Selasa, 26 Februari 2013

menegakkan KEADILAN



BERLAKU ADIL

90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Makna Adil
ALLAH MAHA ADIL
Al-Imam Ar-Raghib Al-Asfahami rahimahullah menerangkan makna adil dalam Mu'jam Mufradatil Alfadhil Qur'an halaman 336-337 sebagai berikut: “Adil itu ada dua pengertian, yaitu pengertian menurut kemutlakan fitrah manusia di mana akal manusia seluruhnya sepakat memandang kebaikannya. Yaitu seperti tidaklah dianggap sikap melanggar bila orang berbuat baik kepada siapa yang berbuat baik kepadanya dan menahan diri dari sikap bermusuhan terhadap orang yang tidak mengganggu kita. Yang demikian ini adalah pengertian adil yang tidak akan dihapus atau dirubah oleh pengertian lain sepanjang masa. Adapun pengertian adil dalam pandangan syari'ah, bisa dihapus dan diganti pengertian itu di sebagian waktu (oleh syari'ah itu sendiri), seperti hukum qishas, hukum pidana yang lainnya, hukum harta peninggalan orang yang murtad dari Islam. Karena adil dalam pengertian ini ialah balasan yang sebanding bagi setiap perbuatan. Bila perbuatannya baik, maka baiklah balasannya dan bila jelek, maka jelek pula balasannya.”
Tentu yang dimaksud oleh Al-Imam Ar-Raghib Al-Asfahami, bahwa adil dalam pengertian syari'ah itu bisa dirubah dan diganti oleh syari'ah itu sendiri di sebagian waktu ialah: Pengertian adil yang berlaku dalam hukum syari'ah di masa Nabi-Nabi terdahulu telah dirubah oleh syari'ah yang dibawa oleh Nabi Muhammmad shallallahu `alaihi wa alihi sallam.
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menerangkan: “Orang-orang bodoh tentang agama ini tidaklah termasuk orang-orang yang adil. Demikian pula ahlul bid'ah tidak termasuk padanya. Oleh karena itu yang dikatakan orang-orang adil adalah Ahlul Sunnah wal Jama'ah, yang mereka ini adalah para Ulama ilmu-ilmu syari'ah. Adapun para ilmuwan dalam disiplin ilmu yang lainnya, kalupun dikatakan sebagai ulama, tetapi itu hanyalah penampilannya saja dan tidak pada hakekatnya.” (Fathul Bari, jilid 13 hal. 316).
Jadi sikap adil itu hanyalah bisa terlaksana dengan bimbingan syari'ah Islamiyah. Adapun orang yang bodoh tentang ilmu syari'ah ini, dia lebih banyak dipengaruhi oleh hawa nafsunya sehingga akan sangat terhalang untuk berbuat adil karenanya. Ibnu Atsir rahimahullah dalam mendefinisikan makna adil, beliau menerangkan: “Adil itu ialah sikap yang tidak condong kepada hawa nafsu yang berakibat kepada kedhaliman dalam hukum.” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits, jilid 3 hal. 190).

Pengertian Adil
Pengertian adil adalah dimana semua orang mendapat hak menurut kewajibannya. Sebagian besar orang mendefenisikan kata ADIL adalah suatu sikap yang tidak memihak atau sama rata, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang, tidak ada pilih kasih dan masih banyak lagi persepsi yang lainnya.
Kata ”adil” adalah istilah “khas” yang terdapat dalam banyak sekali ayat al-Quran. Sebagai contoh dalam al-Quran disebutkan, (yang artinya): “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga yang dekat dan melarang dari yang keji, dan yang dibenci, dan aniaya. Allah mengingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS 16:90).

Prof. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang makna adil dalam ayat ini, yaitu “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri. “Maka selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat, pergaulan hidup manusia, maka selama itu pula pergaulan akan aman sentosa, timbul amanat dan percaya-mempercayai,” tulis Hamka.

Tidaklah mungkin Alloh SWT menyuruh hambanya tanpa batas kemampuan yang ada pada hambaNya itu. Bukan sulit untuk berbuat dan  berlaku adil, melainkan manusia itu sendiri yang tidak mau berlaku adil. Tidak sedikit hamba Allah yang dalam catatan sejarah-Nya sangat gemilang karena adilnya itu. Baik itu sebagai pemimpin dirumah seperti suami atau dimasyarakat. Contoh Nabi Muhammad SAW. Hanya saja hambanya sering salah menilai dalam masalah adil ini. Dan salah satunya adalah perasaan. Ketika seorang hakim menjatuhkan hukuman kepada seseorang, maka anggota keluarga korban sering ada lontaran "hakim tepat dan adil". Tapi bagi keluarga yang mendapat hukuman berkata "hakim ini tidak adil".  Adil tidak identik dengan sama rata. Alloh Maha Adil, tapi dalam al-Quran tentang warits, Alloh menentukanseperti  laki-laki 2 bagian dari wanita. Disinilah yang perlu kita fahami Maha Adilnya Alloh. Kalau adil diartikan sama bagaimana jadinya ketika suami mempunyai 2 istri. Yang satu anaknya 4, sedangkan yang satu lagi blm punya anak. Apakah mesti sama rata saat memberi nafkah? Oleh karena itu ada yang memberikan batasan bahwa adil itu "menempatkan sesuatu pada tempatnya". Sekalipun sepatu mahal tapi kita pakai dibawah (kaki) itu adil, karena topi murah kemudian kita pakai dikaki, itu berarti kita tidak adil.

Maka adil itu dalam konteks syari'ah Islamiyah ialah bila orang merujuk pada ketentuan syari'ah ini dalam memecahkan berbagai problem, kemudian menerima dengan lapang dada segala ketentuan syari'ah itu walaupun terasa berat di hati untuk menerimanya dan segera tunduk melaksanakan segala keputusan itu dengan sebenar-benar ketundukan.

“Maka demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim pemutus perkara dalam apa yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian meraka tidak mendapati di dalam diri mereka keraguan pada apa yang engkau putuskan dan mereka tunduk kepadanya dengan setunduk-tunduknya.” (An-Nisa': 65).

Hamba Ter[pilih

“Kemudian Kami wariskan Kitab ini kepada orang-orang yang Kami pilih dari hamba-hamba Kami, maka sebagian dari mereka berbuat dhalim terhadap diri mereka dan seabgian mereka sekedar mengerjakan yang wajib dari agama dan meninggalkan yang haram, dan sebagian dari mereka ada yang melebihi yang lainnya dalam kebaikan dengan ijin Allah. Yang demikian itu adalah keutamaan yang besar.” (Fathir: 32)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: “Allah Ta`ala mengatakan: Kemudian Kami jadikan orang-orang yang menegakkan tuntunan kitab yang agung (yakni Al-Qur'an) membenarkan juga kitab-kitab yang telah datang sebelumnya. Mereka ini adalah orang-orang yang Kami pilih dari hamba-hamba Kami dan mereka ini adalah umat ini (yakni umat Islam dari umat nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam). Kemudian Allah membagi mereka dalam tiga macam, yaitu:
(Pertama,) orang-orang yang mengabaikan sebagian kewajiban dan menjalankan sebagian perbuatan-perbuatan haram.
(kedua), orang-orang yang menunaikan kewajiban agama dan meninggalkan yang haram.
(Ketiga), orang-orang yang menunaikan kewajiban agama maupun yang sunnah-sunnah, meninggalkan perkara yang haram dan makruh sekali pun dan bahkan meninggalkan sebagian perkara mubah (bila dikuatirkan akan menjerumuskan kepada yang haram).” (Tafsir Ibnu Katsir 3 / 554 – 555)
Perintah Berbuat Adil
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian saksi yang adil karena Allah. Dan janganlah kebencian kamu terhadap satu kaum menyebabkan kamu berbuat tidak adil. Berbuat adillah, karena perbuatan adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kalian sesungguhnya Allah itu Maha Tahu dengan apa yang kalian lakukan.” (Al-Maidah: 8)
Bahkan terhadap orang-orang kafir yang tidak menunjukkan sikap permusuhan kepada kaum muslimin, kita diperintahkan oleh Allah untuk bersikap adil:
(ayat)
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berbuat adil terhadap orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian karena alasan agama dan tidak mengusir kalian dari negeri-negeri kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi sallam bersabda:

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di sisi Allah di hari kiamat akan ditempatkan di atas panggung yang terbuat dari cahaya di sebelah kanan Allah, dan kedua tangan Allah adalah kanan, yaitu mereka yang berbuat adil dalam hukum meraka dan dalam keluarga mereka dan apa yang dikuasakan padanya.” (HR. Muslim dalam Shahihnya Kitabul Imarah bab. Fadhilatul Amir Al-Adil hadis ke 1827 dari Zuhair).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Maknanya ialah bahwa keutamaan tersebut hanyalah diberikan bagi mereka yang berbuat adil dalam kedudukannya sebagai pemimpin negara, pimpinan atau jabatan pemerintahan, atau sebagai hakim dalam pengadilan, atau sebagai bendahara mengurusi keuangan bagi suatu usaha, atau juga penyaluran shadaqah kepada yang berhak atau pengurus benda wakaf, dan dalam berbagai kewajiban pada hak anak dan istrinya, dan yang serupa itu.” (Syarah Shahih Muslim, Al-Imam An-Nawawi, hal 528).
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata: “Maka Allah Subhanahu wa Ta`ala bersumpah dengan diri-Nya bahwa kita tidak dianggap beriman sehingga kita menetapkan hukum Rasul-Nya dalam segala perkara yang diperselisihkan di antara kita, dan hati kita menerima dengan lapang dada hukum beliau. Sehingga tidak terdapat keraguan atau pengingkaran pada hati kita. Kemudian kita tunduk menunaikan keputusan itu dengan sebenar-benar ketundukan. Maka kita tidak mempertimbangkan lagi kebenaran hukum itu dengan akal atau pikiran, atau hawa nafsu, ataupun dengan yang lainnya. Sungguh Allah Ta'ala telah bersumpah dengan diri-Nya bahwa Dia telah menafikan iman pada orang-orang yang lebih mendahulukan akal dari pada apa yang diajarkan oleh Rasul-Nya. Dan memang mereka sendiri telah mempersaksikan keingkaran mereka terhadap makna Al-Qur'an itu walaupun mereka menyatakan beriman kepada lafadhnya.” (As-Shawaiqul Mursalah jilid 3 hal. 828)
“Dan tegakkanlah hukum di kalangan mereka dengan hukum yang Allah turunkan (yakni hukum Al-Qur'an dan As-Sunnah) dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dan hati-hatilah engkau dari tipu daya mereka yang ingin menyimpangkan engkau dari sebagaian ketentuan hukum yang Allah turunkan kepadamu. Maka bila mereka berpaling dari Islam ini, katakanlah sesungguhnya Allah hanya ingin menimpakan kepada mereka akibat dari sebagaian dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan orang itu adalah fasiq.” (Al-Maidah: 49)
Allah Ta'ala menuntunkan kita untuk berbuat adil dan menjadikannya sebagai simbol akhlak kaum Muslimin.

“ Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada yang berhak dengannya dan apabila kalian menghukumi diantara manusia, maka hukumilah dengan adil. Sesungguhnya Allah yang paling baik menasehati kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (An-Nisa: 58).
Sedangkan simbol keadilan bagi umat Islam itu telah ditegaskan oleh-Nya:

“Dan demikianlah Kami jadikan kalian sebagai umat yang adil, agar kalian menjadi saksi yang adil atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi bagi kalian.” (Al-Baqarah: 143).
Tegakkan Keadilan
1). Takutlah kepada Allah yang Maha Tahu apa yang tersembunyi di lubuk hati yang paling dalam dan apa yang terucap di lisan. Dia terus menghitung amalan dhahir dan batin kita, untuk diampuni oleh-Nya atau diperhitungkan di hari Mahsyar nanti.

2). Kita di dunia ini bisa saja bersilat lidah dalam segala perkara. Perbuatan dusta dan khianat dianggap enteng karena dilakukan dengan alasan takut sesat dan menyimpang dari jalan Allah. Padahal yang didustai dan dikhianati adalah para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dan para salafiyyin. Mari kita camkan peringatan dan nasehat Allah Ta`ala berikut ini:

“Kalau tidak karena keutamaan Allah atas kalian dan karena rahmat-Nya di dunia dan akhirat, niscaya akan menimpa kalian adzab yang besar akibat berita-berita bohong yang kalian tebarkan dengan lisan-lisan kalian. dan kalian berucap dengan mulut-mulut kalian suatu perkara yang kalian sendiri tidak mengerti. Kalian menyangka bahwa perbuatan yang demikian itu adalah perkara yang enteng, padahal perkara tersebut adalah besar di sisi Allah. Dan seandainya kalian tahu darimana berita yang kalian dengar itu, niscaya kalian akan mengatakan: “Tidak pantas kami berbicara seperti ini, Maha Suci Engkau ya Allah, berita ini sungguh kedustaan yang besar.” Allah menasehati kalian untuk jangan kalian ulangi perbuatan kalian seperti ini selama-lamanya walau kalian memang orang-orang yang beriman.” (An-Nur: 14 – 17)
3). Keikhlasan kita dalam beramal di jalan Allah dan untuk Allah, serta kesungguhan kita untuk mencocoki tuntunan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam dalam beragama, akan diketahui di belakang hari dalam kelanggengan serta istiqamahnya kita di atas sunnah Nabi. Amalan yang ikhlas karena Allah dan di jalan Allah, pasti akan terasa barakahnya di masa kini dan di masa yang akan datang bahkan mungkin di masa anak cucu kita:
(ayat)
“Adapun buih, maka ia akan sirna dengan sia-sia, dan adapun yang bermanfaat bagi manusia, maka itulah yang akan tinggal di muka bumi. Demikianlah Allah memberikan permisalan.” (Ar-Ra'du: 17)
Al-Imam Ath-Thabari dalam Tafsirnya membawakan riwayat penafsiran Ibnu Zaid terhadap ayat ini, beliau mengatakan: “Ini adalah permisalan yang Allah berikan tentang kebenaran dan kebatilan.” Dibawakan pula tafsir dari Atha': “Allah memberikan permisalan tentang kebenaran dan kebatilan, maka Allah memisalkan kebenaran seperti aliran air yang tetap mengalir di bumi. Sedangkan kebatilan, Allah misalkan seperti buih yang tidak bermanfaat bagi manusia.” (Tafsir Ath-Thabari 7 / 372)
Oleh karena itu beramalah masing-masing kita untuk menjunjung tinggi kemuliaan agama Allah, mengajarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih. Jangan saling mengganggu dengan undangan menghadiri acara baca puisi persatuan atau drama persaudaraan. Masa bersantai-santai sudah lewat, yang ada sekarang adalah bersungguh-sungguh di hadapan Allah Ta`ala dalam mempelajari, mengamalkan, mengajarkan agama kepada sekalian umat manusia dan membela kemuliaannya dari rongrongan para musuh-musuh Allah.
4). Kita akan berjumpa di padang Mahsyar nanti di hadapan mahkamah Allah Ta`ala yang Maha Adil. Siapkanlah masing-masing kita untuk perjumpaan itu, kalau seandainya Allah Ta`ala menaqdirkan bahwa kita tidak sempat lagi berjumpa di alam dunia ini. Semua kedustaan dan kepalsuan yang meliputi kehidupan di dunia ini akan terbongkar dan terbukti kekejiannya. Karena rasanya kalau kita di dunia ini disibukkan untuk mengurusi kepalsuan dan kedustaan itu, sangat dikuatirkan justru akan menghabiskan waktu kita yang tinggal sedikit hari lagi ini. Oleh sebab itu, biarkanlah kedustaan dan kepalsuan itu berhasil ditutup-tutupi terus oleh pelakunya dan serahkan semua itu kepada Allah Ta`ala yang akan membongkarnya dengan cara-Nya sendiri. Adapun masing-masing kita manfaatkanlah waktu yang pendek ini untuk beramal di posisi masing-masing sampai datangnya jemputan malakul maut.
5). Perjuangan di jalan Allah haruslah dilakukan dengan ta`awun (tolong-menolong) menurut tuntunan syariah Islamiyah. Dan untuk itu, masing-masing kita mencari teman yang tidak pernah mengkhianati kita dan tidak pernah mempermainkan kita dengan kedustaannya. Agar perjuangan itu dapat dijalankan dengan aman, tanpa ada kekuatiran untuk ditikam dari belakang. Perjalanan perjuangan masih panjang sedangkan waktu kita amatlah sedikit. Jadi karena itu, bergegaslah mencari teman yang baik untuk melanjutkan sisa perjalanan ini. Selamat melanjutkan perjuangan dakwah salafiyah, lanjutkan derap perjuanganmu. Jangan mundur sesentipun dan jangan berfikir untuk mundur karena musuh agama terus menggempur dan mengganyang. Korban telah berjatuhan dalam bentuk kesesatan banyak orang dalam beragama dan mereka perlu pertolongan segera. Semoga Allah menguatkan hati kita dalam keikhlasan karena-Nya dan dalam mencocoki tuntunan Nabi-Nya. Amin ya mujibas sailin.
Keadilan. Inilah ciri akhlaq islami yang menerangi hati dan meyelamatkannya dari kesempitan dan ketakutan. Yang mesti diberlakukan meski kepada kaum yang kita benci. Berlaku adil bukanlah karena ia ditujukan untuk orang yang kita suka, untuk sesama Muslim, tetapi karena ia sebuah nilai hidup yang mesti di kejawantahkan baik terhadap kawan atau lawan. Suatu nilai islami yang Allah turunkan sebagai pedoman hidup kaum Muslimin. Justru cahaya adil memancar terang manakala orang yang kita benci seka- lipun menerima keadilan dari kita. Inilah islam, dien Allah yang mengagumkan.

" Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) kerana Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adilah,karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan ". - (Al Maidah: 8)
Abi Naufal (21-2-2011

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum..
    Mohon Ma'af saya ada copas sedikit materinya.

    BalasHapus

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman