وَلِلَّهِ
عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا
(mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah); QS. Ali Imran, 97.
Muqaddimah
Ibadah haji adalah fardhu hukumnya dalam
Islam. Maka bila seseorang terhalang menunaikan haji hingga ia wafat maka
kewajiban tersebut bisa dilaksanakan oleh orang lain baik keturunannya atau
orang yang dapat dipercaya. Kegiatan menghajikan orang yang telah tiada atau
orang yang sudah tak mampu melaksanakannya sebab udzur ini disebut sebagai '
BADAL HAJI.
Badal haji adalah ibadah haji yang dilaksanakan oleh
seseorang atas nama orang lain yang telah memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji, namun karena
orang tersebut uzur(berhalangan) sehingga tidak dapat melaksanakannya sendiri,
maka pelaksanaan ibadah tersebut didelegasikan kepada orang lain.
Badal haji ini menjadi masalah mengingat ada beberapa
ayat Al-Qur'an yang dapat difahami bahwa seseorang hanya akan mendapatkan
pahala dari hasil usahanya sendiri. Artinya, seseorang tidak dapat melakukan
suatu peribadatan untuk orang lain, pahala dari peribadatan itu tetap bagi
orang yang melakukannya bukan bagi orang lain.
Disamping itu ada juga Hadits Nabi saw yang
menerangkan babwa seorang anak dapat melaksanakan ibadah haji untuk orang
tuanya atau seseorang melaksanakan haji untuk saudaranya yang telah uzar baik karena sakit, usia tua atau
telah meninggal dunia, padahal ia sudah berkewajiban untuk menunaikan ibadah
haji.
Amal Ibadah Untuk Diri Sendiri ?
a. Surat Al-Baqarah ayat 286:
Artinya "...ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya, dan la mendapat siksa (dari kejahatan) yang di
kerjakannya ..."(Qs. Al-Baqarah [2]: 286)
b. Surat Yasin ayat 54:
Artinya:"Maka pada hari itu seseorang tidak
akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah
kamu kerjakan."(Qs. Yasin [36]: 54)
c. Surat An-Najm ayat 38 dan 39:
Art nya: "(yaitu) bahwasanya seseorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seseorang manusia
tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang telah diusahakannya. (Qs.
An-Najm [53]: 38-39)
Pahala Amal Ibadah Untuk Orang Lain
?
Arti nya:"Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., bahwa
seorang perempuan datang kepada Nabi saw,lalu berkata : Sesungguhnya ibuku
telah bernadzar untuk berhaji, lalu la meninggal dunia sebelum ia melaksanakan
haji, apakah saya harus menghajikannya? Nabi saw bersabda: Ya hajikanlah
untuknya, bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki tanggungan hutang,
apakah kamu akan melunasinya? la menjawab: Ya. Lalu Rasulullah saw bersabda:
Tunaikanlah hutang (janji) kepada Allah, karena sesungguhnya hutang kepada
Allah lebih berhak untuk dipenuhi."[HR. al-Bukhari]
Art nya:"Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.,
apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali
tiga hal; shadagah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang
mendoakannya."[HR. Muslim]
Artinya:"Bahwasanya seorang wanita dari Khas'am
berkata kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah sesungguhnya ayahku telah tua
renta, baginya ada kewajiban Allah dalam berhaji, dan dia tidak bisa duduk
tegak di atas punggung onta. Lalu Nabi saw bersabda: Hajikanlah dia." [ H
R. Muslim dan jamaah ahli Hadits]
Artinya: "Seorang taki-laki dari bani Khas'am
menghadap kepada Rasulullah saw, la berkata: Sesungguhnya ayahku masuk islam
pada waktu la telah tua, dia tidak dapat naik kendaraan untuk haji yang
diwajibkan, bolehkan aku menghajikannya? Nabi saw bersabda: A pakah kamu anak
tertua? Orang itu menjawab: Ya. Nabi saw bersabda: Bagaimana pendapatmu jika
ayahmu mempunyai hutang, lalu Engkau membayar
hutang itu untuknya, apakah itu cukup sebagai gantinya? Orang itu menjawab: Ya.
Maka Nabi saw bersabda: Hajikaniah dia."(HR Ahmad)
Dalil Tentang Badal Haji
Hal ini berdasarkan dalil:
"Ada seorang pria datang kepada Nabi Saw
seraya berkata, 'Saat haji difardhukan kepada para hamba, ketika itu ayahku
sudah amat sepuh dan ia tiada sanggup menunaikan haji maupun menunggang
kendaraan. Bolehkah aku menghajikan dia?' Rasulullah Saw menjawab, 'Lakukanlah haji dan umrah untuk ayahmu!'"
HR. Ahmad & An Nasa'
Kalau saja orang tua yang sepuh yang tidak
mampu menunaikan ibadah haji dan menunggang kendaraan boleh dibadalkan hajinya,
lalu bagaimana kiranya dengan orang yang kuat dan sehat namun belum berhaji
Jawabannya tentu lebih boleh lagi untuk dibadalkan. Hal ini berdasarkan dalil
hadits shahih lain yang menyatakan bahwa ada seorang perempuan berkata kepada
Rasulullah Saw, "Ya Rasul, ibuku pernah bernadzar mengerjakan haji namun
ia belum menunaikannya hingga wafat, bolehkah aku berhaji untuknya?" Nabi
Saw menjawab, "Berhajilah untuk
ibumu!" HR. Muslim, Ahmad & Abu Daud
Para ulama menjelaskan bahwa ada tiga syarat boleh
membadalkan haji:
- Orang yang membadalkan adalah orang yang telah berhaji sebelumnya.
- Orang yang dibadalkan telah meninggal dunia atau masih hidup namun tidak mampu berhaji karena sakit atau telah berusia senja.
- Orang yang dibadalkan hajinya mati dalam keadaan Islam. Jika orang yang dibadalkan adalah orang yang tidak pernah menunaikan shalat seumur hidupnya, ia bukanlah muslim sebagaimana lafazh tegas dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, alias dia sudah kafir. Sehingga tidak sah untuk dibadalkan hajinya.
(Lihat bahasan di: http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/fatwa/69.htm)
Para ulama di Al Lajnah Ad Daimah
berkata, “Tidak boleh seseorang menghajikan orang
lain sebelum ia berhaji untuk dirinya sendiri. Dalil dari hal ini adalah
riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata, “Labbaik ‘an Syabromah
[Aku memenuhi panggilan-Mu, dan ini haji dari Syabromah]”. Lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu
sendiri?” “Tidak”, jawabnya. Lantas beliau bersabda, “Berhajilah
untuk dirimu terlebih dahulu, baru engkau menghajikan Syabromah.” (Yang
menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdullah
bin Ghudayan. Fatawa Al Lajnah 11: 50)
Yang perlu diperhatikan:
- Tidak boleh banyak orang (dua orang atau lebih) sekaligus dibadalkan hajinya sebagaimana yang terjadi saat ini dalam hal kasus badal haji. Orang yang dititipi badal, malah menghajikan lima sampai sepuluh orang karena keinginannya hanya ingin dapat penghasilan yang besar. Jadi yang boleh adalah badal haji dilakukan setiap tahun hanya untuk satu orang yang dibadalkan. (Lihat bahasan di: http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/fatwa/69.htm)
- Membadalkan haji orang lain dengan upah dilarang oleh para ulama kecuali jika yang menghajikan tidak punya harta dari dirinya sendiri sehingga butuh biaya untuk membadalkan haji. Perlu diketahui bahwa haji itu adalah amalan sholeh yang sangat mulia. Amalan sholeh tentu saja bukan untuk diperjualbelikan dan tidak boleh mencari untung duniawiyah dari amalan seperti itu. Maka sudah sepantasnya tidak mengambil upah dari amalan sholeh dalam haji seperti thowaf, sa’i, ihrom, shalat dan lempar jamarot. Sebagaimana seseorang tidak boleh mengambil upah untuk mengganti shalat orang lain. Sehingga yang jadi masalah adalah menjadikan badal haji sebagai profesi. Ketika diberi 1000 atau 2000 riyal, ia menyatakan kurang. Karena badal haji hanyalah jadi bisnisnya. Amalan badal haji yang ingin cari dunia adalah suatu kesyirikan. Jika itu syirik, lantas bagaimana bisa dijadikan pahala untuk orang yang telah mati? Renungkanlah!! Sungguh ikhlas itu benar-benar dibutuhkan dalam haji, begitu pula ketika membadalkan (menggantikan haji orang lain). (Lihat bahasan di http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=226898)
Pendapat Para Alim Ulama’
Mayoritas ulama memperbolehkan badal haji atau dalam istilah
fiqihnya al-hajj ‘an al-ghair. Di antara ulama empat madzhab yang
memperbolehkan badal haji adalah Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hambali.
Hanya Imam Maliki yang tidak memperbolehkannya, kecuali kepada orang yang
sebelum wafatnya sempat berwasiat agar dihajikan. Ini pun dengan harta
peninggalannya sejauh tidak melebihi sepertiganya.[3]
Alasan ulama yang tidak memperbolehkan badal haji adalah bahwasanya haji
itu hanya diwajibkan kepada orang Islam yang mampu, baik fisik maupun keuangan.
Jadi, kalau ada orang yang sakit atau lemah secara fisik maka ia dianggap orang
yang tidak mampu, karena itu ia tidak berkewajiban haji. Demikian juga orang
yang telah wafat, ia dianggap sudah tidak berkewajiban untuk haji. Karena itu
orang yang lemah secara fisik hingga tidak kuat untuk berhaji apalagi orang
yang sudah wafat, maka kepada orang tersebut tidak perlu dilakukan badal haji.
Orang ini dipandang telah gugur kewajiban hajinya[4].
Adapun alasan
ulama yang memperbolehkan badal haji adalah berdasarkan kepada beberapa hadis
berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ الْفَضْلِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللَّهِ فِى
الْحَجِّ وَهُوَ لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ. فَقَالَ
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « فَحُجِّى عَنْهُ ».
1. Hadist riwayat Ibnu Abbas dari al-Fadl: "Seorang perempuan dari
kabilah Khats'am bertanya kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, ayahku
telah wajib haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas
kendaraan?". Jawab Rasulullah: "Kalau begitu lakukanlah haji untuk
dia!" (H.R. Bukhari, Muslim dll.).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - أَنَّ امْرَأَةً
مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَتْ إِنَّ
أُمِّى نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ ، فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ
عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ . حُجِّى عَنْهَا ، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ
دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ ، فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ »
2. Hadist riwayat Ibnu Abbas ra: " Seorang perempuan dari bani
Juhainah datang kepada Nabi s.a.w., ia bertanya: "Wahai Nabi Saw, Ibuku
pernah bernadzar ingin melaksanakan ibadah haji, hingga beliau meninggal
padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku bisa
menghajikannya?. Rasulullah menjawab: Ya, hajikanlah untuknya, kalau ibumu
punya hutang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah hutang Allah, karena
hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi" (H.R. Bukhari & Nasa'i).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً
يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ :مَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ أَخٌ لِى أَوْ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « حَجَجْتَ عَنْ
نَفْسِكَ ». قَالَ لاَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
».
3.
Riwayat Ibnu Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah s.a.w.
mendengar seorang lelaki berkata "Labbaik 'an Syubrumah"
(Labbaik/aku memenuhi pangilanMu ya Allah, untuk Syubrumah), lalu Rasulullah
bertanya "Siapa Syubrumah?". "Dia saudaraku, wahai
Rasulullah", jawab lelaki itu. "Apakah kamu sudah pernah haji?"
Rasulullah bertanya. "Belum" jawabnya. "Berhajilah untuk dirimu,
lalu berhajilah untuk Syubrumah", lanjut Rasulullah. (H.R. Ahmad, Abu
Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain). Syekh al-Albani menilai hadis ini shahih[5].
4.
Sebagian besar ulama madzhab mendukung
pendapat tentang bolehnya melaksanakan badal haji, seperti ulama Hanafiah,
Syafi’iyah dan Hanbaliyah. Sementara ulama kontemporer yang mendukung bolehnya
melakukan badal haji antara lain: Syekh M. Nashiruddin al-Albani, Syekh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz, Syekh Muhammad bin shalih Al-‘Utsaimin dan para
ulama Saudi yang lain.[9]
Adapun alasan ulama yang tidak
membolehkan badal haji antara lain:
1. Ibadah haji itu, sungguhpun terdiri dari dua macam
yaitu ibadah fisik dan ibadah harta, namun unsur fisiknya lebih dominan. Karena
itu ibadah haji tidak boleh diwakilkan atau digantikan oleh orang lain[6].
2. Berdasarkan al-Qur’an surat al-Najm,39:Allah
berfirman: وَأَنْ
لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
(bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya). Ayat tersebut menunjukkan bahwa seseorang hanya akan dapat
pahala jika ia sendiri yang melakukannya. Karena itu amal ibadah yang dilakukan
untuk atau atas nama orang lain, seperti badal haji, tidak akan ada manfaatnya.
Jadi sia-sia saja.
3. Mengenai beberapa hadis yang menjelaskan adanya
perintah Nabi Saw kepada sejumlah sahabat untuk melakukan haji atas nama orang
tua dan saudaranya itu, oleh kelompok ulama ini, dinilai tidak shahih secara
matan meski shahih secara sanad. Karena dianggap bertentangan dengan al-Qur’an
surat al-Najm ayat 39 tersebut.
Pendapat ini didukung oleh ulama Malikiyah. Di Indonesia, ulama yang
mendukung pendapat ini adalah sejumlah ulama Persatuan Islam (Persis) Bangil.[7
Itulah keterangan yang dapat diberikan soal
ibadah badal haji. Dengan mengerjakan ibadah badal haji, maka pahalanya akan
tersampaikan kepada si mayit, juga untuk orang yang melaksanakannya. Hal
terpenting adalah bahwa rukun Islam kelima yang menjadi kewajiban bagi mayit
sudah tertunaikan dengan cara badal haji ini.
BY ABI NAUFAL. JAKARTA 19/9/2014
[3] Abd
al-Rahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Vol.I (Dar
al-Fikr, 1986), 706-710. Baca juga Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa
Adillatuh, III/426.
[4]
Ibid., 706.
[5]
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Irwa-al-Ghalil, IV/171.
[9]
Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah Oleh Ulama-Ulama
Besar Saudi Arabia, terj.H.AS. Zamakhsyari (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2002),
61-69.
[6]
Al-Jazairi, al-Fiqh, I, 706.
[7] Baca
A.Hassan, Soal-jawab Tentang Berbagai masalah (Bandung: Diponegoro,
2002),242.
موضوع اكثر من رائع
BalasHapusادعوا لكم بالنجاح و التوفيق ان شاء الله
عبد القادر الجيلاني
The first pillar is the profession of faith: “There is no deity but God, and Muhammad is the messenger of God,” upon which depends membership in the community. The profession of faith must be recited at least once in one’s lifetime, aloud, correctly, and purposively, with an understanding of its meaning and with an assent from the heart. From this fundamental belief are derived beliefs in (1) angels (particularly Gabriel, the Angel of Inspiration), (2) the revealed Book (the Qurʾān and the sacred books of Judaism and Christianity), (3) a series of prophets (among whom figures of Jewish and Christian tradition are particularly eminent, although it is believed that God has sent messengers to every nation), and (4) the Last Day (Day of Judgment).
BalasHapus