URGENSINYA NIAT ?
إنما الأ عمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya
dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan”
(HR Bukhari & Muslim)
Muqaddimah
Beberapa komentar para ulama di bawah ini menunjukkan
betapa agung dan pentingnya hadits ini di dalam Islam.
1. Imam Asy-Syafi’i, “Hadits Niat masuk di dalam tujuh
puluh bab masalah-masalah fiqh.”
2. Imam Ahmad ibn Hanbal,”Pokok ajaran Islam terdapat
pada tiga buah hadits. Hadits Umar (hadits yang kita bicarakan sekarang),
Hadits Aisyah, dan Hadits Nu’man ibn Basyir.”
3. Imam Syaukaani,” Hadits Niat merupakan sepertiga
ilmu (-di dalam Islam-).
4. Imam Ibn Rajab,”Hadits Niat merupakan timbangan
bagi amalan bathin, sedangkan Hadits Aisyah (من أحدث….) merupakan timbangan bagi amalah dzahir.”
5. Imam Abu Sa’id Abdurrahman ibn Mahdi,” Siapa saja
yang hendak menulis sebuah kitab, hendaknya ia membuka dan memulainya dengan
membawakan hadits Niat.”
Hukum Melafalkan Niat ?
Ada tiga pendapat mengenai hukum melafalkan niat dalam
ibadah.
Pertama, pendapat yang mengatakan sunnah,
agar ucapan lidah dapat membantu memantapkan hati dalam niat ibadah. Pendapat
ini diikuti oleh madzhab Hanafi dalam pendapat yang mukhtar, madzhab Syafi’i,
dan madzhab Hanbali sesuai dengan kaedah madzhab. Hal ini sebagaimana
ditegaskan oleh Ibnu Nujaim dalam al-Asybah wa al-Nazhair hal. 48, al-Imam
al-Khathib al-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj juz 1 hal. 57, dan al-Imam
al-Buhuti al-Hanbali dalam Kasysyaf al-Qina’ juz 1 hal. 87.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa
melafalkan niat dalam ibadah adalah makruh. Pendapat ini diikuti oleh sebagian
ulama madzhab Hanafi dan sebagian ulama madzhab Hanbali. Hal ini juga
diceritakan oleh Ibnu Nujaim dalam al-Asybah wa al-Nazhair hal. 48 dan
al-Buhuti dalam Kasysyaf al-Qina’ juz 1 hal. 87.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa
melafalkan niat dalam ibadah adalah boleh (mubah), akan tetapi sebaiknya
ditinggalkan. Kecuali bagi orang yang waswas, maka melafalkan niat disunnahkan
baginya, untuk menghilangkan keraguannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh
Ibnu Arafah dalam Hasyiyah al-Dusuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir juz 1 hal. 233-234
dan al-Shawi dalam al-Syarh al-Shaghir juz 1 hal. 304.
Demikian pendapat para ulama fuqaha madzhab empat
tentang hukum melafalkan niat dalam ibadah.
Sedangkan dalil yang dijadikan dasar para ulama yang menganjurkan melafalkan niat dalam ibadah adalah
hadits sebagai berikut ini:
عن أَنَسٍ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ بِعُمْرَةٍ وَحَجٍ.
رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata (ketika akan
menunaikan ibadah haji dan umrah): “Aku penuhi panggilan-Mu, untuk menunaikan
ibadah umrah dan haji.” HR Muslim.
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasalmam melafalkan niat dalam ibadah haji dan umrah. Apabila dalam satu
ibadah, melafalkan niat itu dianjurkan, maka dalam ibadah lainnya juga
dianjurkan, karena sama-sama ibadah. Dalam hadits lain juga diriwayatkan:
عَنْ عَائِشَة
َأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمًا : هَلْ
عِنْدَكُمْ مِنْ غَدَاءٍ ؟ قَالَتْ لَا ، قَالَ : فَإِنِّي إذَنْ أَصُومُ ،
قَالَتْ : وَقَالَ لِي يَوْمًا آخَرَ أَعِنْدَكُمْ شَيْءٌ ؟ قُلْتُ نَعَمْ ، قَالَ
: إذَنْ أُفْطِرُ وَإِنْ كُنْتُ فَرَضْتُ الصَّوْمَ ” رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ
وَصَحَّحَ إسْنَادَهُ
“Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa pada suatu hari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “Apakah kalian mempunya makanan
untuk sarapan?” Ia menjawab: “Tidak ada.” Lalu beliau bersabda: “Kalau begitu,
aku berniat puasa.” Aisyah berkata: “Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata kepadaku: “Apakah kalian mempuanyai sesuatu (makanan)?” Aku
menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, aku niat berbuka, meskipun tadi
aku bermaksud puasa.” HR. al-Daraquthni dan ia menshahihkan sanadnya.”
Dalam hadits di atas, jelas sekali Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam melafalkan niatnya untuk menunaikan ibadah puasa. Dalam ibadah
puasa, melafalkan niat disunnahkan, berarti dalam ibadah yang lain juga
dianjurkan karena sama-sama ibadah.
Perlu diketahui, bahwa dalam niat puasa, tidak harus
menggunakan redaksi nawaitu shauma ghadin (saya niat puasa besok), bahkan boleh
juga dengan redaksi ashumu ghadan (aku niat puasa besok) atau inni sha’imun
ghadan (sungguh aku puasa besok). Demikian pula, dalam niat shalat, tidak harus
dengan redaksi ushalli (saya niat shalat), akan tetapi boleh dengan redaksi
nawaitu shalatal ‘ashri (saya niat shalat ashar) dan lain sebagainya. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyah.
Sekarang, apabila melafalkan niat dalam ibadah shalat
dan wudhu’, disunnahkan karena diqiyaskan dengan ibadah haji dan puasa, lalu
bagaimana dengan pernyataan sebagian kalangan Wahabi yang mengharamkan dan
membid’ahkan melafalkan niat dengan alasan kaedah la qiyasa fil ‘ibadat (tidak
boleh menggunakan qiyas dalam hal ibadah)? Tentu saja kaedah la qiyasa fil
‘ibadat tersebut tidak benar dan bertentangan dengan penerapan para ulama salaf
terhadap dalil qiyas.
Ketika qiyas itu diakui sebagai salah satu dalil dalam
pengambilan hukum Islam, maka penerapannya bersifat umum, termasuk dalam bab
ibadah. Oleh karena itu, kita dapati para ulama salaf sejak generasi sahabat
melakukan qiyas dalam hal ibadah. Misalnya, al-Imam al-Hafizh Nuruddin
al-Haitsami meriwayatkan dalam kitabnya Majma’ al-Zawaid, bahwa sebagian
sahabat seperti Anas bin Malik menunaikan shalat sunnah 4 raka’at sebelum
shalat ‘id. Sementara sahabat Ibnu Mas’ud menunaikan shalat sunnah sesudah
shalat ‘id empat raka’at. Padahal dalam kitab tersebut juga diriwayatkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukan dan tidak
menganjurkannya. Hal ini mereka lakukan karena diqiyaskan dengan shalat
maktubah, yang memiliki shalat sunnah rawatib, sebelum dan sesudahnya.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab
resmi Wahabi Saudi Arabia, juga melakukan qiyas dalam hal ibadah. Al-Imam Ibnu
Nashr al-Marwazi meriwayatkan:
وَسُئِلَ أَحْمَد ُعَنِ الْقُنُوْتِ فِي الْوِتْرِ
قَبْلَ الرُّكُوْعِ أَمْ بَعْدَهُ وَهَلْ تُرْفَعُ اْلأَيْدِي فِي الدُّعَاءِ فِي
الْوِتْرِ؟ فَقَالَ: اَلْقُنُوْتُ بَعْدَ الرُّكُوْعِ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ
وَذَلِكَ عَلىَ قِيَاسِ فِعْلِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
الْقُنُوْتِ فِي الْغَدَاةِ.
“Al-Imam Ahmad ditanya tentang qunut dalam shalat
witir, sebelum ruku’ atau sesudahnya, dan apakah dengan mengangkat tangan dalam
doa ketika shalat witir?” Beliau menjawab: “Qunut dilakukan setelah ruku’, dan
mengangkat kedua tangannya ketika berdoa. Demikian ini diqiyaskan pada
perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam qunut shalat shubuh.” HR.
Ibnu Nashr al-Marwazi dalam Qiyam al-Lail, hal. 318.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti Wahabi Saudi Arabia, yang
wafat beberapa waktu yang lalu, juga melakukan qiyas dalam bab ibadah. Dalam
hal ini, beliau berfatwa:
حُكْمُ رَفْعِ
الْيَدَيْنِ فِي دُعَاءِ الْوِتْرِ
س: مَا حُكْمُ
رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي الْوِتْرِ؟
ج: يُشْرَعُ
رَفْعُ الْيَدَيْنِ فِيْ قُنُوْتِ الْوِتْرِ؛ لأَنَّهُ مِنْ جِنْسِ الْقُنُوْتِ
فِي النَّوَازِلِ، وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ
رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دُعَائِهِ فِيْ قُنُوْتِ النَّوَازِلِ. خَرَّجَهُ
الْبَيْهَقِيُّ رَحِمَه ُاللهُ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ .
“Hukum
mengangkat kedua tangan dalam doa witir. Soal: Bagaimana hukum mengangkat kedua
tangan dalam shalat witir? Jawab: Disyariatkan (dianjurkan) mengangkat kedua
tangan dalam qunut shalat witir, karena termasuk jenis qunut nazilah (yang
dilakukan karena ada bencana). Dan telah sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya dalam doa qunut nazilah. Hadits
tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dengan sanad yang shahih.”
Fatawa Islamiyyah, juz 1 hal. 349, dan Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah,
juz 30 hal. 51.
Berdasarkan paparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa anjuran melafalkan niat dalam ibadah adalah pendapat
mayoritas ulama madzhab yang empat (madzahib al-arba’ah). pendapat tersebut memiliki dalil
yang kuat dan otoritatif (mu’tabar), yaitu diqiyaskan kepada ibadah haji dan
puasa, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, melafalkan niat dalam
keduanya. Pendapat tersebut tidak dapat ditolak dengan alasan kaedah, la qiyasa
fil ‘ibadat (tidak boleh melakukan qiyas dalam bab ibadah). Karena qiyas
termasuk dalil pengambilan hukum dalam Islam, yang berlaku dalam semua bab.
Oleh karena itu, qiyas dalam bab ibadah telah diterapkan oleh para sahabat,
al-Imam Ahmad bin Hanbal dan bahkan oleh sebagian ulama terkemuka kaum Wahabi
kontemporer seperti Syaikh Ibnu Baz.
Lalu apa fungsi niat ?
Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah
menyebutkan dalam kitab beliau Jami’ al-‘ulum wal hikam mengenai fungsi
dari niat, bahwa ada dua fungsi niat:
Pertama, Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya,
atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan.
Kedua, Membedakan tujuan seseorang dalam beribadah. Jadi
apakah seorang beribadah karena mengharap wajah Allah ataukah ia beribadah
karena selain Allah, seperti mengharapkan pujian manusia.
(Lihat: Jami’ al-‘ulum wal hikam, hal. 67).
(Lihat: Jami’ al-‘ulum wal hikam, hal. 67).
Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lain.
Contohnya, shalat yang dua raka’at itu banyak. Ada shalat yang wajib dan tak
sedikit shalat sunah yang dua raka’at. Kita ambil contoh shalat qabliyah subuh
dengan shalat subuh. Keduanya berjumlah dua raka’at. Tata caranya pun sama,
jumlah ruku’ dan sujudnya juga sama.Sama-sama diawali takbiratul ihram dan
diakhiri dengan salam. Lalu apa yang memedakan antara dua raka’at qabliyah
subuh dengan dua raka’at shalat subuh? Itu lah niat yang membedakan antara keduanya.
Atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan. Misal,
antara mandi junub dengan mandi biasa. Dari segi tatacara sama; sama-sama
mengguyurkan air keseluruh badan. Sama-sama pakai sabun, dan sama-sama keramas
juga. Lalu apa yang membedakan? Niat yang membedakannya. Jadi amalan yang pada
asalnya hanya kebiasaan bisa bernilai ibadah bila diniati ibadah.
Kemudian fungsi niat kedua adalah Membedakan tujuan seseorang dalam beribadah . Pembahasan inilah
yang sering kita kenal dengan istilah ikhlas. Jadi apakah seorang tatkala ia
beribadah ikhlas lillahi ta’ala, atau hanya mengharap perhatian manusia?
Dan kita tahu bahwasannya Allah ta’ala tidak
akan merima amalan seorang hamba melainkan yang dilakukan karena ikhlas
mengharap keridhaan-Nya semata. Karena Allah ta’ala Maha Kaya, Dia tidak butuh
persekutuan dalam peribadatan kepadaNya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah ta’ala
berfirman,
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku sangat tidak butuh sekutu, siapa saja yang
beramal menyekutukan sesuatu dengan-Ku, maka Aku akan meninggalkan dia dan
syirknya.” (HR. Muslim)
Fungsi niat yang kedua ini pula yang seringkali
dimaksudkan dalam perkataan-perkataan ulama salaf. Seperti perkataan seorang alim;
Abdullah bin Mubarak rahimahullah,
رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية
“Boleh jadi amalan yang sepele, menjadi besar
pahalanya disebabkan karena niat. Dan boleh jadi amalan yang besar, menjadi
kecil pahalanya karena niat. ”
Jadi dari fungsi niat yang kedua ini
kita dapat menyimpulkan bahwa niat akan mempengaruhi kadar pahala yang
diperoleh seorang hamba. Semakin murni keikhlasannya, semakin besar pahala yang akan ia dapat. Walau
amalan yang ia lakukan ringan. Dan Semakin kecil kadar keikhlasan seorang
hamba; walau amalan yang ia lakukan adalah amalan yang berpahala besar, namun
bila keikhlasan dalam hatinya kecil, maka semakin kecil pula pahala yang ia
peroleh.
Ikhtitam
Juga perkataan ulama salaf lainnya
seperti Yahya bin Abi Katsir rahimahullah,
تَعَلَّمُوا النِّيَّةَ فَإِنَّهَا أَبلَغُ مِنَ العَمَل
ِ
“Pelajarilah niat, karena ia lebih dahulu sampai di sisi Allah daripada amalan“
“Pelajarilah niat, karena ia lebih dahulu sampai di sisi Allah daripada amalan“
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata,
صَلاَحُ القَلبِ بِصَلاَحِ العَمَلِ، وَ صَلاَحُ العَمَلِ بِصَلاَحِ النِّيَّة
ِ
“Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Dan baiknya amalan adalah dengan baiknya niat“
“Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Dan baiknya amalan adalah dengan baiknya niat“
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah,
مَا عَالَجتُ شَيئًا أَشَدُّ عَليَّ مِن نِيَّتِي لأَنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَليّ
َ
“Tidak ada sesuatu yang paling berat untuk saya obati, kecuali masalah niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik dalam diriku“.
“Tidak ada sesuatu yang paling berat untuk saya obati, kecuali masalah niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik dalam diriku“.
Sumber:1.Al-Qur’an Hadits 2.Wabillahit taufiq wal
hidayah. 3.http://muslim.or.id
4.http://www.idrusramli.com. jakarta
19/2/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar