SHALAT
SUNNAH JUM’AT ?
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
“Jika salah
seorang diantara kalian datang pada hari Jum’at sedang imam tengah berkhutbah
maka hendaklah dia mengerjakan shalat
dua raka’at dan hendaklah dia bersegera dalam mengerjakan keduanya”
[Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani]
Muqaddimah
Selain shalat fardhu lima waktu (dhuhur, ‘ashar,
maghrib, isya’ subuh) yang wajib dilakukan oleh semua muslim, ada juga shalat
sunnah yang dianjurkan untuk dilaksanakan sebagai pengiring shalat fardhu.
Shalat sunnah semacam ini bila dilakukan sebelum shalat fradhu disebut shalat
sunnah qabliyah. Sedangkan bila dilaksanakan setelah shalat fardhu disebut
shalat sunnah ba’diyah. Shalat sunnah qabliyah mempunyai beberapa ketentuan,
yaitu 2 rakaat sebelum shubuh, 4 rakaat (dengan 2 salam) sebelum dhuhur dan 4
rakaat (dengan 2 salam) sebelum ashar.
Sedangkan ketentuan shalat sunnah ba’diyah ialah 2 rakaat sesudah dhuhur, 2 rakaat sesudah maghrib, 2 rekaat sesudah isya dan 1 rekaat witir.
Lalu bagaimanakah dengan shalat jum’at? apakah disunnahkan pula qabliyah dan ba’diyah seperti halnya shalat dhuhur biasa?
Sedangkan ketentuan shalat sunnah ba’diyah ialah 2 rakaat sesudah dhuhur, 2 rakaat sesudah maghrib, 2 rekaat sesudah isya dan 1 rekaat witir.
Lalu bagaimanakah dengan shalat jum’at? apakah disunnahkan pula qabliyah dan ba’diyah seperti halnya shalat dhuhur biasa?
Tentu, Sebelum shalat jum’at disunatkan pula shalat sunnah qabliyah seperti halnya ketika hendak
shalat Zhuhur. Bahkan demikian pula dengan dua rekaat setelahnya. Hal ini
berdasar pada hadis shahih seperti yang diungkapkan oleh Abu Hajar al-Asqalani
dalam Fathul Bari menerangkan:
وأقوى مايتمسك به فى مشروعية ركعتين قبل الجمعة عموم ما صححه ابن حبان من حديث عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مَا مِنْ صَلاةٍ مَفْرُوضَةٍ إِلا بَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَيْنِ "
وأقوى مايتمسك به فى مشروعية ركعتين قبل الجمعة عموم ما صححه ابن حبان من حديث عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مَا مِنْ صَلاةٍ مَفْرُوضَةٍ إِلا بَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَيْنِ "
“Dalil yang paling kuat untuk dijadikan pedoman
tentang kebolehan shalat dua rakaat sebelum jum’at adalah hadits riwayat Ibnu
Hibban dari Abdullah bin Zubair: “tidak ada suatu shalat (fardhu) pun kecuali
sebelumnya dilaksanakan shalat dua rakaat (shalat sunnah)”.
Shalat Sunnah Muthlaq ?
مَنْ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى وَفَضْلُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
“Barangsiapa
mandi kemudian dia menghadiri shalat Jum’at, lalu mengerjakan shalat yang telah
ditetapkan baginya, selanjutnya dia diam sehingga imam selesai dari khutbahnya
dan kemudian dia mengerjakan shalat bersamanya, maka akan diberikan ampunan
baginya atas dosa antara satu jum’at itu dengan jum’at yang lain dan ditambah
tiga hari” (HR Muslim)
Dan sebuah riwayat dari Abu Dawud :
Dan sebuah riwayat dari Abu Dawud :
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَلَمْ يَتَخَطَّ أَعْنَاقَ النَّاسِ ثُمَّ صَلَّى مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلَاتِهِ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ جُمُعَتِهِ الَّتِي قَبْلَهَا قَالَ وَيَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةِ وَزِيَادَةٌ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَيَقُولُ إِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa
mandi hari jum’at dan memakai pakaian yang terbaik serta memakai wangi-wangian
jika ia memilikinya, kemudian ia menghadiri shalat Jum’at, dan tidak juga
melangkahi leher (barisan) orang-orang, lalu dia mengerjakan shalat yang telah
ditetapkan baginya, selanjutnya diam jika imam telah keluar (menuju ke mimbar)
sampai selesai dari shalatnya, maka ia akan menjadi kaffarah baginya atas apa
yang terjadi antara hari itu dengan hari Jum’at sebelumnya”
Dia menceritakan, Abu Hurairah mengatakan, “Dan ditambah tiga hari”. Dia juga mengatakan :”Sesungguhnya (balasan) kebaikan itu sepuluh kali lipatnya” (HR Abu Dawud)
Dia menceritakan, Abu Hurairah mengatakan, “Dan ditambah tiga hari”. Dia juga mengatakan :”Sesungguhnya (balasan) kebaikan itu sepuluh kali lipatnya” (HR Abu Dawud)
مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرُمَ عَلَى النَّارِ (رواه أبو داود، رقم 1269، والترمذي، رقم 428 . وصححه النووي في "المجموع (4/7) ، والألباني في "صحيح أبي داود" .
"Siapa
yang menjaga shalat empat rakaat sebelum Zuhur dan sesudahnya, haram baginya
neraka."
(HR. Abu
Daud, no. 1269, Tirmizi, no. 428. Dishahihkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu,
4/7, dan Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)
Shalat Sunnah Mutlak Sebelum Khutbah Jumat ?
Di antara
tuntunan para sahabat radhiallahu
‘anhum bagi orang hendak shalat Jumat adalah melaksanakan shalat
sunnah sebelum khatib naik mimbar. Dimulai sejak dia masuk masjid sampai khatib
naik mimbar. Pembahasan ini dimasukkan dalam kajian tentang shalat Dhuha,
karena shalat sunnah sebelum Jumat dilaksanakan di waktu dhuha.
Berikut
adalah beberapa dalil disyariatkannya shalat (sunnah mutlak –ed.) sebelum
Jumat:
a.
Dari Nafi –mantan budak Ibnu Umar– mengatakan, “Dulu, Ibnu Umar
memperlama shalat sunnah sebelum Jumatan. Kemudian, beliau shalat dua rakaat
setelah shalat Jumat. Dan beliau menyampaikan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dulu melakukan hal itu.” (HR. Abu Daud – Shahih Sunan
Abi Daud, 998).
b.
Dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang mandi, kemudian berangkat ke masjid untuk shalat
Jumat, kemudian shalat sunnah sesuai dengan yang dia kehendaki, kemudian diam
(mendengarkan khutbah) sampai khutbah selesai, kemudian shalat bersama imam,
maka dia diampuni antara hari Jumat tersebut sampai Jumat depan ditambah tiga
hari.” (HR. Muslim, 857).
An-Nawawi
mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat pelajaran, bahwa shalat sunnah sebelum
datangnya imam di hari Jumat adalah dianjurkan. Ini adalah (pendapat) madzhab
kami (Syafi’iyah) dan madzhab mayoritas ulama. Dan bahwasanya shalat sunnah
tersebut sifatnya mutlak, tidak ada batasan (jumlah rakaatnya), sebagaimana
teks sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Kemudian
shalat sunnah sesuai dengan yang dia kehendaki.” (Syarh Shahih Muslim, 3/228).
c.
Dari Salman al-Farisi radhiallahu
‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang itu mandi di hari Jumat, dan dia membersihkan
kotoran badannya sesuai dengan kemampuannya, memakai wewangian, kemudian
berangkat ke masjid, dan tidak melangkahi pundak dua orang (yang duduk
berdampingan), kemudian shalat sesuai kehendaknya, kemudian diam ketika imam
berkhutbah, kecuali dia diampuni antara Jumat tersebut sampai Jumat lainnya.”
(HR. al-Bukhari, 843).
Berdasarkan
hadits di atas dan keterangan ulama, dapat disimpulkan bahwa sifat shalat
sunnah sebelum shalat Jumat adalah sebagai berikut:
1.
Bersifat mutlak. Artinya tidak memiliki batasan jumlah rakaat.
2.
Dilakukan di masjid yang digunakan untuk shalat Jumat.
3.
Waktunya dimulai sejak makmum datang di masjid sampai khatib naik mimbar.
4.
Dianjurkan untuk diperlama (panjang-panjang bacaannya), meskipun jumlah
rakaatnya lebih sedikit. Sebagaimana yang dilakukan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma.
5.
Dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Sebagaimana keumuman hadits, “Shalat sunnah siang-malam itu dua-dua.”
(HR. Abu Daud, 1295; Ibnu Majah, 1322; dan Ahmad, 4791).
Pendapat Ulama tentang nama shalat sunnah sebelum
Jum’at ?
As-Sa'di
mengutarakan, pada dasarnya para ulama mufakat ada shalat sunat dua atau empat
rakaat sebelum pelaksanaan shalat Jumat.
Atas dasar itulah, siapa pun yang mengerjakan shalat sunat dua atau empat rakaat sebelum shalat Jumat hukumnya boleh. “Jangan dianggap bid'ah,” tuturnya.
Terlebih, shalat tersebut dikerjakan pada waktu yang tidak dilarang shalat, sehingga siapa pun bisa shalat sunat mutlak kapan pun, selama tidak di masa-masa-masa yang dimakruhkan.
Selanjutnya, termasuk kategori apakah shalat sunat dua atau empat rakaat sebelum Jumat tersebut? Para ulama berselisih pandang.
Pendapat yang pertama menyatakan shalat sunat tersebut adalah shalat qabliyah Jumat. Minimal dua rakaat dan lebih afdal lagi empat rakaat. Ini adalah opsi yang dipilih mayoritas ulama mazhab, antara lain, mazhab Syafi'i dan Hanafi, dan sebagian ulama mazhab Hanbali.
Di kalangan sahabat, ada Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Zubair. Di generasi berikutnya terdapat nama Imam ats-Tsauri, an-Nakha'i, dan Abdullah bin al-Mubarak.
Dalil kubu pertama, antara lain, ialah hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mughafal. Hadis itu menyatakaan di antara waktu menunggu azan dan iqamat, terdapat shalat sunat rawatib.
Ini diperkuat dengan riwayat Abdullah bin Zubair yang dinukilkan Ibnu Hibban. Hadis itu menyatakan, di setiap shalat fardhu pasti ada shalat sunat dua rakaat sebelumnya.
Ibnu Hajar, lantas berkomentar di kitabnya Fath al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari, legalitas shalat sunat dua rakaat qabliyah Jumat bisa mengacu pada hadis nukilan Ibnu Abbas di atas.
Penuturan Abdullah bin Umar, turut pula dijadikan sebagai pendukung argumentasi kelompok ini. Bahwa, Rasulullah SAW tidak melewatkan shalat sunat sebelum Jumat.
Sedangkan, pendapat yang kedua mengemukakan, tidak terdapat shalat sunat qabliyah Jumat. Karenanya, semestinya menghindari niat shalat sunat tersebut.
Ini karena shalat sunat dua rakaat atau empat rakaat tersebut masuk kategori shalat sunat mutlak, bukan qabliyah.
Opsi ini diamini sebagian besar Mazhab Hanbali, Maliki, dan salah satu riwayat dalam mazhab Syafi'i. Ibnu Taimiyah dan Ibn al-Qayim mengacu pula pada pendapat ini.
Argumentasi yang dikemukakan oleh kubu ini, antara lain, hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar. Rasul menegaskan di nukilan itu bahwa shalat sunah qabliyah tidak disebutkan. Yang tertera hanya shalat sunat qabliyah dan ba'diyah Zhuhur.
Ini diperkuat riwayat Bukhari dari as-Saib bin Yazid. Ketika Rasul berkhutbah Jumat, nyaris tidak ada jeda antara khutbah dan shalat, sehingga tidak memungkinkan melakukan shalat sunat di sela-sela waktu itu.
Atas dasar itulah, siapa pun yang mengerjakan shalat sunat dua atau empat rakaat sebelum shalat Jumat hukumnya boleh. “Jangan dianggap bid'ah,” tuturnya.
Terlebih, shalat tersebut dikerjakan pada waktu yang tidak dilarang shalat, sehingga siapa pun bisa shalat sunat mutlak kapan pun, selama tidak di masa-masa-masa yang dimakruhkan.
Selanjutnya, termasuk kategori apakah shalat sunat dua atau empat rakaat sebelum Jumat tersebut? Para ulama berselisih pandang.
Pendapat yang pertama menyatakan shalat sunat tersebut adalah shalat qabliyah Jumat. Minimal dua rakaat dan lebih afdal lagi empat rakaat. Ini adalah opsi yang dipilih mayoritas ulama mazhab, antara lain, mazhab Syafi'i dan Hanafi, dan sebagian ulama mazhab Hanbali.
Di kalangan sahabat, ada Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Zubair. Di generasi berikutnya terdapat nama Imam ats-Tsauri, an-Nakha'i, dan Abdullah bin al-Mubarak.
Dalil kubu pertama, antara lain, ialah hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mughafal. Hadis itu menyatakaan di antara waktu menunggu azan dan iqamat, terdapat shalat sunat rawatib.
Ini diperkuat dengan riwayat Abdullah bin Zubair yang dinukilkan Ibnu Hibban. Hadis itu menyatakan, di setiap shalat fardhu pasti ada shalat sunat dua rakaat sebelumnya.
Ibnu Hajar, lantas berkomentar di kitabnya Fath al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari, legalitas shalat sunat dua rakaat qabliyah Jumat bisa mengacu pada hadis nukilan Ibnu Abbas di atas.
Penuturan Abdullah bin Umar, turut pula dijadikan sebagai pendukung argumentasi kelompok ini. Bahwa, Rasulullah SAW tidak melewatkan shalat sunat sebelum Jumat.
Sedangkan, pendapat yang kedua mengemukakan, tidak terdapat shalat sunat qabliyah Jumat. Karenanya, semestinya menghindari niat shalat sunat tersebut.
Ini karena shalat sunat dua rakaat atau empat rakaat tersebut masuk kategori shalat sunat mutlak, bukan qabliyah.
Opsi ini diamini sebagian besar Mazhab Hanbali, Maliki, dan salah satu riwayat dalam mazhab Syafi'i. Ibnu Taimiyah dan Ibn al-Qayim mengacu pula pada pendapat ini.
Argumentasi yang dikemukakan oleh kubu ini, antara lain, hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar. Rasul menegaskan di nukilan itu bahwa shalat sunah qabliyah tidak disebutkan. Yang tertera hanya shalat sunat qabliyah dan ba'diyah Zhuhur.
Ini diperkuat riwayat Bukhari dari as-Saib bin Yazid. Ketika Rasul berkhutbah Jumat, nyaris tidak ada jeda antara khutbah dan shalat, sehingga tidak memungkinkan melakukan shalat sunat di sela-sela waktu itu.
SHALAT SUNNAH BA'DIYAH JUM'AT
Telah disampaikan sebelumnya hadits Ibnu Umar , yang di dalamnya disebutkan :
“Dan dua rakaat setelah Jum’at di rumahnya” (Al-hadits)
Telah disampaikan sebelumnya hadits Ibnu Umar , yang di dalamnya disebutkan :
“Dan dua rakaat setelah Jum’at di rumahnya” (Al-hadits)
Dan dari Abu
Hurairah , dia bercerita, Rasulullah bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا
“Apabila
salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat Jum’at, maka hendaklah dia
mengerjakan shalat empat raka’at setelahnya”. Diriwayatkan oleh Muslim.
Dan dalam
sebuah riwayat disebutkan:
إِذَا صَلَّيْتُمْ بَعْدَ الْجُمُعَةِ فَصَلُّوا أَرْبَعًا
“Barangsiapa
di antara kalian akan mengerjakan shalat setelah shalat Jum’at, maka hendaklah
dia mengerjakan empat rakaat” (HR Muslim)
Ikhtitam
1.Pendapat yang pertama menyatakan shalat sunat tersebut adalah shalat qabliyah Jumat. Minimal dua rakaat dan lebih afdal lagi empat rakaat. Ini adalah opsi yang dipilih mayoritas ulama mazhab, antara lain, mazhab Syafi'i dan Hanafi, dan sebagian ulama mazhab Hanbali.
1.Pendapat yang pertama menyatakan shalat sunat tersebut adalah shalat qabliyah Jumat. Minimal dua rakaat dan lebih afdal lagi empat rakaat. Ini adalah opsi yang dipilih mayoritas ulama mazhab, antara lain, mazhab Syafi'i dan Hanafi, dan sebagian ulama mazhab Hanbali.
2.Sedangkan, pendapat yang kedua mengemukakan, tidak terdapat shalat sunat qabliyah Jumat. Karenanya, semestinya menghindari niat shalat sunat tersebut.
Ini karena shalat sunat dua rakaat atau empat rakaat tersebut masuk kategori shalat sunat mutlak, bukan qabliyah.
Sumber:1.Al-Qur’an
Hadits 2.https://salafiyunpad.wordpress.com
3http://www.republika.co.id 4.http://www.nu.or.id
Jakarta
11/2/2015
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSaya memiliki pendapat lain, silahkan analisa blog saya
BalasHapushttps://dhuhur-setelah-jumat.blogspot.co.id