PERNIKAHAN atau Poligami Dalam
Islam
MAWADDAH WARAHMAH |
Menurut Ibnu Abdu al-Salam (Ibrahim al-Bajuri, al-Bajuri, juz II hal. 93), syariat Nabi Musa (alaihi al-salam) tidak melarang laki-laki beristeri lebih dari satu. Bahkan, pada waktu itu, laki-laki sangat dianjurkan berpoligami. Ini terkait dengan jumlah laki-laki yang sedikit dibanding populasi perempuan yang terus meningkat. Sebagaimana yang diceritakan al-Qur’an, Fir’aun, penguasa pada saat itu, melakukan pembunuhan besar-besaran setiap bayi laki-laki yang lahir, sementara bayi perempuan terus dibiarkan hidup. (QS al-Baqarah [02]: 49)
Era “kebebasan” laki-laki berakhir pada masa kenabian Isa (alaihi al-salam). Syariat Isa hanya membolehkan monogami. Konon, ketentuan seperti ini berpulang pada sosok Nabi Isa sendiri. Seperti yang kita ketahui, Nabi Isa terlahir dari rahim wanita yang sepanjang hidupnya tidak pernah bersuami. Dalam kandungan Maryam—ibu Isa—tiba-tiba terdapat janin tanpa diketahui asal- muasalnya.
Dalam hal ini, Isa adalah aseli produk wanita: proses pembuahan janin Isa tanpa ada campuran sperma laki-laki dan ovum wanita. Maryam adalah asal dari Isa. Nah, sebagai bentuk “penghormatan” terhadap asal, maka laki-laki tidak boleh beristeri lebih dari satu.
Berbeda dengan syariat Nabi Musa yang terlalu ekstrim dalam membebaskan poligami, dan Nabi Isa yang hanya membolehkan monogami, syariat Nabi Muhammad mengambil posisi tengah-tengah, sebagai sintesis dari syariat Musa dan Isa.
Nabi Muhammad SAW membolehkan laki-laki beristeri maksimal empat (QS an-Nisa [4]: 03). Bahkan Nabi SAW sendiri memiliki sembilan istri dari lima belas wanita yang pernah dikawininya.
Kendatiun demikian, syariat Nabi Muhammad SAW juga terkait dengan kondisi sosio-kultur msyarakat Arab waktu itu. Dalam tradisi Arab, tidak ada batasan bagi laki-laki untuk mengawini perempuan. Bahkan, pada waktu itu, posisi perempuan sangat direndahkan. Batasan empat yang diberikan al-Quran dalam rangka mengangkat harkat-martabat perempuan yang direndahkan itu. Namun, model perubahan yang dipilih al-Qur’an adalah halus (soft) dan bertahap (al-tajrid). Dan ini ciri dari syariat Nabi Muhammad SAW.
Yang perlu ditekankan di sini, seperti yang dikatakan Khudlori Bek dalam “Tarikh al-Tasyri’ al-Islami”, bahwa poligami bukanlah pokok syariat yang bersifat pasti (laisa ta’addudu al-zaujaat min al-sya’aair al-asasiyyah allati labudda minha). Sejatinya, yang berhak menentukan boleh-tidaknya poligami adalah manusia, tentunya dengan bertitik-tolak pada realitas sosio-kultur yang berlaku di masyarakatnya.
Disamping itu, kita juga harus
mempertimbangkan alasan serta tujuan dari nikah itu sendiri, agar tidak terjadi
kesilap-pahaman dalam memahami poligami. Menurut para ulama, tujuan nikah ada
tiga (maqasid
al-nikah tsalasah): pertama, menjaga keturunan/fungsi reproduksi (hifdzu
al-nasal); kedua, mendistribusikan sperma yang apabila terus
ditimbun dalam tubuh maka akan membahayakan (ikhraj al-ma’ alladzi yadurru ihtibasuhu fi
al-badan); dan ketiga, menyalurkan kebutuhan biologis, rekreasi (nailu
al-ladzzat). (Abi Bakr bin Syato’, Ianah al-Tholibin, hal 295 juz
III).
Nikah hanyalah sarana (wasail) untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas. Jika tujuan itu bisa diperoleh dengan monogami, maka mengapa harus berpoligami? Sayangnya, seringkali kita terjebak pada “sarana”, melupakan tujuan. Sehingga terlepas dari cita-cita nikah yang diinginkan al-Qur’an, yakni taskunuu ilayha (keharmonisan dalam rumah tangga) dan mawaddah wa rahmah (kasih sayang). (QS al-Rum [30]: 21)
Nikah hanyalah sarana (wasail) untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas. Jika tujuan itu bisa diperoleh dengan monogami, maka mengapa harus berpoligami? Sayangnya, seringkali kita terjebak pada “sarana”, melupakan tujuan. Sehingga terlepas dari cita-cita nikah yang diinginkan al-Qur’an, yakni taskunuu ilayha (keharmonisan dalam rumah tangga) dan mawaddah wa rahmah (kasih sayang). (QS al-Rum [30]: 21)
Hukum poligami
Bolehnya melakukan poligami dalam
Islam berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.” (QS. An Nisaa: 3)
Bolehnya syariat poligami ini juga
dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
perbuatan para sahabat sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir
berkata, “Anehnya
para penentang poligami baik pria maupun wanita, mayoritas mereka tidak
mengerti tata cara wudhu dan sholat yang benar, tapi dalam masalah poligami,
mereka merasa sebagai ulama besar!!” (Umdah Tafsir I/458-460 seperti
dikutip majalah Al Furqon Edisi 6 1428 H, halaman
62). Perkataan beliau ini, kiranya cukup menjadi bahan renungan bagi
orang-orang yang menentang poligami tersebut, hendaknya mereka lebih banyak dan
lebih dalam mempelajari ajaran agama Allah kemudian mengamalkannya sampai
mereka menyadari bahwa sesungguhnya aturan Allah akan membawa kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
Poligami adalah syariat yang Allah
pilihkan pada umat Islam untuk kemaslahatan mereka.
Seorang wanita terkadang mengalami
sakit, haid dan nifas. Sedangkan seorang lelaki selalu siap untuk menjadi
penyebab bertambahnya umat ini. Dengan adanya syariat poligami ini, tentunya
manfaat ini tidak akan hilang sia-sia. (Syaikh Muhammad Asy Syanqithi dalam Adhwaul
Bayaan 3/377 dinukil dari Jami’ Ahkamin Nisaa 3/443-3445).
Jumlah lelaki yang lebih sedikit
dibanding wanita dan lelaki lebih banyak menghadapi sebab kematian dalam
hidupnya. Jika tidak ada syariat poligami sehingga seorang lelaki hanya
diizinkan menikahi seorang wanita maka akan banyak wanita yang tidak
mendapatkan suami sehingga dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kotor dan
berpaling dari petunjuk Al Quran dan Sunnah. (Syaikh Muhammad Asy Syanqithi
dalam Adhwaul
Bayaan 3/377 dinukil dari Jami’ Ahkamin Nisaa 3/443-3445).
Secara umum, seluruh wanita siap
menikah sedangkan lelaki banyak yang belum siap menikah karena kefakirannya
sehingga lelaki yang siap menikah lebih sedikit dibandingkan dengan wanita. (Sahih
Fiqih Sunnah 3/217).
Syariat poligami dapat mengangkat
derajat seorang wanita yang ditinggal atau dicerai oleh suaminya dan ia tidak
memiliki seorang pun keluarga yang dapat menanggungnya sehingga dengan
poligami, ada yang bertanggung jawab atas kebutuhannya. Kami tambahkan, betapa
banyak manfaat ini telah dirasakan bagi pasangan yang berpoligami, Alhamdulillah.
Sebagaimana syariat lainnya, dalam
menjalankan poligami ini, ada syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang
sebelum melangkah untuk melakukannya. Ada dua syarat bagi seseorang untuk
melakukan poligami yaitu (kami ringkas dari tulisan Ustadz Abu Ismail Muslim Al
Atsari dalam majalah As Sunnah Edisi 12/X/1428 H):
Berlaku adil pada istri dalam
pembagian giliran dan nafkah. Dan tidak dipersyaratkan untuk berlaku adil dalam
masalah kecintaan. Karena hal ini adalah perkara hati yang berada di luar batas
kemampuan manusia.
Mampu untuk melakukan poligami
yaitu: pertama, mampu untuk memberikan nafkah sesuai dengan kemampuan, misalnya
jika seorang lelaki makan telur, maka ia juga mampu memberi makan telur pada
istri-istrinya. Kedua, kemampuan untuk memberi kebutuhan biologis pada
istri-istrinya.
Adapun adab dalam berpoligami bagi
orang yang melakukannya adalah sebagai berikut (kami ringkas dari tulisan
Ustadz Abu Ismail Muslim Al Atsari dalam majalah As Sunnah Edisi 12/X/1428 H):
Berpoligami tidak boleh menjadikan
seorang lelaki lalai dalam ketaatan pada Allah.
Orang yang berpoligami tidak boleh
beristri lebih dari empat dalam satu waktu.
Jika seorang lelaki menikahi istri
ke lima dan dia mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka dia dirajam.
Sedangkan jika dia tidak mengetahui, maka dia terkena hukum dera.
Tidak boleh memperistri dua orang
wanita bersaudara (kakak beradik) dalam satu waktu.
Tidak boleh memperistri seorang
wanita dengan bibinya dalam satu waktu.
Walimah dan mahar boleh berbeda dia
antara para istri.
Jika seorang pria menikah dengan
gadis, maka dia tinggal bersamanya selama tujuh hari. Jika yang dinikahi janda,
maka dia tinggal bersamanya selama 3 hari. Setelah itu melakukan giliran yang
sama terhadap istri lainnya.
Wanita yang dipinang oleh seorang
pria yang beristri tidak boleh mensyaratkan lelaki itu untuk menceraikan istri
sebelumnya (madunya).
Suami wajib berlaku adil dalam
memberi waktu giliran bagi istri-istrinya.
Suami tidak boleh berjima’ dengan
istri yang bukan gilirannya kecuali atas seizin dan ridha istri yang sedang
mendapatkan giliran.
Hikmah poligami
mengenai Poligami adalah sunnah,
tanpa keraguan, namun penyelewengan individu memang sering terjadi namun hal
itu tak bisa menafikan hukum sunnah nya secara keseluruhan.
mengenai poligami, tentunya Islam
adalah kesempurnaan hidup, tidak ada kekurangan ataupun cela dalam segala hal
yg fardhu dan sunnah, namun tentunya oknum penyelewengan syariah selalu ada
dalam segala hal, bukan hanya poligami, tapi bahkan shalat, puasa, haji, zakat,
dan segala macam ibadah yg diselewengkan dari maknanya.namun oknum
penyelewengan itu butuh pembenahan, dan tidak bisa dg sebab penyelewengan itu
kita menafikan kesemuanya, misalnya ada oknum masa kini yg menyelewengkan puasa
sebagai mencari kekebalan, kesaktian, dlsb, atau oknum penyelewengan zakat oleh
oknum tertentu, lalu kita tak bisa memvonis dg ucapan : kenapa islam
mengajarkan zakat?, padahal itu banyak membuat sebab korupsinya amil zakat dan
masjid serta kyai,tentunya tidak demikian,
demikian pula pd poligami, poligami
bukan ajang pelampiasan syahwat birahi, namun merupakan bentuk ibadah demi
menolong kaum nisa yg semakin hari semakin bertambah lebih banyak dari jumlah
pria, inilah cara islam mengatasi hal itu.
syarat poligami adalah mempunyai
kemampuan untuk membagi nafkah dan waktu kpd istri kedua/ketiga/keempat, jika
ia merasa mampu maka boleh melakukannya, namun berhati hati akan niatnya,
izin dari istri pertama tak disyaratkan sebagai syarat sah poligami, tanpa seizinnya pun boleh, sebagaimana juga seorang pria tak disyaratkan izin ayah bundanya untuk menikah, pernikahan sah walau tak seizin ayah bundanya.namun tentunya adab kepada istri pertama, tidak sepantasnya seorang menikah lagi dengan mengkhianati istri pertamanya, sebagaimana tak sepantasnya seorang pria menikah tanpa izin ayah bundanya,secara Bab Nikah sah, namun secara Bab Adab justru bisa menjadi dosa besar.
izin dari istri pertama tak disyaratkan sebagai syarat sah poligami, tanpa seizinnya pun boleh, sebagaimana juga seorang pria tak disyaratkan izin ayah bundanya untuk menikah, pernikahan sah walau tak seizin ayah bundanya.namun tentunya adab kepada istri pertama, tidak sepantasnya seorang menikah lagi dengan mengkhianati istri pertamanya, sebagaimana tak sepantasnya seorang pria menikah tanpa izin ayah bundanya,secara Bab Nikah sah, namun secara Bab Adab justru bisa menjadi dosa besar.
sebagaimana misalnya seseorang yg
puasa ramadhan tapi tidak shalat, sah puasanya, namun dosa besar karena tidak
shalat,demikian pula poligami, tidak diwajibkan adil sebagaimana Yang Maha
Adil, namun hendaknya ia berusaha untuk adil, jika ragu maka tak perlu poligami
Poligami merupakan bukti
kesempurnaan Islam, lihat kesempurnaan ajaran Islam yg sangat sesuai dengan
keadaan zaman, sebagaimana sensus dunia membuktikan saat ini perbandingan
jumlah pria dan wanita sudah 1 banding 4, dan hadits mengatakan kelak di akhir
zaman perbandingan pria dan wanita akan 1 banding 40,maka pengingkaran terhadap
poligami berarti mendukung banyaknya wanita yg tak bersuami, banyaknya wanita
yg melacur, wanita penghibur dll, karena wanita wanita itu tak mendapatkan
suami, suami yg membimbingnya pada kemuliaan, hal ini muncul sebab pengingkaran
manusia pada hukum Allah,mereka yg mengingkari hukum Allah itu bagaikan ibu yg
melarang anaknya menyentuh Bara Api, dan anaknya tak percaya dan merasa harus
membuktikannya, maka anak itu menelan bara api lalu menjerit menyalahkan
ibunya..!, ibunya tak bersalah karena telah mengingatkannya.
Poligami adalah solusi dari kemelut
sosial. Penulis Mesir, Muhammad at-
Tabi'I menulis dalam Majalah Akhir Sa'ah, yang diterbitkan pada tanggal 3
juni 1945;"waktu itu raja eropa (baca; Syarel Man) mempunyai beberapa orang
isteri, ketika turun perintah dari gereja, melarang poligami, maka semerta-
merta lelaki memacari lebih dari satu perempuan untuk jadi kekasih gelapnya, dan
tidak untuk dinikahi secara halal. Sampai ketika AIDS merambah eropa, sekonyong-
konyong mereka melakukan penelitian terhadap lelaki yang tidak berhubungan
kecuali dengan isterinya selama lima tahun. Hasilnya, tak ada satupun lelaki
yang mereka temui, kecuali telah berhubungan dengan perempuan yang bukan
isterinya. Hal yang mirip sama terjadi di Turki, ketika Mustafa Kamal Attaturk
mensekulerisasikan hukum Islam, dan menghapus poligami, saat itu merambah nikah
secara diam-diam, perzinahan, dan banyaknya anak-anak lahir tanpa nasab yang
dikenal".
Tabi'I menulis dalam Majalah Akhir Sa'ah, yang diterbitkan pada tanggal 3
juni 1945;"waktu itu raja eropa (baca; Syarel Man) mempunyai beberapa orang
isteri, ketika turun perintah dari gereja, melarang poligami, maka semerta-
merta lelaki memacari lebih dari satu perempuan untuk jadi kekasih gelapnya, dan
tidak untuk dinikahi secara halal. Sampai ketika AIDS merambah eropa, sekonyong-
konyong mereka melakukan penelitian terhadap lelaki yang tidak berhubungan
kecuali dengan isterinya selama lima tahun. Hasilnya, tak ada satupun lelaki
yang mereka temui, kecuali telah berhubungan dengan perempuan yang bukan
isterinya. Hal yang mirip sama terjadi di Turki, ketika Mustafa Kamal Attaturk
mensekulerisasikan hukum Islam, dan menghapus poligami, saat itu merambah nikah
secara diam-diam, perzinahan, dan banyaknya anak-anak lahir tanpa nasab yang
dikenal".
Kerana banyaknya kaum telaki yang
berhijrah pergi merantau untuk mencari rezeki. Di perantauan, mereka mungkin
kesepian baik ketika sihat mahu pun sakit. Maka dalam saat-saat begini
lebih baik berpoligami daripada si suami mengadakan hubungan secara tidak sah
dengan wanita lain.
Untuk memberi perlindungan dan
penghormatan kepada kaum wanita dari keganasan serta kebuasan nafsu kaum lelaki
yang tidak dapat menahannya. Andaikan poligami tidak diperbolehkan, kaum
lelaki akan menggunakan wanita sebagai alat untuk kesenangannya semata-mata
tanpa dibebani satu tanggungjawab. Akibatnya kaum wanita akan menjadi
simpanan atau pelacur yang tidak dilayan sebagai isteri serta tidak pula
mendapatkan hak perlindungan untuk dirinya.
Untuk menghindari kelahiran
anak-anak yang tidak sah agar keturunan masyarakat terpelihara dan tidak
disia-siakan kehidupannya. Dengan demikian dapat pula menjamin sifat
kemuliaan umat Islam. Anak luar nikah mempunyai hukum yang berbeza dari anak
hasil pernikahan yang sah. Jika gejala ini dibiarkan berleluasa dan tidak
ditangani dengan hati-hati ia akan bakal menghancurkan umat Islam dan
merosakkan fungsi pernikahan itu sendiri.
Dengan keterangan-keterangan di
atas, jelaslah poligami yang diharuskan dalam Islam bukanlah untuk
memenuhi nafsu seks sahaja bagi kalangan kaum lelaki tetapi mempunyai maksud
serta tujuan untuk keselamatan umat Islam seluruhnya. Islamjuga tidak
memandang mudah akan syarat-syarat yang dikenakan pada suami yang beristeri
banyak. Sebab itulah bagi mereka secara tegas Allah (SWT)mengingatkan,
tanggungjawab mereka bukanlah mudah. Andai kata ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan oleh Allah itu tidak dapat dipenuhi oleh setiap suami yang
berpoligami, maka dia akan beroleh dosa. Ini sudah tentu bertentangan dengan
ajaran Islam dan dilarang melakukannya.
Nikah sirri
Adapun Nikah Sirri Dalam
kitab-kitab Fikih tidak dikenal istilah Nikah Sirri. Istilah ini lebih popular
secara lokal dalam fikih perkawinan di Indonesia. Nikah Sirri dalam konteks
masyarakat di Indonesia sering dimaksudkan dalam dua pengertian.
Pertama: perkawinan yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa
mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak
mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama sehingga perkawinan
mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.
Kedua: perkawinan yang dilakukan sembunyi-sembunyi oleh sepasang laki-perempuan
tanpa diketahui oleh kedua pihak keluarganya sekalipun. Bahkan benar-benar
dirahasiakan sampai tidak diketahui siapa yang menjadi wali dan saksinya.
...selama pernikahan sirri itu memenuhi rukun dan syarat
perkawinan yang disepakati para ulama, maka dapat dipastikan hukum perkawinan
itu ada dasarnya sudah sah, tapi bertentangan dengan perintah Nabi SAW yang
menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan...
Rukun Nikah :
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak
terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara
perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita
yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena
adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam
masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang
kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh
wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si
wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”)
atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh
suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan
Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau
“Qabiltuha.”
Syarat Nikah :
Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan wanita dengan isyarat
(menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak
cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”,
sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak
musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai
dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah
kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa`
no. 1839)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka
nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain.
Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang
rajih. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau
berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun
menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada
selain walinya. (Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673,
Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)
Wali dalam Pernikahan
Ulama berbeda pendapat dalam
masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara
mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan
bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan
‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan
kekerabatannya dengan si wanita
terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau
keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari
pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman
dari pihak ayah, dan seterusnya.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan
menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan dalil
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak
memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Hukum nikah sirri
Secara harfiah “sirri”
itu artinya “rahasia”. Jadi, nikah sirri
adalah pernikahan yang dirahasiakandari pengetahuan orang banyak.
Sedang menikah sendiri arti dari
segi bahasa adalah : Ikatan/ Simpul. Dari segi Syara’ nikah adalah : Suatu
ikatan atau akad yang menghalalkan pergaulan dan pembatas hak dan kewajiban
serta tolong-menolong diantara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
bukan mahram.
Dalam menikah ada rukun-rukun yang
harus dilaksanakan agar pernikahan ini dapat dinyatakan syah. Rukunnya adalah
sbb:
1. Adanya seorang laki-laki sebagai mempelai pria
2. Adanya seorang perempuan sebagai mempelai wanita
3. Wali yang Adil
4. Adanya Ijab Qabul.
Dalam masyarakat sekarang ini ada
beberapa keadaan yang menjadikan sebuah pernikahan dikategorikan dalam nikah
siri.
1. Menikah tanpa adanya seorang wali/ rukun diatas tidak lengkap.
2. Menikah dengan telah memenuhi semua rukun menikah diatas,
tetapi tidak disyahkan secara hukum negara (tidak didaftarkan ke KUA setempat)
Untuk point 1. Pada umumnya para
ulama tidak memperbolehkan bahkan ada yang dengan tegas mengatakan bahwa
pernikahan itu batal adanya. Menganggap bahwa pernikahan dengan kondisi seperti
diatas sama halnya dengan tindakan prostitusi. (Hukum Pernikahan harus di
fasakh)
Pada point ke 2,
secara hukum Islam.. pernikahan ini sudah menjadi syah adanya.Tidak ada satupun
Ulama yang menyatakan perkawinan ini harus dibatalkan.
"Pada 2005, majelis ulama
sudah memutuskan bahwa nikah di bawah tangan itu sah jika rukunnya dipenuhi.
Namun, menjadi haram jika hak-hak anak dan istri tidak terpenuhi," kata
Ma'ruf kepada wartawan di Istana Negara, Kamis 18 Februari 2010.
Kedudukan Nikah Sirri
Ikhwati fillah, pernikahan dalam
Islam memiliki kedudukan yang mulia, karena tujuannya untuk mencari keridhaan
Allah Ta’ala dengan memperbanyak keturunan, menjaga kehormatan, dan sebagai
sarana untuk menyempurnakan agama seseorang.
Oleh karena itu Islam mengatur dengan sebaik-baiknya masalah pernikahan dalam syariatnya, sehingga dapat mengantarkan kepada tujuan yang sesungguhnya. Pernikahan yang sah secara hukum Islam adalah yang telah sempurna rukun-rukunnya dan terpenuhi syarat-syaratnya.
Oleh karena itu Islam mengatur dengan sebaik-baiknya masalah pernikahan dalam syariatnya, sehingga dapat mengantarkan kepada tujuan yang sesungguhnya. Pernikahan yang sah secara hukum Islam adalah yang telah sempurna rukun-rukunnya dan terpenuhi syarat-syaratnya.
Nikah Mut’ah
Secara lughawi nikah berarti ad-damm
wal-jam’ (penggabungan dan pengumpulan) atau al-wath'u
(persetubuhan). Secara istilahi nikah adalah ikatan perjanjian (‘aqd)
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk mensyahkan istimta'
atau hubungan badan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahramnya. Selain ibadah, nikah merupakan wujud sikap ta’awun atau
kerjasama antara individu dalam pendirian lembaga keluarga dan sarana
reproduksi.
Jumhur fuqaha berpendapat, bahwa
ada 4 macam nikah fasidah, nikah yang rusak
atau tidak sah, yakni nikah syighar (tukar menukar anak
perempuan atau saudara perempuan tanpa mahar), nikah mut’ah (dibatasi dengan waktu
tertentu yang diucapkan dalam ‘aqd), nikah yang dilakukan terhadap perempuan
yang dalam proses khitbah (pinangan) laki-laki lain,
dan nikah
muhallil (siasat penghalalan menikahi mantan istri yang ditalak bain atau
talak yang tidak bisa dirujuk lagi)
Namun ada juga yang menghalalkan
nikah mut’ah dengan daasr suat An-Nisa' ayat 24:
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
Maka isteri-isteri yang telah kamu
campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka biaya kontrak, sebagai suatu
kewajiban. (“Ujrah” yang umumnya diartikan
sebagai mahar ini oleh kalangan yang membolehkan nikah mut’ah diartikan sebagai
biaya kontrak).
Selain itu dasar penghalalannya
adalah hadis Nabi Muhammd SAW yang diriwayatkan, ketika Perang Tabuk, bahwa
para sahabat pernah diperkenankan untuk menikahi perempuan-perempuan dengan
sistem kontrak waktu.
Takrif Nikah Mut’ah
Pada awal tegaknya agama Islam nikah mut'ah
diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam beberapa
sabdanya, di antaranya hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu dan Salamah
bin Al-Akwa' radhiyallahu 'anhu: "Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah menemui kami kemudian mengizinkan kami untuk melakukan nikah
mut'ah." (HR. Muslim)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullah berkata:
"Telah sah bahwa nikah mut'ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal
Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah tersebut tidak
diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah
tersebut." (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi)
Dan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut'ah. Namun sekarang Allah 'azza wa jalla telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat." (HR. Muslim)
Adapun nikah mut'ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr radhiyallahu 'anhu dan Umar radhiyallahu 'anhu, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut'ah selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An-Nawawi)
Gambaran Nikah Mut'ah di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, jelas sekali gambaran nikah mut'ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu 'anhum. Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut'ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)
Dan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut'ah. Namun sekarang Allah 'azza wa jalla telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat." (HR. Muslim)
Adapun nikah mut'ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr radhiyallahu 'anhu dan Umar radhiyallahu 'anhu, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut'ah selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An-Nawawi)
Gambaran Nikah Mut'ah di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, jelas sekali gambaran nikah mut'ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu 'anhum. Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut'ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)
Nikah mut'ah adalah sebuah bentuk pernikahan
yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan
perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi perceraian apabila telah habis masa
kontraknya tanpa terkait hukum perceraian dan warisan. (Syarh Shahih Muslim
hadits no. 1404 karya An-Nawawi dengan beberapa tambahan)
Hukum Nikah Mut’ah
Pada awal tegaknya agama Islam nikah mut'ah
diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam beberapa
sabdanya, di antaranya hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu dan Salamah
bin Al-Akwa' radhiyallahu 'anhu: "Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah menemui kami kemudian mengizinkan kami untuk melakukan nikah
mut'ah." (HR. Muslim)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullah berkata:
"Telah sah bahwa nikah mut'ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal
Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah tersebut tidak
diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah
tersebut." (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi)
Dan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai manusia! Sesungguhnya aku
Dan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai manusia! Sesungguhnya aku
dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan
nikah mut'ah. Namun sekarang Allah 'azza wa jalla telah mengharamkan nikah
tersebut sampai hari kiamat." (HR. Muslim)
Adapun nikah mut'ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr radhiyallahu 'anhu dan Umar radhiyallahu 'anhu, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut'ah selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An-Nawawi)
Gambaran Nikah Mut'ah di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, jelas sekali gambaran nikah mut'ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu 'anhum. Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut'ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)
Adapun nikah mut'ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr radhiyallahu 'anhu dan Umar radhiyallahu 'anhu, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut'ah selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An-Nawawi)
Gambaran Nikah Mut'ah di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, jelas sekali gambaran nikah mut'ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu 'anhum. Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut'ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)
Nikah mut’ah adalah haram dan
bathil jika terjadi berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim
Rahimahumallah dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu. Al-Bukhari dalam
Kitab Al-Hiyal (6560) dan Muslim dalam kitab An-Nikah (1407), juga terdapat
dalam Sunan Tirmidzi dalam kitab An-Nikah (1121), Sunan An-Nasa’i dalam kitab
Ash-Shaid wa Adz-Dzaba’ih (4334), Sunan Ibnu Majah dalam kitab An-Nikah (1961),
Musnad Ahmad bin Hanbal (1/79), Muwaththa’ Malik dalam kitab An-Nikah (1151),
Sunan Ad-Darimi dalam kitab ¬An-Nikah (2197), “Bahwasanya Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam melarang jenis pernikahan mut’ah dan (melarang)
memakan daging keledai Ahliyah pada hari Khaibar.”
Dalam riwayat Malik 2/542, Ahmad
(1/79, 103, 142), Al-Bukhari (5/78, 6/129, 2 30, 8/61), Muslim (2/1027, 1028
no.1407), Tirmidzi (3/430, 4/254, no.1121, 1794), An-Nasa’I, (6/125-126, 7/202,
203, no.3365,3367,4335,4336), Ibnu Majah (1/630, no.1961), Ad-Darimi (2/86,
140), Abdurrazzaq (7/501-502, no.14032), Abu Ya’la (1/434, no.576), Ibnu Hibban
(9/450,453, no.4143,4145), dan Al-Baihaqi (7/201,202) “Beliau melarang dari jenis mut’atun nisaa’ (menikahi
wanita dengan cara mut’ah) pada hari Khaibar.”
Imam Al-Khattabi berkata,
“Pengharaman nikah mut’ah berdasarkan ijma’, kecuali sebagian syi’ah dan tidak
sah qa’idah mereka yang menyatakan untuk ‘mengembalikan perselisihan kepada
Ali’, padahal telah shahih dari Ali pendapatnya bahwa nikah mut’ah telah dihapus
hukumnya.”
Imam Al-Baihaqi menukilkan dari
Ja’far bin Muhammad (Al-Baqir) bahwa beliau pernah ditanya tentang nikah mut’ah
maka beliau menjawab, “itu adalah perbuatan zina.”
Demikian pula imam Muslim
meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya dari Sabrah bin Ma’bad
Al-Juhani dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda. Lafazh
hadits (yang akan disebutkan ini) juga diriwayatkan Ahmad 2/405-406, Muslim
2/1025, no.1406. Ibnu Majah 2/631, no.1962, Ad-Darimi 2/140, Abdurrazaq 7/504,
no.14041, Ibnu Abi Syaibah 4/292, Abu Ya’la 2/238 no.939, Ibnu Hibban 9/454-455
no.4147, dan Al-Baihaqi 7/203. “Sungguh! Aku dahulu
mengijinkan kalian untuk melakukan mut’ah dengan wanita. (Ketauhilah!)
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Barangsiapa yang
masih melakukannya hendaklah meninggalkannya dan jangan mengambil sesuatu yang telah ia berikan kepadanya (wanita
yang dia mut’ahi).”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu Menentang
Nikah Mut'ah
Bila kita renungkan secara seksama hakikat nikah mut'ah ini, maka tidaklah berbeda dengan praktek/transaksi yang terjadi di tempat-tempat lokalisasi. Oleh karena itu di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan tentang penentangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu –yang ditahbiskan kaum Syi'ah Rafidhah sebagai imam mereka- terhadap nikah mut'ah. Beliau radhiyallahu 'anhu mengatakan: "Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang nikah mut'ah dan daging keledai piaraan pada saat perang Khaibar." Beliau (Ali radhiyallahu 'anhu) juga mengatakan bahwa hukum bolehnya nikah mut'ah telah dimansukh atau dihapus sebagaimana di dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 5119.
Bila kita renungkan secara seksama hakikat nikah mut'ah ini, maka tidaklah berbeda dengan praktek/transaksi yang terjadi di tempat-tempat lokalisasi. Oleh karena itu di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan tentang penentangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu –yang ditahbiskan kaum Syi'ah Rafidhah sebagai imam mereka- terhadap nikah mut'ah. Beliau radhiyallahu 'anhu mengatakan: "Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang nikah mut'ah dan daging keledai piaraan pada saat perang Khaibar." Beliau (Ali radhiyallahu 'anhu) juga mengatakan bahwa hukum bolehnya nikah mut'ah telah dimansukh atau dihapus sebagaimana di dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 5119.
(Jakarta
26-1-2011)
Asslmkm…wrwb
BalasHapusHaahh?? Gak Salahh???
Dan……
Berdasarkan sensus penduduk 2000 dan 2010 ternyata justru JUMLAH PRIA DI INDONESIA LEBIH BANYAK DARI WANITANYA.
“laki2 jaman sekarang biasanya mati2an menentang atau berusaha menutup2i fakta ini dengan berbagai alasan dan dalih”
Begitu juga dengan data negara2 di dunia (CIA, Bank Dunia, PBB, dll) ternyata jumlah pria juga lebih banyak dari wanitanya (terutama untuk China, India, dan negara-negara Arab)
Yup jumlah wanita memang sangat melimpah tapi di usia di atas 65 tahun, mauu?? hehe….kalo ngebet, silakan poligami dengan golongan wanita usia ini.
Cek di data resmi BPS dan masing2 pemda atau coba klik di:
http://sosbud.kompasiana.com/2013/05/16/makan-tuhh-poligami-vs-fakta-demografi-560923.html
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=40¬ab=1
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=263&wid=0
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=12¬ab=4
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321
http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=211&Itemid=211&limit=1&limitstart=2
http://statistik.ptkpt.net/_a.php?_a=penduduk_ratio&info1=4
Kira2 apa ya solusi dari kelebihan pria ini?
masih tetap POLIGAMI? Hanya akan semakin “merampas” kesempatan bujangan pria lain untuk dapat menikah
perkiraan dan kepercayaan selama ini “turun temurun” yang selalu jadi senjata bagi pria yang ngebet ingin berpoligami bahwa jumlah wanita jauh berlipat lipat di atas pria ternyata SALAH BESAR
Hasil Sensus Penduduk 2010 berdasar jenis kelamin perpropinsi
Kode, Provinsi, Laki-laki, Perempuan, Total Penduduk
1 Aceh, 2 248 952, 2 245 458, 4 494 410
2 Sumatera Utara, 6 483 354, 6 498 850, 12 982 204
3 Sumatera Barat, 2 404 377, 2 442 532, 4 846 909
4 Riau, 2 853 168, 2 685 199, 5 538 367
5 Jambi, 1 581 110, 1 511 155, 3 092 265
6 Sumatera Selatan, 3 792 647, 3 657 747, 7 450 394
7 Bengkulu, 877 159, 838 359, 1 715 518
8 Lampung, 3 916 622, 3 691 783, 7 608 405
9 Bangka Belitung , 635 094, 588 202, 1 223 296
10 Kepulauan Riau, 862 144, 817 019, 1 679 163
11 DKI Jakarta, 4 870 938, 4 736 849, 9 607 787
12 Jawa Barat, 21 907 040, 21 146 692, 43 053 732
13 Jawa Tengah, 16 091 112, 16 291 545, 32 382 657
14 DI Yogyakarta, 1 708 910, 1 748 581, 3 457 491
15 Jawa Timur, 18 503 516, 18 973 241, 37 476 757
16 Banten, 5 439 148, 5 193 018, 10 632 166
17 Bali, 1 961 348, 1 929 409, 3 890 757
18 Nusa Tenggara Barat, 2 183 646, 2 316 566, 4 500 212
19 Nusa Tenggara Timur, 2 326 487, 2 357 340, 4 683 827
20 Kalimantan Barat, 2 246 903, 2 149 080, 4 395 983
21 Kalimantan Tengah, 1 153 743, 1 058 346, 2 212 089
22 Kalimantan Selatan, 1 836 210, 1 790 406, 3 626 616
23 Kalimantan Timur, 1 871 690, 1 681 453, 3 553 143
24 Sulawesi Utara, 1 159 903, 1 110 693, 2 270 596
25 Sulawesi Tengah, 1 350 844, 1 284 165, 2 635 009
26 Sulawesi Selatan, 3 924 431, 4 110 345, 8 034 776
27 Sulawesi Tenggara, 1 121 826, 1 110 760, 2 232 586
28 Gorontalo, 521 914, 518 250, 1 040 164
29 Sulawesi Barat, 581 526, 577 125, 1 158 651
30 Maluku, 775 477, 758 029, 1 533 506
31 Maluku Utara, 531 393, 506 694, 1 038 087
32 Papua Barat, 402 398, 358 024, 760 422
33 Papua, 1 505 883, 1 327 498, 2 833 381
TOTAL, 119 630 913, 118 010 413, 237 641 326
Sex Ratio Indonesia (menurut BPS) beginilah data yang saya dapat:
- Tahun 1971 = 97.18 pria : 100 wanita
- Tahun 1980 = 99.82 pria : 100 wanita
- Tahun 1990 = 99.45 pria : 100 wanita
- Tahun 1995 = 99.09 pria : 100 wanita
- Tahun 2000 = 100.6 pria : 100 wanita
- Tahun 2010 = 101,01 pria : 100 wanita
Bisa dilihat, ternyata tren sex ratio semakin meningkat, dalam arti dari tahun ke tahun jumlah pria semakin melebihi wanita
Poligami?????