MEMAHAMI AYAT-AYAT Makkiyah dan Madaniyah
Muqaddimah
Al-Qur’an
merupakan kitab suci sekaligus sumber rujukan utama bagi umat Islam. Memahami
kandungan Al-Qur’an tentu akan sangat bermanfaat sekali karena di dalam
alqur’an tidak semata memuat masalah-masalah keimanan, ibadah, dan sejarah umat
terdahulu. Al-Qur’an juga memperhatikan masalah sains, gender, ham, dan permasalahan
lain yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia. Hal tersebut menandakan bila
sebenarnya manusia memang telah dipersiapkan untuk menjadi khalifah di muka
bumi ini, dan tuhan membekali manusia dengan beberapa perangkat yang ada, maka
Al-Qur’an adalah salah satu perangkat tersebut.
Menurut fakta
histories, Al-Qur’an tidak langsung diturunkan dalam sekali waktu. Hal mana
dengan adanya metode berangsur-angsur, ayat-ayat dari Al-Qur’an menjadi sebuah
tanda dari tuhan agar Nabi Muhammad menjadi lebih kuat dalam berdakwah, bisa
juga, ayat-ayat tertentu menjadi makin relevan dengan sebuah masalah yang
tengah dihadapi oleh sang nabi beserta umatnya. Walau sebenarnya bisa saja
Al-Qur’an diturunkan dalam sekali tempo, tetapi kenyataannya tidak seperti itu.
Ayat-ayat atau
surah Al-Quran juga dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Makkiyah dan
Madaniyah. Pengklasifikasian ini meski disandarkan pada tempat di mana ayat
atau surah tersebut turun, tapi bila ditinjau lebih dalam lagi akan ditemukan
bila sebenarnya kandungan dua surah tersebut menunjukkan hal yang tidak sama
pula.
Ayat Makkiyyah adalah
ayat–ayat yang di turunkan di Makah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari,
terhitung sejak tanggal 17 Ramadhan tahun ke – 14 dari kelahiran Nabi ( 6
Agustus 610 M ) sampai tanggal 1
Robbi’ul Awwal tahun ke – 54 dari kelahiran Nabi, sedangkan Ayat–Ayat
Madaniyyah adalah ayat–ayat yang di turunkan sesudah Nabi Muhammad SAW
melakukan Hijrah ke Madinah selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, terhitung sejak Nabi
Hijrah ke Madinah sampai tanggal 9 Dzulhijjah tahun 63 dari tahun kelahiran
Nabi.
Surat Makkiyyah umumnya suratnya pendek–pendek
sedangkan Madaniyyah pada umumnya suratnya panjang –panjang
Pengertian Makkiyah dan Madaniyah
Makkiyah diambil dari nama kota
Makkah, tempat Islam lahir dan tumbuh. Kata makkiyah merupakan kata sifat yang
disandarkan kepada kota tersebut. Dan sesuatu disebut makkiyah apabila ia
mengandung kriteria yang berasal dari Makkah atau yang berkenaan dengannya.
Begitu pula dengan madaniyah, ia diambil dari nama kota Madinah, tempat
Rasulullah SAW berhijrah dan membangun masyarakat Islam serta mengembangkan
Islam hingga ke segala penjuru dunia.
Sekalipun kemudian da'wah Rasulullah
melewati batas-batas wilayah kedua kota tersebut, namun Makkah dan Madinah
tetap mempunyai peran yang signifikan dalam setiap proses pengembangan Islam.
Karenanya pengertian makkiyah dan madaniyah tidak hanya terbatas pada ruang
lingkup tempat atau penduduk yang berdiam dikedua kota tersebut, melainkan
mencakup didalamnya periode waktu. Dari sini kemudian para ulama dalam
mendefinisikan makkiyah dan madaniyah tidak hanya terpaku pada pengertian yang
sangat sempit, melainkan juga memasukan unsur waktu yang tak terpisahkan dari
sejarah Rasulullah.
Imam Az Zarkasyi dalam bukunya Al
Burhan fi Ulum Al Qur'an telah menyebutkan tiga variabel definisi mengenai
makkiyah dan madaniyah.
1.
Pertama, definisi berkonotasi tempat, bahwa makkiyah adalah unit wahyu yang
diturunkan di Mekah, dan madaniyah adalaha unit wahyu yang diturunkan di
Madinah.
2.
Kedua, definisi berkonotasi periode waktu, bahwa makkiyah adalah unit wahyu
yang diturunkan sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Dan madaniyah adalah
unit wahyu yang diturunkan setelah hijrah.
3.
Ketiga, definisi berkonotasi objek wahyu, atau kepada siapa khitabnya
ditujukan. Maka makkiyah adalah unit wahyu yang dikhitabkan kepada penduduk
Mekah, sedangkan madaniyah adalah unit wahyu yang dikhitabkan kepada penduduk
Madinah.
Dan menurut beliau definisi yang kedua adalah yang sangat popular dikalangan para ulama. Begitu pula dengan Imam As Suyuthi dalam bukunya Al Itqan fi Ulum Al Qur'an.
Dan menurut beliau definisi yang kedua adalah yang sangat popular dikalangan para ulama. Begitu pula dengan Imam As Suyuthi dalam bukunya Al Itqan fi Ulum Al Qur'an.
Jadi Surat/Ayat Makkiyah adalah
segala ayat yang diturunkan di Mekkah, termasuk di daerah-daerah sekitar Mekkah
seperti Arafah, Hudaibiah, dan lain-lain. Makkiyah juga segala ayat yang turun
sebelum Rasulullah hijrah, sekalipun turunnya di Madinah. Selain itu, bentuk
ayat Makkiyah berisi pembicaraan tentang penduduk Mekkah dan sekitarnya.
Ciri – ciri Ayat Makkiyah
Ciri – ciri Ayat Makkiyah
Adapun ciri-ciri dari surah Makkiyah
ialah:
• Setiap ayat yang dimulai dengan
seruan ايها النا س يا (hai manusia)
adalah Makkiyah, kecuali dalam surat Al-Haj;
• Setiap surat yang dimulai dengan
huruf potong adalah Makkiyah, kecuali surat Al-Baqarah dan Ali-Imran;
• Setiap surah yang memuat kkisah
nabi Adam dan Iblis adalah Makkiyah, kecuali kisah nabi Adam yang terdapat
dalam surah Al-Baqarah;
• Setiap surat yang menyebutkan
masalah atau kisah-kisah ummat dahulu kalapada umumnya Makkiyah, ditammbah azab
atau siksaan Allah kepada mereka;
• Suratnya pendek-pendek pada
umumnya dengan gaya bahasa yang tegas, padat dan berisi, dan mempunyai balaghah
yang sangat tinggi;
• Setiap yang di dalamnya mengandung
“sajdah” maka surat tersebut adalah bagian dari Makki; dan
• Setiap surat yang mengandung
lafalk al la, berarti Makki. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir
dari Al qur‟an, dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas
surat.
Sedangkan dari segi tema dan gaya
bahasa dapat diringkas sebagai berikut:
• Ajakan kepada tauhid dan beribadah
hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, hari kebangkitan dan hari
pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan azabnya, surga dan
nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti yang
rasional dan ayat-ayat kauniyah.
• Peletakan dasar umum bagi
perundang-undangan dan akhlaq mulia yang menjadi terbentuknya suatu masyarakat,
dan penyingkapan dosa orang-orang musyrik dalam menumpahkan darah, memakan
harta anak yatim secara zalim, penguburan bayi perempuan hidup-hidup dan
tradisi buruk lainnya.
• Menyebutkan kisah para nabi dan
umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib
orang yang mendustakan perintah Allah sebelum mereka.
• Sebagai hiburan untuk Rasulullah
dan para pengikutnya agar mereka tabah dalam menahan cobaan dan hinaan dari
orang-orang kafir, dan untuk menambahkan keyakinan mereka bahwa Allah berada di
pihak mereka.
• Suku katanya pendek disertai
kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataan singkat ditelinga terasa menembus
dan terdengar sangat keras, menggetarkan hari dan maknanyapun meyakinkan dengan
diperbuat dengan lafal-lafal sumpah.
Ciri-Ciri Ayat Madaniyah:
- Surah yang menjelaskan faraidl dan hudud. Urwah bin az-zubair berkata: ayat-ayat yang mengandung hukuman(had) atau kewajiban(faridhoh), sesungguhnya turun di Madinah. Sedangkan Muhammad bin As-Saib Al Kalbi berkata: setiap surah yang disebut di dalamnya had-had(hudud) dan kewajiban-kewajiban(faraidh) adalah Madaniyah.
- Surat yang terdapat keterangan tentang Jihad.
- Setiap surah yang mengandung penuturan orang munafik, kecuali surah Al Ankabut. Sebelas ayat yang pertama dari surah Al Ankabut merupakan surah Makkiyah, tetapi setelah itu ayat Madaniyah. Makki bin Abu Thalib Al-Qaisi berkata: setiap surah yang di dalamnya disebut(mengenai) orang-orang munafik adalah Madaniyah. Yang lain menambahkan, kecuali pada surah Al-Ankabut.
- Setiap surah yang terdapat lafadz Yaa Ayyuhalladziina Amanu.
Perbedaan makkiyah dan madaniyah
Dari ketiga definisi yang telah
dibahas, nampaklah bahwa ada tiga konteks dalam melihat makkiyah dan madaniyah.
Yaitu pertama, konteks tempat. Kedua, konteks khitab. Dan ketiga, konteks
waktu. Bila diteliti lebih mendalam, akan terlihat kekhususan masing-masing
konteks dan kelebi
hannya. Dan atas dasar itulah kemudian para ulama melakukan tarjih,
definisi yang mana yang lebih tepat untuk dijadikan pijakan dalam pembahasan
makkiyah dan madaniyah. Sebab tidak mustahil kesalahan dalam memilih definisi
akan menyebabkan munculnya berbagai benturan dan kesulitan dalam aplikasi.
Karena itu akan kita bahas sekilas ketiga konteks tersebut.
1. makkiyah
dan madaniyah dalam konteks tempat (tempat turunnya wahyu).
Konteks ini menggolongkan setiap surat dan ayat yang turun di Makkah dan sekitarnya sebagai makkiyah. Sekalipun ia turun setelah hijrahnya Rasulullah. Begitu pula dengan halnya yang turun di Madinah dan sekitarnya tergolong madaniyah. Lalu bagaimana dengan ayat atau surat yang turun diluar kedua daerah tersebut ?
Disini para ulama yang mendukung pendapat ini mengalami kesulitan, mereka melihat tidak semua unit wahyu turun di Makkah dan Madinah saja, melainkan ada yang turun diwilayah sekitar kota tersebut tapi tidak termasuk dalam bagian kota. Imam Al Suyuthi sendiri telah memasukkan wilayah sekitar Makkah seperti Mina, Arafat, Hudaybiah sebagai Makkah. Dan memasukkan wilayah sekitar Madinah seperti Badar, Uhud dan Sala sebagai wilayah Madinah. Hal ini tentunya mengundang perdebatan. Akan tetapi ada yang memunculkan istilah baru dengan sebutan " ma laysa bi makkiy wala madaniy" untuk memasukan ayat yang turun diluar kedua kota tersebut seperti Tabuk dan Bait al Maqdis. Konteks ini memang sulit diterima, dan dari sini tampaklah kelemahan pengertian makkiyah dan madaniyah yang hanya terpaku pada konteks tempat.
Konteks ini menggolongkan setiap surat dan ayat yang turun di Makkah dan sekitarnya sebagai makkiyah. Sekalipun ia turun setelah hijrahnya Rasulullah. Begitu pula dengan halnya yang turun di Madinah dan sekitarnya tergolong madaniyah. Lalu bagaimana dengan ayat atau surat yang turun diluar kedua daerah tersebut ?
Disini para ulama yang mendukung pendapat ini mengalami kesulitan, mereka melihat tidak semua unit wahyu turun di Makkah dan Madinah saja, melainkan ada yang turun diwilayah sekitar kota tersebut tapi tidak termasuk dalam bagian kota. Imam Al Suyuthi sendiri telah memasukkan wilayah sekitar Makkah seperti Mina, Arafat, Hudaybiah sebagai Makkah. Dan memasukkan wilayah sekitar Madinah seperti Badar, Uhud dan Sala sebagai wilayah Madinah. Hal ini tentunya mengundang perdebatan. Akan tetapi ada yang memunculkan istilah baru dengan sebutan " ma laysa bi makkiy wala madaniy" untuk memasukan ayat yang turun diluar kedua kota tersebut seperti Tabuk dan Bait al Maqdis. Konteks ini memang sulit diterima, dan dari sini tampaklah kelemahan pengertian makkiyah dan madaniyah yang hanya terpaku pada konteks tempat.
2. makkiyah
dan madaniyah dalam konteks khitab (kepada siapa ayat ditujukan).
Dalam konteks ini setiap unit wahyu yang didalamnya terkandung khitab bagi penduduk Makkah yang notabene masih banyak yang belum beriman dengan ciri khas diawali "ya ayyuha annas" dan "ya bani adam" maka termasuk makkiyah. Sedangkan yang khitabnya ditujukan kepada penduduk Madinah, yang notabene rata-rata telah beriman hingga diawali dengan seruan "ya ayyuha al ladzina amanu" maka ayat-ayat itu dikategorikan sebagai madaniyah. Lalu bagaimana dengan wahyu yang tidak berbentuk khitab kepada mereka, melainkan khitab kepada Nabi, "ya ayyuha an nabiy"? Disinilah para ulama banyak yang menolak konteks ini. Imam Ibnu Uthiyah mengatakan, "untuk ungkapan yang dimulaii dengan "ya ayyuha al ladzina amanu" itu bisa diterima tapi yang dimul ai dengan ”ya ayyuha an nas" tidak bisa diterima karena ungkapan ini juga terdapat dalam surat madaniyah". Penolakan yang cukup kuat dilakukan pula oleh Ibn Al Hasshar, dengan mengatakan : "Telah sepakat ulama bahwa surah An Nisa' Madaniyyah, tapi ia dimulai dengan ungkapan "ya ayyuha an nas", begitu juga surat Al Hajj disepakati sebagai Makkiyah, sementara didalamnya terdapat " ya ayyuha al ladzina amanu" Melihat kenyataan ini Imam Al Makkiy segera melakukan justifikasi, bahwa ciri khitab itu bukanlah suatu hal yang paten dan berlaku untuk semua kelompok makkiyah atau madaniyah, melainkan mayoritas dari masing-masing surah kedua kelompok tersebut bercirikan ungkapan itu". Akan tetapi justifikasi tersebut tetap tidak bisa menutupi kekurangan yang terkandung dalam konteks khitab tersebut. Karena yang terpenting bagi sebuah kaidah bukanlah mencari-cari alasan untuk menjustifikasi suatu kesalahan, melainkan adanya fleksibilitas dan cakupannya terhadap semua unsur yang harus diikutkan didalamnya, dalam istilah ushul disebut mani' wa jami'.
Dalam konteks ini setiap unit wahyu yang didalamnya terkandung khitab bagi penduduk Makkah yang notabene masih banyak yang belum beriman dengan ciri khas diawali "ya ayyuha annas" dan "ya bani adam" maka termasuk makkiyah. Sedangkan yang khitabnya ditujukan kepada penduduk Madinah, yang notabene rata-rata telah beriman hingga diawali dengan seruan "ya ayyuha al ladzina amanu" maka ayat-ayat itu dikategorikan sebagai madaniyah. Lalu bagaimana dengan wahyu yang tidak berbentuk khitab kepada mereka, melainkan khitab kepada Nabi, "ya ayyuha an nabiy"? Disinilah para ulama banyak yang menolak konteks ini. Imam Ibnu Uthiyah mengatakan, "untuk ungkapan yang dimulaii dengan "ya ayyuha al ladzina amanu" itu bisa diterima tapi yang dimul ai dengan ”ya ayyuha an nas" tidak bisa diterima karena ungkapan ini juga terdapat dalam surat madaniyah". Penolakan yang cukup kuat dilakukan pula oleh Ibn Al Hasshar, dengan mengatakan : "Telah sepakat ulama bahwa surah An Nisa' Madaniyyah, tapi ia dimulai dengan ungkapan "ya ayyuha an nas", begitu juga surat Al Hajj disepakati sebagai Makkiyah, sementara didalamnya terdapat " ya ayyuha al ladzina amanu" Melihat kenyataan ini Imam Al Makkiy segera melakukan justifikasi, bahwa ciri khitab itu bukanlah suatu hal yang paten dan berlaku untuk semua kelompok makkiyah atau madaniyah, melainkan mayoritas dari masing-masing surah kedua kelompok tersebut bercirikan ungkapan itu". Akan tetapi justifikasi tersebut tetap tidak bisa menutupi kekurangan yang terkandung dalam konteks khitab tersebut. Karena yang terpenting bagi sebuah kaidah bukanlah mencari-cari alasan untuk menjustifikasi suatu kesalahan, melainkan adanya fleksibilitas dan cakupannya terhadap semua unsur yang harus diikutkan didalamnya, dalam istilah ushul disebut mani' wa jami'.
3. makkiyah
dan madaniyah dalam konteks waktu (periode hijrah ke Madinah).
Konteks ini merupakan pembebasan makkiyah dan madaniyah dari konotasi tempat dan khitab. Dalam konteks ini makkiyah dan madaniyah menjadi lebih fleksibel dan mencakup semua unit wahyu yang diturunkan, sebab titik pemisah keduanya adalah hijrahnya Rasulullah SAW. Karena itu semua ayat yang turun sebelum hijrah, dimanapun turunnya dan kepada siapapun khitabnya termasuk bagian dari makkiyah. Begitu pula wahyu yang turun setelah hijrah adalah madaniyah, meskipun turun ditempat selain Madinah. Syeikh Az Zurqani mengatakan bahwa jika makkiyah dan madaniyah dibawa dalam konteks waktu maka ia akan lebih tepat. Sebab dengan ini tidak ada lagi kebingungan dalam pengelompokan unit-unit wahyu yang diturunkan diberbagai tempat dan berbagai situasi. Sehingga para ulama pun banyak yang mendukung konteks ini. BERSAMBUNG...
Konteks ini merupakan pembebasan makkiyah dan madaniyah dari konotasi tempat dan khitab. Dalam konteks ini makkiyah dan madaniyah menjadi lebih fleksibel dan mencakup semua unit wahyu yang diturunkan, sebab titik pemisah keduanya adalah hijrahnya Rasulullah SAW. Karena itu semua ayat yang turun sebelum hijrah, dimanapun turunnya dan kepada siapapun khitabnya termasuk bagian dari makkiyah. Begitu pula wahyu yang turun setelah hijrah adalah madaniyah, meskipun turun ditempat selain Madinah. Syeikh Az Zurqani mengatakan bahwa jika makkiyah dan madaniyah dibawa dalam konteks waktu maka ia akan lebih tepat. Sebab dengan ini tidak ada lagi kebingungan dalam pengelompokan unit-unit wahyu yang diturunkan diberbagai tempat dan berbagai situasi. Sehingga para ulama pun banyak yang mendukung konteks ini. BERSAMBUNG...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar