1. Syirkah dan Hukum-hukumnya
Syirkah menurut ahli fiqih berarti
aliansi dalam kepemilikan atau dalam beraktivitas. Syirkah disyariatkan menurut
ijma’ para ulama yang disandarkan pada beberapa dalil, di antaranya Firman
Allah SWT:
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja
yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima
untuk Allah.” (Alquran, Al-Anfal: 41).
Syirkah terbagi menjadi dua macam,
yaitu syirkah kepemilikan dan syirkah transaksional. Syirkah kepemilikan yaitu
persekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang
dengan salah satu sebag kepemilikan seperti jual beli, hibah atau warisan.
Sedangkan, syirkah transaksional merupakan akad kerjasama antara dua orang yang
bersekutu dalam modal dan keuntungan.
Macam-macam syirkah transaksiona
Mayoritas ulama, membagi syirkah
transaksional sebagai berikut:
Syirkatul ‘Inan, yaitu persekutuan
dalam modal, usaha dan keutungan. Dua orang atau lebih dengan modal yang mereka
miliki, membuka usaha yang mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan.
Ijma’ membolehkan syirkah semacam ini, meski pada perinciannya ada yang
diperselisihkan.
Syirkatul Abdan, yaitu kerjasama
antara dua pihak atau lebih dalam usaha yang dilakukan oleh tubuh mereka,
seperti kerjasama doketer di klinik, tukang jahit atau tukang cukur dalam salah
satu pekerjaan. Hal ini dibolehkan, kecuali oleh Imam Syafi’ie.
Syirkatul Wujuh, yaitu kerjasama
dua pihak atau lebih dalam keuntungan dari apa yang mereka beli dengan nama
baik mereka. Tak seorangpun dari mereka yang memiliki modal. Syirkah ini
dibolehkan menurut Hanafiyah dan Hambaliyah, namun dilarang menurut Malikiyah
dan Syafi’iyah.
Syirkatul Muwafadhah, yaitu
kerjasama di mana setaiap pihak memiliki modal, usaha dan hutang-piutang yang
sama, dari awal hingga akhir. Kerjasama seperti ini diperbolehkan oleh
mayoritas ulama kecuali Syafi’i.
2. Mudharabah (Investasi) dan
Hukum-hukumnya
Mudharabah adalah penyerahan modal
kepada orang yang terbiasa berdagang dengan memberikan sebagian keuntungan
kepada pedagang tersebut. Hal ini dibolehkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin.
Rukun-rukun kerjasama ini ada tiga:
Dua pihak transaktor, objek transaksi, dan pelafalan perjanjian.
Dua transaktor harus memiliki
kompetensi. Boleh juga bekerjasama dengan nonmulsim, dengan syarat harus
dimonitor pengelolaannya agar kehalalannya terjaga.
Sementara, objek transaksi yang
disyaratkan harus berupa alat tukar—emas, perak dan uang. Dibolehkan menanam
modal dengan hutang, bagi yang memiliki kemampuan untuk membayarnya. Juga boleh
menanam modal dengan uang titipan atau dapat berupa dana segar.
Sementara dalam usaha investasi ini
disyaratkan untuk diputar dalam dunia niaga dan bidang-bidang terkait. Kalangan
Hambaliyah membolehkan penyerahan modal dalam bidang industri dalam bentuk
alat-alat produksi dengan mengambil keuntungan dari sebagian hasilnya,
diqiyaskan dengan muzara’ah (investasi pertanian) dan musaqot (investasi
perkebunan).
Keuntungan mudharabah harus
diketahui secara jelas, berupa prosentase yang umum. Jika seorang ditentukan
mendapat bagian tetap (yang tidak diputar), maka perjanjian tersebut batal.
Hukum Jual Beli Saham
Aktivitas jual beli saham di pasar modal dilaksanakan pada pasar perdana
dan pasar sekunder. Pada pasar perdana, seseorang yang melakukan transaksi
bertujuan menginvestasikan dananya dalam jangka waktu yang lama untuk
mendapatkan deviden. Sedangkan, pada pasar sekunder seseorang melakukan
transaksi jual beli saham dalam rangka mendapatkan capital gain. Seseorang yang
bertransaksi di pasar sekunder melakukan spekulasi untuk mendapatkan
keuntungan.
Pasar modal terbentuk melalui mekanisme bertemunya permintaan dengan
penawaran saham oleh pihak-pihak yang akan melakukan jual beli. Aktivitas
tersebut akan menggiring kepada keuntungan yang akan didapatkan oleh
pihak-pihak yang melakukan aktivitas jual beli tersebut.
Namun, jual beli saham di pasar modal mengandung berbagai macam bentuk kedzhaliman
dan kriminalitas, seperti perjudian, perekrutan uang dengan cara haram,
monopoli, memakan uang orang lain dengan cara bathil, serta berspekulasi dengan
orang dan masyarakat.
Sebenarnya, transaksi saham di pasar memiliki dampak positif—disamping
dampak negatifnya yang lebih banyak. Beberap dampak positif dari jual beli
saham adalah sebagai berikut:
Membuka pasar tetap yang memudahkan penjual dan pembeli dalam melakukan
transaksi.
Mempermudah pendanaan pabrik-pabrik, perdagangan dan proyek pemerintah
melalui penjualan saham.
Mempermudah penjualan saham dan menggunakan nilainya.
Mempermudah mengetahui timbangan harga-harga saham dan barang-barang
komoditi, melalui aktivitas permintaan dan penawaran.
Akan tetapi, dampak negatif yang ditimbulkan dari transaksi saham—terutama
pada pasar sekunder—jauh lebih besar seperti
Transaksi berjangka dalam bursa saham ini sebagian besar bukan jual beli
sebenarnya, yakni tidak adanya unsur serah terima sebagai syarat sah jual beli
menurut hukum Islam.
Kebanyakan dari transaksi saham adalah penjualan sesuatu yang tidak
dimiliki, baik berupa uang, saham, giro piutang dengan harapan akan dibeli di
pasar sesungguhnya dan diserahkan pada saatnya nanti, tanpa mengambil uang
pembayaran terlebih dahulu.
Pembeli dalam pasar ini kebanyakan membeli kembali barang yang dibelinya
sebelum dia terima. Hal ini juga terjadi pada orang kedua, ketiga atau
berikutnya secara berulang. Peran penjual dan pembeli selain yang pertama dan
terakhir, hanya untuk mendapatkan keuntungan semata secara spekulasi (membeli
dengan harga murah dan mengharapkan harga naik kemudian menjualnya kembali).
Penodal besar mudah memonopoli saham di pasaran agar bisa menekan penjual
yang menjual barang-barang yang tidak mereka miliki dengan harga murah,
sehingga penjualan lain kesulitan.
Pasar saham memilki pengaruh merugikan yang sangat luas. Harga-harga pada
pasar ini tidak bersandar pada mekanisme pasar yan benar, tetapi oleh banyak
hal yang lekat dengan kecurangan, seperti dilakukan oleh pemerhati pasar,
monopoli barang dagangan dan kertas saham, atau dengan menyebarkan berita
bohong dan sejenisnya.
Pada tahun 1404 H, lembaga pengkajian fiqih Rabithah al-Alam al-Islamy
telah memberikan keputusan berkaitan dengan jual beli saham. Untuk kepentingan
praktis, penulis meringkasnya sebagai berikut:
1. Bursa saham merupakan suatu mekanisme pasar yang berguna dalam kehidupan
manusia. Akan tetapi, pasar ini dipenuhi dengan berbagai macam transaksi
berbahaya menurut syariat seperti perjudian, memanfaatkan ketidaktahuan orang,
serta memakan harta orang lain dengan cara bathil. Hukum bursa saham tidak
dapat ditentukan secara umum, melainkan dengan memisahkan dan menganalisa
bagian-bagian tersebut secara rinci.
2. Transaksi barang yang berada dalam kepemilikan penjual, bebas untuk
ditransaksikan dengan syarat barang tersebut harus sesuai dengan syariat. Jika
tidak dalam kepemilikan penjual, harus dipenuhi syarat-syarat jual beli
as-Salam.
3. Transaksi instan atas saham yang berada dalam kepemilikan penjual, boleh
dilakukan selama usaha suatu emiten tidak haram. Jika usaha suatu emiten haram
menurut syariat, seperti bank riba, minuman keras dan sejenisnya, transaksi
jual beli saham menjadi haram.
4. Transaksi instan maupun berjangka yang berbasis bunga, tidak
diperbolehkan menurut syariat, karena mengandung unsur riba.
5. Transaksi berjangka dengan segala bentuknya terhadap barang gelap (tidak
berada dalam kepemilikan penjual) diharamkan menurut syariat. Rasulullah SAW
bersabda, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau miliki.”
6. Jual beli saham dalam pasar modal tidak dapat dikategorikan sebagai
as-Salam dengan alasan: Harga barang tidak dibayar langsung sebagaimana
as-Salam dan barang (saham) dijual hingga beberapa kali pada saat berada dalam
kepemilikan penjual pertama dalam rangka menjual dengan harga maksimal, persis
seperti perjudian.
JAKARTA 7-2-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar