MEMAKAI AIR MUSTA’MAL ?
أَنَّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُوري المرأة أو قال بسؤرها؛ قال ابو عيسى هذا حديث حسن
Artinya : Rasulullah SAW melarang laki-laki berwudhu dengan bekas air yang dipakai bersuci perempuan dan Abu Isa (Tirmidzi) mengatakan Hadits ini hasan (H.R. at-Turmidzi)
Kata “musta’mal” dari segi bahasa adalah isim maf’ul hasil
derivasi dari fi’il madhi tsulasi mazid sudasi “ista’mala”, secara
harfiah arti musta’mal sendiri adalah sesuatu yang digunakan.
Syaikh Zainuddin al Malibari dalam karya terbaiknya Fath al-Mu’in,
menjelaskan: seluruh thoharoh (bersuci) baik wajib maupun sunnah hanya bisa
dicapai dengan air mutlaq yang belum pernah digunakan untuk bersuci.
فتح المعين ص
فلا يرفع الحدث ولا يزيل النجس ولا يحصل سائر الطهارة –
ولو مسنونة – إلا الماء المطلق،… (غير مستعمل في) فرض طهارة، من (رفع حدث) أصغر أو
أكبر، ولو من طهر حنفي لم ينو، أو صبي لم يميز لطواف. (و) إزالة (نجس) ولو معفوا
عنه.
الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 1 / ص 235)
والماء المستعمل عند الشافعية : هو الماء القليل
المستعمل في فرض الطهارة عن حدث كالغسلة الأولى فيه، والأصح أن نفل الطهارة
كالغسلة الثانية والثالثة طهور في المذهب الجديد.
Berangkat dari ibarot (redaksi) Fath al-Mu’in di atas,
dan didukung dari al-Fiqh al-Islami karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili, kiranya
dapat kita rumuskan bahwa definisi air musta’mal secara terminologi syara’
adalah “air yang sudah pernah digunakan untuk thoharoh (bersuci) wajib, baik
untuk menghilangkan hadast kecil atau besar maupun untuk menghilangkan najis
meski najis yang dima’fu”.
Yang di maksud dengan air musta’mal adalah air yang sudah pernah dipakai
membasuh anggota tubuh yang wajib dibasuh untuk menghilangkan hadats atau
najis. Al-Bakri ad-Damyathi menyebut empat kriteria air musta’mal : yaitu :
1. sedikit air (tidak sampai dua qulah)
2. air yang sudah digunakan pada anggota tubuh yang wajib dibasuh
3. air sudah terpisah dari anggota tubuh
4. tidak ada niat menciduk air pada tempat niat menciduk, yaitu dalam hal mandi adalah setelah niat mandi dan bersentuhan air dengan anggota tubuh dan dalam hal wudhu’ adalah setelah membasuh muka dan merencanakan basuh dua tangan 1
1. sedikit air (tidak sampai dua qulah)
2. air yang sudah digunakan pada anggota tubuh yang wajib dibasuh
3. air sudah terpisah dari anggota tubuh
4. tidak ada niat menciduk air pada tempat niat menciduk, yaitu dalam hal mandi adalah setelah niat mandi dan bersentuhan air dengan anggota tubuh dan dalam hal wudhu’ adalah setelah membasuh muka dan merencanakan basuh dua tangan 1
Karena istilah musta`mal yang maknanya sudah digunakan berkaitan dengan digunakan untuk wudhu`atau mandi saja, bukan digunakan untuk hal lainnya.
Pengertian Musta`mal di antara fuqoha mazhab :
a. Ulama Al-Hanafiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu` untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah (wudhu` sunnah dan mandi sunnah).
Yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta`mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta`mal.
Bagi mereka, air musta`mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.
(lihat kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61).
b. Ulama Al-Malikiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang.
Namun yang membedakan adalah bahwa air musta`mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan syah digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah.
(Lihat As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi 41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1 hal 26 dan sesudahnya).
c. Ulama Asy-Syafi`iyyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta`mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`
Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta`mal. Termasuk dalam air musta`mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta`mal kalau sudah lepas / menetes dari tubuh.
Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karean statusnya suci tapi tidak mensucikan. (Lihat Mughni Al-Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab jilid 5 hal. 1,8)
d. Ulama Al-Hanabilah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Hukum memakai air musta’mal ?
1. Berkata Imam an-Nawawi :
“Air Musta’mal dari fardhu bersuci dari hadats tidak menyucikan menurut qaul jadid. Ada yang mengatakan termasuk juga air sunat bersuci”.
Jalaluddin al-Mahalli dalam melakukan pendalilian terhadap pendapat an-Nawawi di atas berkata :
“ Karena para Sahabat r.a. tidak pernah mengumpulkan air musta’mal untuk bersuci dengannya, dalam perjalanan musafir dimana mereka dalam keadaan sedikit air, bahkan mereka berpaling kepada tayamum”. 2
Imam An-Nawawi menerangkan dalam kitabnya Raudlah ath-Thalibin, bahwa
hukum air musta’mal adalah suci (thohir). Sedangkan dalam Hasyiyah
Qolyubi wa ‘Umairoh ada keterangan bahwa menurut imam ar-Rafi’i dalam Syarah
kabir dan Shaghir serta Al Muharror, air musta’mal
adalah muthlaq tetapi tidak bisa digunakan untuk thoharoh
(bersuci) karena Ta’abbudi atau dengan kata lain tidak ada alasan yang
melatar-belakanginya (dogmatis-irasional). Menurut imam Nawawi pendapat
tersebut bisa dibenarkan menurut mayoritas ulama’, tetapi dalam kesempatan
lain, tepatnya dalam dua karya monumentalnya At-Tahqiq dan Syarah
Muhadzdzab serta Fatawi, Imam an Nawawi menjelaskan bahwa air musta’mal
bukanlah air muthlaq.
Imam An-Nawawi menerangkan dalam kitabnya Raudlah ath-Thalibin, bahwa
hukum air musta’mal adalah suci (thohir). Sedangkan dalam Hasyiyah
Qolyubi wa ‘Umairoh ada keterangan bahwa menurut imam ar-Rafi’i dalam Syarah
kabir dan Shaghir serta Al Muharror, air musta’mal
adalah muthlaq tetapi tidak bisa digunakan untuk thoharoh
(bersuci) karena Ta’abbudi atau dengan kata lain tidak ada alasan yang
melatar-belakanginya (dogmatis-irasional). Menurut imam Nawawi pendapat
tersebut bisa dibenarkan menurut mayoritas ulama’, tetapi dalam kesempatan
lain, tepatnya dalam dua karya monumentalnya At-Tahqiq dan Syarah
Muhadzdzab serta Fatawi, Imam an Nawawi menjelaskan bahwa air musta’mal
bukanlah air muthlaq.
2. Berkata Taqiyuddin ad-Damsyiqi :
“Air musta’mal tidak menyucikan, karena sahabat r.a., tidak mengumpulkan air musta’mal untuk berwudhu’ pada kali kedua, padahal mereka adalah orang-orang yang sangat peduli dengan urusan agama. Kalau yang demikian itu dibolehkan, maka sungguh mereka akan melakukannya. Terjadi khilaf di kalangan ashab Syafi’i tentang ‘illah terlarang memakai air musta’mal pada kali kedua, yang sahih adalah karena telah digunakan untuk fardhu”. 3
Dalil lain air musta’mal tidak menyucikan antara lain Hadits Nabi SAW :
أَنَّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُوري المرأة أو قال بسؤرها؛ قال ابو عيسى هذا حديث حسن
Artinya : Rasulullah SAW melarang laki-laki berwudhu dengan bekas air yang dipakai bersuci perempuan dan Abu Isa (Tirmidzi) mengatakan Hadits ini hasan (H.R. at-Turmidzi) 4
“Air musta’mal tidak menyucikan, karena sahabat r.a., tidak mengumpulkan air musta’mal untuk berwudhu’ pada kali kedua, padahal mereka adalah orang-orang yang sangat peduli dengan urusan agama. Kalau yang demikian itu dibolehkan, maka sungguh mereka akan melakukannya. Terjadi khilaf di kalangan ashab Syafi’i tentang ‘illah terlarang memakai air musta’mal pada kali kedua, yang sahih adalah karena telah digunakan untuk fardhu”. 3
Dalil lain air musta’mal tidak menyucikan antara lain Hadits Nabi SAW :
أَنَّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُوري المرأة أو قال بسؤرها؛ قال ابو عيسى هذا حديث حسن
Artinya : Rasulullah SAW melarang laki-laki berwudhu dengan bekas air yang dipakai bersuci perempuan dan Abu Isa (Tirmidzi) mengatakan Hadits ini hasan (H.R. at-Turmidzi) 4
3.musta’mal dalam bahasa Arab
bermakna pernah digunakan, atau bekas dipakai. Dalam istilah fikih, seperti
disebutkan oleh Sayyid Sabiq dalam
kitabnya Fiqih Sunnah, air
musta’mal adalah air yang pernah
digunakan untuk berwudhu atau mandi. Adapun
hukum air musta’mal adalah suci
dan mensucikan, seperti halnya air mutlak (air suci secara zat dan
mensucikan). Air musta’mal menjadi suci karena pada dasarnya ia suci, juga
tidak terkena atau bercampur dengan zat najis maka ia tetap suci. Seperti
dimaklumi air menjadi tidak suci jika bercampur dengan zat najis.
Demikian
pula tidak ada satu dalil pun yang meniadakan kesucian air musta’mal. Bahkan
sebaliknya yang menetapkan kesuciannya terdapat beberapa dalil yang
melegetimasikannya. Di antaranya disebutkan dalam riwayat Rubayyi bin Mu’awidz
ketika ia menjelaskan cara wudhu Rasulullah saw, “Rasulullah mengusap kepalanya dengan sisa air (air musta’mal)
wudhu yang terdapat pada kedua lengannya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Menarik logika
yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq menyikapi air musta’mal, bahwa sabda
Rasulullah saw, “Sesungguhnya orang mukmin tidak
najis.” (HR. Bukhari) menegaskan seorang mukmin adalah suci,
maka air yang bekas digunakan pun menjadi suci. Dan tidak ada alasan
menjadikan air yang telah digunakan hilang kesuciannya hanya karena disentuh
anggota badan seorang mukmin. Dan pendapat ini menjadi salah satu pendapat
mazhab Syafi’i, mazhab Maliki, dan Sufyan ats-Tsauri.
Sumber:1.http://kitab-kuneng.blogspot.com
2.http://fiqhmenjawab.blogspot.com http://www.syariahonline.com 3.https://www.islampos.com.
JAKARTA 10/3/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar