MEMAKNAI Ikhlas ?
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
Artinya
:“Sesungguhnya kami turunkan kitab (Al-qur’an) itu kepada engkau dengan
kebenaran. Oleh karena itu, sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama
semata-mata karena-Nya. Ketahuilah bahwa agama yang suci-murni itu kepunyaan
Allah.”(az-Zumar:2-3)
Muqaddimah
Sebagaimana
hadits yang diriwayatkan Hakim:
اخلص دينك يكفك العمل القليل) . رواه الحاكم)
Artinya:
“Ikhlaslah dalam agama kamu, niscaya akan memadai bagimu amal yang sedikit”.
Secara bahasa, Ikhlas artinya
membersihkan (bersih, jernih, suci dari campuran dan pencemaran, baik berupa
materi ataupun immateri). Adapun secara istilah yaitu: membersihkan hati
supaya menuju kepada Allah semata, dengan kata lain dalam beribadah hati tidak
boleh menuju kepada selain Allah.
Dari definisi diatas, ikhlas merupakan kesucian hati
dalam beribadah atau beramal untuk menuju kepada Allah. Ikhlas adalah suasana
kewajiban yang mencerminkan motivasi bathin kearah beribadah kepada Allah dan
kearah membersihkan hati dari kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang
tidak menuju kepada Allah. Dengan satu pengertian, ikhlas berarti ketulusan
niat untuk berbuat hanya karena Allah.
1. Sifat
ikhlas ialah menumpukan niat bagi setiap ibadah atau kerja yang dilakukan
semata-mata kerana Allah s.w.t. dan diqasadkan ( niat ) untuk menjunjung
perintah semata-mata serta membersihkan hati dari dosa riya’ , ujub atau
inginkan pujian manusia.
2. Firman
Allah s.w.t. di dalam Al-Quran yang bermaksud :
“ Padahal
mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah s.w.t. dengan
mengikhlaskan ibadah kepadanya , lagi tetap teguh di atas tauhid dan supaya
mereka mendirikan sembahyang dan memberi zakat dan yang demikian itulah agama
yang benar “.
( Surah Al-Bayyinah – Ayat 5 )
( Surah Al-Bayyinah – Ayat 5 )
3. Setiap
pekerjaan yang dilakukan hendaklah dibersihkan daripada sesuatu tujuan yang
lain daripada taat kepada perintah Allah s.w.t.
4. Hendaklah
dibersihkan niat daripada sebab-sebab yang lain dari sifat-sifat yang keji (
sifat mazmumah ) seperti riya’ , ujub , inginkan kemasyhuran dan lain-lain
lagi.
5. Dalam
meninggalkan larangan Allah s.w.t. hendaklah diniatkan untuk taat semata-mata
bukan kerana malu kepada makhluk atau sebagainya.
Sifat Ikhlas dibagi dalam 3 macam ?
Menurut AL-Jurjani, secara bahasa
ikhlas adalah meninggalkan riya’ dalam upaya menjalankan ketaatan kepada Allah
SWT. Ikhlas mengandung arti pembersihan jiwa dari kotoran-kotoran yang dapat
mencemari sifat-sifatnya.
Al-Qasyani berkata dalam buku Latha’if Al-I’iam bahwa yang dimaksud dengan ikhlas adalah membersihkan setiap perbuatan hati atau badan dari setiap campuran sehingga perbuatan sang hamba hanya untuk Allah Swt. Semata.
Al-Qasyani berkata dalam buku Latha’if Al-I’iam bahwa yang dimaksud dengan ikhlas adalah membersihkan setiap perbuatan hati atau badan dari setiap campuran sehingga perbuatan sang hamba hanya untuk Allah Swt. Semata.
1. Ikhlas Awam, yaitu:
Dalam beribadah kepada Allah karena dilandasi perasaan rasa takut terhadap
siksa Allah dan masih mengharapkan pahala.
2. Ikhlas Khawas,
yaitu: Beribadah kepada Allah karena didorong dengan harapan supaya menjadi
orang yang dekat dengan Allah, dan dengan kedekatannya kelak ia mendapatkan
sesuatu dari Allah SWT.
3. Ikhlas Khawas al-Khawas adalah:
Beribadah kepada Allah karena atas kesadaran yang mendalam bahwa segala sesuatu
yang ada adalah milik Allah dan hanya Allah-lah Tuhan yang sebenar-benarnya.
Dari penjelasan diatas, ikhlas tingkatan yang pertama
dan kedua masih mengandung unsur pamrih (mengharap) balasan dari Allah,
sementara tingkatan yang ketiga adalah ikhlas yang benar-benar tulus dan murni
karena tidak mengharapkan sesuatu apapun dari Allah kecuali ridla-Nya,
tingkatan ini hanya di miliki oleh orang-orang yang arif bi Allah
Rukun Ikhlas dalam beribadah terdiri
dalam 2 bagian ?
1. Hatinya hanya menuju kepada
Allah, tiada tujuan kecuali hanya Allah saja.
2. Secara zahirnya dalam
beribadah mengikuti aturan qaidah fiqhiyah (sesuai dengan syariat
Islam), bahwa tidak akan di terima amalnya seseorang apabila sesuatu yang ia
amalkan telah menyalahi ajaran-Nya. Karena dalam sebuah hadith di sebutkan
bahwa:
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ الْعَمَلَ إِلاَّ طَيِّبًا
“Sesungguhnya Allah itu bagus, dan tidak akan diterima
kecuali amalan-amalan yang bagus”.
Seseorang dalam beramal, apabila tidak memenuhi ke-2
rukun diatas, sebaik apapun amalannya tetapi sesuatu yang ia amalkan itu tidak
benar dan tidak sesuai dengan syariat Islam, maka Allah tidak akan menerima
amalannya, seperti yang dikatakan oleh Para Ulama:
لاَ يَقْبَلُ الْعَمَلَ إِلاَّ خَالِصًا صَوَابًا
“Tidak akan diterima amalan seseorang melainkan ia-nya
Ikhlas dan benar sesuai syari’ah”.
Lebih jauh, dalam prakteknya; sebuah amalan yang kita
lakukan tidak dikatakan sempurna melainkan dengan dilandasi niat yang kuat,
lisan kita melafazkan secara zahir, kemudian diikuti dengan perbuatan yang
sesuai dengan aturan syariat Islam. Sebagaimana Syeh Ahmad Rifai menguraikan
dalam kitab Riayah Akhir, para ulama mengatakan:
وَالنِّيَّةُ وَالْقَوْلُ ثُمَّ الْعَمَلُ بِغَيْرِ وَفْقِ سُنَّةٍ لاَ تَكْمُلُ
Ikhlas dalam Beribadah ?
Ikhlas menurut pandangan sufi: “Bila
Surga dan Neraka tak pernah ada” Beberapa tokoh sufi mencoba memisahkan makna
ibadah antara cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf). Menurut
mereka ibadah haruslah mengedepankan
cinta (mahabbah) saja kepada Allah.
Memiliki harapan akan surga dan takut karena neraka dinilai oleh para tokoh sufi tersebut mengotori dari keikhlasan dalam beribadah. Bahkan sering kita mendengar, bila surga dan neraka tak pernah ada, apakah kita masih melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? Apakah kita berdosa bila menghendaki surga dan takut akan neraka? Apakah ibadah akan memiliki kecacatan bila kita mengharapkan pahala dari ibadah kita? Ujung-ujungnya adalah apakah kita masih dapat disebut ikhlas bila kita masih mengharapkan surga dan takut akan neraka ?
Memiliki harapan akan surga dan takut karena neraka dinilai oleh para tokoh sufi tersebut mengotori dari keikhlasan dalam beribadah. Bahkan sering kita mendengar, bila surga dan neraka tak pernah ada, apakah kita masih melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? Apakah kita berdosa bila menghendaki surga dan takut akan neraka? Apakah ibadah akan memiliki kecacatan bila kita mengharapkan pahala dari ibadah kita? Ujung-ujungnya adalah apakah kita masih dapat disebut ikhlas bila kita masih mengharapkan surga dan takut akan neraka ?
Jawabannya adalah dengan mencontoh junjungan kita
Rasulullah SAW dalam berdoa “Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu
dari siksaan kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati,
serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal.” (HR. Al- Bukhari 2/102 dan Muslim
1/412. Lafazh hadits ini dalam riwayat Muslim.)
“Ya Allah! Aku mohon kepada- Mu. Sesungguhnya bagi-Mu segala pujian, tiada Tuhan (yang hak disembah) kecuali Engkau Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Mu, Maha Pemberi nikmat, Pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya. Wahai Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Pemurah, wahai Tuhan Yang Hidup, wahai Tuhan yang mengurusi segala sesuatu, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu agar dimasukkan ke Surga dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka.” (HR. Seluruh penyusun As-Sunan.
Lihat Shahih Ibnu Majah 2/329.) Jelaslah bahwa Rasulullah mengajarkan kepada kita dalam beribadah selain mengedepankan cinta (mahabbah) namun tetap mengharapkan (raja’) surga, dan takut (khauf) agar dijauhkan dari siksa api neraka. Ketiganya (cinta, harapan, dan takut) tidak bisa dipisahkan dan dipilah-pilah dalam ibadah. Seseorang yang memiliki rasa cinta yang tinggi kepada Allah akan melakukan seluruh syariat dengan hati yang ringan disertai luapan kalbu sebagai bukti akan kecintaannya kepada Allah. Seorang pecinta akan berhias dan berwangi dalam shalatnya melebihi pertemuan dengan orang yang paling ia cintai.
Ia selalu menanti-nanti waktu shalat selanjutnya. Ia tetap memiliki pengharapan akan surga, karena hanya di surga kelak dia akan dapat memandang wajah Kekasihnya. Ia takut berada di neraka karena tak mungkin ia dapat hidup selama sedetikpun di sana. Neraka adalah tempat bagi umat yang banyak melanggar larangan-Nya, dan bukan tempat bagi umat yang mencintai Rabbnya dan selalu setia menjalankan syariat-Nya. Tokoh sufi perempuan yang sangat dihormati seperti Rabiatul Adawiyah yang mengembangkan konsep cinta kepada Rabb, sering menangis karena Allah.
Saat orang-orang bertanya kepadanya mengapa ia menangis, Rabiatul Adawiyah menjawab, “Aku takut Allah akan berkata kepadaku disaat menghembus nafas terakhir : jauhkan dia dariKu karena dia tak layak berada di majlis-Ku”. Lantas dimanakah tempat yang layak agar kelak kita dapat memandang Dzat-Nya yang indah kalau bukan di Surga-Nya? Dimanakah tempat yang tidak layak bagi Allah untuk menampakkan Dzat-Nya selain di Neraka ? Memisah-misahkan antara cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf), terkadang kita perlukan untuk meningkatkan kesadaran rasa cinta kita kepada Allah jalla wa a’la. Terkadang kita membutuhkan syair-syair indah untuk meningkatkan kecintaan kepada Allah. Seperti kalimat: “Bila Surga dan Neraka tak pernah ada, apakah kita masih melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya?” Kalimat-kalimat indah tersebut berfungsi semacam shock terapi cinta kita kepada Tuhan yang wajib kita cintai melebihi apapun.
Kalimat tersebut dapat mengingatkan kita bahwa konsep cinta (mahabah) pun penting dalam ibadah, bukan hanya harapan akan pahala dan rasa takut akan Neraka saja. Namun dalam beribadah yang lengkap dan sempurna, ketiga konsep,
yaitu: cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf) tidak dapat dipisahkan. Jadi janganlah merasa ragu apakah amal ibadah kita masih bisa dikatagorikan ikhlas bila masih memiliki harapan akan surga dan rasa takut akan azab-Nya. Lengkapilah ibadah dengan cinta, harapan, dan rasa takut. Beribadah tanpa cinta akan membuat ibadah Anda seperti “ibadahnya pedagang”, hanya mencari untung dan menjauhi kerugian.
Ciri “ibadah pedagang”adalah bila keinginannya tak terpenuhi ia segera kecewa dan menganggap Tuhan tidak adil. Beribadah dengan rasa takut saja (khauf) akan membuat Anda menjadi khawarij, yang beberapa sifatnya adalah: buruk sangka, mencela kaum muslim dengan sebutan kafir, berlebihan dalam ibadah, dan sesat sebagaimana pelaku pengeboman bunuh diri di Indonesia. Beribadah dengan harapan (raja’) saja, akan membuat Anda menjadi murji’ah, yang berpendapat bahwa iman cukup di hati saja bukan perbuatan (shalat, zakat, dan lainnya).
“Ya Allah! Aku mohon kepada- Mu. Sesungguhnya bagi-Mu segala pujian, tiada Tuhan (yang hak disembah) kecuali Engkau Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Mu, Maha Pemberi nikmat, Pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya. Wahai Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Pemurah, wahai Tuhan Yang Hidup, wahai Tuhan yang mengurusi segala sesuatu, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu agar dimasukkan ke Surga dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka.” (HR. Seluruh penyusun As-Sunan.
Lihat Shahih Ibnu Majah 2/329.) Jelaslah bahwa Rasulullah mengajarkan kepada kita dalam beribadah selain mengedepankan cinta (mahabbah) namun tetap mengharapkan (raja’) surga, dan takut (khauf) agar dijauhkan dari siksa api neraka. Ketiganya (cinta, harapan, dan takut) tidak bisa dipisahkan dan dipilah-pilah dalam ibadah. Seseorang yang memiliki rasa cinta yang tinggi kepada Allah akan melakukan seluruh syariat dengan hati yang ringan disertai luapan kalbu sebagai bukti akan kecintaannya kepada Allah. Seorang pecinta akan berhias dan berwangi dalam shalatnya melebihi pertemuan dengan orang yang paling ia cintai.
Ia selalu menanti-nanti waktu shalat selanjutnya. Ia tetap memiliki pengharapan akan surga, karena hanya di surga kelak dia akan dapat memandang wajah Kekasihnya. Ia takut berada di neraka karena tak mungkin ia dapat hidup selama sedetikpun di sana. Neraka adalah tempat bagi umat yang banyak melanggar larangan-Nya, dan bukan tempat bagi umat yang mencintai Rabbnya dan selalu setia menjalankan syariat-Nya. Tokoh sufi perempuan yang sangat dihormati seperti Rabiatul Adawiyah yang mengembangkan konsep cinta kepada Rabb, sering menangis karena Allah.
Saat orang-orang bertanya kepadanya mengapa ia menangis, Rabiatul Adawiyah menjawab, “Aku takut Allah akan berkata kepadaku disaat menghembus nafas terakhir : jauhkan dia dariKu karena dia tak layak berada di majlis-Ku”. Lantas dimanakah tempat yang layak agar kelak kita dapat memandang Dzat-Nya yang indah kalau bukan di Surga-Nya? Dimanakah tempat yang tidak layak bagi Allah untuk menampakkan Dzat-Nya selain di Neraka ? Memisah-misahkan antara cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf), terkadang kita perlukan untuk meningkatkan kesadaran rasa cinta kita kepada Allah jalla wa a’la. Terkadang kita membutuhkan syair-syair indah untuk meningkatkan kecintaan kepada Allah. Seperti kalimat: “Bila Surga dan Neraka tak pernah ada, apakah kita masih melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya?” Kalimat-kalimat indah tersebut berfungsi semacam shock terapi cinta kita kepada Tuhan yang wajib kita cintai melebihi apapun.
Kalimat tersebut dapat mengingatkan kita bahwa konsep cinta (mahabah) pun penting dalam ibadah, bukan hanya harapan akan pahala dan rasa takut akan Neraka saja. Namun dalam beribadah yang lengkap dan sempurna, ketiga konsep,
yaitu: cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf) tidak dapat dipisahkan. Jadi janganlah merasa ragu apakah amal ibadah kita masih bisa dikatagorikan ikhlas bila masih memiliki harapan akan surga dan rasa takut akan azab-Nya. Lengkapilah ibadah dengan cinta, harapan, dan rasa takut. Beribadah tanpa cinta akan membuat ibadah Anda seperti “ibadahnya pedagang”, hanya mencari untung dan menjauhi kerugian.
Ciri “ibadah pedagang”adalah bila keinginannya tak terpenuhi ia segera kecewa dan menganggap Tuhan tidak adil. Beribadah dengan rasa takut saja (khauf) akan membuat Anda menjadi khawarij, yang beberapa sifatnya adalah: buruk sangka, mencela kaum muslim dengan sebutan kafir, berlebihan dalam ibadah, dan sesat sebagaimana pelaku pengeboman bunuh diri di Indonesia. Beribadah dengan harapan (raja’) saja, akan membuat Anda menjadi murji’ah, yang berpendapat bahwa iman cukup di hati saja bukan perbuatan (shalat, zakat, dan lainnya).
Ikhtitam
Untuk itu, dengan ikhlas, akan mencukupi amal yang
sedikit seperti yang ditegaskan dalam sebuah riwayat Ad-Dailami:
أَخْلِصِ الْعَمَلَ يَجْزِيْكَ الْقَلِيْلُ مِنْهُ
“Ikhlaslah kamu dalam beramal, maka cukuplah amal yang
sedikit yang kamu lakukan”.
Sumber:1.Al-Qur’an Hadits 2.http:// mutiaradibalikmusibah.blogspot.com 3.http://ilmutasawuf.blogspot.com/ 4.https://guzzaairulhaq.wordpress.com
JAKARTA
2/3/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar