MEMAKNAI IDUL ADHA
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (Qs. Al Kautsar: 2). Di antara
tafsiran ayat ini adalah “berqurbanlah pada hari raya Idul Adha (yaumun
nahr)”. Tafsiran ini diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu ‘Abbas,
juga menjadi pendapat ‘Atho’, Mujahid dan jumhur (mayoritas) ulama.
Muqaddimah
Bulan ini merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan
ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang
kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara
sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status
sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua
memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula
yakni manasik haji.
Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul
Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya
hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak
melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk
disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam.
Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah
dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang
mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim
kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail.
Nilai-Nilai Haji dan Qurban
Tujuan ibaadah haji yang dilakukan umat islam
bukan untuk Allah, tetapi untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hakikat
manusia sebagai makhluk dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji,
dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non-ritualnya, dalam bentuk
kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik dan semuanya, pada
akhirnya mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman
kemanusiaan universal.
Ihram : Disinilah pijakan pertama kali ritual ibadah haji
di mulai, meliputi mandi sunah, mengenakan pakaian ihram, niat dan
sholat sunah 2 rakaat.
Niat merupakan pilar bagi semua ibadah.Maka tidak
salah jika nilai sebuah ibadah tergatung pada niatnya dan kesempurnaan ibadah
terletak pada prakeknya.
Ihram terdapat berbagai muatan nilai berupa
theologis bahwa esensi haji absolut sebagai bentuk panghambaan kepada sang
pencipta, dengan niat pengesaan tanpa elemen-elemen duniawi. Dimensi
pisikologis setiap manusia akan merasakan gejolak jiwa ketika bertemu dengan
yang disukainya, baik berupa perasaan senang, khawatir, takut dan lain
sebagainya. Seperti hal nya ketika Ihram saat melepas semua pakaian berjahit
dan berniat melakukan haji dengan segala bentuk ritual yang disyariatkan,
berbagia rasa berbaur dalam hati manusia.Hingga mencapai sebuah puncak
pengalaman spiritual manusia yang bersifat universal.
Thawaf: yakni mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali. Al
Qur’an menyebutkan Ka’bah merupakan rumah yang pertama kali dibagun (lht
surat Al-Imran:96), Pelatakan batu pertama oleh nabi Ibrahim As pada central
bumi berdasarkan ilham ilahi, Ka’bah secara vertikal satu titik dengan baitul
ma’mur yakni tempat dimana para malaikat bertawaf. Sains telah mengungkap
sebuah fakta bahwa Ka’bah terletak di central bumi, sebagi syimbol rotasi
alam semesta dimana matahari sebagai pusat tata surya dikeliling oleh
pelanet-pelanet.Disebutkan dalam riwayat bahwa ritual thawaf pertama kali
dilakukan oleh nabi Adam As. Sebagi bentuk tobat kepada Allah Swt. Ka’bah
dikelilingi oleh jutaan umat muslim diseluruh dunia dengan membentuk putaran
yang memusat pada satu titik, dengan penuh pengharapan, kerendahan diri dan
penyucian jiwa. Semua manusia ketika berthawaf memusatkan gerakan kepada
Ka’bah meski himpitan dan desakan tak dapat dihindari.
Sa’i: secara literal berlari-lari kecil antara bukit Shafa
dan Marwah selama tujuh kali putaran, banyak para ulama menafsirkan makna
dibalik angka tujuh, diantaranya tujuh lapisan langin dan bumi, namun apapun
makna dibalik itu semua, ritual Sa’i dengan tujuh kali putaran bersifat tawqifi
dan hakikat sebenarnya hanya diketahui oleh sang pencipta.
Sa’i memiliki syimbol eskistensi perjuangan hidup
manusia bahwa kehidupan selalu bergerak dan usaha merupakan bukti dari pada
pergerakan hidup.
Secara historis Sa’i dilakukan pertama kali oleh
seorang perempuan yang bernama Siti Hajar, beliau berlari-lari antara bukit Shafa
dan Marwa selama tujuh kali, guna mencari air untuk sang buah hati yakni
Ismail As. Kala itu mereka berdua berada padang pasir yang tandus tanpa
oase maupun pepohonan. Demi bertahan hidup sang buah hati, sang ibu bersusah
payah mencari air, karna airlah merupakan sumber kehidupan.“ Dan Kami jadikan
dari air segala sesuatu”(QS.Al Anbiya:30)
Tokoh Siti Hajar mewakili social kultural saat itu
dimana kedudukan wanita dipandang rendah, dan identitas Hajar sebagai budak
dari kasta rendah, yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat kala itu.
Namun Allah Swt melalu sosok Siti Hajar mengangkat derajat perempuan
tanpa memandang identitas social semua sama dihadapan sang pencipta.
Bukti ketaatan perempuan sebagai seorang istri, yang ditinggalkan suaminya dipandang pasir yang tandus masih terkenang sampai saat, bukti dari perjuangan seorang ibu untuk sang buah hati kini menjadi ritual suci dalam ibadah haji.
Air zam-zam sampai saat ini terus mengalir, bersih
dan penuh berkah mengisyaratkan bahwa layaknya manusia mencari sumber kehidupan
yang bersih, halal sehingga memberikan keberkahan. makna esoteris lain dari
sa’i ialah laykanya manusia melepaskan dirinya dari rasa takut dan hanya
berharap kepada Allah Swt.
Wuquf Arafah: wuquf merupakan pilar utama dari ibadah haji
sebagai mana sabda Rasulluallah Saw.” Al haju arafah”.Wuquf di Arafah
merupakn ritual yang paling sakral dalam prosesi ibadah haji.Wuquf secara
eptimologi yakni berdiam diri.Dalam ayat-ayat al qur’an terdapat banyak
kolerasi antara haji dengan mengingat Allah Swt. Dalam surat Al Baqarah ayat
199-203 disebutkan esensi ibadah haji secara berurutan yakni mengingat Allah
Swt. Sehingga wuquf memiliki makna berdiam diri dipadang yang luas untuk
mengingat Allah Swt. dengan berdoa dan berkontemplasi memaknai hakikat siapa
diri ini dan kemana akan kembali.
Wuquf memiliki pesan elgaliter persamaan semua
manusia dari seluruh penjuru dunia, tanpa memandang ras, suku, martabat,
tahta, bahasa dan lain sebagainya. Mereka berada dalam satu tempat yang sama,
dengan satu kain pakaian yang sama, dibawah sengatan sinar matahari, semua
sama-sama bermunajat kepada Allah Swt. Tak ada yang membedakan satu sama
lainnya dihadapan Allah Swt. Kecuali ketakwaan. Semua manusia akan berasal
dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
Wuquf merupakan gambaran hari mahsyar, dimana kelak
seluruh manusia dikumpulkan dibawah sengatan matahari tanpa sehalai kain,
hanya amal merekalah yang menentukan. Sebagai mana Allah Swt. Berfirman dalam
surat Al Syu’ura:88-89 “Hari di mana harta dan anak-anak tak akan berguna,
kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Dan di hari
itu didekatkanlah surga kepada orang-orang yang bertaqwa, dan diperlihatkan
dengan jelas neraka kepada orang- orang yang sesat)”.
Wuquf memiliki pisikologis ketika manusia merasa
satu perasaan, memiliki persamaan maka akan menimbulkan rasa saling memiliki,
saling mengasihi dan menimbulkan persaudaraan. Dari persaudaraan ini lah
timbul persatuan. Dalam skala besar makna persatuan umat muslim diseluruh
dunia merupakan sumber kekuatan Islam.
Melempar jumroh:yakni melempar tujuh kali batu di mina pada tiga
tempat yakni jumrah aqobah, wusto dan ula. Melempar jumroh merupakan symbol
pengusir syetan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim As. Ketika beliau hendak
melaksanakan perintah Allah Swt. Untuk menyembelih Nabi Ismail As. Melempar
jumroh memiliki makna pembersihan sifat-sifat kesetanan dalam diri manusia,
keegoistikan dan simbol nyata bahwa setan merupakan musuh manusia artinya
pelemparan batu yang berkali-kali dan dalam tempat yang berbeda,
mengisyaratkan bahwa dengan segala macam cara syetan akan mengajak anak cucu
adam dan menyesatkannya dari jalan yang lurus. Makna esetoric dari melempar
jumroh pembebasan hati manusia dari hawa nafsu dan menjauhi perintah syetan,
menuju kepada ketaatan yang hakiki.
Berqurban: Secara eptimologi yakni dekat atau mendekatan diri.
Dalam Haji berqurban berarti mendekatkan diri kepada Allah, melalui
penyembelihan ternak yang merupakan simbol kepatuhan dan ketaatan sebagai
salah satu bentuk ketaqwaan kepada Allah Swt.
Dimensi historis qurban merupakan puncak pengorbanan
tertinggi dari bapa pada nabi setelah melewati fase-fase ujian dan cobaan
yang begitu berat, sampai akhirnya nabi Ibrahim As. Dapat melewati segala
proses tersebut. Nabi Ibrahim sebagai simbol seorang ayah yang merelakan
anaknya di qurbankan, padahal sang buah hati sangat disayanginya, sejak kecil
ikatan seorang ayah dengan anaknya terpisahkan, ketika menginjak dewasa nabi
Ibrahim As. Harus mempersembahkan sang buah hatinya kepada sang pencipta.
Artinya qur’ban merupakan totalitas kepasrahan, kerelaan seorang hamba.Dan
merupakan persembahan terbaik dari seorang hamba. Karna persembahan terbaik
itulah yang akan diterima oleh Allah Swt. Sebagaimana dikisahkan oleh kedua
anak Adam, Qabil dan Habil (lihat. Qs. Al Maidah:29)
Tahalul merupakan prosesi dalam ritual ibadah haji
dengan mencukur sebagian rambut. sebagai symbol rasa syukur dan pembersihan
jiwa dari hal-hal yang kotor. Sehingga manusia kembali kepada fitrah asalnya.
Makna yang yang ada dalam ibadah haji baik secara ekpilist maupun
inplisit dan esoteris inilah selayaknya diaplikasikan oleh umat muslim
dalam kehidupan sehari-hari.
Kapan Idul Adha 2014 ???Mekkah Bulan baru terjadi tanggal 24 September 2014 jam 9:14 pagi waktu Mekkah. Dan bulan akan terbenam pukul 18:21 waktu Mekkah. Matahari terbenam hari itu pukul 18:15 serta ketinggian bulan hari itu sekitar 0.9° ketika matahari tenggelam. Secara astronomi cukup sulit melihat bulan/hilal pada ketinggian tersebut dan cuma punya waktu sekitar 5 menit sebelum ditelan bumi. Tetapi karena Otoritas Saudi mempunyai sejarah dengan penentuan tanggalan hijriyah yang kadang nyeleneh, apalagi wukuf hari Jumat adalah wukuf favorit (Haji Akbar bagi pengertian sebagian orang) maka menurut kalkulasi saya Saudi akan menetapkan tanggal 1 Zulhijah jatuh tanggal 25 September 2014 dan wukuf di arafah hari Jum’at tanggal 3 Oktober 2014 (tinggal urut kacang saja menentukan 9 zulhijah). Jakarta Bulan baru terjadi tanggal 24 September 2014 jam 1:14 siang WIB. Dan bulan akan terbenam pukul 17:51 WIB. Matahari terbenam hari itu pukul 17:48 serta ketinggian bulan hari itu sekitar 0.4° ketika matahari tenggelam. Secara astronomi cukup sulit melihat bulan/hilal pada ketinggian tersebut dan cuma punya waktu sekitar 3 menit sebelum ditelan bumi. Bagi Muhammadiyah dengan wujudul hilalnya, maka 1 Zulhijah pasti akan jatuh tanggal 25 September 2014 (karena hilal sudah wujud sore 24 September tersebut), otomatis puasa arafah pada hari Jum’at 3 Oktober dan Idul Adha hari Sabtu tanggal 4 Oktober 2014. Bagaimana dengan pemerintah? Perkiraan saya, karena tinggi hilal kurang dari 2° ketika matahari tenggelam tanggal 24 September, pemerintah tetap akan menentukan 1 Zulhijah jatuh tanggal 26 September. Jadi Pemerintah Idul Adha sesuai dengan keputusan Hari Libur nasional 2014/tanggal merah, yaitu hari Minggu tanggal 5 Oktober 2014 (Berbeda dengan Muhammadiyah dan Arab Saudi). Puasa Arafah jatuh hari Sabtu tanggal 4 Oktober 2014 menurut versi pemerintah.( Tikitaka's Blog )
Hikmah di Balik Menyembelih Qurban
Dimensi historis qurban merupakan puncak pengorbanan
tertinggi dari bapa pada nabi setelah melewati fase-fase ujian dan cobaan
yang begitu berat, sampai akhirnya nabi Ibrahim As. Dapat melewati segala
proses tersebut. Nabi Ibrahim sebagai simbol seorang ayah yang merelakan
anaknya di qurbankan, padahal sang buah hati sangat disayanginya, sejak kecil
ikatan seorang ayah dengan anaknya terpisahkan, ketika menginjak dewasa nabi
Ibrahim As. Harus mempersembahkan sang buah hatinya kepada sang pencipta.
Artinya qur’ban merupakan totalitas kepasrahan, kerelaan seorang hamba.Dan
merupakan persembahan terbaik dari seorang hamba. Karna persembahan terbaik
itulah yang akan diterima oleh Allah Swt. Sebagaimana dikisahkan oleh kedua
anak Adam, Qabil dan Habil (lihat. Qs. Al Maidah:29)
Pertama: Bersyukur kepada Allah atas nikmat hayat (kehidupan) yang diberikan.
Kedua: Menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim –khalilullah (kekasih Allah)- ‘alaihis
salaam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak
tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail ‘alaihis salaam ketika hari an nahr
(Idul Adha).
Ketiga: Agar setiap mukmin mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimas
salaam, yang ini membuahkan ketaatan pada Allah dan kecintaan pada-Nya
lebih dari diri sendiri dan anak. Pengorbanan seperti inilah yang menyebabkan
lepasnya cobaan sehingga Isma’il pun berubah menjadi seekor domba. Jika
setiap mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka mencontoh dalam bersabar
ketika melakukan ketaatan pada Allah dan seharusnya mereka mendahulukan
kecintaan Allah dari hawa nafsu dan syahwatnya.[6]
Keempat: Ibadah qurban lebih baik
daripada bersedekah dengan uang yang semisal dengan hewan qurban.( [7. Lihat Shahih
Fiqih Sunnah, 2/379)
Raihlah Ikhlas dan Takwa dari Sembelihan Qurban
Menyembelih qurban adalah suatu ibadah yang mulia dan bentuk pendekatan
diri pada Allah, bahkan seringkali ibadah qurban digandengkan dengan ibadah
shalat. Allah Ta’ala berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.” (Qs. Al Kautsar: 2)
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, nusuk-ku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. Al An’am: 162). Di antara tafsiran an nusuk
adalah sembelihan, sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, Mujahid
dan Ibnu Qutaibah. Az Zajaj mengatakan bahwa bahwa makna an nusuk adalah
segala sesuatu yang mendekatkan diri pada Allah ‘azza wa jalla, namun umumnya
digunakan untuk sembelihan.[8]
Ketahuilah, yang ingin dicapai dari ibadah qurban adalah keikhlasan dan
ketakwaan, dan bukan hanya daging atau darahnya. Allah Ta’ala berfirman,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Qs. Al Hajj: 37)
Ingatlah,
bukanlah yang dimaksudkan hanyalah menyembelih saja dan yang Allah harap
bukanlah daging dan darah qurban tersebut karena Allah tidaklah butuh pada
segala sesuatu dan dialah yang pantas diagung-agungkan. Yang Allah harapkan
dari qurban tersebut adalah keikhlasan, ihtisab (selalu mengharap-harap
pahala dari-Nya) dan niat yang sholih. Oleh karena itu, Allah katakan (yang
artinya), “ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai ridho-Nya”. Inilah yang
seharusnya menjadi motivasi ketika seseorang berqurban yaitu ikhlas, bukan
riya’ atau berbangga dengan harta yang dimiliki, dan bukan pula
menjalankannya karena sudah jadi rutinitas tahunan.[9. Lihat penjelasan yang
sangat menarik dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Taisir
Karimir Rahman fii Tafsiri Kalamil Mannan, Muassasah Ar Risalah, cetakan
pertama, tahun 1420 H.]
Menyembelih Qurban Wajib ataukah Sunnah?
Menyembelih qurban adalah sesuatu yang disyari’atkan berdasarkan Al
Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ (konsensus kaum muslimin).[10] Namun apakah menyembelih
tersebut wajib ataukah sunnah? Di sini para ulama memiliki beda pendapat.
[Pendapat pertama] Diwajibkan bagi orang yang mampu
Yang berpendapat seperti ini adalah Abu Yusuf dalam salah satu
pendapatnya, Rabi’ah, Al Laits bin Sa’ad, Al Awza’i, Ats Tsauri, dan Imam
Malik dalam salah satu pendapatnya.
Di antara dalil mereka adalah firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah
shalat dan berkurbanlah (an nahr).” (Qs. Al Kautsar: 2). Hadits ini menggunakan kata
perintah dan asal perintah adalah wajib. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam diwajibkan hal ini, maka begitu pula dengan umatnya.[11 Lihat Mawsu’ah
Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1529.]
Dan masih ada beberapa dalil
lainnya.
[Pendapat kedua] Sunnah dan Tidak Wajib
Mayoritas ulama berpendapat bahwa menyembelih qurban adalah sunnah
mu’akkad. Pendapat ini dianut oleh ulama Syafi’iyyah, ulama Hambali, pendapat
yang paling kuat dari Imam Malik, dan salah satu pendapat dari Abu Yusuf
(murid Abu Hanifah). Pendapat ini juga adalah pendapat Abu Bakr, ‘Umar bin
Khottob, Bilal, Abu Mas’ud Al Badriy, Suwaid bin Ghafalah, Sa’id bin Al
Musayyab, ‘Atho’, ‘Alqomah, Al Aswad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir.
Di antara dalil mayoritas ulama adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin
menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut
dan kukunya.”[12] Yang dimaksud di sini adalah dilarang
memotong rambut dan kuku shohibul qurban itu sendiri.
Hadits ini mengatakan, “dan salah seorang dari kalian ingin”, hal ini
dikaitkan dengan kemauan. Seandainya menyembelih qurban itu wajib, maka
cukuplah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “maka
hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya”, tanpa
disertai adanya kemauan.
Begitu pula alasan tidak wajibnya karena Abu Bakar dan ‘Umar tidak
menyembelih selama setahun atau dua tahun karena khawatir jika dianggap
wajib[13]. Mereka melakukan semacam ini karena mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri tidak mewajibkannya. Ditambah lagi tidak ada
satu pun sahabat yang menyelisihi pendapat mereka. [14]
Dari dua pendapat di atas, kami lebih cenderung pada pendapat kedua
(pendapat mayoritas ulama) yang menyatakan menyembelih qurban sunnah dan
tidak wajib. Di antara alasannya adalah karena pendapat ini didukung oleh
perbuatan Abu Bakr dan Umar yang pernah tidak berqurban.
Seandainya tidak ada dalil dari hadits Nabi yang menguatkan salah satu
pendapat di atas, maka cukup perbuatan mereka berdua sebagai hujjah yang kuat
bahwa qurban tidaklah wajib namun sunnah (dianjurkan).
فَإِنْ يُطِيعُوا أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَرْشُدُوا
“Jika kalian mengikuti Abu Bakr dan Umar, pasti kalian akan mendapatkan
petunjuk.”[15]
Namun sudah sepantasnya seorang yang telah berkemampuan untuk menunaikan
ibadah qurban ini agar ia terbebas dari tanggung jawab dan perselisihan yang
ada. Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan, “Janganlah
meninggalkan ibadah qurban jika seseorang mampu untuk menunaikannya. Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan,
“Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak
meragukanmu.” Selayaknya bagi mereka yang mampu agar tidak meninggalkan
berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan
tanggungan. Wallahu a’lam.”[16]
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah. Semoga Allah memudahkan kita
untuk melakukan ibadah yang mulia ini dan menerima setiap amalan sholih kita.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala amalan menjadi sempurna.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.
Footnote:
[10] Lihat Mawsu’ah
Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1527.
[11] Lihat Mawsu’ah
Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1529.
[12] HR.
Muslim no. 1977, dari Ummu Salamah.
[13]
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani
dalam Al Irwa’ no. 1139 menyatakan bahwa riwayat ini shahih.
[14] Lihat Mawsu’ah
Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1529.
[15] HR.
Muslim no. 681.
[16] Adhwa-ul
Bayan fii Iidhohil Qur’an bil Qur’an, hal. 1120, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
Beirut, cetakan kedua, tahun 2006.
Jakarta 2014
|
Selasa, 30 September 2014
HARI RAYA QURBAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar