ANTARA KHAUF DAN
RAJA’
Muqaddimah
Ketahuilah
bahwa sesungguhnya khauf itu terpuji dan terkadang menganggap bahwa segala
sesuatu yang dinamakan khuf itu terpuji. Sehingga segala sesuatu yang lebih
kuat dan lebih banyak dalam mas’alah ini adalah lebih baik. Dan pendapat yang
demikian ini adalah salah. Akan tetapi sesungguhnya khuf adalah cambuk Allah
yang dengan cambuk ini Allah menggiring hambanya kepada sifat rajin atas ilmu
dan amal agar dengan keduanya (ilmu dan amal) seorang hamba akan memperoleh
derajad kedekatan kepada Allah Ta’ala.
ALLAH BERBUAT DAN BERKEHENDAK |
Ketika kita berdoa memohon kepada Allah baik itu yang berhubungan dengan duniawi atau ukhrawi pasti akan berharap dikabulkan, berharap atau roja’ itu dimiliki oleh hamba-hamba yang pada hakekatnya telah menamcapkan keimanan di dada dan menghidupkan roja’ sebagai potensi tumbuhnya keinginan akan harapan. Syaikh Utsaimin berkata: “Roja’ adalah keinginan seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek.” (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 57-58) Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata: “Asal makna roja’ adalah menginginkan atau menantikan sesuatu yang disenangi…” (Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Khouf artinya perasaan takut yang muncul terhadap sesuatu yang mencelakakan, berbahaya atau mengganggu (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 56)
Kata lain dari khauf adalah khawatir/takut,yang berarti maksud dari khauf adalah rasa khawatir atau takut pada sesuatu yang akan datang,dan rasa khauf akan tumbuh jika seseorang meyakini kalau sesuatu yang di benci akan datang dan yang di cintai akan pergi atau sirna.
Dalam Al-Qur'an makna "khauf" di istilahkan dalam beberapa ayat,misal di Surat As-Sajdah ayat 16 yang artinya "mereka menyeru kepada Tuhan mereka dengan penuh rasa takut(khauf) dan penuh harapan",serta di dalam sufi makna khauf sebagai syarat iman dan syarat menjalankan hukum Allah.yang termaktub dalam Surat Ali-Imron:75.
Menurut beberapa Ulama',khauf di artikan menjadi beberapa arti,seperti cambuk Allah SWT yang di gunakan untuk menghukum manusia yang berontak terhadap Allah SWT.serta manusia yang takut terhadap Allah,di kala ia merasa aman dari hal yang membuatnya takut sendiri,dan sebagainya.
Pengertian
Khauf
Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali berkata: “Roja’ adalah akhlak kaum beriman. Dan yang dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan…” (Thariqul Wushul, hal. 136) Adapun roghbah ialah rasa suka mendapatkan sesuatu yang dicintai (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 59). Maka apabila seseorang berdoa dan menyimpan harapan yang sangat kuat tercapainya keinginannya maka inilah yang disebut dengan roghbah (Hushuulul Ma’muul, hal. 87)
Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali berkata: “Roja’ adalah akhlak kaum beriman. Dan yang dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan…” (Thariqul Wushul, hal. 136) Adapun roghbah ialah rasa suka mendapatkan sesuatu yang dicintai (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 59). Maka apabila seseorang berdoa dan menyimpan harapan yang sangat kuat tercapainya keinginannya maka inilah yang disebut dengan roghbah (Hushuulul Ma’muul, hal. 87)
Imam Ghazali mendefinisikan khauf sebagai suatu keadaan terluka dan
terbakarnya hati yang disebabkan datangnya sesuatu yang tidak disenangi,
sebagai konsekwensi atas apa yang telah diperbuat pada waktu yang akan datangn.
Di sini, khauf mempunyai posisi seperti raja’ (pengharapan) yang bersifat maqâm dan hâl. Disebut maqâm, jika mempunyai sifat yang tetap
dalam diri. Dan dikatakan hâl jika berupa sifat yang muncul dan cepatnya hilang dari diri.
Yang perlu diingat, tidak semua khauf itu terpuji. Al-Ghazali
memaparkan; terkadang rasa takut itu lemah, rasa takut yang lemah ini sangat
sedikit manfaatnya, hanya mengingatkan sebentar kemudian kembali ke keadaan
lupa. Menangis sebentar, kemudian maksiat kembali dijalankan. Analoginya
seperti sebuah cambuk yang tidak berpengaruh pada keledai. Cambukan tersebut
tidak bisa mempercepat gerak keledai karena keroposnya kayu yang digunakan.
Rasa takut yang seperti inilah yang dianggap sebagai rasa takut yang sia-sia.
Dikatakan: orang yang takut bukanlah orang yang mengusap
airmatanya, melainkan yang menjauhi larangan-larangan-Nya. Abu al-Qâsim
al-Hâkim berkata: “orang yang takut pada sesuatu akan bersegera menjauhinya,
sedangkan orang yang takut pada Allah akan bersegera menuju kepada-Nya, dengan
mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Al-fadhli bin ‘Iyadh
pun ikut berargumen: “ketika engkau ditanya: apakah kau takut kepada Tuhanmu?
Jika kau menjawab: tidak, maka, kau telah kafir. Dan jika kau menjawab: iya,
maka sungguh kau telah berbohong.” Dari sinilah, ketakutan itu diibaratkan
dengan cambuk yang akan membangkitkan semangat untuk beramal.
Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia
merasatakut atas sirnanya ḥal dan maqamnya, karena dia tahu
bahwa Allahmemiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah.
KetikaAllah berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan hal yang ada pada
dirisalik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
“Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang
hambaterwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yangterpuji
maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidakterpedaya dengan
urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendakAllah terwujud.”
Dan jika khauf tidak membawa selain kepada ‘iffah (yaitu mencegah
dari keinginan hawa nafsu), maka ia memiliki beberapa derajad. Apabila wara’
itu berubah, maka ia lebih tinggi tingkatannya. Dan yang paling tinggi
derajadnya adalah apabila ia membawa kepada derajad para shidiqqiin, yaitu
tercabutnya ia secara lahir dan bathin dari segala sesuatu selain Allah Ta’ala
hingga tiada yang tersisa suatu kelapangan bagi selain Allah Ta’ala. Maka
inilah yang terjauh / tertinggi dari apa yang terpuji (dari khuf). Dan yang
demikian ini apabila disertai kekalnya kesehatan dan aqal. Apabila yang
demikian ini melampaui batas sehingga menghilangkan akal dan kesehatan maka
pada hakekatnya itu adalah penyakit yang harus dihilangkan apabila mampu. Dan
apabila itu terpuji, maka tidaklah wajib menghilangkannya dengan sebab-sebab
raja’ / harap dan dengan yang lain sehingga ia hilang. Oleh karena itu Sahal RA
berkata kepada murid-muridnya yang selalu melaparkan diri pada hari-hari yang
banyak jumlahnya , “jagalah akalmu semua karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak
memiliki wali yang kurang akal”.
Pintu Khauf
Khauf seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pastidiiringi
dengan rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalahpembangkit dari rajā’.
Maqām khauf adalah maqām yang membangkitkanmaqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada
jika khauf tidak ada.
Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin
agar dibuka baginyapintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan
Allahkepadanya berupa anugerah maqām, hal dan berbagai kenikmatan yang
diaterima. Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknyadia
melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan danketaatan penuh
pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’,
makalihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkauingin
agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yangtelah kau
berikan kepada-Nya.”
Rajā’ bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai
denganperbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka
tidaklain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengandemikian
wajib bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya denganamal kepatuhan, dan
peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepadaAllah secara kontinu.
Jika rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan
semakinmenguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pastiakan
disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakanbahwa khauf
akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.
Sedangkan Raja' itu sendiri adalah harapan.sebuah harapan yang di cintai
akan datang,dan sebaliknya yang di benci akan hilang.dan amal-amal yang di
dasari akan optimisme/harapan lebih baik daripada amal-amal yang di dasarkan
pada rasa takut/khawatir(khauf).
Serta salah satu tanda bahwa seseorang masih bergantung pada amal adalah apabila ia merasa kehilangan harapan(raja') kepada Allah ketika ia melakukan dosa.
Dan arti Raja'(harapan) itu berbeda dengan Tamanny(berandai-andai) yang merupakan sifat tercela.yang berarti harapan adalah mengandalkan kemurahan Sang Pencipta,dan juga melihat kegemilangan Illahi(Sang Pencipta) dengan mata keindahan.harapan adalah kedekatan hati pada kemurahan Allah,harapan adalah kesenangan hati terhadap keutamaan tobat seseorang,harapan adalah melihat kasih sayang Sang Pencipta(Allah) yang Maha Meliputi Segalanya.
Serta salah satu tanda bahwa seseorang masih bergantung pada amal adalah apabila ia merasa kehilangan harapan(raja') kepada Allah ketika ia melakukan dosa.
Dan arti Raja'(harapan) itu berbeda dengan Tamanny(berandai-andai) yang merupakan sifat tercela.yang berarti harapan adalah mengandalkan kemurahan Sang Pencipta,dan juga melihat kegemilangan Illahi(Sang Pencipta) dengan mata keindahan.harapan adalah kedekatan hati pada kemurahan Allah,harapan adalah kesenangan hati terhadap keutamaan tobat seseorang,harapan adalah melihat kasih sayang Sang Pencipta(Allah) yang Maha Meliputi Segalanya.
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Pangkal wara’ menurutnya, ada ketakwaan; pangkal ketakwaan adalah instrosfeksi diri (musabat Al-nafs); pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja’; pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman; pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan. 15)
Khauf dan raja’; menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna bila berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As sunnah. Dalam hal ini, ia mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah haji dan janji serta ancaman Allah. Al-Muhasibi mengatakan bahwa Al-Qur'an jelas berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan. Ajakan-ajakan Al-Qur'an pun sesungguhnya dibangun atas dasar targhib (sugesti) dan tarhib (ancaman). Al-Qur'an jelas pula berbicara tentang surga dan neraka. Ia kemudian mengutip ayat-ayat berikut:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada di dalam taman-taman (surga) dan dimata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)
(QS Adz-Dzariyyat, ayat 15-18).
Raja’ dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan alam saleh. Seseorang yang telah melakukan amal saleh, berhak mengharap pahala dari Allah.
Ajaran-ajaran Hasan Al-Bashri adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya
Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan bahwa ajaran tasawuf Hasan yaitu:
a. “Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram tapi yang menimbulkan rasa takut.”
b. “Dunia adalah negeri tempat beramal”
c. “Tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi.”
d. “Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya”.
e. “Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada di antara dua perasaan takut”
f. “Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya”
g. “Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh”
Sikap tasawuf Hasan Al-Bashri senada dengan sabda Nabi yang berbunyi:
“Orang yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana yang orang duduk di bawah sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya”.
Karena itulah
telah berkata Fudhail bin Iyadh,
“apabila engkau ditanya oleh seseorang, ‘apakah engkau termasuk orang yang
takut kepada Allah Ta’ala, maka diamlah. Karena apabila engkau menjawab tidak
maka engkau kufur. Dan apabila engkau menjawab ya maka engkau telah berbohong.”
Dan beliau mengisyaratkan yang demikian karena sesungguhnya orang yang khauf /
takut adalah orang yang menjaga perbuatannya dari maksiyat dan merantainya
dengan ta’at . dan apa yang tidak menimbulkan bekas pada amal perbuatan, maka
itu adalah bisikan hati dan gurisan di dalam hati saja yang tidak pantas
dinamakan dengan istilah khauf / takut.
Jakarta 26/2/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar