MAQAM SUFI Menurut Ibn
Atha’illah
Mengenai maqām, Ibn Atha’illah membaginya
tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;
1. Maqam taubat
JALAN MENUJU ALLAH SWT |
2. Maqam zuhud
3. Maqam shabar
4. Maqam syukur
5. Maqam khauf
6. Maqam raja’
7. Maqam ridha
8. Maqam tawakkal
9. Maqam mahabbah
Maqam Taubat
Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik.
Sebelummencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai
maqam-maqamlainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai
tanpaadanya langkah awal yang benar.
Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah
denganbertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalahhendaknya
seorang salik melakukan instropeksi terhadap semuaperbuatannya di siang hari.
Jika dia mendapati perbuatannya tersebutberupa ketaatan kepada Allah, maka
hendaknya dia bersyukur kepada-Nya.Dan sebaliknya jika dia mendapati amal
perbuatannya berupa kemaksiatan,maka hendaknya dia segera beristighfar dan
bertaubat kepada-Nya.
Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini
danmempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yangada.
Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsusyahwatnya,
semua atas kehendak-Nya.
Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaiksangka
(husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalamsebuah perbuatan
dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itusangatlah besar sehingga
menyebabkan dirinya merasa putus asa untukbisa sampai kepada-Nya.
Maqam Zuhud
Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam; Zuhd Ẓahir Jalīseperti zuhd dari
perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara ḥalal,seperti: makanan, pakaian, dan
hal lain yang tergolong dalam perhiasanduniawi. Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti
zuhd dari segala bentukkepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai
hal maknawiyang terkait dengan keduniaan”.
Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan
merenung(ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini,
makadia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah,dia
akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalausudah
demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akanterbuai dengan
segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih
terdapatrasa cinta kepada dunia, dan rasa ḥasud kepada manusia yang
diberikenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh
Ibn‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau ḥasud kepada merekayang diberi
kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk denganmemikirkan kenikmatan dunia
yang diberikan kepada mereka, maka engkaulebih bodoh daripada mereka. Karena
mereka hanya disibukkan dengankenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau
disibukkan dengan apayang tidak engkau dapatkan”.
Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia
dengankenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa
ataskenikmatan dunia yang tidak didapat.
Seorang salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama
sekalitidak memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua; yaitusaat
kenikmatan dunia tidak ada dan saat kenikmatan dunia itu ada. Inidimaksudkan
bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, makadia akan menghargainya
dengan bershukur dan memanfaatkan nikmattersebut hanya karena Allah.
Sebaliknya, jika nikmat sirna daridirinya, maka dia merasa nyaman, tenang dan
tidak sedih.
Maqam Sabar
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap
perkaraharam, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala
perencanaan(angan-angan) dan usaha.
Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak
manusia.Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban
dankeharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadikewajiban
ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketigayaitu sabar yang
menuntut salik untuk meninggalkan segala bentukangan-angan kepada-Nya.
“Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan
sabaratas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal
yangtermasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas
salikuntuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.
Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik
sendiri.Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salikdan
orang-orang yang dipilih-Nya.
Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna
terhadapkepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala
bentukperencanaan (angan-angan) dan usaha.
Maqam Syukur
Shukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam;
pertamashukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan,
menceritakannikmat yang didapat. Kedua, shukur dengan anggota tubuh, yaitu
shukuryang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan. Ketiga, shukur denganhati,
yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat,segala bentuk
kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-matadari-Nya. Sebagaimana
diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:
“Dalam shukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; shukur
lisanyaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), shukur badan
adalahberamal dengan ketaatan kepada Allah, dan shukur hati adalah
mengakuibahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk
kenikmatandari seseorang adalah semata-mata dari Allah.”
Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang
berilmuadalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberipetunjuk
kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yangdiberi kenikmatan
kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepadamereka yang membutuhkan.
Bentuk shukur orang yang diberi kenikmatanberupa jabatan dan kekuasaan adalah
dengan memberikan perlindungan dankesejahteraan terhadap orang-orang yang ada
dalam kekuasaannya.
Lebih lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga
terbagimenjadi 2 bagian; shukur ẓāhir dan shukur bāţin. Shukur ẓāhir adalahmelaksanakan perintah
Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkanshukur bāţin adalah mengakui
dan meyakini bahwa segala bentukkenikmatan hanyalah dari Allah semata.
Manfaat dari shukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang
didapatmenjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkanbahwa
jika seorang salik tidak menshukuri nikmat yang didapat, makabersiap-siaplah
untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jikadia menshukurinya, maka
rasa shukurnya akan menjadi pengikat kenikmatantersebut. Allah berfirman: لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ (Jikakalian bershukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah
[kenikmatanitu]).1
Jika seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan
Allahkepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut
telahhilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.
Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik
selalubershukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatukenikmatan,
maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut danmenjadikan-Nya lupa kepada
Sang Pemberi Nikmat.
Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah
dariAllah, shukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Diaharus
bershukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya,karena hal ini
adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui danmeyakini dalam hati bahwa
segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dariAllah.
Pengejawantahan shukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan
segalabentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agungyang
diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadiberbeda dari
sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pulamanusia memiliki potensi
untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal inimanusia dapat berpikir,
berangan-angan, dan berkehendak. Sehinggamanusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan
dan menginginkansuatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal
inilah yangharus ditiadakan dalam pengejawantahan shukur.
Maqam khauf
Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia
merasatakut atas sirnanya ḥal dan maqamnya, karena dia tahu
bahwa Allahmemiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah.
KetikaAllah berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan hal yang ada pada
dirisalik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
“Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang
hambaterwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yangterpuji
maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidakterpedaya dengan
urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendakAllah terwujud.”
Khauf seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf
pastidiiringi dengan rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf
adalahpembangkit dari rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang membangkitkanmaqām
rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.
Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka
baginyapintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allahkepadanya
berupa anugerah maqām, hal dan berbagai kenikmatan yang diaterima. Jika dia
ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknyadia melihat apa yang dia
berikan kepada-Nya berupa peribadatan danketaatan penuh pada-Nya. Sebagaimana
diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’,
makalihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkauingin
agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yangtelah kau
berikan kepada-Nya.”
Rajā’ bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai
denganperbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidaklain
itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengandemikian wajib bagi
seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya denganamal kepatuhan, dan peribadatan
yang dapat mendekatkan dirinya kepadaAllah secara kontinu.
Jika rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan
semakinmenguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pastiakan
disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakanbahwa khauf
akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.
Maqam Ridha dan Tawakkal
Riḍa dalam pandangan Ibn ‘Ata'illah
adalah penerimaan secara totalterhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini
didasarkan pada QS.al-Mā’idah ayat 119:
(Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka ridha
kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang ridha
kepada Allah).
Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik
sendiri. Akan tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika maqam ridha sudah ada dalam diri sālik,
maka sudah pasti maqāmtawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang eratantara maqām ridha dan
maqām tawakkal. Orang yang ridha terhadapketentuan dan kepastian Allah, dia
akan menjadikan Allah sebagaipenuntun dalam segala urusannya, dia akan
berpegang teguh kepada-Nya,dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik
bagi dirinya.
Maqām tawakkal akan membangkitkan kepercayaan
yang sempurna bahwasegala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana
termaktub dalamQS. Hūd ayat 123:
(…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia,
dan bertawakkallah kepada-Nya).
Sebagaimana maqām-maqām lainnya, maqām ridha
dan tawakkal tidak akanbenar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah
menyatakanbahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena
barangsiapatelah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah
sebagaipenuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala
urusannya,dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala
bentukangan-angan.
“Perencanaan (tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal
karenaseorang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang
menyerahkankendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas
segalaurusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiadalagi
perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir.Peniadaan
perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan maqām tawakkaldan ridha, hal ini
jelas, karena seorang yang ridha maka cukup baginyaperencanaan Allah atasnya.
Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencanabersama Allah, sedangkan dia telah
rela dengan perencanan-Nya. Apakahengkau tidak tahu bahwa cahaya ridha telah
membasuh hati dengan curahanperencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang ridha
terhadap Allah telahdianugrahkan baginya cahaya ridha atas keputusan-Nya, maka
tiada lagibaginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah ridha kepada qadhā’ dan qadar, antara lain dapat
menghilangkankeruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang,
jikadihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yangsungguh-sungguh
di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan danpetunjuk yang lebih berguna,
daripada dihadapi dengan meratapikesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada
berkesudahan.
Dasar ridha akan qadhā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam
al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka
mendapat sesuatu bencanaberkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah,
dan kami(semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”
Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia ridha, hatinya tidak
bolehmendongkol. Ridha dengan qadhā’ ialah menerima segala kejadian yangmenimpa
diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.
Meridhai qadhā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau
menderitasesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada
dibenarkanseseorang meridhai kekufuran dan kemaksiatan.
Ridha dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan
muliaserta membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, jugadapat
mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segalabencana. Dialah obat
yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelapmata hati. Dengan ridha atas
segala ketetapan Allah, hidup seseorangmenjadi tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang wajib berkeyakinan, bahwa bencana
yang menimpa seseorang,adakalanya juga merupakan cobaan bagi seorang hamba,
untuk lebih sukamengoreksi segala amal perbuatan pada masa-masa yang lampau,
agarseseorang dapat mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan perbuatannyapada
masa-masa yang akan datang.
Menyerah kepada qadhā’illah (keputusan
takdir) Allah termasuk tidakboleh mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya
dia tidak ikutrombongan ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan
ini,sebagaimana firman Allah SWT.:
Hai orang yang beriman, janganlah kamu
seperti orang-orang kafir, yangberkata kepada saudara-saudara mereka tatkala
mereka bepergian di bumi,atau sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama kami,
niscaya merekatidak akan mati, dan tidak akan terbunuh. Yang demikian karena
Allahhendak jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka danAllah
rnenghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yangengkau
kerjakan.
Maqam Mahabbah
Imam al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maḥabbah adalah maqām tertinggidari
sekian maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maḥabbahadalah tujuan utama dari semua
maqām.
Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang
konsepmahabbah bahwa dalam mahabbah seorang sālik harus menanggalkan
segalaangan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik
yangtelah sampai pada mahabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkanbalasan
atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwarasa cinta sālik
didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkanbalasan cinta sebagaimana
cintanya. Karena pecinta sejati adalah orangyang rela mengorbankan segala yang
ada pada dirinya demi yangdicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun
dari yangdicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.
”...mahabbah (cinta) kepada Allah adalah
tujuan luhur dari seluruhmaqām, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi
maqām setelahmahabbah, karena mahabbah adalah hasil dari seluruh maqām,
menjadiakibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang, ridha dan
lainsebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum mahabbah kecuali hanya
menjadipermulaan dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd
danlain sebagainya...”
Untuk dapat mencapai hal tersebut diatas, maka seorang
salikdisyaratkan terlebih dulu mengambil baiat (janji)pada seorang gurutarekat
(Mursyid). Dimana tugas seorang guru Mursyid adalah membimbingdan mengarahkan
agar seorang salik tidak terjerumus kedalam kesesatan.Baiat Tarekat merupakan
pintu utama memasuki dunia tasawuf.
Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada
Hakikat atau dengan kata lain pengalaman Syari'at, yang disebut
"Al-
Jaraa" atau "Al-Amal", sehingga Asy-Syekh Muhammad
Amin Al-Kurdiy
mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
1) Tarekat adalah pengamalan syari'at, melaksanakan beban ibadah
(dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah
(ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan
sesuai dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang
nyata,
maupun yang tidak (batin).
3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan
hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan
hal-hal
yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan
(pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi)
yang mencita-citakan suatu tujuan.
Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap
kehidupan Tasawuf di beberapa negara Islam, menarik suatu
kesimpulan
bahwa istilah Tarekat mempunyai dua macam pengertian.
a) Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang
sering
dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk
mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut
"Al-Maqamaat"
dan "Al-Ahwaal".
b) Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan
menurut
ajaran yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran
Tarekat tertentu.
Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu
Tasawuf
menurut aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama
dengan
murid-muridnya.
Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi;
yaitu amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah
merupakan
latihan kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang,
maupun secara bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu
untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut
"Al-Maqaamaat"
dan "Al-Akhwaal", yakni kedudukan dan keadaan seorang
salik dalam dunia
tasawuf
Maqam Hakikat
Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran.
Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk
mencari suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan
definisinya sebagai berikut:
a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma'ruf mengatkan :
"Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi)
ketika ia
mencapai suatu tujuan ...sehingga ia dapat menyaksikan
(tanda-tanda)
ketuhanan dengan mata hatinya".
b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:
"Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan,
ditakdirkan, disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah
dinyatakan
(oleh Allah kepada hamba-Nya".
Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat
dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap
apa
yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga
macam
tingkatan keyakinan:
1) "Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan
oleh
pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan
keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;
2) "Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan
oleh
analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam
semesta
ini.
3) "Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh
hati
nurani Shufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan
tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka
kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa
diragukan
oleh keputusan akal".
Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa
betapa erat kaitan antara hakikat dengan mari"fat, dimana
hakikat itu
merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma'rifat merupakan tujuan
akhirnya.
Maqam Marifat
Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang
berarti
mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan
pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal
Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama
Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama
Tasawuf
yang mengatakan:
"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya)
wujud
yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala
kesempurnaannya."
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan
pendapat
Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada
Shufi)...dalam
keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin
Muhammad
bin Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu
pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa
yang
meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan
(hatinya)."
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada
tingkatan ma'rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan
ma'rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan
Dzuun
Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki
oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara
lain:
a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan
perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada
dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta
yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya,
karena
hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak
membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang
hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah
SWT.,
sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa
ma'rifat
yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin
padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai
tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya
sebagai
berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya,
dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam
Tuhan-nya.
Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah
SWT
saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai
tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu
menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut
(hulul)
dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya.
Lalu
dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan
tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah
terputus
meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu
adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika
Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa
kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni
ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat
ditempuh
secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang
hambatidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalamikesesatan.
Demikian ulasan singkat kami tentang maqam
(kedudukan) dan hal(keadaan) dalam dunia tasawuf atau dunia para Wali Allah,
semoga kitasemua dapat menempuh tahapan-tahapan dalam tasawuf.Wallah A’lam
Bishawab
Jakarta 21-12-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar