Rabu, 05 Oktober 2016

MEBGENAL IBNU SINA


 75.Renungan Pagi !!!

*Keshalihan Ibnu Sina*

Bernama lengkap Abu Ali Husain bin Abdullah
bin Hasan bin Ali bin Sina . Lahir di Afsyahnah
(Uzbekistan) pada 980 M dan wafat 1037 M.
Menghapal Qur’an semenjak muda namun bersentuhan pula dengan pemikiran Aristoteles dan Al Farabi.
Mengarang berjilid-jilid buku yang kebanyakan
bertemakan kedokteran dan filsafat. Menguasai hampir seluruh bidang pengetahuan sehingga dijuluki Syaikhur
Rais. Hingga seorang sejawahwan dari Belgia
menyatakan tentang pribadi Ibnu Sina,
Ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah
satu yang paling terkenal pada semua bidang,
tempat, dan waktu
[George Sarton]
*Diantara Pemikiran Ibnu Sina*
Secara ringkas, filsafat ibnu Sina terbagi
menjadi tiga bagian; filsafat jiwa, filsafat
wujud, dan filsafat wahyu dan Nabi. Seperti
halnya al-Farabi, ibnu Sina menyetujui adanya konsep Emanasi (al-faidh ), yang telah diperkenalkan oleh Aristoteles. Yaitu paham
pancaran, yang bersumber dari satu titik, yaitu Tuhan. Tuhan sebagai satu-satunyan yang berwujud memancarkan kepada
selainNya, sehingga selainNya menjadi
berwujud. Dalam arti bahwa, wujud Tuhan
melimpahkan wujud alam semesta.
Menurut ibnu Sina, tidak ada sifat banyak dari Tuhan. Tuhan tidak
berhubungan/langsung menangani alam yang
mempunyai banyak unsur ini. Tuhan terlalu
"rendah" jika harus pula mengurusi hal-hal
yang remeh, yang sebenarnya bisa ditangani
oleh pihak yang sebagai pancaranNya.
Karena jika hal itu terjadi, maka dalam
pemikiran Tuhan terdapat banyak pikiran.
Maka akan merusak Tauhid. Menurutnya,
Allah-lah dzat yang memberikan wujud kekal
pada segala yang ada. Tuhan berpikir tentang
diriNya, itulah ilmu Tuhan, yang berposisi sebagai hakikat ilmu, yang kemudian menciptakan akal pertama (malaikat
tertinggi). Kemudian akal pertama itulah
yang memunculkan akal kedua, hingga akal
ke sepuluh (jibril), yang mengatur bumi.
Ini artinya, setiap akal dapat menjadi
"hidup sendiri", terlepas dari Tuhan. Tuhan
hanya sebatas mengetahuinya. Maka
menurut ibnu Sina, akal pertama (dan seterusnya) mempunyai dua sifat; sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah (yang
juga berwujud wajib), dan sifat mungkin
wujudnya, jika ditinjau dari hakikat dirinya
(karena dirinya bukan Tuhan).
Agamawan pun mengakui tidak ada perubahan pada diri Zat yang Maha Suci.
Oleh sebab itu, tidak dapat tidak, alias sebuah keharusan, alam itu tidak bermula di dalam waktu. Alam ada sejak Allah Swt
ada. Namun, para filosof seperti Ibn Sina
mengingatkan, tetap ada perbedaan yang
jelas antara eksistensi Allah Swt dan
eksistensi alam. Allah Swt “lebih dulu”
ada dibanding alam. Namun, makna
“lebih dulu” bukan dalam katagori waktu.
Melainkan dalam katagori esensi ( bi al- dhaat), seperti sebab “lebih dulu” dari akibat, ataupun angka satu “lebih dulu”
dari angka dua, atau seperti matahari
“lebih dulu” dari sinarnya. Tentu, perumpamaan ini tidak dapat diaplikasikan sepenuhnya kepada Zat
yang Maha Suci karena Dia berbeda dengan makhluk-Nya. Namun, seperti
itulah kira-kira makna “lebih dulu”, demikian menurut Ibn Sina.
*Perbedaan Mendatangkan Rahmat*
Di dunia Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat
Islam dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah, berbarengan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Dalam suatu periode, timbul beberapa
pemikiran penting oleh tokoh-tokoh filsafat
islam, diantaranya yaitu Ibnu Sina, Al Ghazali dan Ibnu Rusyd.
Ibnu Sina dalam sejarah pemikiran filsafat abad
pertengahan, sosok Ibnu Sina (370/980
– 428/1037), dalam banyak hal unik sedang diantara para filosof muslim ia
tidak hanya unik tapi juga memperoleh
penghargaan yang semakin tinggi hingga
masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil
membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci – suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim
selama beberapa abad.
Tentu perdebatan Ibn Sînâ dan al-Ghazâlî ini
mirip dengan perdebatan Einstein dan Hawking,
walaupun dalam kondisi yang terbalik. Ibn Sînâ
meyakini kekalnya alam ini dan al-Ghazâlî
kemudian hadir dan membantahnya dengan
keyakinan kebaruan alam semesta. Begitu juga
dengan Einstein yang mengakui alam ini
memiliki permulaan dengan teori dentuman
besarnya (big bang) dan kemudian hadir
Hawking yang menyatakan teori bahwa alam ini
tidak memiliki awal dan akhir.
Namun, hal menarik yang perlu dicermati
adalah, perbedaan kesimpulan akhir dari kedua perdebatan lintas generasi tersebut.
Kesimpulan Hawking akhirnya menegasikan eksistensi Tuhan.
*Sedangkan pedebatan antara Ibn Sînâ*
dan al-Ghazâlî sama-sama diperuntukkan untuk
mengagungkan Tuhan.
*Kekalkah Alam Semesta ?*
Lalu apakah dengan kekalnya alam berarti kita
menyamakan alam semesta dengan Tuhan?
Disinilah letak solusi cerdik Ibn Sînâ. Ia membagi
konsep kekal (qadim) menjadi dua, yaitu kekal
dari segi masa atau waktu dan kekal dari segi
dzat. Kekal dari segi masa bermakna sesuatu
yang tidak memiliki permualaan waktu.
Sedangkan kekal dari segi dzat adalah sesuatu
yang tidak tergantung kepada yang lain. Jadi
alam semesta ini bersifat kekal dari segi waktu,
sedangkan Tuhan kekal dari segi dzatnya. Hal
ini juga diperkuat dengan pembagian Ibn Sînâ
tentang wajib al-wujd menjadi dua, yaitu wajib
al-wujd bi dzatihi dan wajib al-wujd li ghairihi.
Wajib al-wujd bi dzatihi bermakna wujud yang
wajib adanya dikarenakan oleh dzatnya sendiri,
yaitu Tuhan.
Sedangkankan wajib al-wujd li ghairihi adalah wujud yang wajib ada karena bersandar pada sesuatu yang lain, inilah alam semesta. Maka kekalnya alam semesta ini tetap bersandar pada kekalnya dzat Tuhan.

*Keislaman Ibnu Sina Dalam Rahasia Allah swt*
*Para Failasuf Muslim*
*1. Ibnu Sina*
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad
pertengahan, sosok Ibnu Sina (370/980
– 428/1037), dalam banyak hal unik sedang diantara para filosof muslim ia
tidak hanya unik tapi juga memperoleh
penghargaan yang semakin tinggi hingga
masa modern. Ia adalah satu-satunya
filosof besar Islam yang telah berhasil
membangun sistem filsafat yang lengkap
dan terperinci – suatu sistem yang telah
mendominasi tradisi filsafat muslim selama beberapa abad.
*2. Al-Ghazali*
Pemikiran al-Ghazali mengenai
pendidikan adalah proses memanusiakan
manusia sejak kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu
pengetahuan yang disampaikan dalam
bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran tersebut
menjadi tanggung jawab orang tua dan
masyarakat menuju pendekatan diri
kepada Allah, sehingga menjadi manusia
yang sempurna.
*3. Ibnu Rusyd*
Usaha pendamaian agama dan filsafat
yang dilakukan Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof
Muslim seperti al_kindi, al-Farabi dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat,
perpaduan utuh kebenaran agama dan filsafat dengan argumentasi yang kokoh
dan sepenuhnya berangkat dari ajaran agama Islam. Dengan keunggulan itu,
Ibnu Rusyd mampu mematahkan
“serangan” Al-Ghazali dengan cara yang
lebih tajam dan jelas.
*Pandangan Al Ghazali*
Adakah Imam Al-Ghazali mengkufurkan keseluruhan
pegangan kaum Ilahiyyun? Tentunya tidak. Beliau
hanya menolak perkara-perkara yang salah dan yang melemahkan sahaja. Terdapat 20 perkara asas dalam pegangan kaum ini yang ditolak oleh Imam Al-Ghazali.
Pembahagiannya adalah seperti berikut :
1. 3 perkara yang wajib dikufurkan.
2. 17 perkara yang dibid’ahkan.
Pertama – Tentang alam akhirat. Golongan ini percaya yang jasad tidak akan dihimpun semula dengan ruh selepas kematian. Kenikmatan syurga dan keazaban
neraka itu juga bersifat rohani, bukan jasmani.
Sedangkan menurut ajaran agama Islam, jasad kita
akan berhimpun semula dengan ruh di akhirat nanti,
dan syurga neraka itu dialami oleh rohani dan jasmani.
Kedua – Tuhan hanya mengetahui perkara-perkara yang bersifat umum, dan tidak mengetahui perkara-
perkara yang kecil-kecil. Hal ini juga berbeza dengan pegangan umat Islam iaitu Tuhan Maha Mengetahui
segala perkara.
“Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sekalipun sebesar zarah, baik yang di langit mahupun yang di
bumi, yang lebih kecil daripada itu ataupun yang
lebih besar.” (Saba’ : 3)
Ketiga – Mereka percaya alam ini qadim. Maksudnya
alam ini sudah sedia ada sebagaimana Tuhan yang
sudah sedia ada sejak azali. Unsur-unsur awal yang menjadikan alam ini sudah sedia ada bersama-sama Tuhan. Tuhan bukanlah Pencipta segala sesuatu kerana ada benda yang tidak diciptakan oleh Tuhan tetapi benda itu sudah sedia wujud.
Keyakinan umat Islam tentunya berbeza. Kita percaya alam ini baharu. Pada asalnya ia tidak ada, yang ada hanyalah Tuhan. Selepas Tuhan menciptakan alam ini,
barulah alam ini wujud. Alam tidak qadim. Yang qadim hanyalah Allah. Tuhan menciptakan segala sesuatu termasuklah alam ini. “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan haq .” (Al-An’am : 73)
“Dialah yang awal, dan yang akhir, yang zahir, yang batin .” (Al-Hadid : 3)
Inilah tiga perkara yang dikufurkan oleh Imam Al-
Ghazali. Adakah dengan menolak 3 perkara di atas,
menjadikan seseorang itu bukan Islam? ...
*Pendapat Keislaman Mereka*
Ibnu Sina dan Al-Farabi masih dalam kalangan orang- orang Islam. Antara hujah-hujahnya :
Pertama – Sefaham kita mereka mengakui dan
meyakini Dua Kalimah Syahadah sehinggalah ke hari mati mereka. WaAllahua’lam.
Kedua – Kita digalakkan berpegang dengan saranan
mendahulukan sangka baik berbanding sangka buruk
selagi ada ruang yang sesuai untuk bersangka baik.
Ketiga – Standard penggredan Imam Al-Ghazali biasanya lebih tinggi daripada standard penggredan
professor-profesor lain. Contohnya, jika gred A
memerlukan markah 80% pada pandangan ulama lain, gred A pada Imam Al-Ghazali mungkin 85%. Jadi
“kufur” pada Imam Al-Ghazali tidak semestinya
membawa maksud seseorang itu telah terkeluar daripada agama Islam.
Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, Imam Al-Ghazali mengatakan ilmu-ilmu jalan ke akhirat itu ialah ilmu mukasyafah dan ilmu mu’ammalah. Jika kita belajar ilmu hadith dan ilmu fiqh sekalipun, masih belum dikira sebagai ilmu-ilmu jalan ke akhirat walaupun kedua-
duanya bersangkutan dengan akhirat juga. Hal ini
menunjukkan standard penggredan Imam Al-Ghazali yang tinggi.
Keempat – Ibnu Sina dan Al-Farabi kekal beribadah,
iaitu mengerjakan syariat Nabi Muhammad saw
sehinggalah ke akhir hayat mereka. Kegemaran Ibnu
Sina meminum arak untuk dapatkan “feel” dan berubat tidaklah menjadikan dia seorang bukan Islam.
*Allah swt Maha Tahu siapa yang beriman dan siapa yang kufur*
Semoga berguna... Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman