa kubur, kecuali berdzikir kepada Allah.”
Muqaddimah
Bagi seorang sufi, Syaikh Abu ‘Ali al-Daqaq, dzikir
merupakan tiang penopang yang sangat kuat atas jalan menuju Allah SWT, ia
adalah landasan tarekat (Thariqah) itu sendiri. Dan tidak seorangpun dapat
mencapai Allah SWT, kecuali terus menerus berdzikir kepada Allah.[1][6][6]
Dzikir kalbu disebut juga dzikir tersembunyi, dzikr
khafi, yaitu zikir yang tersembunyi di dalam hati, tanpa suara dan
kata-kata.
Zikir ini hanya memenuhi kalbu dengan kesadaran yang sangat dekat dengan Allah, seirama dengan detak jantung serta mengikuti keluar masuknya napas. Keluar masuknya napas yang dibarengi dengan kesadaran akan kehadiran Allah merupakan pertanda bahwa kalbu itu hidup dan berkomunikasi langsung dengan Allah. Sebaliknya, orang yang lupa mengingat Allah menunjukkan kalbunya mati, karena tidak ada komunikasi dengan Yang Mahahidup. Dalam literatur sufisme di Barat, zikir kalbu sering dilukiskan sebagai living presence—hidup dengan merasakan kehadiran Tuhan. Di dalam Alquran, Yang Mahahidup itu digambarkan sebagai Cahaya langit dan bumi. Maka, ketika tidak ada hubungan dengan sumber cahaya itu, kalbu pun tidak mendapat pancaran ca¬haya, sehingga gelap dan mati.
Alquran menggunakan istilah qalb (hati) sebanyak 132 kali. Makna dasar kata ini adalah membalik kembali, pergi maju-mundur, berubah, bolak-balik, naik-turun, mengalami perubahan. Rasulullah saw. mengatakan bahwa qalb— karena sifat berubah-ubahnya—bagaikan selembar bulu di gurun pasir; angin membolak-baliknya dari atas ke bawah. Salah satu istri Nabi meriwayatkan bahwa dia sering berdoa, " Wahai Dia Yang membuat hati berubah-ubah, tetapkan hatiku pada agama-Mu!" Pendek-nya, qalb bukan sesuatu yang konstan, melainkan bisa mengalami pasang-surut dan berubah-ubah dari satu ke-adaan ke keadaan yang lain.
Zikir ini hanya memenuhi kalbu dengan kesadaran yang sangat dekat dengan Allah, seirama dengan detak jantung serta mengikuti keluar masuknya napas. Keluar masuknya napas yang dibarengi dengan kesadaran akan kehadiran Allah merupakan pertanda bahwa kalbu itu hidup dan berkomunikasi langsung dengan Allah. Sebaliknya, orang yang lupa mengingat Allah menunjukkan kalbunya mati, karena tidak ada komunikasi dengan Yang Mahahidup. Dalam literatur sufisme di Barat, zikir kalbu sering dilukiskan sebagai living presence—hidup dengan merasakan kehadiran Tuhan. Di dalam Alquran, Yang Mahahidup itu digambarkan sebagai Cahaya langit dan bumi. Maka, ketika tidak ada hubungan dengan sumber cahaya itu, kalbu pun tidak mendapat pancaran ca¬haya, sehingga gelap dan mati.
Alquran menggunakan istilah qalb (hati) sebanyak 132 kali. Makna dasar kata ini adalah membalik kembali, pergi maju-mundur, berubah, bolak-balik, naik-turun, mengalami perubahan. Rasulullah saw. mengatakan bahwa qalb— karena sifat berubah-ubahnya—bagaikan selembar bulu di gurun pasir; angin membolak-baliknya dari atas ke bawah. Salah satu istri Nabi meriwayatkan bahwa dia sering berdoa, " Wahai Dia Yang membuat hati berubah-ubah, tetapkan hatiku pada agama-Mu!" Pendek-nya, qalb bukan sesuatu yang konstan, melainkan bisa mengalami pasang-surut dan berubah-ubah dari satu ke-adaan ke keadaan yang lain.
Keutamaan Dzikruulah ?
Menurut Ibnul Qayyim, bahwa dzikir
adalah ibadah paling mudah, namun paling agung dan utama, karena gerakan lisan
adalah gerakan anggota tubuh yang paling ringan dan mudah. Selain itu,
dzikrullah merupakan amal yang paling dapat menyelamatkan manusia dari siksa
Allah . Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang diriwayatkan Ibn Abi Syaybah dan
Thabrani dengan isnad hasan:
عن معاذبن جبل قال: قال رسول الله صلعم: ماعمل ادمي عملا انجى له من عذاب
القبر من ذكر الله (أخرجه أحمد)
“Tidak ada amal yang dapat dilakukan oleh anak adam
(manusia) untuk menyelamatkannya dari siksa kubur, kecuali berdzikir kepada
Allah.”
Dan dengan dzikir pula, hati dapat menjadi mengkilap, menjadi bersih dari
segala kotoran.
إن لكل شيئ صفا لة وان صفالة القلوب ذكرالله
“Sesungguhnya bagi tiap-tiap segala sesuatu ada
pengkilap (sikat/pembersihnya). Dan sesungguhnya pengkilap/pembersih kalbu
adalah dzikrullah...”
Fungsi dzikir sebagai alat Tazkiyyah al-Nafs (penyucian jiwa)
dalam rangka mengembalikan Potensi
Ruhaniyah pada diri manusia yang
terhalang atau hilang akibat dari sifat-sifat tercela, dikarenakan selalu
mengikuti kehendak nafsu. Al-Ghazali menyebut sifat-sifat tercela yang dimaksud
meliputi: hasad (iri hati): haqaq (dengki atau benci); su’dzan (buruk sangka): kibir (sombong): ’ujub (merasa sempurna diri dari orang lain); riya’ (memamerkan kelebihan): suma’
(mencari-cari nama atau kemasyhuran): bukhl
(kikir); hubb al-maal
(materialistis); takabbur
(membanggakan diri): ghadhab (pemarah); ghibah (pengumpat); namimah
(bicara di belakang orang/jawa: ngrasani); kidzib
(pendusta); khianat (ingkar janji).
Sifat-sifat semacam itulah yang sebenarnya mendominasi pemikiran dan tingkah
laku seseorang, yang muaranya melakukan berbagai penyimpangan!.[2][28][28]
Dzikir merupakan aktivitas religius
penting bagi para sufi, untuk mengembangkan diri agar berada sedekat mungkin
dengan Allah Swt. Dalam tasawuf (baca: tarekat) tahapan-tahapan (maqamat) para penempuh jalan sufi (salik) harus melewati maqam dzikir
untuk mencapai ma’rifatullah[3][29][29].
Dzikrullah Ala Sufi ?
Dalam kamus ajaran Sufi, terdapat pengklasifikasian dzikir menjadi tiga jenis; yaitu dzikir ‘âmmah (dzikir orang umum), dzikir khâsh (dzikir orang khusus), dzikir khâshsshatil khâshshah (dzikir orang-orang paling utama). Anehnya dzikir yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru mereka kategorikan dalam jenis dzikir pertama (dzikir âmmah) yang merupakan tingkatan dzikir paling rendah dalam pandangan mereka. Dzikir yang dimaksud ialah ucapan lâ ilâha illallâh. Level dzikir kedua, berdzikir dengan isim mufrad (nama tunggal) yaitu dengan mengulang-ulang lafzhul jalâlah (Allâh, Allâh….)[1] . Sedangkan tingkat tertinggi dalam berdzikir menurut mereka, mengulang-ulang kata huwa (dibaca hu..hu..hu) yang merupakan isim dhamîr (kata ganti ketiga tunggal) dari lafzhul jalâlah (Allah) yang artinya Dia.[2]
Demikianlah tiga tingkatan dzikir yang mereka miliki beserta contoh-contohnya. Sebelum menilik betapa jauh mereka dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada baiknya menengok landasan mereka dalam masalah ini guna mengetahui awal kesalahan mereka dalam masalah ini.
Semua golongan menyimpang mempunyai dalih yang mereka klaim membenarkan apa yang mereka yakini. Dalilh mereka dapat berujud hadits palsu, pemaksaan ayat maupun hadits shahih. Inilah yang menjadi permasalahan sebenarnya. Dalil-dalil yang shahih mutawatir ditarik-tarik untuk mendukung dan mengakomodasi apa yang telah menjadi ketentuan sebuah golongan. Mereka mensahkan dan menetapkan dzikir dengan kata Allâh lebih afdhal dengan dasar firman Allâh Azza wa Jalla :
قُلِ اللَّهُ ۖ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
Katakanlah :"Allâh-lah (yang menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu menyampaikan al-Qur'ân kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya…[al-An’âm/6: 91]
Mereka berpegangan pada ayat tersebut dimana Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengatakan Allâh (saja) dalam berdzikir. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memerintahkan berdzikir untuk menyebut nama-Nya dengan nama Allâh (saja), tanpa mentaqyid dengan perintah lain melebihi lafazh ini. Sebab dzikir ini merupakan dizkir orang-orang khusus dari kalangan hamba-Nya yang menjadi lantaran dunia tetap terpelihara [Adh-Dhiyâ al-Mustabîn, Muhammad Fâdhil al-Habîb hlm. 155][3]
Selain itu, menurut mereka terdapat riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mentalqin ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu untuk mengatakan, “Allâh, Allâh Allâh”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali. Kemudian memerintahkan ‘Ali untuk melakukannya. ‘Ali Radhiyallahu anhu pun mengulang-ulangnya tiga kali.
Dalam kamus ajaran Sufi, terdapat pengklasifikasian dzikir menjadi tiga jenis; yaitu dzikir ‘âmmah (dzikir orang umum), dzikir khâsh (dzikir orang khusus), dzikir khâshsshatil khâshshah (dzikir orang-orang paling utama). Anehnya dzikir yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru mereka kategorikan dalam jenis dzikir pertama (dzikir âmmah) yang merupakan tingkatan dzikir paling rendah dalam pandangan mereka. Dzikir yang dimaksud ialah ucapan lâ ilâha illallâh. Level dzikir kedua, berdzikir dengan isim mufrad (nama tunggal) yaitu dengan mengulang-ulang lafzhul jalâlah (Allâh, Allâh….)[1] . Sedangkan tingkat tertinggi dalam berdzikir menurut mereka, mengulang-ulang kata huwa (dibaca hu..hu..hu) yang merupakan isim dhamîr (kata ganti ketiga tunggal) dari lafzhul jalâlah (Allah) yang artinya Dia.[2]
Demikianlah tiga tingkatan dzikir yang mereka miliki beserta contoh-contohnya. Sebelum menilik betapa jauh mereka dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada baiknya menengok landasan mereka dalam masalah ini guna mengetahui awal kesalahan mereka dalam masalah ini.
Semua golongan menyimpang mempunyai dalih yang mereka klaim membenarkan apa yang mereka yakini. Dalilh mereka dapat berujud hadits palsu, pemaksaan ayat maupun hadits shahih. Inilah yang menjadi permasalahan sebenarnya. Dalil-dalil yang shahih mutawatir ditarik-tarik untuk mendukung dan mengakomodasi apa yang telah menjadi ketentuan sebuah golongan. Mereka mensahkan dan menetapkan dzikir dengan kata Allâh lebih afdhal dengan dasar firman Allâh Azza wa Jalla :
قُلِ اللَّهُ ۖ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
Katakanlah :"Allâh-lah (yang menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu menyampaikan al-Qur'ân kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya…[al-An’âm/6: 91]
Mereka berpegangan pada ayat tersebut dimana Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengatakan Allâh (saja) dalam berdzikir. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memerintahkan berdzikir untuk menyebut nama-Nya dengan nama Allâh (saja), tanpa mentaqyid dengan perintah lain melebihi lafazh ini. Sebab dzikir ini merupakan dizkir orang-orang khusus dari kalangan hamba-Nya yang menjadi lantaran dunia tetap terpelihara [Adh-Dhiyâ al-Mustabîn, Muhammad Fâdhil al-Habîb hlm. 155][3]
Selain itu, menurut mereka terdapat riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mentalqin ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu untuk mengatakan, “Allâh, Allâh Allâh”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali. Kemudian memerintahkan ‘Ali untuk melakukannya. ‘Ali Radhiyallahu anhu pun mengulang-ulangnya tiga kali.
Dzikir Qalbu ?
Nabi berkata, "Sesungguhnya setan mengalir
dalam diri manusia seperti mengalirnya darah, maka aku khawatir bahwa dia akan
memasukkan kejahatan dalam hatimu" (Bukhari, bab al-Kbalq, 11).
Alquran juga menegaskan bahwa zikir bermanfaat bagi
kehidupan orang yang beriman, dan bahwa zikir menen-teramkan hati dan pikiran (Q.S. al-Ra'd: 28).
Hakim al-Tirmidzi, seorang sufi dari Termez, Uzbekistan, sebagai-mana dikutip oleh Abu Nu'aim al-Ashfahani dalam kitab Hilyab al-Auliya\ menggambarkan hubungan zikir dengan ketenteraman hati sebagai berikut:
Dengan mengingat Allah [yang diresapkan ke dalam kalbu], hati seseorang akan menjadi lembut. Sebaliknya, hati yang lupa kepada Allah dan dipenuhi oleh rekaman tentang [berbagai dorongan nafsu] dan kelezatan hidup semata, akan menjadi keras dan kering. Kalbu seseorang tidak berbeda dengan sebatang pohon. Pohon akan segar, rimbun dan penuh dengan dedaunan yang menyejukkan apabila ia menyerap air yang cukup. Apabila sebatang pohon tumbuh di tempat yang tidak berair, maka dahan dan ranting pohon itu akan kering kerontang dan dedaun-annya pun akan berguguran. Demikian pula hati kita. Zikir merupakan mata air kehidupan. Hati yang kosong dari zikir kepada Allah berarti kekurangan mata air ke¬hidupan. Hati akan kering, gersang, keras, dan penuh dengan bara hawa nafsu dan syahwat, dan akhirnya men¬jadi enggan berbakti kepada Allah. Jika terus dibiarkan, hati akan pecah berkeping-keping; yang hanya pantas menjadi bara api neraka. Sebenamya, kelembutan hati dan ketenteramannya merupakan rahmat Allah. Allah-lah yang memantulkan cahaya kedalam hati seseorang karena dzikir kepada Allah dengan kasih sayangnya.
Hakim al-Tirmidzi, seorang sufi dari Termez, Uzbekistan, sebagai-mana dikutip oleh Abu Nu'aim al-Ashfahani dalam kitab Hilyab al-Auliya\ menggambarkan hubungan zikir dengan ketenteraman hati sebagai berikut:
Dengan mengingat Allah [yang diresapkan ke dalam kalbu], hati seseorang akan menjadi lembut. Sebaliknya, hati yang lupa kepada Allah dan dipenuhi oleh rekaman tentang [berbagai dorongan nafsu] dan kelezatan hidup semata, akan menjadi keras dan kering. Kalbu seseorang tidak berbeda dengan sebatang pohon. Pohon akan segar, rimbun dan penuh dengan dedaunan yang menyejukkan apabila ia menyerap air yang cukup. Apabila sebatang pohon tumbuh di tempat yang tidak berair, maka dahan dan ranting pohon itu akan kering kerontang dan dedaun-annya pun akan berguguran. Demikian pula hati kita. Zikir merupakan mata air kehidupan. Hati yang kosong dari zikir kepada Allah berarti kekurangan mata air ke¬hidupan. Hati akan kering, gersang, keras, dan penuh dengan bara hawa nafsu dan syahwat, dan akhirnya men¬jadi enggan berbakti kepada Allah. Jika terus dibiarkan, hati akan pecah berkeping-keping; yang hanya pantas menjadi bara api neraka. Sebenamya, kelembutan hati dan ketenteramannya merupakan rahmat Allah. Allah-lah yang memantulkan cahaya kedalam hati seseorang karena dzikir kepada Allah dengan kasih sayangnya.
Barangsiapa yang [hatinya] berpaling dan zikir kepada
Allah Yang Maha Pengasih, Kami sertakan setan kepada-nya, sehingga setan itu
menjadi teman dekatnya. (Q.S. al- Zukhruf [431: 36). |
Dzikir kalbu (khafi), menurut kaum sufi, mem-punyai efek-efeknya sendiri yang mencerahkan: ia menyulut api kerinduan kepada Allah, membina kecintaan kepada Allah dalam hati, melahirkan perenungan, melahirkan ekstase dalam diam, menimbulkan ketidaksukaan untuk terjerembab dan tenggelam dalam urusan-urusan duniawi, serta memungkinkan dzakir (pezikir) lebih mengutamakan Allah Swt. ketimbang segala sesuatu selain-Nya.
Dzikir kalbu (khafi), menurut kaum sufi, mem-punyai efek-efeknya sendiri yang mencerahkan: ia menyulut api kerinduan kepada Allah, membina kecintaan kepada Allah dalam hati, melahirkan perenungan, melahirkan ekstase dalam diam, menimbulkan ketidaksukaan untuk terjerembab dan tenggelam dalam urusan-urusan duniawi, serta memungkinkan dzakir (pezikir) lebih mengutamakan Allah Swt. ketimbang segala sesuatu selain-Nya.
Dzikir
Menurut Sufi ?
Menurut ahli tashawwuf, dzikir itu
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1)
Dzikir lisan atau disebut juga dzikir
nafi isbat, yaitu ucapan La Ilaaha Illallah. Pada kalimat ini
terdapat hal yang menafikan yang lain dari Allah dan mengisbatkan Allah.
Dzikir nafi isbat ini dapat juga
disebut dzikir yang nyata karena ia diucapkan dengan lisan secara nyata, baik
dzikir bersama-sama maupun dzikir sendirian.
2)
Dzikir qalbu atau hati, disebut juga dzikir: Asal dan kebesaran,
ucapannya Allah, Allah. Dzikirqalb ini dapat juga disebut dzikir ismu dzat karena ia langsung
berdzikir dengan menyebut nama Dzat.
3)
Dzikir sir atau rahasia, disebut
juga dzikir isyarat dan nafas, yaitu
berbunyi : Hu, Hu. Dzikir ini adalah makanan utama sir (rahasia). Oleh
karena itu ia bersifat rahasia, maka tidaklah sanggup lidah menguraikannya,
tidak ada kata-kata yang dapat
melukiskannya.[4][11][11]
Dzikrullah yang paling
Afdhal ?
Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dalam urusan dzikir, beliau telah menyampaikan dzikir-dzikir terbaik yang sangat jelas muatan tauhidnya. Bahkan dalam beberapa riwayat hadits, beliau sendiri yang menyatakan dzikir-dzikir tertentu merupakan dzikir paling utama dan afdhal. Di antaranya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَفْضَلُ الدُّ عَاءِ الْحَمْدُ للهِ
Sebaik-baik dzikir adalah (membaca) lâ ilâha illallâh. Dan sebaik-baik doa yaitu alhamdulillah [HR. al-Bukhari no.99]
Inilah dzikir terbaik yang diucapkan seorang Muslim. Ini juga yang beliau minta kepada pamannya, Abu Thâlib untuk mengatakannya dalam sakit yang membawanya kepada kematian. Terdiri dari kalimat yang ringan, namun maknanya sangat agung dan kedudukannya sangat tinggi
Lâ ilâha illallâh sudah merupakan kalimat sempurna, bila dikatakan maka tidak menyisakan tanda tanya pada pendengar. Masih banyak contoh dzikir dari Nabi yang penuh dengan keutamaan dan seluruhnya merupakan bentuk kalimat sempurna. Tidak seperti dzikir Sufi di atas, masih menyisakan kebingungan bagi orang-orang yang mendengarkannya. Coba Anda bayangkan, bila Anda menyaksikan seseorang menyebut-nyebut suatu nama misalnya Ahmad dengan berulang-ulang, apa yang Anda simpulkan dari dirinya?. Atau bila ia menyebut kata 'dia, dia, dia' seratus kali, apa pendapat Anda tentang orang tersebut??.
Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dalam urusan dzikir, beliau telah menyampaikan dzikir-dzikir terbaik yang sangat jelas muatan tauhidnya. Bahkan dalam beberapa riwayat hadits, beliau sendiri yang menyatakan dzikir-dzikir tertentu merupakan dzikir paling utama dan afdhal. Di antaranya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَفْضَلُ الدُّ عَاءِ الْحَمْدُ للهِ
Sebaik-baik dzikir adalah (membaca) lâ ilâha illallâh. Dan sebaik-baik doa yaitu alhamdulillah [HR. al-Bukhari no.99]
Inilah dzikir terbaik yang diucapkan seorang Muslim. Ini juga yang beliau minta kepada pamannya, Abu Thâlib untuk mengatakannya dalam sakit yang membawanya kepada kematian. Terdiri dari kalimat yang ringan, namun maknanya sangat agung dan kedudukannya sangat tinggi
Lâ ilâha illallâh sudah merupakan kalimat sempurna, bila dikatakan maka tidak menyisakan tanda tanya pada pendengar. Masih banyak contoh dzikir dari Nabi yang penuh dengan keutamaan dan seluruhnya merupakan bentuk kalimat sempurna. Tidak seperti dzikir Sufi di atas, masih menyisakan kebingungan bagi orang-orang yang mendengarkannya. Coba Anda bayangkan, bila Anda menyaksikan seseorang menyebut-nyebut suatu nama misalnya Ahmad dengan berulang-ulang, apa yang Anda simpulkan dari dirinya?. Atau bila ia menyebut kata 'dia, dia, dia' seratus kali, apa pendapat Anda tentang orang tersebut??.
Ikhtitam
عن ابى الذرداء رضى الله عنه قال: قال رسو ل الله صلعم : الا انبئكم بخير
اعمالكم وازكاها عندمليككم وار فعهافى درجاتكم وخير لكم من إنفاق الذهب والورق
وخير لكم من ان تلقوا عدوكم فتضربوا اعنا قهم ويضربوا اعناقكم ؟ قالوا : بلى. قال
: ذكر الله (أخرجه أحمد والترمذى وابن ماجه)
“Maukah kamu aku beritahu tentang amal yang baik,
paling mulia dan paling suci disisi
Allah, dan paling tinggi derajatnya,
lebih berharga dari menginfakkan emas dan perak, dan bila bertemu musuh maka
kalian akan memenggal lehernya,” para sahabat bertanya, “apa itu ya
Rasulullah?”, dzikir kepada Allah.” (Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Sumber:1.Al-Qur’an Hadits 2.http://almanhaj.or.id
http://guruinformatika.blogspot.com
3.http://sufiroad.blogspot.com 4.http://sufiroad.blogspot.com
JAKARTA 5/3/2015
Segala sesuatu tanya ahlinya,,begitulah pesan Rasulullah. Bukan kaum sufi yang membuat bingung, tetapi kita yang tidak memahami sebenarnya tentang dzikir.
BalasHapusSami,ma wa ata,na
BalasHapusJangan salahkan sufi kita belum masuk dunia sufi mana faham ajarannya sufi maaf saudara sekedar menyarankan
BalasHapusKami jammah sufi hanya dzikir menghapus dosa
BalasHapuskaum sufi itu lembut...biarkalah orang2 mencelanya...karena hati mereka masih kasar
BalasHapus