ORANG SUFI TIDAK TAKUT
NERAKA ?
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
"Beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)". [al-Hijr/15 : 99]
Firman-Nya, “Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Q.s. Fathir: 28).
Karena itu sebagian salaf berkata:
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِالْحُبِّ وَحْدَهُ فَهُوَ زِنْدِيْقٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالرَّجَاءِ وَحْدَهُ فَهُوَ مُرْجِئٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْخَوْفِ وَحْدَهُ فَهُوَ حَرُوْرِيٌّ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْحُبِّ وَالْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ مُوَحِّدٌ.
“Siapa yang
beribadah kepada Allah dengan cinta semata maka dia adalah zindiq[1]), dan siapa yang
beribadah kepada Allah dengan raja’ [harapan] semata maka dia adalah murjiah[2]) dan siapa yang beribadah kepada Allah
dengan takut semata maka dia adalah haruri [3]), dan siapa yang beribadah kepada Allah
dengan cinta, harap dan takut, maka dia adalah mu’min sejati”
Muqaddimah
Dalam Al-Qur’an dan Hadits soal syurga dan neraka disebut berkali-kali dalam berbagai ayat dan surat. Tentu saja, sebagai janji dan peringatan Allah swt. Namun memahami ayat tersebut atau pun hadits Nabi saw, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, tidak sekadar formalisme ayat atau teks hadits saja.
Dalam Al-Qur’an dan Hadits soal syurga dan neraka disebut berkali-kali dalam berbagai ayat dan surat. Tentu saja, sebagai janji dan peringatan Allah swt. Namun memahami ayat tersebut atau pun hadits Nabi saw, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, tidak sekadar formalisme ayat atau teks hadits saja.
Contoh soal rasa takut. Dalam
Al-Qur’an disebut beberapa kali bentuk takut itu. Ada yang menggunakan kata
Taqwa, ada yang menggunakan kata Khauf dan ada pula Khasyyah, dan berbagai
bentuk kata yang ditampilkan Allah Ta’ala yang memiliki hubungan erat dengan
bentuk takut itu sendiri, sesuai dengan kapasitas hamba dengan Allah Ta’ala.
Makna takut dengan penyebutan yang berbeda-beda itu pasti memiliki dimensi yang
berbeda pula, khususnya dalam responsi psikhologi keimanan yang berbeda-beda
antara satu dengan yang lainnya, berkaitan dengan frekwensi dan derajat
keimanan seseorang.
Kalimat Naar tanpa disandari oleh
Azab, juga berbeda dengan Neraka yang ansickh belaka. Misalnya kalimat dalam
ayat di surat Al-Baqarah, “Wattaqun Naar al-llaty waquduhannaasu wal-Hijarah”
dengan ayat yang sering kita baca, “Waqinaa ‘adzaban-Naar,” memiliki dimensi
berbeda. Ayat pertama, menunjukkan betapa pada umumnya manusia, karena
didahului dengan panggilan Ilahi ”Wahai manusia”. Maka Allah langsung membuat
ancaman serius dengan menyebutkan kata Naar. Tetapi pada doa seorang beriman,
“Lindungi kami dari siksa neraka,” maknanya sangat berbeda. Karena yang
terakhir ini berhubungan dengan kualifikasi keimanan hamba kepada Allah, bahwa
yang ditakuti adalah Azabnya neraka, bukan apinya. Sebab api tanpa azab, jelas
tidak panas, seperti api yang membakar Ibrahim as.
Oleh sebab itu, jika seorang Sufi
menegaskan keikhlasan ubudiyahnya hanya kepada Allah, memang demikian perintah
dan kehendak Allah. Bahwa seorang mukmin menyembah Allah dengan harapan syurga
dan ingin dijauhkan neraka, dengan perpekstifnya sendiri, tentu kualifikasi
keikhlasannya di bawah yang pertama. Dalam berbagai ayat mengenai Ikhlas,
sebagai Ruh amal, disebutkan agar kita hanya menyembah Lillahi Ta’ala. Tetapi
kalau punya harapan lain selain Allah termasuk di sana harapan syurga dan
neraka, sebagai bentuk kenikmatan fisik dan siksa fisik, itu juga diterima oleh
Allah. Namun, kualifikasinya adalah bentuk responsi mukmin pada syurga dan
neraka paling rendah.
Rabi’ah Adawiyah dan para Sufi
lainnya ingin membersihkan jiwa dan hatinya dari segala bentuk dan motivasi
selain Allah yang bisa menghambat perjalanan menuju kepada Allah. Dengan bahasa
seni yang indah dan tajam, mereka hanya menginginkan Allah, bukan menginginkan
makhluk Allah. Amaliyah di dunia sebagi visa syurga hanyalah untuk menentukan
kualifikasi kesyurgawiannya, bukan sebagai kunci masuk syurganya. Karena hanya
Fadhal dan RahmatNya saja yang menyebabkan kita masuk syurga. “karena Fadhal
dan Rahmat itulah kamu sekalian bergembira…” Demikian dalam Al-Qur’an. Bukan
gembira karena syurgaNya.
Esensi Khauf ?
Esensi rasa takut (khauf) adalah
rasa pedih dan terbakarnya hati disebabkan oleh kejatuhannya pada situasi yang
dibenci pada masa yang akan datang. Rasa takut itu dapat bersumber dari
mengalirnya dosa-dosa yang tiada pernah berhenti. Adakalanya, rasa takut kepada
Allah Swt. itu bersumber dari ma’rifat terhadap sifat-sifat-Nya. Ini
benar-benar khauf paling sempurna, karena orang yang mengenal Allah, pasti
takut kepada-Nya.
Karena itu, Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Q.s. Fathir:
28).
Allah Swt. telah menurunkan wahyu
kepada Nabi Daud As, “Takutlah kepada-Ku seperti kamu takut pada binatang
buas!”
Itulah sebabnya Rasulullah Saw.
bersabda, ”Aku adalah orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah
swt.”
Terapi pencapaian khauf ada dua tahapan; satu diantaranya adalah ma’rifat terhadap Allah. Ma’rifat ini pasti menyebabkan khauf Orang yang terjerembab ke sarang binatang buas, dimana ia telah tahu dan kenal terhadap binatang itu, tidaklah butuh terapi khusus agar ia menjadi takut pada binatang itu.
Terapi pencapaian khauf ada dua tahapan; satu diantaranya adalah ma’rifat terhadap Allah. Ma’rifat ini pasti menyebabkan khauf Orang yang terjerembab ke sarang binatang buas, dimana ia telah tahu dan kenal terhadap binatang itu, tidaklah butuh terapi khusus agar ia menjadi takut pada binatang itu.
Ketika Allah menciptakan api neraka, hati para malaikat terbang dari tempatnya, kemudian kembali lagi ketika Allah menciptakan Adam As. Gemuruhnya hati Nabi Ibrahim as. ketika salat terdengar dari jarak satu mil.
Nabi Daud As. tetap sujud selama empatpuluh hari tanpa mengangkat kepalanya, hingga air mata beliau dapat menumbuhkan rumput.
Abu Bakar As-Shiddiq ra, pernah berkata kepada seekor burung, andaikata aku sepertimu wahai burung, dan aku tidak pernah menjadi makhluk?”
Abu Dzar ra pernah juga berkata, ”Aku suka andaikata aku adalah pepohonan yang dipotong-potong.”
Aisyah ra berkata, ”Aku suka andaikata aku menjadi barang yang tidak berarti dan dilupakan.”
Khauf merupakan cambuk yang menggiring seorang hamba pada kebahagiaan. Tidak seharusnya takut itu diabaikan, hanya karena putus asa. Tindakan itu merupakan perilaku yang tercela. Bahkan ketika khauf menguasainya, harus dicampur dengan rasa harap (ar-raja’).
Akidah mereka tentang Syurga dan Neraka ?
Seluruh Sufi meyakini bahwa mencari syurga adalah upaya yang banyak
mengurangi kesempurnaan. Seorang Wali tidak boleh berusaha menuju dan mencari
syurga. Sufi yang mencari syurga berarti kurang sempurna. Yang mereka cari
hanyalah cinta, ketidakberdayaan di haribaan Allah, membuka tabir keghaiban dan
berkuasa atas alam ini. Itulah syurga yang diyakini para Sufi.
Mereka juga meyakini bahwa menjauhi
neraka tidak selayaknya dilakukan oleh Sufi yang sempurna. Karena rasa takut
akan neraka akan seorang budak. Neraka bagi mereka tidak panas. Bahkan diantara
Sufi ada yang bersombong diri, bahwa seandainya ia meludah di neraka, maka akan
memadamkannya seperti yang dikatakan al-Busthamy. Adapun Sufi yang berakidah
Wihdatul Wujud, diantara mereka ada yang berkeyakinan bahwa neraka bagi yang
memasukinya itu nyaman dan nikmat, tidak kurang dari kenikmatan orang yang
masuk syurga. Itulah akidah Ibnu Araby, seperti yang ia nyatakan dalam Fushusul
Hikam.
Syurga bagi
kaum Sufi adalah Ma’rifatullah dengan derajat kema’rifatan yang
berbeda-beda. Karena nikmat tertinggi di syurga adalah Ma’rifat Dzatullah. Jadi
kalimat Rabi’ah Adawiyah tentang ibadah tanpa keinginan syurga adalah syurga
fisik dengan kenikmatan fisik yang selama ini kita persepsikan. Dan hal
demikian memang bisa menjadi penghalang (hijab) antara hamba dengan Allah dalam
prosesi kema’rifatan.
Rabi’ah Adawiyah dan para Sufi lainnya ingin membersihkan jiwa dan
hatinya dari segala bentuk dan motivasi selain Allah yang bisa menghambat
perjalanan menuju kepada Allah. Dengan bahasa seni yang indah dan tajam, mereka
hanya menginginkan Allah, bukan menginginkan makhluk Allah. Amaliyah di dunia
sebagai visa syurga hanyalah untuk menentukan kualifikasi kesyurgawiannya,
bukan sebagai kunci masuk syurganya. Karena hanya Fadhal dan RahmatNya saja
yang menyebabkan kita masuk syurga. “karena Fadhal dan Rahmat itulah kamu
sekalian bergembira…” Demikian dalam Al-Qur’an. Bukan gembira karena syurgaNya.
Syurga dan neraka adalah makhluk Allah. Apakah seseorang bisa wushul
(sampai kepada) Allah, manakala perjalanannya dari makhluk menuju makhluk?
Apakah itu tidak lebih dari sapi atau khimar yang menjalankan roda gilingan,
yang berputar-putar terus menerus tanpa tujuan? Nah anda bisa merenungkan
sendiri, betapa tudingan-tudingan mereka yang anti tasawuf soal persepsi syurga
dan neraka ini, bisa terbantahkan dengan sendirinya, tanpa harus berdebat lebih
panjang.
Ikhtitam
رَبَّنَا
آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ
“Robbanaa
aatina fid dunyaa hasanah, wa fil aakhiroti hasanah, wa qinaa ‘adzaban naar.” (Ya Allah, berikanlah kepada Kami kebaikan
di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah Kami dari siksa
neraka)
Sumber:1.Al-Qur’an Hadits 2.http://zadul-tauhid.blogspot.com
3.http://yuksholat5.blogspot.com
JAKARTA 4/3/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar