MENGKAJI KEADILAN DALAM
POLIGAMI ?
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ
أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa’(4): 3)
لا يُكلفُ اللهُ نفسًا إلا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya”(al-Baqarah:286)
Muqaddimah
Poligami adalah salah satu di antara syariat Islam.
Poligami juga adalah syariat yang banyak juga ditentang di antara kaum
muslimin. Yang katanya merugikan wanita, menurut mereka yang memegang kaedah
emansipasi perempuan.
Namun poligami sendiri bukanlah seperti yang mereka
pikirkan. Para ulama menilai hukum poligami dengan hukum
yang berbeda-beda. Salah satunya adalah Syaikh Mustafa Al-Adawiy. Beliau
menyebutkan bahwa hukum poligami adalah sunnah
Orang
yang mempunyai isteri lebih dari seseorang wajib menjaga keadilan antara isteri
isterinya dengan seadil-adilnya, terutama menurut lahiriyahnya, Firman Allah
SWT: “Dan tidak sekali-kali kamu mampu melakukan keadilan antara kaum wanita
(isterimu), walaupun kamu benar-benar mengaharapkan keadilan itu, maka
janganlah kamu tumpahkan seluruh kasih sayang itu (kepada isteri yang kamu
cintai) hingga kamu meninggalkan isterimu yang lain, seperti orang-orang yang
digantung tak bertali. Apabila kamu mau berbuat baik serta kamu takut kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Pengasih.”(Q.S. An-Nisa : 129)
Hadits Rasulullah SAW menyatakan: Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi, beliau
bersabda, “Barangsiapa yang beristeri dua orang, lalu ia cenderung kepada salah
seorang antara keduanya (tidak adil) ia datang di hari kiamat dengan badan
miring. (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I,dan Ibnu Hiban)
Pendapat Ulama’ dalam
Poligami ?
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ
وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara isteri-isteri, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung , sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri , maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa’(4): 129)
1. Bahwa seorang laki-laki itu boleh berpoligami (beristri lebih
dari satu) itu jelas tersebut dalam Al Quran Surat An Nisa' 4:3).[1] Dan bahwa
salah satu syarat adalah harus adil seperti ekplisit disebut dalam Al Quran
dalam Surah dan ayat yang sama.[2] Adil dalam pengertian fiqh adalah keadilan
yang bersifat formal seperti dalam menggilir dan memberi nafkah lahir. Jadi,
bukan adil atau sama dalam kualitas cinta dan perasaan.[3] Karena syariat atau
hukum fiqh menilai dhahirnya perbuatan, bukan batinnya.
2.Sedangkan adil dalam masalah cinta dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti perbuatan intim dan sejenisnya, maka hal ini tidak ada kemampuan. Permasalahan tersebut yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala :
2.Sedangkan adil dalam masalah cinta dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti perbuatan intim dan sejenisnya, maka hal ini tidak ada kemampuan. Permasalahan tersebut yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala :
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (An-Nisaa': 129)
Oleh karena
itu telah kuat riwayat hadits dari Nabi pada riwayat Aisyah Radhiyallahu’anha,
ia berkata:
“Beliau
biasa membagi hak diantara istri-istrinya lalu beliau berdoa: ‘Ya Allah, inilah
usahaku membagi terhadap apa yang aku mampu, maka janganlah Engkau cela aku
terhadap apa yang Engkau mampu sedangkan aku tidak mampu. ” (Riwayat Abu Dawud,
At Tirmidzi, An-Nasal, dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan-
AlHakim)
3.Menurut Imam Syafi’I, As-Sarakhsi dan Al-Kasani
serta beberapa Ulama lain, keadilan yang dimaksud disini berhubungan dengan
keadilan bathiniah (hati) yang tidak mungkin hati akan berbuat adil. Sehingga
persyaratan berlaku adil apabila seorang laki-laki mempunyai istri lebih dari
satu (poligami) adalah adil secara lahir atau fisik, yaitu dalam perbuatan dan
perkataan. Keadilan dalam urusan fisik ini yang juga dituntut oleh surat
Al-Ahzab(33): 50 “dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” dan Al-Baqarah(2): 228 “..dan
pergaulilah dengan mereka secara patut”.
4.Dalam tafsir al-Maraghi dapat disimpulkan mengenai keadilan berpoligami
yang terkandung dalam Surat al-Nisa’: 129, bahwa diwajibkan bagi suami
memelihara keadilan semaksimal mungkin diantara para isterinya. Meskipun
merupakan hal yang mustahil ditegakkan tetapi hendaklah berusaha bersikap adil
semaksimal mungkin sehingga tidak membuat para isteri diabaiakan. Keadilan yang
dibebankan oleh Allah disesuaikan dengan kemampuan suami yaitu memperlakukan
para isteri dengan baik dan tidak mengutamakan sebagian yang lain dalam hal-hal
yang termasuk dalam ikhtiar, seperti pembagian dan nafkah. Dan Allah SWT akan
mengampuni dalam selain hal tersebut seperti kecintaan, kelebihan penyambutan
dan lain sebagainya.
5.M. Quraish Shihab menafsirkan makna adil yang
disyaratkan oleh ayat 3 surat An-Nisa’ bagi suami yang hendak berpoligami
adalah keadilan dalam bidang material. Sebagaimana yang ditegaskan oleh ayat 4
surat An-Nisa’ :
“Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu senderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung.”
Keadilan yang dimaksudkan dalam ayat diatas adalah
adil dalam bidang immaterial(cinta). Keadilan ini yang tidak mungkin dicapai
oleh kemampuan manusia. Oleh sebab itu suami yang berpoligami dituntut tidak
memperturutkan hawa nafsu dan berkelebihan cenderung kepada yang dicintai.
Dengan demikian, tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup
rapat pintu poligami.
6.Muhamad Abduh berpandangan lain, keadilan yang
disyaratkan Al-Qur’an adalah keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih
sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak bisa diukur dengan angka-angka.
Ayat Al-Qur’an mengatakan dalam Surat An-Nisa’ ayat 3: “Jika kamu sekalian
khawatir tidak bisa berlaku adil, maka kawinilah satu isrti saja”. Muhammad
Abduh menjelaskan, apabila seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak
istrinya, rusaklah struktur rumah tangga dan terjadilah kekacauan dalam
kehidupan rumah tangga tersebut. Sejatinya, tiang utama dalam mengatur
kehidupan rumah tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antar
anggota keluarga.
Mayoritas Ulama Fiqh menyadari bahwa keadilan
kualitatif adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. Abdurrahman
al-Jaziri menuliskan bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih
sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yang
berpoligami karena sebagai manusia, orang tidak akan mampu berbuat adil dalam
membagi kasih sayang dan kasih sayang itu sebenarnya sangat naluriah. Sesuatu
yang wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah seorang istrinya melebihi
yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar batas kontrol
manusia.
4 Syarat Berpoligami ?
Dalam kitabnya ahkamun nikah waz zafaf, beliau
mempersyaratkan 4 hal:
1- Seorang yang mampu berbuat adil
Seorang pelaku poligami, harus memiliki sikap adil di
antara para istrinya. Tidak boleh ia condong kepada salah satu istrinya. Hal
ini akan mengakibatkan kezhaliman kepada istri-istrinya yang lain. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Siapa saja orangnya
yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari
kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” (HR.
Abu Dawud, An-Nasa-i, At-Tirmidzi)
Selain adil, ia juga harus seorang yang tegas. Karena
boleh jadi salah satu istrinya merayunya agar ia tetap bermalam di rumahnya,
padahal malam itu adalah jatah bermalam di tempat istri yang lain. Maka ia
harus tegas menolak rayuan salah satu istrinya untuk tetap bermalam di
rumahnya.
Jadi, jika ia tak mampu melakukan hal itu, maka cukup
satu istri saja. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “…kemudian jika kamu
khawatir tidak mampu berbuat adil, maka nikahilah satu orang saja…” (QS.
An-Nisa: 3)
2- Aman dari lalai beribadah kepada
Allah
Seorang yang melakukan poligami, harusnya ia bertambah
ketakwaannya kepada Allah, dan rajin dalam beribadah. Namun ketika setelah ia
melaksanakan syariat tersebut, tapi malah lalai beribadah, maka poligami
menjadi fitnah baginya. Dan ia bukanlah orang yang pantas dalam melakukan
poligami.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap
mereka…” (QS. At-Taghabun: 14)
3- Mampu menjaga para istrinya
Sudah menjadi kewajiban bagi suami untuk menjaga
istrinya. Sehingga istrinya terjaga agama dan kehormatannya. Ketika seseorang
berpoligami, otomatis perempuan yang ia jaga tidak hanya satu, namun lebih dari
satu. Ia harus dapat menjaga para istrinya agar tidak terjerumus dalam
keburukan dan kerusakan.
Misalnya seorang yang memiliki tiga orang istri, namun
ia hanya mampu memenuhi kebutuhan biologis untuk dua orang istrinya saja.
Sehingga ia menelantarkan istrinya yang lain. Dan hal ini adalah sebuah
kezhaliman terhadap hak istri. Dampak yang paling parah terjadi, istrinya akan
mencari kepuasan kepada selain suaminya, alias berzina. Wal iyyadzubillah!
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
(yang artinya), “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang
memiliki kemapuan untuk menikah, maka menikahlah…” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
4- Mampu memberi nafkah lahir
Hal ini sangat jelas, karena seorang yang berpoligami,
wajib mencukupi kebutuhan nafkah lahir para istrinya. Bagaimana ia ingin
berpoligami, sementara nafkah untuk satu orang istri saja belum cukup? Orang
semacam ini sangat berhak untuk dilarang berpoligami.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (dirinya),
sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (QS.
An-Nur: 33)
Ikhtitam
Dalam menyatukan dua ayat yang tampik kontradiksi di atas yaitu QS An Nisa' ayat 3 dan An Nisa' ayat 129, ulama ahli fiqh dan ahli hadits sepakat bahwa menikah lebih dari satu atau poligami itu dibolehkan seperti tersurat dalam QS An Nisa' 4:3 dengan syarat harus adil dengan keadilan yang mungkin dilakukan suami. Yaitu, adil dalam jumlah menggilir dan memberi nafkah lahir. Adapun keadilan yang tidak mungkin dilakukan suami seperti adil dalam rasa cinta itu tidak menjadi syarat dalam berpoligami karena itu sulit atau tidak mungkin dilakukan seperti tersebut dalam QS An Nisa' ayat 129.
Dalam menyatukan dua ayat yang tampik kontradiksi di atas yaitu QS An Nisa' ayat 3 dan An Nisa' ayat 129, ulama ahli fiqh dan ahli hadits sepakat bahwa menikah lebih dari satu atau poligami itu dibolehkan seperti tersurat dalam QS An Nisa' 4:3 dengan syarat harus adil dengan keadilan yang mungkin dilakukan suami. Yaitu, adil dalam jumlah menggilir dan memberi nafkah lahir. Adapun keadilan yang tidak mungkin dilakukan suami seperti adil dalam rasa cinta itu tidak menjadi syarat dalam berpoligami karena itu sulit atau tidak mungkin dilakukan seperti tersebut dalam QS An Nisa' ayat 129.
Sumber:1.Al-Qur’an Hadits 2http://www.alkhoirot.net
3.https://ulamasunnah.wordpress.com
4.http://muslim.or.id
5.https://rahmatyudistiawan.wordpress.com
JAKARTA
27/2/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar