KEADILAN HUKUM TUHAN ?
ومن لم يحكم بما أنزل اللّه فأولئك هم الكافرون
Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang
diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir. (Al-Maidah: 44)
Hukum Allah
adalah hukum yang tegak di atas keadilan. Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih
baik hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS.
Al-Ma’idah: 50)
Bagi seorang
muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan
hukum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah adalah
sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8).
Muqaddimah
Ridha terhadap hukum Allah merupakan bagian dari sikap
ridha terhadap rububiyah Allah dan ridha Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai utusan-Nya. Dari al-‘Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan
manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan
Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim no. 34)
Pertama, ayat tersebut diatas memang turun kepada Bani Israil (yahudi),
namun ketentuannya berlaku secara umum termasuk umat Islam.
Kedua, sesuai dengan fatwa Ibnu Abbas, kita tidak bisa
main vonis bahwa siapa saja yang tinggal di negeri yang tidak menjalankan hukum
Islam, boleh diberi vonis kafir. Sebab sangat boleh jadi banyak dari umat Islam
yang tetap menginginkan dijalankannya hukum Islam, namun ternyata penguasa
tidak mau menjalankannya. Entah karena pemerintahnya bukan muslim, atau muslim
tapi tidak paham.
Ketiga, hukum kafir bisa dijatuhkan kepada para
penanggung-jawab sebuah negeri, baik lembaga yudikatif, legislatifmau pun
eksekutif, apabila secara nyata mereka menolak penerapan seluruh hukum Islam.
Sementara kesempatan sudah terbuka lebar.
Namun dalam hal ini, sebelum vonis kafir dikeluarkan,
harus ada upaya untuk mempresentasikan hukum-hukum Islam secara terbuka, adil
dan objektif kepada mereka. Hingga mereka tahu apa manfaat positif dari hukum
Islam itu.
Pendapat tentang
berhukum dengan Hukum Allah ?
Dan nyatanya oleh banyak ulama, makna dan pengertian
ayat ini dikomentari dengan pendapat yang berbeda. Mari kita buka kitab-kitab
tafsir yang muktabar. Di sana kita akan dapati beragam komentar, antara lain:
- Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas ra berkata ketika menjawab status kafir bagi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, sesuaiayat ini, "Kufur yang bukan seperi kufur kepada Allah dan hari akhir."
- Dalam lain riwayat disebutkan bahwa Ibnu Abbas berkomentar tentang ayat ini bahwa ada dua hukum yang dikandungnya. Pertama, siapa yang mengingkari kewajiban untuk menjalankan hukum Allah, maka dia kafir. Sedangkan siapa yang tidak mengingkarinya, hanya sekedar tidak mengerjakannya, maka dia fasik dan zhalim."
- Ibrahim An-Nakhai sebagaimana diriwayatkan oleh At-Thabari mengatakan bahwa ayat ini turun buat Bani Israil dan Allah merelakannya untuk umat ini untuk menggunakan hukum itu.
- Al-Hasan mengataan bahwa hukum-hukum Allah itu turun untukYahudi namun buat kita hukumnya wajib.
- Thawus berkata, "Kufur yang dimaksud bukanlah kufur yang meninggalkan millah (agama)."
- Atho’ berkomentar tentang maksud kata ‘kufur’ dalam ayat ini, "Kufur yang bukan kekufuran."
Keutamaan
Hukum Allah ?
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat
di atas, “Ayat ini bersifat umum
mencakup segala permasalahan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya telah
memutuskan hukum atas suatu perkara, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk
menyelisihinya dan tidak ada lagi alternatif lain bagi siapapun dalam hal ini,
tidak ada lagi pendapat atau ucapan -yang benar- selain itu.” (lihat Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim [6/423] cet. Dar Thaibah)
Tunduk kepada hukum Allah, ridha
dengan syari’at-Nya, dan kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah ketika terjadi perselisihan
merupakan konsekuensi keimanan dan penghambaan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala (lihat at-Tauhid li ash-Shaff ats-Tsalits al-‘Ali, hal. 37)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Demikianlah,
memang sudah seharusnya seorang hamba menerima
hukum Allah, sama saja apakah hal itu menguntungkan dirinya atau
merugikannya, sama saja apakah hal itu sesuai dengan hawa nafsunya ataukah
tidak.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 103 cet. Dar Ibnu
Khuzaimah)
Imam Nawawi rahimahullah menafsirkan hadits di
atas, “Arti hadits ini, bahwasanya dia tidak mau mencari (berharap) kepada
selain Allah ta’ala, tidak mau berusaha kecuali di atas jalan Islam, dan
tidak mau menempuh kecuali apa-apa yang
sesuai dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(lihat Syarh Muslim [2/86] cet. Dar Ibnul Haitsam)
Hukum Allah adalah hukum yang tegak di atas keadilan. Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih
baik hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS.
Al-Ma’idah: 50)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menafsirkan,
“Siapakah yang lebih adil [hukumnya]?!” selain daripada hukum Allah. Adapun
maksud “Bagi orang-orang yang yakin” adalah “orang-orang yang meyakini [kebenaran] al-Qur’an.” (lihat Zaadul
Masir, hal. 390)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menerangkan,
bahwa yang dimaksud hukum jahiliyah
adalah segala ketetapan hukum yang bertentangan dengan syari’at. Ia disebut
hukum jahiliyah disebabkan hukum tersebut dibangun di atas kebodohan dan
kesesatan (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/82])
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
apabila kalian memutuskan hukum diantara manusia hendaklah kalian memberikan
keputusan hukum dengan adil.” (QS. An-Nisaa': 58)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum menyeret kalian sehingga
berbuat tidak adil. Berbuat adillah! Sesungguhnya hal itu (keadilan) lebih
dekat kepada ketakwaan.” (QS. Al-Ma’idah: 8)
Imam al-Baghawi menafsirkan, “Yaitu berbuat adillah, baik kepada teman kalian maupun kepada musuh
kalian.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 364)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan ihsan (kebaikan),
memberikan santunan kepada sanak kerabat, melarang dari perkara yang keji dan
munkar serta melanggar hak orang lain.” (QS. An-Nahl: 90)
Abu Sulaiman berkata, “Adil dalam bahasa arab artinya
adalah bersikap inshof/objektif.
Sedangkan sikap inshof yang paling agung adalah pengakuan terhadap Sang Pemberi
nikmat (al-Mun’im) atas segala nikmat yang dicurahkan-Nya (yaitu dengan
bertauhid, pent).” (lihat Zaadul Masir, hal. 791)
Ibnul Qoyyim berkata, “Allah subhanahu wa
ta’ala mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan
menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat
manusia menegakkan timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk
keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar
penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang sangat besar.
Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim, dan tauhid
merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’,
hal. 145)
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik
adalah orang yang paling bodoh tentang
Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan
bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal itu
merupakan puncak kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi
Rabbnya. Karena sesungguhnya yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa’
wa ad-Dawaa’, hal. 145). Allah ta’ala berfirman tentang isi wasiat
Luqman kepada putranya (yang artinya), “Wahai anakku, janganlah kamu berbuat
syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS.
Luqman: 13)
Orang yang berpaling dari hukum Allah kepada hukum
jahiliyah adalah orang yang telah melakukan kezaliman dan terjerumus dalam
kesesatan.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka
itulah para pelaku kekafiran.” (QS. Al-Ma’idah: 44). Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang
Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kezaliman.” (QS. Al-Ma’idah: 45).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum
dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kefasikan.” (QS.
Al-Ma’idah: 47)
Imam Ibnul Jauzi berkata, “Barangsiapa yang tidak
berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena menentang hukum itu dalam
keadaan dia mengetahui bahwa Allah telah menurunkannya sebagaimana halnya
keadaan kaum Yahudi, maka dia adalah kafir. Adapun barangsiapa yang tidak
berhukum dengannya karena kecondongan hawa nafsunya tanpa ada sikap penentangan
-terhadap hukum Allah, pent- maka dia adalah orang yang zalim lagi fasik.”
(lihat Zaadul Masir, hal. 386)
Ibnu Mas’ud dan al-Hasan menafsirkan, “Ayat itu
berlaku umum bagi siapapun yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan
Allah, baik dari kalangan umat Islam, Yahudi, dan orang-orang kafir. Artinya,
apabila dia meyakini dan menghalalkan perbuatannya itu. Adapun orang yang
melakukannya sementara dia berkeyakinan dirinya melakukan perbuatan yang haram,
maka dia tergolong orang muslim yang berbuat fasik…” (lihat al-Jami’ li
Ahkam al-Qur’an [7/497])
Ikhtitam
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
jika kamu memutuskan hukum maka berikanlah keputusan hukum diantara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang menegakkan keadilan.” (QS. Al-Ma’idah: 42)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh
Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas
dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab
dan neraca agar umat manusia menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Imam Ibnu Qayyim berkata :
“Jika meyakini wajibnya memutuskan perkara dengan hukum Allah dalam masalah tersebut kemudian ia berpaling darinya karena maksiat sementara ia masih mengakui ia berhak mendapat hukuman (atas sikap meninggalkan hukum Allah dalam kasus ini) maka ini kafir asghar.”
Hal ini pula yang diutarakan oleh Imam Al Qurthubi, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, dan Syaikh Asy Syinqithi
“Jika meyakini wajibnya memutuskan perkara dengan hukum Allah dalam masalah tersebut kemudian ia berpaling darinya karena maksiat sementara ia masih mengakui ia berhak mendapat hukuman (atas sikap meninggalkan hukum Allah dalam kasus ini) maka ini kafir asghar.”
Hal ini pula yang diutarakan oleh Imam Al Qurthubi, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, dan Syaikh Asy Syinqithi
Ibnu Abbas ra, mengatakan berkaitan tafsir ayat itu,
“Itu bukanlah kekufuran sebagaimana yang mereka (Khawarij) maksudkan. Ia
bukanlah kekufuran yang mengeluarkan dari agama (murtad). ‘Barang siapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir’; yaitu kafir
tetapi tidak kafir akbar (kufrun duna kufrin)”.
Sumber:1.Al-Qur’an Hadits 2.http://www.kiblat.net 3.http://buletin.muslim.or.id
4.http://www.eramuslim.com. Jakarta 14/2/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar