HUKUM QURBAN & MENJUAL KULITNYA
???
"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu
nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah."
(QS. Al-Kautsar: 1-2)
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – “مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ
يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا” – رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ مَاجَه,
وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, لَكِنْ رَجَّحَ اَلْأَئِمَّةُ غَيْرُهُ وَقْفَه ُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati
tempat shalat kami.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu
Majah. Al Hakim menshahihkannya.
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu,
berkata:
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا
"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
memerintahkan kepadaku untuk mengurus hewan qurbannya, dan agar aku
menyedekahkan dagingnya, kulitnya, dan bulunya serta tidak memberikan kepada
tukang jagal darinya." (Muttafaq 'alaih dengan lafadz milik Muslim)
Muqaddimah
Qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya.
Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau
adh-dhahiyah, dengan bentuk jamaknya al-adhaahi.
Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji. Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib.
Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji. Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib.
Tidak semua hewan bisa dijadikan kurban.
Binatang-binatang yang bisa dijadikan kurban adalah binatang ternak, seperti
unta, sapi, domba atau kambing.
Hewan kurban berupa domba yang dianggap layak adalah yang berumur setengah tahun, kambing berumur satu tahun, sapi berumur dua tahun dan unta berumur lima tahun. Semua hewan itu tidak dibedakan apakah jantan atau betina.
Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang.
Hewan kurban berupa domba yang dianggap layak adalah yang berumur setengah tahun, kambing berumur satu tahun, sapi berumur dua tahun dan unta berumur lima tahun. Semua hewan itu tidak dibedakan apakah jantan atau betina.
Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang.
Hukum Kurban ?
Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah
SWT:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2)
“Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)
Sabda Nabi Muhammad SAW:
أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ.
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah.” (HR. At Tirmidzi)
كُتِبَ عَلَيَّ النَّحْرُ وَ لَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْكُمْ.
“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” (HR. Ad Daruquthni)
Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi “wa-nhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautsar ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi’li) dan tuntutan ini tidak bersifat wajib. Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an-nahri wa huwa sunnatun lakum” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni “kutiba ‘alayya an-nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2)
“Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)
Sabda Nabi Muhammad SAW:
أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ.
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah.” (HR. At Tirmidzi)
كُتِبَ عَلَيَّ النَّحْرُ وَ لَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْكُمْ.
“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” (HR. Ad Daruquthni)
Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi “wa-nhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautsar ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi’li) dan tuntutan ini tidak bersifat wajib. Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an-nahri wa huwa sunnatun lakum” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni “kutiba ‘alayya an-nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau.
Menjual Kulit Qurban ?
Hukum ini berlaku bagi pekurban (al-mudhahhi/shahibul
kurban) dan juga berlaku bagi siapa saja yang mewakili pekurban, misalnya
takmir masjid atau panitia kurban pada suatu instansi.
Dalil haramnya menjual kulit kurban ada dua, yaitu hadits-hadits Nabi SAW yang melarang menjual kulit kurban, dan hukum syar’i bahwa status kepemilikan hewan kurban telah lenyap dari pekurban pada saat kurban disembelih.
Hadits-hadits Nabi SAW itu di antaranya :
1. Dari Ali bin Abi Thalib ra., dia berkata, ”Rasulullah SAW telah memerintahkan aku mengurusi unta-unta beliau (hadyu) dan membagikan daging-dagingnya, kulit-kulitnya… untuk kaum miskin. Nabi memerintahkanku pula untuk tidak memberikan sesuatu pun darinya bagi penyembelihnya (jagal) [sebagai upah].” (Muttafaq ‘alaihi).
Dari hadits di atas, Imam Asy-Syirazi mengatakan, ”Tidak boleh menjual sesuatu dari hadyu dan kurban, baik kurban yang wajib (nadzar) atau kurban yang sunnah.” (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/240).
2. Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
(Man baa’a jilda udhiyyatihi fa-laa udh-hiyyata lahu)
“Barangsiapa menjual kulit kurbannya, maka tidak ada [pahala] kurban baginya.” (HR. Al-Hakim & Al-Baihaqi). (Hadits ini sahih menurut Imam Suyuthi. Lihat Imam Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, II/167)
Dalil haramnya menjual kulit kurban ada dua, yaitu hadits-hadits Nabi SAW yang melarang menjual kulit kurban, dan hukum syar’i bahwa status kepemilikan hewan kurban telah lenyap dari pekurban pada saat kurban disembelih.
Hadits-hadits Nabi SAW itu di antaranya :
1. Dari Ali bin Abi Thalib ra., dia berkata, ”Rasulullah SAW telah memerintahkan aku mengurusi unta-unta beliau (hadyu) dan membagikan daging-dagingnya, kulit-kulitnya… untuk kaum miskin. Nabi memerintahkanku pula untuk tidak memberikan sesuatu pun darinya bagi penyembelihnya (jagal) [sebagai upah].” (Muttafaq ‘alaihi).
Dari hadits di atas, Imam Asy-Syirazi mengatakan, ”Tidak boleh menjual sesuatu dari hadyu dan kurban, baik kurban yang wajib (nadzar) atau kurban yang sunnah.” (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/240).
2. Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
(Man baa’a jilda udhiyyatihi fa-laa udh-hiyyata lahu)
“Barangsiapa menjual kulit kurbannya, maka tidak ada [pahala] kurban baginya.” (HR. Al-Hakim & Al-Baihaqi). (Hadits ini sahih menurut Imam Suyuthi. Lihat Imam Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, II/167)
Mengenai penjualan hasil sembelihan qurban dapat kami
rinci:
- Terlarang menjual daging qurban (udh-hiyah atau pun hadyu) berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama.[18]
- Tentang menjual kulit qurban, para ulama berbeda pendapat:
Pertama: Tetap terlarang. Ini pendapat mayoritas ulama
berdasarkan hadits di atas. Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang
dengan zhahir hadits (tekstual hadits) yang melarang menjual kulit
sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al Hakim. Berpegang pada pendapat ini
lebih selamat, yaitu terlarangnya jual beli kulit secara mutlak.
Kedua: Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan
uang). Ini pendapat Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar juga
termasuk jual beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy Syafi’i
dalam Al Umm (2/351). Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka
menjual daging atau kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain
juga termasuk jual beli.” [19]
Ketiga: Boleh secara mutlak. Ini pendapat Abu Tsaur
sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi[20]. Pendapat ini jelas lemah karena
bertentangan dengan zhahir hadits yang melarang menjual kulit.
Sebagai nasehat bagi yang menjalani ibadah qurban: Hendaklah kulit tersebut
diserahkan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkan, bisa kepada
fakir miskin atau yayasan sosial. Setelah diserahkan kepada mereka, terserah
mereka mau manfaatkan untuk apa. Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya
kembali, maka itu dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh
orang yang menerima kulit qurban tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul
qurban atau panitia qurban (wakil shohibul qurban).
Haramnya menjual kulit kurban dalam hadits di atas bersifat umum, artinya mencakup segala bentuk jual beli kulit kurban. Baik menukar kulit dengan uang, maupun menukar kulit dengan selain uang (misalnya dengan daging). Semuanya termasuk jual beli, sebab jual beli adalah menukarkan harta dengan harta (mubadalatu maalin bi maalin). Maka penukaran kulit kurban dengan selain dinar dan dirham (uang), misalnya kulit kurban ditukar dengan daging, tetap termasuk jual beli juga.
Perlu diketahui, bahwa ditinjau dari objek dagangan (apa yang diperdagangkan), jual beli ada tiga macam :
(1) Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang,
(2) Jual beli ash-sharf (money changing), yaitu menukar uang dengan uang,
(3) Jual beli al-muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan barang. (Lihat Abdullah al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam [Maa Laa Yasa’u At-Taajir Jahluhu], Penerjemah Abu Umar Basyir, Jakarta: Darul Haq, 2004, hal. 90)
Atas dasar itu, keharaman menjual kulit ini mencakup segala bentuk tukar menukar kulit, termasuk menukar kulit dengan barang dagangan. Sebab hal ini tergolong jual beli juga, yakni apa yang dalam istilah fiqih disebut al-muqayadhah (barter).
Kedua, tidak dapat diterima membolehkan jual beli kulit dengan hujjah hadits Aisyah tentang bolehnya memanfaatkan (intifa’) kurban.
Sebab kendatipun hadits Aisyah itu bermakna umum, yaitu membolehkan pemanfaatan kurban dalam segala bentuknya secara umum, tapi keumumannya telah dikhususkan (ditakhsis) dengan hadits yang mengharamkan pemanfaatan dalam bentuk jual beli (hadits Abu Hurairah). Kaidah ushul fiqih menyatakan :
العَامُ يَبْقَى عَلَى عُمُوْمِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ
“Al-‘aam yabqaa ‘alaa ‘umuumihi maa lam yarid dalil al-takhsis”
“Dalil umum tetap berlaku umum, selama tidak terdapat dalil yang mengkhusukannya (mengecualikannya).”
Atas dasar itu, menukar kulit dengan barang dagangan tidak termasuk lagi dalam pemanfaatan kulit yang hukumnya boleh, sebab sudah dikecualikan dengan hadits yang mengharamkan jual beli kulit.
Kesimpulannya, menjual kulit kurban hukumnya adalah haram, termasuk menukar kulit dengan daging untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Inilah pendapat yang dianggap rajih (kuat), sesuai hadits Nabi SAW yang sahih, “Barangsiapa menjual kulit kurbannya, maka tidak ada [pahala] kurban baginya.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
Haramnya menjual kulit kurban dalam hadits di atas bersifat umum, artinya mencakup segala bentuk jual beli kulit kurban. Baik menukar kulit dengan uang, maupun menukar kulit dengan selain uang (misalnya dengan daging). Semuanya termasuk jual beli, sebab jual beli adalah menukarkan harta dengan harta (mubadalatu maalin bi maalin). Maka penukaran kulit kurban dengan selain dinar dan dirham (uang), misalnya kulit kurban ditukar dengan daging, tetap termasuk jual beli juga.
Perlu diketahui, bahwa ditinjau dari objek dagangan (apa yang diperdagangkan), jual beli ada tiga macam :
(1) Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang,
(2) Jual beli ash-sharf (money changing), yaitu menukar uang dengan uang,
(3) Jual beli al-muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan barang. (Lihat Abdullah al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam [Maa Laa Yasa’u At-Taajir Jahluhu], Penerjemah Abu Umar Basyir, Jakarta: Darul Haq, 2004, hal. 90)
Atas dasar itu, keharaman menjual kulit ini mencakup segala bentuk tukar menukar kulit, termasuk menukar kulit dengan barang dagangan. Sebab hal ini tergolong jual beli juga, yakni apa yang dalam istilah fiqih disebut al-muqayadhah (barter).
Kedua, tidak dapat diterima membolehkan jual beli kulit dengan hujjah hadits Aisyah tentang bolehnya memanfaatkan (intifa’) kurban.
Sebab kendatipun hadits Aisyah itu bermakna umum, yaitu membolehkan pemanfaatan kurban dalam segala bentuknya secara umum, tapi keumumannya telah dikhususkan (ditakhsis) dengan hadits yang mengharamkan pemanfaatan dalam bentuk jual beli (hadits Abu Hurairah). Kaidah ushul fiqih menyatakan :
العَامُ يَبْقَى عَلَى عُمُوْمِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ
“Al-‘aam yabqaa ‘alaa ‘umuumihi maa lam yarid dalil al-takhsis”
“Dalil umum tetap berlaku umum, selama tidak terdapat dalil yang mengkhusukannya (mengecualikannya).”
Atas dasar itu, menukar kulit dengan barang dagangan tidak termasuk lagi dalam pemanfaatan kulit yang hukumnya boleh, sebab sudah dikecualikan dengan hadits yang mengharamkan jual beli kulit.
Kesimpulannya, menjual kulit kurban hukumnya adalah haram, termasuk menukar kulit dengan daging untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Inilah pendapat yang dianggap rajih (kuat), sesuai hadits Nabi SAW yang sahih, “Barangsiapa menjual kulit kurbannya, maka tidak ada [pahala] kurban baginya.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
Daftar Pustaka
[18] Lihat Tawdhihul Ahkam, 4/465.
[19] Lihat pendapat Imam Asy Syafi’i ini
dalam Tanwirul ‘Ainain bi Ahkamil Adhohi wal ‘Idain, hal. 373.
[20] Syarh Muslim, An Nawawi, 4/453,
Mawqi’ Al Islam.
Minhatul ‘Allam fii Syarhi Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al
Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H, 9: 277-280.
Adhwaul Bayan fii Idhohil Qur’an bil Qur’an, Syaikh Muhammad Al Amin bin
Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi, terbitan Dar ‘Alamil Fawaid, cetakan ketiga,
tahun 1433 H.
Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi,
terbitan Dar ‘Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.
By Abi Anwar.Jakarta 19/9/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar