Senin, 25 Februari 2013

MUHASABAH Diri




                         HISABLAH  Diri Kalian !

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah tiap-tiap diri memperhatikan apa yang dipersiapkan untuk hari esok." (QS Al-Hasyr 59: 18)
Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata, ‘Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)
MODAL AKHIRAT
Pengertian Muhasabah
Adapun pengertian Muhasabah secara bahasa adalah menghitung-hitung sesuatu baik menghitung amal kebaikan maupun menghitung keburukan, aib dan hal-hal buruk lainnya yang telah kita kerjakan. Sedangkan menurut istilah Al Mawardi mendifinisikan dengan pengertian bila seseorang pada malam harinya membuka kembali lembaran perbuatan yang telah dilakukannya pada siang hari. Jika perbuatannya ternyata terpuji maka ia harus melanjutkannya pada hari berikutnya dan mengiringinya dengan perbuatan yang serupa.Sebaliknya jika perbuatan itu tercela, maka dia membersihkannya jika ia mampu, namun jika tidak, maka ia mengiringinya dengan kebaikan agar dapat menghapuskan keburukan tersebut lalu menghentikan perbuatan yang serupa dimasa yang akan datang.
Muhasabah atau evaluasi atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai kunci pertama dari kesuksesan. Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Perintah Bermuhasabah
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah tiap-tiap diri memperhatikan apa yang dipersiapkan untuk hari esok." (QS Al-Hasyr 59: 18)

Ayat di atas sangat jelas mengandung perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman agar memperhatikan kembali apakah amal perbuatan yang dilakukannya mendatangkan manfaat untuk kehidupan akhirat atau tidak. Jika terdapat pada amal perbuatannya sesuatu yang diyakini bermanfaat untuk kehidupan akhirat maka dia patut bersyukur. Akan tetapi, jika tidak, maka dia patut menyesali dan segera melakukan tobat kepada Allah SWT.

Seorang yang beriman dan berakal seharusnya lebih bersungguh-sungguh menghisab diri dan perbuatannya. Karena semua itu berkaitan dengan kesengsaraan atau kebahagiaan yang kekal abadi di akhirat. Umar bin Khaththab RA berkata, ''Hisablah dirimu sendiri sebelum kamu dihisab di akhirat kelak. Timbang-timbanglah amal perbuatanmu sebelum ia ditimbang di akhirat.'' (Riwayat Abu Nuaim dalam Al-Hilyah).

Dalam riwayat lain, Umar RA setiap menjelang malam memukul kedua kakinya dengan cambuk seraya berkata kepada dirinya sendiri, ''Apa yang sudah kukerjakan hari ini.'' Perbuatan Umar bin Khaththab jelas merupakan manifestasi dari muhasabah (menilai kembali tindak-tanduk dan amal perbuatan).

Imam Al-Ghazali dalam hal ini berkata, ''Ketahuilah jika seorang hamba memiliki waktu di pagi hari untuk mendengarkan nasihat-nasihat kebenaran, maka seharusnya dia juga memiliki waktu di sore hari untuk menghisab dirinya. Dia mesti merenungi kembali seluruh gerak-gerik dan perbuatannya sepanjang hari. Ke mana saja dia bergerak, sehari itu, dalam perkara apa dia bergerak, dan untuk tujuan apa pula dia bergerak?''

''Tirulah perbuatan para pedagang yang memperhitungkan seluruh aktivitas perdagangannya setiap hari, setiap bulan, dan setiap tahun. Mereka melakukan semua perhitungan itu karena menginginkan materi keduniaan dan takut kehilangan sedikit pun dari harta perdagangannya. Padahal dia mengetahui bahwa semua yang diusahakannya secara sungguh-sungguh itu pada akhirnya akan hilang (fana) juga.''

Pada suatu hari seorang laki-laki mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ''Wahai Rasulullah berilah wasiat kepadaku.'' Rasul menjawab, ''Benarkah engkau mau menerima wasiatku?'' Lelaki itu menjawab, ''Ya''. Maka Rasulullah bersabda, '' Jika kamu sedang melakukan suatu urusan penting maka perhatikanlah baik-baik. Jika kamu rasa urusan itu dapat mendatangkan petunjuk (hidayah) untukmu maka teruskanlah. Namun jika kamu rasa urusan tersebut akan melalaikanmu maka hentikan.''

Muhammad SAW beristighfar setiap hari kepada Allah sebanyak 100 kali. Padahal beliau adalah ma'shum dan mahfudz, yakni dijaga oleh Allah SWT dari perbuatan dosa baik yang kecil maupun besar. Karena itu, kita sebagai makhluk yang setiap hari tak luput dari alpa dan dosa sudah semestinya melakukan muhasabah dan bertobat. Semoga kita selalu mendapat perlindungan dan petunjuk dari Allah SWT.
Cara Bermuhasabah
Muhasabah menurut Rasulullah SAW sama artinya dengan jihad nafs atau jihad memerangi dan mengekang hawa nafsu. Rasulullah SAW dalam sabdanya yang lain menegaskan jihad nafs adalah salah satu jihad paling besar dan termasuk ke dalam hakikat seorang mujahid. ''Mujahid adalah orang yang mengekang jiwanya untuk taat kepada perintah Allah.'' (HR Ahmad).
Ulama’ lain mengatakan bahwa instropeksi ialah menggunakan akal untuk mengendalikan hawa nafsu agar tidak berkhianat dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahanya. Instrospeksi diri dapat dilakukan sebelum atau setelah dikerjakan, Adapun cara untuk meraih muhasabah antara lain:
   1.Melakukan perbandingan satu keadaan dengan keadaan lain, sehingga akan terkuaklah kelalaian besar yang selama ini belum disadari.
   2.Memikirkan kelemahan yang ada dalam diri, sebab jika seseorang memperhatikan dengan cermat amal perbuatan yang ia lakukan maka ia akan melihat ada rasa ujub dan terperdaya yang menyusupinya dan jika ia tidak segera membenahinya maka ia akan binasa.
   3.Hendaknya ditanamkan dalam diri rasa takut kepada Allah SWT.
   4.Menanamkan dalam dirinya perasaan selalu diawasi oleh Allah SWT.
   5.Memikirkan bahwa semua perbuatan kelak akan dipertanyakan dihari Qiyamat
Dengan bermuhasabah diharapakan akan ada perbaikan amal perbuatan diri untuk menghadapai kehidupan yang akan datang demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Urgensi Muhasabah
Imam Turmudzi setelah meriwayatkan hadits di atas, juga meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi dari muhasabah.
1. Mengenai muhasabah, Umar r.a. mengemukakan:
‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.
Sebagai sahabat yang dikenal ‘kritis’ dan visioner, Umar memahami benar urgensi dari evaluasi ini. Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul akhir kelak. Umar paham bahwa setiap insan akan dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab dari Allah swt.
2. Sementara Maimun bin Mihran r.a. mengatakan:
‘Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya’.
Maimun bin Mihran merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat pada tahun 117 H. Beliaupun sangat memahami urgensi muhasabah, sehingga beliau mengaitkan muhasabah dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi.
3. Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah swt. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah swt. menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” [QS. Maryam (19): 95, Al-Anbiya’ (21): 1].
Aspek Muhasabah
Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia menjadi orang yang pandai dan sukses.
1.Aspek Ibadah
Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini. [QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]
2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki
Aspek kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.’ (HR. Turmudzi)
3.Aspek Kehidupan Sosial Keislaman
Aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits:
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah saw. dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya. Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.
4. Aspek Dakwah
Aspek ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut dakwah dalam segala aspek; sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi dari da’wah itu sendiri mengajak orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan ibadah, mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi, banyak istighfar dan taubat dsb.
Tetapi yang cukup urgens dan sangat substansial pada evaluasi aspek dakwah ini yang perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik dalam skala fardi maupun jama’i, merasakan manisnya dan manfaat dari dakwah yang telah sekian lama dilakukan? Jangan sampai sebuah ‘jamaah’ dakwah kehilangan pekerjaannya yang sangat substansial, yaitu dakwah itu sendiri.
Evaluasi pada bidang dakwah ini jika dijabarkan, juga akan menjadi lebih luas. Seperti evaluasi dakwah dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi, evaluasi dakwah dalam bidang dakwah ‘ammah, evaluasi dakwah dalam bidang siyasi, evaluasi dakwah dalam bidang iqtishadi, dsb?
Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai dakwah itu sendiri. Mudah – mudahan ayat ini menjadi bahan evaluasi bagi dakwah yang sama-sama kita lakukan: Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [QS. Yusuf (12): 108]

Karenanya, Umar bin Al Khatab pernah berkata, ''Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, karena sesungguhnya hisab pada hari kiamat adalah ringan bagi orang-orang yang menghisab dirinya di dunia.'' Maksudnya adalah tundukkanlah diri kalian agar patuh melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya karena dengan cara inilah hisab kalian akan ringan pada hari kiamat.
Rasulullah SAW menyebut orang seperti itu dengan sebutan 'orang yang berakal'. ''Orang yang berakal adalah orang yang memaksa dirinya untuk taat kepada Allah SWT dan berbuat (mempersiapkan bekal) bagi akhirat, sedangkan orang yang lemah adalah orang yang membiarkan dirinya mengikuti hawa nafsu kemudian berangan-angan agar Allah mengampuninya.'' (HR At Tirmidzi).
Jakarta  25/2/2013





1 komentar:

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman