MAKNA MUHKAM DAN
MUTASYABIH
Muqaddimah
Al-Quran, kalam Tuhan yang dijadikan
sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan umat Islam, tentunya harus
dipahami secara mendalam. Pemahaman Al-Quran dapat diperoleh dengan mendalami
atau menguasai ilmu-ilmu yang tercangkup dalam ulumul quran. Dan menjadi salah
satu bagian dari cabang keilmuan ulumul quran adalah ilmu yang membahas tentang
Muhkam Mutasyabbih ayat.
Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Mengenai pengertian muhkam dan
mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat tentang
pengertian muhkan dan mutasyabih yang terpenting menurut penulis di antaranya
adalah sebagai berikut:
Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan
Muhkam dan Mutasyabih dalam buku studi Ilmu-Ilmu Qur’an, bahwa menurut bahasa
Muhkam berasal dari kata حكمت الد ابة واحكمت yang artinya “saya menahan binatang itu”, juga bisa
diartikan,”saya memasang ‘hikmah’ pada binatang itu”. Hikmah dalam ungkapan ini
berarti kendali.Muhkam berarti (sesuatu) yang dikokohkan, jadi kalam Muhkam
adalah perkataan yang seperti itu sifatnya. Mutasyabih secara bahasa berarti
tasyabuh, yakni bila salah satu dari 2 (dua) hal itu tidak dapat dibedakan dari
yang lain, karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun
abstrak. Jadi, tasyabuh Al-Kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan,
karena sebagainya membetulkan sebagian yang lain.
.
Sedangkan
menurut terminologi (istilah), muhkam dan mutasyabih diungkapkan para ulama,
seperti berikut ini :
1. Ayat-ayat
muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik
melalui takwil ataupun tidak. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah
ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan hari
kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-huruf muqatha’ah. (Kelompok
Ahlussunnah)
2. Ibn Abi
Hatim mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang harus diimani
dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang harus
diimani, tetapi tidak harus diamalkan.
3. Mayoritas
Ulama Ahlul Fiqh yang berasal dari pendapat Ibnu Abbas mengatakan, lafadz
muhkam adalah lafadz yang tak bisa ditakwilkan melainkan hanya satu arah/segi
saja. Sedangkan lafadz yang mutasyabbih adalah lafadz yang bisa ditakwilkan
dalam beberapa arah/segi, karena masih sama (semakna-red).
Dari pengertian-pengertian ulama
diatas, sudah dapat disimpulkan bahwa inti pengertian dari ayat-ayat muhkam adalah
ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak menimbulkan
pertanyaan jika disebutkan. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat muhkam itu nash
(kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas) dan zhahir
(makna lahir). Adapun pengertian dari ayat-ayat mutasyabih adalah
ayat-ayat yang maknanya belum jelas. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat
mutasyabih adalah mujmal (global), mu’awwal (harus ditakwil), musykil,
dan mubham (ambigius).
Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Sehubungan
dengan persoalan ini, Ibn Habib An-Naisabari pernah mengemukakan tiga pendapat
mengenai kaitan ayat-ayat Al-Qur’an terhadap muhkam-mutasyabih.
Pertama, seluruh ayat
Al-Qur’an adalah muhkam berdasarkan firman Allah dalam QS. Hud : 1,
sebagai berikut :
ا لرَ كِتَبُ اُحْكِمَتْ ا يتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ
لَّدُ نْ حَكِيْمُ خَبِيْ رٍ (1)
Kedua, seluruh ayat
Al-Qur’an adalah mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS. Az-Zumar
: 39, sebagai berikut :
قُلْ يقَوْ مِ اعملوا علي مكا نتكم اني عا مل فسوف
تعلمون (39)
Ketiga, pendapat yang
paling tepat, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua bagian, yaitu muhkan dan
mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS. ‘Ali Imran : 7, sebagai
berikut :
هو ا لذي انز ل عليك الكتب منه ا يت محكمت هن ا م الكتب
و ا خر متشبهت فاما ا الذين في قلو بهم زيغ فيتبعون ما تشا به منه ابتغاء الفتنة
وابتغاء ويله وما يعلم تأ ويله الا الله والر سخون فى العلم يقو لون ا منا به كل
من عند ربنا وما يذ كر الا اولواالالباب
Muhkam Mutasyabbih ayat hendaknya
dapat dipahami secara mendalam. Hal ini dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam
objek yang urgen dalam kajian/pemahaman Al-Quran. Jika kita tengok dalam Ilmu
Kalam, hal yang mempengaruhi adanya perbedaan pendapat antara firqoh satu
dengan yang lainnya, salah satunya adalah pemahaman tentang ayat muhkam dan
mutasyabbih. Bahasa Al-Quran ada kalimat yang jelas (muhkam) dan yang belum
jelas (mitasyabih), hingga dalam penafsiran Al-Quran (tentang ayat muhkam
mutasyabih-red) terdapat perbedaan-perbedaan.
Berdalih agar tidak terjadi
ketimpangan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran khususnya dalam ranah Muhkam
Mutasyabbih, maka kelompok kami menyusun makalah yang membahas tentang kedua
hal tersebut dengan judul “ Al-Muhkam Al-Mutasyabih”. Untuk keterangan lebih
lanjut mengenai ketentuan dan hal-hal yang berhubungan dengan Muhkam dan
Mutasyabbih, akan dijelaskan dalam bab berikutnya yaitu bab pembahasan.
Tujuan Mempelajarinya
Sedang pembelajaran pada saat ini
yaitu dengan judul “Al-Muhkam Al-Mutasyabih” mempunyai beberapa tujuan
diantaranya adalah :
1. Dapat mengetahui pengertian dari Al-Muhkam
dan Al-Mutasyabih.
2.Dapat memahami sebab-sebab adanya Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.
3. Dapat mengerti macam-macam dari Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.
4. Dapat membedakan bagaimana sikap para
ulama terhadap adanya ayat-ayat Al-Mutasyabih.
5. Dapat memahami faedah dari adanya
Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.
Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Al-Mutasyabih
Para ulama berbeda pendapat tentang
apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui oleh manusia, atau
hanya Allah saja yang mengetahuinya. Sumber perbedaan mereka terdapat dalam
pemahaman struktur kalimat pada QS. ‘Ali Imran : 7
Dalam memahami ayat tersebut, muncul
dua pandapat. Yang pertama, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm di-athaf-kan
pada lafazh Allah, sementara lafazh yaaquluna sebagai hal. Itu
artinya, bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang
mendalami ilmunya. Yang kedua, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm sebagai mubtada’
dan yaaquluna sebagai khabar. Itu artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih
hanya diketahui oleh Allah, sedangkan orang-orang yang mempelajari ilmunya
hanya mengimaninya.
Ada sedikit ulama yang berpihak pada
ungkapan gramatikal yang pertama. Seperti Imam An-Nawawi, didalam Syarah
Muslim, ia berkata, “Pendapat inilah yang paling shahih karena tidak
mungkin Allah mengkhitabi hamba-hambaNya dengan uraian yang tidak ada jalan
untuk mengetahuinya.”. Kemudian ada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Ishaq
Asy-Syirazi yang mengatakan, “Tidak ada satu ayatpun yang maksudnya hanya
diketahui Allah. Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak, apa
bedanya mereka dengan orang awam?”.
Namun sebagian besar sahabat,
tabi’in, generasi sesudahnya, terutama kalangan Ahlussunnah berpihak
pada gramatikal ungkapan yang kedua. Seperti pendapat dari :
1. Al-Bukhari, Muslim,
dan yang lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah yang mengatakan bahwa
Rasulullah SAW pernah bersabda ketika mengomentari QS. ‘Ali Imran ayat 7 :
“Jika engkau menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, orang itulah yang
dicela Allah, maka berhati-hatilah menghadapi mereka.”
2. Ibn Abu Dawud, dalam Al-Mashahif,
mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-A’masy. Ia menyebutkan bahwa
diantara qira’ah Ibn Mas’ud disebutkan :
“Sesungguhnya penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik Allah semata,
sedangkan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, “Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabih.”
3. Imam Malik
pernah ditanya mengenai pengertian lafadz istawa. Ia mengatakan: Istawa
adalah diketahui. dan bagaimananya adalah sesuatu yang tidah diketahui.
Bertanya tentangnya adalah Bid’ah.
Sedang Ar-raghib Al-Ashfahany
mengambil jalan tengah dalam masalah ini. Beliau membagi mutasyabih dari segi
kemungkinan mengetahuinya menjadi tiga bagan:
1. Bagian yang tak ada
jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu tibanya hari kiamat.
2. Bagian manusia
menemukan sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafadz-lafadz yang ganjil, sulit
difahami namun bisa ditemukan artinya.
3. Bagian yang terletak
di antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh Ulama’ yang mumpuni saja.BERSAMBUNG...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar