Rabu, 06 Februari 2013

DIBALIK musibah ?








                       HIKMAH  dibalik MUSIBAH
Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allâh; barang siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu
(Qs at-Taghâbun/64:11
SAYANGNYA ALLAH
”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS Ar-Rum[30]:41).

 Kerusakan di darat dan di laut
?
Lagi-lagi kekeringan. Sepertinya kekeringan di negeri ini telah menjadi rutinitas tahunan yang dihadapi masyarakat. Bagaimana tidak, setiap musim kemarau, sebagian besar wilayah di Indonesia dilanda kekeringan. Begitu juga sebaliknya, setiap musim hujan, sebagian besar wilayah Indonesia dilanda kebanjiran.

Kondisi ini pada dasarnya tidak luput dari prilaku manusia. Jika kita mau kembali membuka kembali Alquran, tampak jelas bahwa bencana alam dan krisis lingkungan akibat dari ulah merusak sebagian dari umat manusia.

Kerusakan lingkungan telah lama disinyalir dalam Quran. Dalam sebuah ayat Allah berfirman,”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS Ar-Rum[30]:41).

Ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa kerusakan di muka bumi disebabkan ulah tangan manusia. Bencana yang datang silih berganti bukan fenomena alam. Akan tetapi karena prilaku merusak manusia sendiri yang telah merusak alam ciptaan Allah.

Para pemikir Timur dan Barat kontemporer memandang masalah utama kerusakan parah Bumi akibat terjadinya pemisahan serius antara sains dan dari spiritualitas dan nilai-nilai moral. Para pemikir menilai krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa sebagian besar negara-negara dunia dilanda problem nilai dan spiritualitas.
Jangan Buruk Sangka
Kira-kira, manusia sekarang ini mengidentifikasi “musibah” sebagai segala hal dahsyat, yang terjadi “di luar” kehendak manusia dan menyebabkan kematian dan kesengsaraan banyak manusia. Pada saat terjadinya “musibah” itu, manusia baru merasakan keprihatinan yang mendalam. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi kebanyakan menyerahkan kepada Yang Maha Tunggal. Sayangnya, “penyerahan” kepada Sang Kuasa tersebut lebih bernuansa Su’ udz-Dzan atau Negative Thinking kepada-Nya.
Dari  pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa musibah adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan terjadi diluar dugaan manusia dan kejadian tersebut dapat berupa kesusahan atau kesenangan. Tetapi pada umumnya masyarakat lebih memahami makna musibah sebagai hal yang buruk, pada hal sesuatu yang kita anggap buruk itu sebenarnya ada nilai baik karena dibalik keburukan terdapat hikmah atau pelajaran yang dapat kita ambil.
Makna Bala’, Musibah, ‘Adzab ?
Secara literal, al-bala’ bermakna al-ikhtibar (ujian). Istilah bala’ sendiri digunakan untuk menggambarkan ujian yang baik maupun yang buruk (Imam ar-Razi, Mukhtâr al-Shihâh, hal. 65). Dalam kitab al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an dinyatakan, bahwa bala’ itu memiliki tiga bentuk; ni’mat (kenikmatan), ikhtibaar (cobaan atau ujian), dan makruuh (sesuatu yang dibenci) (Syihâb al-Dîn Ahmad, al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an, juz 1, hal. 85). Di dalam al-Quran, kata bala’ disebutkan di enam tempat, dengan makna yang berbeda-beda; (Qs. al-Baqarah [2]: 49; Qs. al-A’râf [7]: 141; Qs. al-Anfâl [8]: 17; Qs. Ibrahim [14]: 6; Qs. ash-Shafât [37]: 106; Qs. ad-Dukhân [44]: 33). Ada yang bermakna cobaan dan ujian yang dibenci manusia. Ada pula yang berarti kemenangan atau kenikmatan (bala’ hasanan).
Bala’ dalam konteks ujian yang buruk, misalnya terdapat di dalam firman Allah SWT berikut ini:
“Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 49).
Ayat ini bercerita tentang diselamatkannya Bani Israil dari penyembelihan dan kekejaman Fir’aun. Menurut Ali ash-Shabuni, bala’ dalam ayat ini adalah al-mihnah wa al-ikhtibâr (ujian dan cobaan) yang ditimpakan oleh Fir’aun kepada Bani Israil; yakni penyembelihan anak laki-laki (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 1, hal. 57).
Adapun bala’ dalam konteks ujian yang baik terdapat dalam firman Allah SWT berikut ini:
“Maka sebenarnya, bukan kamu yang membunuh mereka. Akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik (bala’an hasanan). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-Anfâl [8]: 17).
Menurut Imam al-Baidhawi dalam Tafsir al-Baidhawi, kata bala’ pada ayat di atas adalah kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang-orang beriman, yang berujud, pertolongan Allah (al-nashr), al-ghanimah (harta rampasan perang), dan al-musyahadah (mati syahid) (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 3, hal. 97).
Musibah menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
mu•si•bah n 1 kejadian (peristiwa) menyedihkan yg menimpa: dia mendapat — yg beruntun, setelah ibunya meninggal, dia sendiri sakit sehingga harus dirawat di rumah sakit; 2 malapetaka; bencana: – banjir itu datang dng tiba-tiba.
Musibah menurut Bahasa Arab
Musibah ~ ashaaba, yushiibu, mushiibatan = mengenai, menimpa, atau membinasakan.
- Musibah menurut bahasa Inggris
Musibah ~ disaster
Disaster berasal dari bahasa Yunani, disastro, dis berarti ”jelek” dan astro yang berarti “peritiwa jatuhnya bintang-bintang ke bumi”.
- Ahli tafsir Muhammad Husin Tabataba’i, dalam tafsirnya al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an
Musibah adalah kejadian apa saja yang menimpa manusia yang tidak dikehendaki.2
- Prof. Quraish Shihab
Musibah pada mulanya berarti “sesuatu yang menimpa atau mengenai”. Sebenarnya sesuatu yang menimpa itu tidak selalu buruk. Hujan bisa menimpa kita dan itu dapat merupakan sesuatu yang baik. Memang, kata musibah konotasinya selalu buruk, tetapi boleh jadi apa yang kita anggap buruk itu, sebenarnya baik, maka Al-Quran menggunakan kata ini untuk sesuatu yang baik dan buruk (QS. Al-Baqarah : 216)
Dari ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa musibah adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan terjadi diluar dugaan manusia dan kejadian tersebut dapat berupa kesusahan atau kesenangan. Tetapi pada umumnya masyarakat lebih memahami makna musibah sebagai hal yang buruk, pada hal sesuatu yang kita anggap buruk itu sebenarnya ada nilai baik karena dibalik keburukan terdapat hikmah atau pelajaran yang dapat kita ambil.
Musibah adalah al-baliyyah (ujian) dan semua perkara yang dibenci oleh manusia. Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisân al-‘Arab menyatakan, bahwa musibah adalah al-dahr (kemalangan, musibah, dan bencana) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 535).
Menurut Imam al-Baidhawi, musibah adalah semua kemalangan yang dibenci dan menimpa umat manusia. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Setiap perkara yang menyakiti manusia adalah musibah.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 1, hal. 431).
Kata musibah disebutkan di sepuluh ayat, dan semuanya bermakna kemalangan, musibah, dan bencana yang dibenci manusia. Namun demikian, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk menyakini, bahwa semua musibah itu datang dari Allah SWT, dan atas ijinNya. Allah SWT berfirman:
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadanya hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. al-Taghâbun [64]: 11).
Secara literal, ‘adzab adalah al-nakâl wa al-‘uqûbah (peringatan bagi yang lain, dan siksaan [hukuman]) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 585). Al-nakâl adalah peringatan yang berupa siksaan atau hukuman kepada yang lain. Kata al-‘adzab biasanya digunakan pada konteks hukuman atau siksaan kelak di hari akhir. Allah SWT berfirman:
“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Qs. al-Baqarah [2]: 7).
“Sesungguhnya, orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akherat, Kami sediakan bagi mereka adzab yang pedih.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 10), dan lain sebagainya. Namun demikian, kata ‘adzab juga digunakan dalam konteks hukuman di kehidupan dunia. Allah SWT berfirman:
“Tak ada suatu negeripun yang durhaka penduduknya, melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat, atau Kami adzab (penduduknya) dengan adzab yang keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab Lauh al-Mahfuudz.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 58).
Menurut Ali ash-Shabuni, jika penduduk suatu kota ingkar atau bermaksiyat kepada perintah Allah SWT, mendustakan Rasul-rasulNya, niscaya Allah akan menghancurkan mereka, baik dengan kehancuran secara total (pemusnahan), maupun ditimpa dengan hukuman yang amat keras (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 2, hal. 165).
Di ayat yang lain, Allah SWT berfirman:
“Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengadzab orang-orang kafir di antara mereka dengan adzab yang pedih.” (Qs. al-Fath [48]: 25).
Tatkala menafsirkan ayat ini, Ali ash-Shabuni mengatakan, “Seandainya orang-orang kafir itu dipisahkan satu dengan yang lain, kemudian dipisahkan antara yang mukmin dengan yang kafir, tentulah Allah akan mengadzab orang-orang kafir dengan adzab yang sangat keras, berupa pembunuhan, penawanan, maupun pengusiran dari negeri mereka-negeri mereka.” (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 3, hal. 48). Keterangan ini diperkuat dengan firman Allah SWT yang lain, yakni:
“Dan jikalau tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah mengadzab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akherat adzab neraka.” (Qs. al-Hasyr [59]: 3).
Ayat ini bercerita tentang pengusiran Bani Nadzir, sekaligus mengisahkan, bahwa jikalau Allah SWT tidak menetapkan hukuman pengusiran terhadap Bani Nadzir, niscaya mereka akan diadzab dengan pembunuhan (al-qatl). Hukuman bagi mereka cukup dengan pengusiran, bukan pembunuhan seperti halnya hukuman bagi Yahudi Bani Quraidzah.
Ayat di atas juga menunjukkan, bahwa ‘adzab tidak hanya berasal dari Allah SWT saja, akan tetapi juga bersumber dari manusia sendiri, yakni berupa hukuman atau sanksi di kehidupan dunia.
Menyikapi Musibah
Seorang Mukmin dengan ketakwaannya kepada Allâh Ta’ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, sehingga masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak akan membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan keimanannya yang kuat kepada Allâh Ta’ala membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allâh Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya.
Dengan keyakinannya ini pula Allâh Ta’ala akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allâh Ta’ala dalam firman-Nya:
Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allâh; barang siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu
(Qs at-Taghâbun/64:11)
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:
“Maknanya: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh Ta’ala, kemudian dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh Ta’ala tersebut, maka Allâh Ta’ala akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Allâh Ta’ala akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya.”
Inilah sikap seorang Mukmin yang benar dalam menghadapi musibah yang menimpanya.
Meskipun Allâh Ta’ala dengan hikmah-Nya yang Maha Sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allâh Ta’ala dalam menghadapi musibah tersebut. Dan tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang Mukmin.
Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan:
“Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allâh Ta’ala senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisâb (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisâb. Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena, setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut.
Tuntunan Menghadapi Musibah
Islam telah memberikan tuntutan bagaimana seharusnya sikap seorang muslim mengahadapi musibah, baik yang menimpa dirinya sendiri maupun orang lain. Jika musibah menimpa diri sendiri, maka ia dianjurkan sebagai berikut :4
§ Mengucapkan kalimat istirja’, yaitu kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami semuaadalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami akan kembali) sebagaimana dalam firman Allah :
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raajiuun.” (QS. 2:156)
Tafsir Al-Baqarah: 156
Di dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW supaya memberi kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Apabila mereka ditimpa sesuatu musibah mereka mengucapkan: “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami semuaadalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami akan kembali)”5.
Dan dalam hadist yang diriwayatkan Imam Muslim, Imam Malik, Ibnu Majah, serta hadist yang diriwayatkan al-Hakim an-Naisaburi dan Imam tirmizi yang artinya : “Tidak ada suatu musibah yang menimpa seorang hamba, kemudian ia mengucapkan istirja’, melainkan Allah menetapkan pahala baginya.”
§ Memajatkan do’a kepada Allah SWT agar diberi pahala dari musibah yang dihadapinya sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya : “Apabila kamu diberi musibah oleh Allah, maka ucapkanlah do’a “Allahumma jurni fi musibati wa akhlif li khairan minha” (Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibah ini, dan gantikanlah bagiku dengan sesuatu yang lebih baik daripadanya)” HR. Muslim, Ibnu Majah, Malik, dan Ahmad bin Hanbal.
Selain memohon pahala dari musibah yang dihadapi, juga dianjurkan memohon agar musibah itu berakhir dari dirinya, sebagaimana permohonan Nabi Ayub AS ketika mengalami musibah penyakit yang berkepanjangan, sesuai pada surah al-Anbiya’ : “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya : (Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. Maka kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semuayang menyembah Allah”. (QS. Al-Anbiya’:83-84)
§ Bersikap sabar dan tidak putus asa dalam menghadapi musibah, karena dengan kesabaran itulah seseorang mendapatkan pahala dari musibah yang menimpanya. Bersikap sabar dalam menghadapi semua bentuk kesulitan dan tantangan telah banyak diajarkan oleh Al Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW seperti pada surah Al-Baqarah ayat 155 di atas dan ayat : “…….. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (QS. Az-Zummar:10).
Dalam ayat ini Allah SWT berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah:153). Mengenai pentingnya kesabaran dalam kesulitan dijelaskan dalam hadist “Jika seorang mukmin memperoleh kebaikan lalu ia bersyukur, maka kebaikan itu menjadi pahala baginya, dan jika ia ditimpa kemudharatan itu menjadi pahala baginya.” (HR. Muslim).
Tafsir Al-Baqarah:153
Untuk menghadapinya haruslah perjuangan itu dilakukan dengan giat, dihadapi dengan penuh kesabaran dengan memperbanyak shalat, sehingga menjadi kecil serta ringanlah segala kesukaran dan cobaan itu, karena Allah SWT senantiasa beserta orang-orang yang sabar. Dia akan menolong, menguatkan dan membahagiakan orang-orang yang berjuang menegakkan kebenaran.6
§ Menerima dengan ikhlas dan tidak menyesali atau membenci musibah yang diberikan Allah SWT kepadanya.
‘Adzab Akibat Pembesar-Pembesar Fasiq Dan Dzalim
Jika pembesar-pembesar suatu negeri atau kota melakukan kemaksiyatan kedurhakaan, dan kedzaliman, niscaya Allah akan mengirimkan ‘adzab kepada penduduk negeri tersebut. Al-Qur’an telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas:
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah SWT), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 16).
Ibnu ‘Abbas tatkala menafsirkan ayat ini menyatakan:
“Maksud ayat ini adalah, jika Kami (Allah) telah memberikan kekuasaan kepada pembesar-pembesar di sebuah kota, kemudian mereka berbuat maksiyat di dalamnya, maka Allah SWT akan menghancurkan penduduk di negeri tersebut dengan ‘adzab.” (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, juz 2, hal. 371).
Di ayat lain, Allah SWT telah mendiskripsikan kerusakan di darat dan laut akibat perbuatan manusia. Allah SWT berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Qs. ar-Rûm [30]: 41).
Imam Baidhawi berkata, “Yang dimaksud dengan kerusakan (pada ayat tersebut) adalah paceklik al-jadb), kebakaran yang merajalela, ketenggelaman, hilangnya keberkahan, dan banyaknya kelaparan, akibat kemaksiyatan dan ulah perbuatan manusia.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 2, hal. 106).
Menurut Imam Ibnu Katsir, yang dimaksud kerusakan adalah berkurangnya hasil-hasil pertanian dan buah-buahan karena kemaksiyatan manusia. Sebab, baiknya bumi dan langit tergantung dengan ketaatan (Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir, hal. 57).
Kedzaliman penguasa, keengganan rakyat melakukan koreksi dan muhasabah terhadap penguasa merupakan pemicu datangnya ‘adzab dari Allah SWT. Sebaliknya, ketaatan kepada Allah SWT merupakan kunci bagi perbaikan bumi dan seisinya.
Hikmah dibalik Musibah

1. Sebagai peringatan
Allah l berfirman:
“Dan Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.” (al-Isra’: 59)
Qatadah t menerangkan, “Sesungguhnya Allah l menakuti manusia dengan tanda-tanda (bencana, petaka, pen.) apa pun yang Dia l kehendaki. Mudah-mudahan mereka mengambil pelajaran, menjadi ingat kepada Allah l, kemudian kembali kepada-Nya.”
Beliau menyatakan, “Telah sampai kepada kami berita bahwa di masa Abdullah bin Mas’ud masih hidup, terjadi gempa di Kufah. Beliau mengingatkan kepada manusia, seraya berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya Rabb kalian meminta—dengan adanya bencana—agar kalian kembali kepada apa yang menjadi keridhaan-Nya. Maka dari itu, bertaubatlah!’.”

2. Hukuman
Firman Allah l:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
As-Sa’di t berkata, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, yaitu rusak dan berkurangnya mata pencaharian mereka dan terjadinya bencana alam. Diri mereka juga terserang penyakit, wabah, dan yang lainnya. Semua itu terjadi karena kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), berupa perbuatan yang rusak dan merusak. Hal ini supaya mereka mengetahui bahwa Allah l membalas amal perbuatan dan membuat contoh/pelajaran untuk mereka dari balasan amal mereka di dunia, agar mereka kembali ke jalan yang benar. Mahasuci Allah, Dzat yang menganugerahkan nikmat kepada hamba-Nya melalui cobaan-Nya serta memuliakan hamba-Nya dengan hukuman-Nya. Jika tidak, kalau saja Allah l merasakan (azab) kepada mereka disebabkan apa yang mereka perbuat, niscaya Ia tidak membiarkan di atas permukaan bumi ini satu pun makhluk yang melata (manusia).”

3. Penghapus dosa
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah menimpa kepada seorang muslim suatu musibah berupa kesalahan, rasa sakit, kegundahan, kesusahan, gangguan dan tidak pula dukacita, sampai duri yang menusuknya, melainkan Allah l akan menghapuskan dengannya dari kesalahan-kesalahannya.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah c)

4. Pahala yang mulia
Rasulullah n bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي طَرِيقٍ إِذْ وَجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ فَأَخَّرَهُ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ
“Tatkala seorang laki-laki berjalan tiba-tiba ia mendapati ranting berduri berada di jalan lalu ia menyingkirkannya, Allah l memberikan kepadanya pahala dan mengampuninya.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah z)

Faedah Cobaan
Di samping sebab-sebab di atas, ada lagi faktor lain yang bisa meringankan semua kesusahan yang dialami seorang Mukmin di dunia ini, yaitu merenungi dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allâh Ta’ala jadikan dalam setiap ketentuan yang terjadi pada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Dengan merenungi hikmah-hikmah tersebut, seorang Mukmin akan semakin yakin bahwa semua cobaan yang menimpanya pada hakikatnya adalah kebaikan bagi dirinya, untuk menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allâh Ta’ala.
Semua ini, di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka) kepada Allâh Ta’ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya.
Dengan sikap ini, Allâh Ta’ala akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya, karena Allâh Ta’ala memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi yang artinya:
“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepada-Ku”.
Maknanya: Allâh Ta’ala akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allâh Ta’ala.
Pembelajaran Dalam Musibah
1.
Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya. Kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allâh Ta’ala. Jadi musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allâh Ta’ala
2.
Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang Mukmin kepada-Nya, karena Allâh Ta’alamencintai hamba- Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang.[10]Inilah makna sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam :
“Sungguh mengagumkan keadaan seorang Mukmin, semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang Mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.”
3.
Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allâh Ta’ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang sangat jauh berbeda keadaannya dengan dunia Allâh Ta’ala menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti.]Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam :
”Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.”
Musibah tidah membedakan sasaran yang dikenainya. Ia dapat menimpa manusia yang shaleh atau manusia yang biasa berbuat maksiat. Jika orang shaleh mendapatkan musibah, maka musibah itu dipandang sebagai penguji iman keimanan (cobaan).
 Allah SWT berfirman : “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi ?. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-Ankabut:2-3).
Jakarta  6/2/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman