Selasa, 26 Februari 2013

TA'ATILAH Ulil Amri ?



Makna Ulil Amri dalam Kitab Tafsir

 Kata Ulil Amri merupakan kata yang akrab ditelinga kita. Seringkali dalam perbincangan sehari-hari kita menggunakan istilah ini. Istilah Ulil Amri sebenarnya dirujuk dari Al-Quran Surat An-Nisa: 59 : "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu...".
Akan tetapi apa sebenarnya makna ulil amri yang dimaksud dalam ayat tersebut? Tulisan berikut ini mencoba merujuk kepada sejumlah kitab tafsir untuk menjawab akan makna Ulil Amri di dalam ayat 59 surat an-Nisa.

Tafsir Makna Ulil Amri

ULAMA' DAN UMARA'
Tafsir at-Thabari, sebuah kitab tafsir klasik yang ditulis oleh ulama besar Abu Jafar Muhammad bin Jarir at-Thabari dan banyak dirujuk oleh para mufassir berikutnya, menyebutkan bahwa para ahli ta'wil berbeda pandangan mengenai arti ulil amri. Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah umara. Berkata sebagian ulama lain, masih dalam kitab tafsir yang sama, bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqh). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah-lah yang dimaksud dengan ulil amri. Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar. (Lihat lebih jauh dalam Tafsir at-Thabari, juz 5, h. 147-149)
Imam al-Mawardi dalam kitab tafsirnya menyebutkan ada empat pendapat dalam mengartikan kalimat "ulul amri" pada QS An-Nisa:59. Pertama, ulil amri bermakna umara (para pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah keduniaan). Ini merupakan pendapat Ibn Abbas, as-Sady, dan Abu Hurairah serta Ibn Zaid. Imam al-Mawardi memberi catatan bahwa walaupun mereka mengartikannya dengan umara namun mereka berbeda pendapat dalam sabab nuzul turunnya ayat ini. Ibn Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Huzafah bin Qays as-Samhi ketika Rasul mengangkatnya menjadi pemimpin dalam sariyah (perang yang tidak diikuti oleh Rasulullah saw.). Sedangkan As-Sady berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amr bin Yasir dan Khalid bin Walid ketika keduanya diangkat oleh Rasul sebagai pemimpin dalam sariyah.
Kedua, ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut pendapat Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah. Ketiga, Pendapat dari Mujahid yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. Pendapat keempat, yang berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna ulil amri hanya kepada dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar. (Tafsir al-Mawardi, jilid 1, h. 499-500)
Ahmad Mustafa al-Maraghi menyebutkan bahwa ulil amri itu adalah umara, ahli hikmah, ulama, pemimpin pasukan dan seluruh pemimpin lainnya dan zuama yang manusia merujuk kepada mereka dalam hal kebutuhan dan kemaslahatan umum. Dalam halaman selanjutnya al-Maraghi juga menyebutkan contoh yang dimaksud dengan ulil amri ialah ahlul halli wal aqdi (legislatif ?) yang dipercaya oleh umat, seperti ulama, pemimpin militer dan pemimpin dalam kemaslahatan umum seperti pedagang, petani, buruh, wartawan dan sebagainya. (Tafsir al-Maraghi, juz 5, h. 72-73)
Imam Fakhur Razi mencatat ada empat pendapat tentang makna ulil amri. Pertama, makna ulil amri itu adalah khulafa ar-rasyidin. Kedua, pendapat lain mengatakan bahwa ulil amri bermakna pemimpin perang (sariyah). Ketiga, Ulil amri itu adalah ulama yang memberikan fatwa dalam hukum syara dan mengajarkan manusia tentang agama (islam). Keempat, dinukil dari kelompok rawafidh bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah imam-imam yang mashum. (Tafsir al-fakhr ar-Razi, juz 10, h. 144)
Senada dengan sejumlah kitab tafsir di atas, al-Alusi, pengarang tafsir Ruh al-Maani, mendata adanya beberapa pandangan tentang makna ulil amri. Ada yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah pemimpin kaum muslimin (umara al-muslimin) pada masa Rasul dan sesudahnya. Mereka itu adalah para khalifah, sultan, qadhi (hakim) dan yang lainnya. Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah pemimpin sariyah. Juga ada yang berpendapat bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi (cendekiawan?). (Tafsir Ruh al-Maani, juz 5, h 65)
Ibn Katsir, setelah mengutip sejumlah hadis mengenai makna ulil amri, menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah, menurut zhahirnya, ulama. Sedangkan secara umum ulil amri itu adalah umara dan ulama" (Tafsir al-Quran al-Azhim, juz 1, h. 518)
Dr. Wahbah az-Zuhaili, ulama masa kini yang semasa dengan Dr. Yusuf Qardhawi, dalam kitab tafsirnya, at-Tafsir al-Munir, menyebutkan bahwa sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa makna ulil amri itu adalah ahli hikmah atau pemimpin perang. Sebagian lagi berpendapat bahwa ulil amri itu adalah ulama yang menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum syara'. Sedangkan syiah, masih menurut Wahbah Az-Zuhaili, berpendapat bahwa ulil amri itu adalah imam-imam yang mashum. (at-Tafsir al-Munir, juz 5, h. 126). Dalam kitab ahkam al-Quran, Ibn al-arabi berkata: "yang benar dalam pandangan saya adalah ulil amri itu umara dan ulama semuanya". (Ahkam al-Quran, juz 1, h. 452)

Refleksi

Dari sejumlah kitab tafsir yang dikutip di atas dapat diberikan catatan singkat sebagai berikut: Para ulama berbeda pendapat mengenai makna ulil amri. Ada yang mencoba meluaskan makna ulil amri dengan semua ulama dan umara. Ada pula yang mencoba menyempitkannya dengan khusus pada Abu Bakar dan Umar semata. Ada yang hanya melihat pada ulama saja (ahlul ilm) dan ada yang hanya berpegang pada arti pemimpin perang.
Sejumlah kitab tafsir, khususnya kitab tafsir klasik semisal Tafsir at-Thabari dan Ruh al-Maani, hanya menyebutkan contoh ulil amri itu pada jabatan atau profesi yang dipandang krusial pada masanya. Sedangkan Tafsir al-Maraghi, yang merupakan kitab tafsir yang ditulis pada abad 20 ini, menyebutkan contoh-contoh ulil amri itu tidak hanya berkisar pada ahlul halli wal aqdi, ulama, pemimpin perang saja; tetapi juga memasukkan profesi wartawan, buruh, pedagang, petani ke dalam contoh ulil amri.
Sebagai catatan akhir, kita memang diperintah oleh Allah untuk taat kepada ulil amri (apapun pendapat yang kita pilih tentang makna ulil amri). Namun perlu diperhatikan bahwa perintah taat kepada ulil amri tidak digandengkan dengan kata "taat"; sebagaimana kata "taat" yang digandengkan dengan Allah dan Rasul (periksa redaksi QS an-Nisa: 59). Quraish Shihab, yang disebut-sebut sebagai mufassir Indonesia, memberi ulasan yang menarik: "Tidak disebutkannya kata "taat" pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal kaidah yang sangat populer yaitu: "La thaat li makhluqin fi ma'shiyat al-Khaliq". Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah)."

Pendapat Para Mufassir
> - Berkata Atha': "taat kepada Rasul dengan mengikuti sunnahnya."
> - Berkata Ibnu Zaid: "(taat kepada Rasul) bila masih hidup."
> - Berkata Ibnu Jarir: "yang benar dari perkataan di atas adalah:
> ini merupakan perintah dari Allah untuk taat kepada apa yang
> diperintahkan dan dilarang oleh Rasul-Nya semasa beliau masih
> hidup. Adapun setelah beliau wafat, dengan mengikuti sunnahnya."
>
> "wa ulil amri minkum"
>
> - Berkata Abu Hurairah: "mereka adalah Umara'."
> - Berkata Maimun bin Mahran: "para panglima perang di zaman
Rasulullah."
> - Berkata Atha': "para fuqaha (ahli fikih) dan ulama."
> - Berkata Ikrimah: "Abu Bakar dan Umar." (At-Thabari 4/150-153)
> - Berkata Ad-Dhahhak: "mereka adalah para shahabat Rasulullah dan
mereka
>
> adalah perawi hadits dan para da'i." (Ad-Durrul Mantsur 2/575)
> - Berkata Abu Bakar Ibnul 'Arabi: "menurut saya, yang benar adalah
> mereka
> itu para Umara dan ulama." (Ahkamul Qur'an 1/452)
>
> "Fa-in tanaza'-tum fii syai-in farudduuhu ilallohi wa rosuuli "
>
> - Berkata Mujahid: "Kitabullah dan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa
> sallam."
> - Berkata Maimun bin Mahran: "kembali kepada Allah adalah kembali
kepada
> kitab-
> Nya dan kembali kepada rasul-Nya semasa beliau hidup, dan ketika Allah
>
> mewafatkannya maka kembali kepada sunnahnya." (At-Thabari 4/154)
>
> "Dzalika Khoiru wa akhsanu ta-wiila "
>
> - Berkata Qatadah: "lebih baik pahala dan akibatnya."
> - Berkata Mujahid: "lebih baik balasannya." (At-Thabari 4/155)
>
>
> Asbabul Nuzul
>
> Dari As-Suddi, dia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
> mengirim sepasukan sariyyah (pasukan yang tidak dipimpin oleh
Rasulullah) di
> bawah komando Khalid bin Al-Walid. Di antara mereka ada Ammar bin
Yasir.
> Mereka kemudian berangkat menuju suatu kaum yang diinginkan dan ketika
sudah
> dekat, mereka pun berhenti (untuk beristirahat). Setelah itu datang
kepada
> kaum tersebut Dzul Uyainatain (pengintai musuh) dan memberitahukan
tentang
> kedatangan pasukan Khalid. Mereka pun lari semua kecuali seorang
laki-laki.
> Ia menyuruh keluarganya untuk mengumpulkan barang-barangnya. Kemudian
dia
> berjalan di kegelapan malam hingga sampai di pasukan Khalid. Di sana
ia
> bertanya tentang Ammar bin Yasir. Setelah itu didatanginya (Ammar bin
Yasir)
> dan bertanya kepadanya: "Wahai Abu Yaqdzan, sesungguhnya aku telah
Islam dan
> telah bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah
dan
> Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Sesungguhnya kaumku telah
lari
> ketika mendengar
> kabar kedatangan kalian dan hanya aku yang tinggal. Apakah Islamku
> bermanfaat bagiku besok? Kalau tidak aku pun lari." Ammar berkata:
"Ya,
> keislamanmu akan bermanfaat bagimu, maka tetaplah kamu di tempat."
Maka
> laki-laki itu pun menetap. Ketika pagi datang, Khalid bin Walid
menyerbu
> mereka dan tidak menjumpai siapa-siapa selain laki-laki tadi. Maka dia
> ditangkap dan diambil hartanya, khabar (penangkapan) tersebut akhirnya
> sampai kepada Ammar. Ia segera datang kepada Khalid seraya berkata:
> "Lepaskan laki-laki ini karena sesungguhnya dia telah Islam dan dia
dalam
> jaminan keamanan dariku." Berkata Khalid: "Kenapa kamu lindungi dia?"
Maka
> keduanya saling menyalahkan dan mengadukannya kepada Rasulullah
shallallahu
> 'alaihi wa sallam. Rasulullah membolehkan jaminan keamanan dari Ammar
tetapi
> melarang Ammar untuk melanggar hak-hak Amir lagi untuk kedua kalinya.
Maka
> Allah menurunkan ayat yang artinya:
> "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri di antara
> kalian." (At-Thabari 4/151)
>
> Tafsir
>
> Al-Qurthubi berkata: "Di dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk taat
> kepada-Nya, kemudian kepada Rasul-Nya, kemudian kepada para Umara,
menurut
> perkataan jumhur, Abu Hurairah, ibnu Abbas, dll."
> Ibnu Khuwaidzi Mandad berkata: "Adapun taat kepada sultan maka wajib
dalam
> rangka taat kepada Allah dan tidak wajib dalam perkara maksiat kepada
> Allah..." (Al-Jami' lil Ahkamil Qur`an 5/167, 168)
> Syaikh Abdur Rahman As-Sa'di berkata: "(Dalam ayat ini) Allah
memerintahkan
> (kaum mukminin) untuk taat kepada-Nya dan taat kepada Rasul-Nya yaitu
dengan
> mengerjakan perintah keduanya baik yang wajib maupun yang sunnah
dengan
> menjauhi larangan keduanya. Dan Allah juga memerintahkan (kepada kaum
> mukminin) untuk taat kepada Ulil Amri, yaitu orang yang mengurusi
> kepentingan umat, baik itu Umara, pemerintah maupun mufti-mufti karena
> sesungguhnya tidak akan konsisten urusan Dien dan dunia kecuali dengan
taat
> kepada mereka dan tunduk kepada perintah-perintah mereka dalam rangka
taat
> kepada Allah dan mengharap pahala yang ada di sisi-Nya. Akan tetapi
dengan
> syarat mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Apabila mereka
> memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak ada taat kepada makhluk
dalam
> bermaksiat kepada Allah. Barangkali inilah rahasia dibuangnya fi'il
athi'u
> (taatilah) dalam perintah taat kepada Ulil Amri. Di samping itu
> disebutkannya perintah taat kepada mereka itu
> menyertai taat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena
> Rasul tidak pernah memerintahkan selain kepada Allah sehingga
barangsiapa
> yang taat kepadanya (Rasulullah) maka dia telah taat kepada Allah.
Adapun
> syarat taat kepada Ulil Amri adalah jika tidak ada unsur-unsur maksiat
> kepada Allah.
> Di samping itu Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala
permasalahan
> yang diperselisihkan oleh umat manusia kepada Allah dan Rasul-Nya,
yakni
> taat kepada Kitab (Al-Qur`an) dan As-Sunnah. Ini karena Al-Qur`an dan
> As-Sunnah adalah hakim yang menyelesaikan segala permasalahan
khilafiyyah
> (permasalahan yang diperselisihkan) baik itu dari nash yang sharih
(jelas),
> nash umum, syarat, peringatan, maupun pemahaman ayat. Agama ini
dibangun di
> atas pondasi Al-Qur`an dan As-Sunnah sehingga tidak akan istiqamah
> (komitmen) iman seseorang kecuali dengan berpegangan kepada Al-Qur`an
dan
> As-Sunnah. Oleh karena itulah kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah
> merupakan syarat keimanan. Allah berfirman (yang artinya): "Jika kamu
> benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir..." (An-Nisa: 59)
> Maka ayat ini menunjukkan bahwasanya orang-orang yang tidak
mengembalikan
> masalah khilafiyyah kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah, dia bukanlah
seorang
> mukmin yang hakiki, bahkan dia adalah seorang yang beriman kepada
thaghut
> (sebagaimana yang akan disebutkan dalam ayat sesudahnya 4:60).
> Kembali kepada Allah dan Rasul-Nya itu lebih baik balasannya dan lebih
baik
> akibatnya, karena hukum Allah dan Rasul-Nya adalah sebaik-baik hukum
dan
> merupakan hukum yang membawa maslahah (kebaikan) bagi umat manusia
baik itu
> dalam urusan Dien (agama) maupun urusan dunia. (Taisirul Karimir
Rahman fi
> Tafsiri Kalamil Mannan 2/89-90)
> Menyoroti ayat ini, Ibnul Qayyim berkata dalam I'lamul Muwaqqi'in
1/38:
> "(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan (kaum muslimin) untuk taat
kepada-Nya
> dan kepada Rasul-Nya, dan Allah mengulangi fi'il (ati'uu) (=taatilah)
> sebagai i'lam (pemberitahuan) bahwa taat kepada rasul itu harus
disendirikan
> dengan tanpa dicocokkan terlebih dahulu kepada apa yang Allah
perintahkan
> dalam Al-Qur`an. Jadi, kalau Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
> memerintahkan sesuatu maka wajib ditaati secara mutlak, baik perintah
itu
> ada dalam Al-Qur`an maupun tidak, karena Rasulullah shallallahu
'alaihi wa
> sallam diberi Al-Qur`an dan juga semisalnya (As-Sunnah).
> Dalam ayat ini juga, Allah tidak memerintahkan untuk menyendirikan
taat
> kepada Ulil Amri. Bahkan Allah membuang fi'il (ati'uu) dan
menjadikannya di
> dalam kandungan taat kepada Rasul, sebagai pemberitahuan bahwa mereka
(Ulil
> Amri) itu ditaati dalam rangka taat kepada Rasul." (lihat Hujiyyatu
> Ahaditsil Ahad fil Ahkami Al-Aqaid hal. 11-12)
>
> Dalam Tulisan Ustad Arifin Badri:
>
> ...pada ayat ini Alloh memerintahkan kita semua untuk taat kepada
Alloh,
> yaitu dengan mengikuti kitab-Nya, dan menaati Rasulullah shalallahu
'alaihi
> wa sallam dengan mengikuti sunnahnya, serta menaati para pemimpin
(ulul
> 'amri) di antara kita, baik ulul 'amri dari kalangan ulama atau umara
> (penguasa). Ini adalah kewajiban kita semua untuk senantiasa taat
kepada
> Alloh, Rosululloh dan para pemimpin di antara kita. Akan tetapi walau
> demikian, pada ayat ini Alloh ta'ala mengulang perintah untuk taat,
yaitu
> kata "taatilah" sebanyak dua kali, yaitu taat kepada Alloh dan taat
kepada
> Rosululloh sholallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi ketika
menyebutkan ulul
> 'amri, Alloh tidak mengulang kata taatilah . Hal ini mengisyaratkan
kepada
> kita bahwa kewajiban taat kepada Alloh dan Rasul-Nya bersifat mutlak
karena
> sebagai konsekuensi pengakuan dan keimanan kita kepada Alloh dan
Rasul-Nya
> adalah senantiasa taat dan untuk tidak beramal selain dengan
> syariat yang Alloh dan Rasul-Nya ajarkan. Sedangkan ketaatan kepada
ulul
> 'amri tidak bersifat mutlak, akan tetapi ketaatan kepada mereka hanya
wajib
> atas kita sebatas dalam hal yang ma'ruf atau selama tidak melanggar
dengan
> kewajiban ta'at kepada Alloh dan Rasul-Nya.
>
> Pemahaman semacam ini dengan tegas telah disabdakan oleh Rasulullah
> shalallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
>
> "Dari sahabat Ibnu Umar rodhiallohu 'anhu dari Nabi shalallahu 'alaihi
wa
> sallam, "Wajib atas setiap orang muslim untuk mendengar dan menaati,
baik
> dalam hal yang ia suka atau yang ia benci, kecuali kalau ia
diperintahkan
> dengan kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan menaati". (HR
Bukhori dan
> Muslim)
>
> Hal ini atau prinsip ini bukan hanya berlaku dalam hubungan interaksi
> antara rakyat dan pemerintah dan ulama akan tetapi berlaku dalam
segala
> urusan, sampai-sampai dalam hubungan antara anak dan orang tuanya
prinsip
> ini tetap berlaku dan wajib diindahkan oleh setiap muslim.
Perhatikanlah
> firman Alloh berikut ini:
>
> "Dan jika keduanya (Ayah dan ibu) memaksamu untuk mempersekutukan
dengan
> Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu
> patuhi keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik...."
(QS
> Luqman: 15)
>
> Dan masih banyak lagi dalil serta keterangan ulama Ahlusunnah tentang
> prinsip ketaatan kepada sesama manusia, baik pemerintah, atau orang
tua,
> atau atasan dalam sebuah organisasi, atau perusahaan atau lainnya,
yang
> semuanya menguatkan apa yang saya utarakan ini, yaitu ketaatan kepada
sesama
> manusia hanya boleh dilakukan selama tidak melanggar syariat Alloh.
>
Jakarta 5-1-2011

1 komentar:

  1. Syaikh Abdullah Ibn Abdil Hamid al-Atsari rahimahullah menulis sebuah kitab yang berjudul “Al-Wajiz Fi Aqidati as-Salaf ash-Shalih Ahli Sunnah Wal Jama’ah”
    kitab ini telah dimuroja' ah oleh: Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Syaikh 'Abdul Muhsin bin Abdul' Aziz al-Askar, selain itu di beri muqaddimah ( Kata Sambutan) oleh Syaikh Abdullah bin 'Abdurrahman al-Jibrin, Syaikh Shalih bin 'Abdul' Aziz Alu Syaikh, Syaikh Nashir 'Abdul Karim al-' Aql, Syaikh Muhammad bin 'Abdurrahman al-Khumais, Syaikh Su' ud bin Ibrahim Asy-Syuraim serta Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.

    Dalam kitabnya beliau menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya Minhaj as-Sunnah (1/146),

    وأما من عطل منهم شرع الله ولم يحكم به و حكم بغيره، فهؤلاء خارجون عن طاعة المسلمين فلا طاعة لهم على الناس، لأنهم ضيعوا مقاصد الإمامة التى من أجلها نصبوا واستحقوا السمعة و الطاعة و عدم الخروج، و لأن الوالي ما استحق أن يكون كذالك إلا لقيامه بأمور المسلمين، و حراسة الدين و نشره، وتنفيذ الأحكام و تحصين الثغور، وجهاد من عاند الإسلام بعد الدعوة، و يوالي المسلمين و يعادي أعداء الدين، فإذا لم يحرس الدين أو لم يقم بأمور المسلمين، فقد زال عنه حق الإمامة و وجب على الأمة - متمثلة بأهل الحال و العقد الذين يرجع إليهم تقدير الأمر في ذالك - خلعه و نصب آخر ممن يقوم بتحقيق مقاصد الإمامة. فأهل السنة عندما لا يجوزون الخروج على الأئمة بمجرد الظلم و الفسق - لأن الفجور و الظلم لا يعني بتضييعهم للدين - فيقصدون الإمام الذي يحكم بشرع الله، لأن السلف الصالح لم يعرفوا إمارة لا تحافظ على الدين فهذه عندهم ليست إمارة، و إنما الإمارة هي ما أقامت الدين ثم بعد ذالك قد تكون إمارة برة أو إمارة فاجرة

    "Adapun para pemimpin yang meniadakan syari'at Allah dan tidak berhukum kepadanya serta berhukum kepada selainnya, maka mereka keluar dari hak (mendapatkan) ketaatan dari kaum muslimin.
    Tidak ada ketaatan kepada mereka dari rakyat karena mereka menyia-nyiakan fungsi imamah yang karenanya mereka dijadikan pemimpin dan berhak didengar, dipatuhi serta tidak diberontak.
    Karena pemimpin tidak berhak mendapatkan itu, kecuali karena ia menunaikan urusan-urusan kaum muslimin, menjaga agama dan menyebarkannya, menjalankan hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menentang islam setelah mereka didakwahi. Mencintai kaum muslimin dan memusuhi musuh-musuh agama.
    Apabila dia tidak menjaga agama atau tidak menunaikan urusan kaum muslimin, maka hilanglah hak imamah darinya dan wajib atas umat - yang diwakili oleh ahlul hal wal aqdi dimana mereka menjadi rujukan dalam menentukan masalah seperti ini - untuk memecatnya/menurunkannya dan menggantikannya dengan orang lain yang dapat merealisasikan fungsi imamah.
    Ketika Ahlus Sunnah tidak membolehkan memberontak dan melawan para pemimpin karena sekedar kezholiman dan kefasikan - karena kezholiman dan kefasikan tidak berarti mereka Menyia-nyiakan agama- maka yang mereka (Ahlus Sunnah) maksudkan dengan pemimpin disini adalah para imam/pemimpin yang berhukum dengan syari'at Allah, karena shalafus shalih tidak mengenal imarah/kepemimpinan (pemerintahan) yang tidak menjaga/menegakkan agama. Pemerintahan dengan model seperti ini (yang tidak menjaga agama dan menunaikan urusan kaum kaum muslimin) - menurut mereka (salafus shalih) - bukanlah imarah/pemerintahan. Imarah itu hanyalah yang menegakkan agama, dan ia bisa merupakan imarah yang baik ataupun imarah yang fajir." (Lihat Al-Wajiz Fi 'Aqidah As-Salaf Ash-Shalih oleh Syaekh ' Abdullah bin 'Abdul Hamid Al-Atsari, hal 133)
    http://kallolougii.blogspot.co.id/2018/03/makna-ulil-amri-syari.html

    BalasHapus

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman