Kamis, 21 Februari 2013

BERTA'ZIYAH Dan Tahlil



                  TA’ZIYAH Sunnah  Rasulullah saw
Allah Subhanahu Wata'ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ

’’Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, ’’Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.’’ (QS. Al-Hasyr[59]:10)

Makna Ta’ziyah

Kata “ta`ziyah”, secara etimologis merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja ‘aza”    (ءش ئ). Lafaz  al aza’u
العزا’). (  .Adalah kesabaran seseorang atas segala sesuatu yang hilang, sabar menghadapi musibah kehilangan.[Mukhtar Ashihhah)

Dalam terminologi ilmu fikih, “ta’ziyah” didefinisikan dengan beragam redaksi, yang substansinya tidak begitu berbeza dari makna kamusnya.

Penulis kitab Radd al Mukhtar mengatakan : “Berta’ziyah kepada ahlul mayyit (keluarga yang ditinggal mati) maksudnya ialah, menghibur mereka supaya bisa bersabar, dan sekaligus mendo’akannya”.

Imam al Khirasyi di dalam syarahnya menulis: “Ta’ziyah, yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah dengan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka dan mayitnya”.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Yaitu memotivasi/member semangat orang yang tertimpa musibah agar boleh lebih bersabar, dan menghiburnya supaya boleh melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan himpitan musibah yang menimpanya”.

Hukum Ta’ziyah
Berdasarkan kesepakatan para ulama, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah, hukumnya adalah sunnah [5]. Hal ini diperkuatkan oleh hadith Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya :
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَنْ عَزَّى مُصَابًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ
Barangsiapa yang berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut. [HR Tirmidzi 2/268. Kata beliau: “Hadith ini gharib. Sepanjang yang saya ketahui, hadith ini tidak marfu’ kecuali dari jalur ‘Adi bin ‘Ashim”; Ibnu Majah, 1/511].
Dalil lainnya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al Ash menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Fatimah Radhiyallahu 'anha :
 “Wahai, Fathimah! Apa yang membuatmu keluar rumah?” Fatimah menjawab,”Aku berta’ziyah kepada keluarga yang ditinggal mati ini.” [HR Abu Daud, 3/192].
Diriwayat kan oleh’Amr Bin Hazm Bahawa Nabi Shalallahua’laihiwasalam Bersabda
“ Tidaklah seorang Mukmin bertakziyah kepada saudaranyayang terkena musibah kecuali Allah subhanahuwata’ala akan memakaikan pakaianKemulian kepadanya di hari kiamat( Hr Ibn Majah disahihkan oleh Al Albani Irwaa-ul Ghaliil)

Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Al-Imam Asy-Syafi’i dan murid-muridnya (pengikut madzhabnya) rahimahumullah mengatakan: “Ta’ziyah itu mustahabbah (disenangi/ disunnahkan).” Mereka juga mengatakan: “Disenangi bagi seluruh kerabat mayat untuk menyampaikan ta’ziyah kepada keluarga mayat (anak dan istrinya, –pent.) baik yang besar, yang kecil, laki-laki dan perempuan. Terkecuali bila perempuan itu masih muda/ remaja maka yang menyampaikan ta’ziyah kepadanya hanyalah laki-laki dari kalangan mahramnya (tidak boleh laki-laki ajnabi/ non mahram karena khawatir fitnah, –pent.)” (Al-Majmu’, 5/277).

Ada perbedaan pendapat dalam masalah takziyah kepada orang kafir dzimmi (orang kafir dalam perlindungan). Sebahagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah memperbolehkannya [13]. Adapun Imam Ahmad bersikap tawaqquf, beliau tidak berpendapat apa-apa dalam masalah ini.[14]
Sedangkan para sahabat Imam Ahmad memandang ta’ziyah sama dengan ‘iyadah (menengok atau esuk)
Waktu Ta’ziyah
“Tidak ada ta’ziyah setelah lebih dari tiga hari (dari kejadian duka/ musibah).”
Kata Asy-Syaikh Al-Albani t tidak ada asalnya (Catatan kaki Ahkamul Jana`iz hal. 209).
Imam Al-Haramain t meng-hikayatkan tidak adanya batasan waktu untuk ta’ziyah. Bahkan bisa terus dilakukan meskipun telah lewat tiga hari (dari kejadian duka) dan walaupun telah lewat waktu yang panjang. Karena tujuan dari ta’ziyah adalah doa, mengajak untuk sabar dan melarang dari berkeluh kesah. (Al-Majmu’, 5/277)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t menyatakan waktu ta’ziyah itu sejak dari kematian mayat, atau saat terjadinya musibah sampai dilupakannya musibah tersebut dan hilang dari jiwa orang yang ditimpa musibah. Karena maksud dari ta’ziyah bukanlah sebagai ucapan selamat (tahni`ah atau tahiyyah) tapi maksudnya adalah untuk menguatkan hati/ jiwa orang yang ditimpa musibah guna menanggung musibah tersebut dan mengharapkan pahala. (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 17/340)
Sunnah Membuatkan Makanan

Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Aku menyenangi agar tetangga si mayat atau kerabatnya membuatkan makanan untuk keluarga si mayat pada hari dan malam kema-tiannya dengan makanan yang mengenyangkan mereka. Karena yang demikian itu merupakan sunnah dan perbuatan mulia serta termasuk perbuatan orang-orang yang baik sebelum dan sesudah kita.” Kemudian beliau t membawakan hadits Abdullah bin Ja’far di atas. (Al-Umm, kitab Al-Jana`iz, bab Al-Qaulu `inda Dafnil Mayyit)

Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Adapun duduk-duduk untuk ta’ziyah, maka Al-Imam Asy-Syafi’i, penulis Al-Muhadzdzab (yakni Asy-Syairazi) dan seluruh pengikut madzhab Syafi’iyyah menetapkan kemakruhan-nya. Mereka menyatakan: ’Yang dimaksud dengan duduk-duduk untuk ta’ziyah adalah keluarga mayat berkumpul di satu rumah, sehingga orang-orang yang ingin ta’ziyah menuju ke tempat mereka.” Mereka juga menyatakan: “Bahkan sepantasnya mereka (keluarga mayat) berlalu guna menunaikan keperluan-keperluan mereka (jangan sengaja kumpul-kumpul, –pent.). Bila ada orang yang kebetulan bertemu mereka (di mana saja), ia pun menyampaikan ta’ziyah kepada mereka. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kemakruhan perkara ini.” (Al-Majmu’, 5/278)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menyatakan, berkumpulnya manusia di tempat keluarga yang ditimpa musibah dengan perjamuan yang diberikan oleh keluarga mayat tidaklah dikenal di kalangan salaf. Bahkan sekelompok ulama membencinya dan sejumlah ulama menganggapnya termasuk niyahah. (sebagaimana dinukil dari Taudhihul Ahkam, 3/270)
Hikmah Ta’ziyah

Di samping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Antara lain meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang dilayat, memotivasinya untuk terus bersabar menghadapi musibah dan berharap pahala dari Allah SWT, memotivasinya untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah dan menyerahkannya kepada Allah.

Selain itu, hikmah takziyah juga untuk mendoakan keluarganya agar musibah tersebut diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik serta melarangnya berbuat niyahah (meratap), memukul, atau merobek pakaian, dan lain sebagainya akibat musibah yang menimpanya.

Sedangkan waktu takziyah, menurut jumhur ulama, diperbolehkan sebelum dan sesudah mayit dikebumikan.

Disamping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak [6]. Antara lain :

- Meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang ditimpa.
- Memberi Semangat untuknya untuk terus bersabar menghadapi musibah, dan berharap pahala dari Allah Ta’ala.
- Memotivasinya untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah Ta’ala, dan menyerahkannya kepada Allah.
- Mendo’akannya agar musibah tersebut diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik.
- Melarangnya dari berbuat niyahah (meratap), memukul, atau merobek pakaian, dan lain sebagainya akibat musibah yang menimpanya.
- Mendo’akan mayit dengan kebaikan.
- Adanya pahala bagi orang yang berta’ziyah.

Ucapan Dalam Berta’ziyah
Berdasarkan pendapat para ulama dalam masalah ini, boleh disimpulkan bahawa mereka tidak membatasi dan tidak menentukan bacaan-bacaan khusus yang harus diucapkan ketika berta’ziyah.

Ibnu Qudamah berpendapat [18] : “Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada ucapan tertentu yang khusus dalam ta’ziyah. Namun, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melayat seseorang dan mengucapkan:

رَحِمَكَ اللهُ وَآجَرَكَ

Semoga Allah merahmatimu, dan memberimu pahala. –HR Tirmidzi, 4/60).
Imam Nawawi berpendapat [19], yang paling baik untuk diucapkan ketika ta’ziyah, yaitu apa yang diucapkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada salah seorang utusan yang datang kepadanya untuk memberi khabar kematian sesorang. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada utusan itu : Kembalilah kepadanya dan katakanlah kepadanya :

أَنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ

Sesungguhnya adalah milik Allah apa yang Dia ambil, dan akan kembali kepadaNya apa yang Dia berikan. Segala sesuatu yang ada disisiNya ada jangka waktu tertentu (ada ajalnya). Maka hendaklah engkau bersabar dan mengharap pahala dari Allah. [HR Muslim, 3/39].

Menurut Mazhab Syafi’iyah, mendoa’akan orang yang di kesedihan atau yang tertimpa musibah dengan mengucapkan: “Semoga Allah mengampuni si mayat, melipatkan pahalamu, dan memberimu pelipur yang baik,” tetapi, ada juga yang berpendapat berdo’a dengan do’a apa saja.[21]
Pengertian Tahlil
Dari sisi etimologi, kata tahlil memiliki arti mengucapkan laailaahaillallah. Dalam hadits dijelaskan, bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda, "Perbaharuilah imanmu! Seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana cara memperbaharui iman? Beliau menjawab, "Perbanyaklah tahlil!"

Merujuk pada hadits ini, maka tahlil mengandung pengertian; mengucapkan kalimat laailahaillallah (tiada Ilah selain Allah). Demikian disebutkan dalam kamus kontemporer. Kata tahlil termasuk dalam beberapa kata yang telah dibakukan untuk satu ucapan tertentu. Kata tahlil serumpun dengan kata Tahmid; mengucapkan alhamdulillah, tasbih; subhanallah, hamdalah; alhamdulillahi rabbil ‘alamin, dan sebagainya.

Dalam perkembangan selanjutnya, istilah tahlilan kemudian lebih dipahami di lingkungan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari ritual dzikir, khususnya ketika ada seorang muslim yang meninggal dunia. Persoalan selanjutnya adalah munculnya perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah Islam memperbolehkan tahlilan atau tidak?
Hukum Tahlilan
  1. Pendapat Pertama
Ritual tahlil bukan termasuk sesuatu yang dianjurkan agama, dan memohonkan ampun serta menghadiahkan pahala kepada orang yang telah mati tidak berpengaruh sedikit pun bagi sang mayit. Pendapat ini berdasarkan pada beberapa dalil seperti berikut:

Firman Allah Subhanahu Wata'ala:
أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى * وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
"Bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS. An-Najm[53]: 38-39)
فَالْيَوْمَ لا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئاً وَلا تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan." (QS. Yaasiin[36]:54)
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
"Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (QS. Al-Baqarah[2]: 286)

Tiga ayat di atas merupakan kalimullah, bahwa orang yang telah mati tidak berkesempatan lagi memperoleh tambahan pahala yang dapat menyelematkannya dari siksa kubur di akhirat, kecuali yang disebutkan oleh Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam dalam hadits riwayat Imam Muslim:
  • "Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: (1) sedekah jariyah, (2) Doa anak shalih, (3) Ilmu yang bermanfaat sesudahnya."
  • "Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka (perbuatan) itu tidak diterima."
2.Pendapat Kedua
  1. Jumhur ulama sepakat, bahwa doa yang dibaca dalam shalat jenazah, sangat bermanfaat bagi mayit. Artinya, bila ia seorang pendosa, maka doa tersebut dapat meringankan siksanya, baik dalam kubur maupun di akhirat kelak.
  2. Utang mayit dianggap lunas bila dibayar orang lain, sekalipun bukan keluarganya. Berdasarkan hadits Abu Qatadah, ketika ia menjamin akan membayar hutang seorang mayit sebanyak dua dinar. Setelah ia tunaikan utang itu Nabi Salallahu Alaihi Wassalam bersabda:
أَلآنَ بَرَدْتَ عَلَيْهِ جِلْدَتَهُ
"Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya".

Pendapat ini dikuatkan pula oleh seorang pakar fiqih mahzab Hanbali, yaitu Syekh Abdullah bin Muhamad bin Humaid - rahimahullah -. Dalam kitab beliau berjudul "Gayatul Maqsud" beliau membahas secara khusus masalah ini. Beliau mengatakan;

"Bahwa seluruh ulama dari berbagai mazhab menyetujui pendapat ini. Yaitu, pahala yang diniatkan kepada mayit akan sampai padanya. Bahkan semua bentuk amal shaleh yang dilakukan orang yang hidup, lalu menghadiahkannya kepada mayit, seperti haji, sedekah, binatang korban, umrah, bacaan Al-Quran serta tahlil, takbir dan shalawat pada Nabi tidak diragukan lagi, akan sampai pada mayit."
3.Pendapat Ketiga
Doa dan juga ibadah yang diniatkan untuk mayit, baik dalam bentuk maliyah atau pun badaniyah, sangat bermanfaat bagi mayit berdasarkan dalil-dalil berikut:


Allah Subhanahu Wata'ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ

’’Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, ’’Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.’’ (QS. Al-Hasyr[59]:10)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wata'ala menyanjung orang beriman, karena mereka memohonkan ampun (istigfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan, bahwa orang yang telah meninggal mendapat manfaat dari istigfar orang yang masih hidup.
4.Pendapat Imam Madzhab
Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah beberapa nashush fiqhiyyah dari berbagai mazhab, menyangkut masalah tahlil:

MAZHAB HANAFI
Usman bin Ali Az-Zaila’i dalam kitabnya ‘Kanzu Daqaiq’ menjelaskan dalam bab alhajju ‘an ghairihi sebagai berikut:
"Pada dasarnya, manusia memiliki hak untuk mentransfer pahala perbuatannya pada orang lain. Sebagaimana diakui oleh penganut ahli sunnah wal jama’ah, baik itu shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan Al-Quran, dzikir dan lain sebagainya. Pendeknya, semua bentuk amal kebajikan. Dan seluruh pahalanya akan sampai kepada mayit bahkan dapat memberi manfaat bagi mayit."

Pendapat ini disetujui oleh Imam Al-Marginani pada awal bab al-hajju ‘anilghair (menghajikan orang lain).

MAZHAB MALIKI
Al-Qadhi ‘Iyadh ketika menjelaskan hadits riwayat Muslim yang berbunyi;

"Mudah-mudahan kedua pelepah korma ini dapat meringankan azab orang yang baru saja dikubur selama pelepah korma ini masih basah."

Dari hadist ini, para ulama berkesimpulan bahwa bacaan Al-Quran yang diniatkan untuk mayit hukumnya Sunah. Sebab bila pelepah korma saja dapat meringankan azab sang mayit, apatah lagi bacaan ayat Al-Quran? Tentu lebih utama dari pelepah korma. Pendapat ini didukung oleh Imam Al-Qarafi dan Syekh Ibnul Haj.

MAZHAB SYAFI'I
Imam Nawawi berkata;

"Disunahkan bagi orang yang menziarahi kubur untuk menyalami penduduk kubur yang diziarahi dan mendoakan mereka. Lebih afdhal lagi bila doa yang dibaca sesuai dengan yang pernah dibaca Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam. Demikian juga, disunahkan membaca Al-Quran untuk penghuni kubur, lalu disambung langsung dengan bacaan doa bagi keselamatan mereka."

MAZHAB HANBALI
Imam Ibnu Qudamah berkata;

"Segala bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan pahala dan diniatkan untuk sang mayit muslim, insya Allah, dapat ia petik hasilnya. Apalagi doa, istigfar, sedekah dan hal-hal wajib yang memang harus ditunaikan. Para ulama sepakat, hal itu pasti dirasakan manfaatnya oleh sang mayit."

Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Taqiyuddin Muhammad bin Ahmad Al-Fatuhi dan Syaikh Mansur Al-Bahuti.
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ

’’Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, ’’Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.’’ (QS. Al-Hasyr[59]:10)
Jakarta 22/2/2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman