dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(ar-Rum:21)
Pengertian Secara Bahasa
Az-zawaaj adalah kata dalam bahasa arab yang
menunjukan arti: bersatunya dua perkara, atau bersatunya ruh dan badan untuk
kebangkitan. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya):
“Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh)”
(Q.S At-Takwir : 7)
dan firman-Nya tentang nikmat bagi kaum mukminin di surga, yang
artinya mereka disatukan dengan bidadari :
“Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari
yang cantik lagi bermata jeli (Q.SAth-Thuur : 20)
Karena perkawinan menunjukkan makna bergandengan, maka disebut
juga “Al¬-Aqd, yakni bergandengan (bersatu)nya antara laki-laki dengan
perempuan, yang selanjutnya diistilahkan dengan “zawaaja�?.
Pengertian Secara Syar’i
Adapun secara syar’i perkawinan itu ialah ikatan yang menjadikan
halalnya bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan, dan tidak berlaku,
dengan adanya ikatan tersebut, larangan-larangan syari’at.
Lafadz yang semakna dengan “AzZuwaaj” adalah “An-Nikaah“;
sebab nikah itu artinya saling bersatu dan saling masuk. Ada perbedaan pendapat
di antara para ulama tentang maksud dari lafadz “An-Nikaah”
yang sebenarnya. Apakah berarti “perkawinan” atau “jima’”.
Selanjutnya, ikatan pernikahan merupakan ikatan yang paling utama
karena berkaitan dengan dzat manusia dan mengikat antara dua jiwa dengan ikatan
cinta dan kasih sayang, dan karena ikatan tersebut merupakan sebab adanya
keturunan dan terpeliharanya kemaluan dari perbuatan keji.
Hukum Nikah
Para ulama menyebutkan bahwa nikah
diperintahkan karena dapat mewujudkan maslahat; memelihara diri, kehormatan,
mendapatkan pahala dan lain-lain. Oleh karena itu, apabila pernikahan justru
membawa madharat maka nikahpun dilarang. Dari sini maka hukum nikah dapat dapat
dibagi menjadi lima:
1. Disunnahkan bagi orang yang
memiliki syahwat (keinginan kepada wanita) tetapi tidak khawatir berzina atau
terjatuh dalam hal yang haram jika tidak menikah, sementara dia mampu untuk
menikah.
Karena Allah telah memerintahkan
dan Rasulpun telah mengajarkannya. Bahkan di dalam nkah itu ada banyak
kebaikan, berkah dan manfaat yangb tidak mungkin diperoleh tanpa nikah, sampai
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Dalam kemaluanmu ada sedekah.” Mereka
bertanya:”Ya Rasulullah , apakah salah seorang kami melampiaskan syahwatnya
lalu di dalamnya ada pahala?” Beliau bersabda:”Bagaimana menurut kalian, jika
ia meletakkannya pada yang haram apakah ia menanggung dosa? Begitu pula jika ia
meletakkannya pada yang halal maka ia mendapatkan pahala.” (HR.
Muslim, Ibnu Hibban)
Juga sunnah bagi orang yang mampu
yang tidak takut zina dan tidak begitu membutuhkan kepada wanita tetapi
menginginkan keturunan. Juga sunnah jika niatnya ingin menolong wanita atau
ingin beribadah dengan infaqnya.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam bersabda:
“Kamu tidak menafkahkan satu nafkah karena ingin
wajah Allah melainkan Allah pasti memberinya pahala, hingga suapan yang kamu
letakkan di mulut isterimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, dinar
yang kamu nafkahkan untuk budak, dinar yang kamu sedekahkan pada orang miskin,
dinar yang kamu nafkahkan pada isterimu maka yang terbesar pahalanya adalah
yang kamu nafkahkan pada isterumu.” (HR. Muslim)
2. Wajib bagi yang mampu nikah dan
khawatir zina atau maksiat jika tidak menikah. Sebab menghindari yang haram
adalah wajib, jika yang haram tidak dapat dihindari kecuali dengan nikah maka
nikah adalah wajib (QS. al Hujurat:6). Ini bagi kaum laki-laki, adapun bagi
perempuan maka ia wajib nikah jika tidak dapat membiayai hidupnya (dan
anak-anaknya) dan menjadi incaran orang-orang yang rusak, sedangkan kehormatan
dan perlindungannya hanya ada pada nikah, maka nikah baginya adalah wajib.
3. Mubah bagi yang mampu dan aman
dari fitnah, tetapi tidak membutuhkannya atau tidak memiliki syahwat sama
sekali seperti orang yang impotent atau lanjut usia, atau yang tidak mampu
menafkahi, sedangkan wanitanya rela dengan syarat wanita tersebut harus
rasyidah (berakal).
Juga mubah bagi yang mampu menikah
dengan tujuan hanya sekedar untuk memenuhi hajatnya atau bersenang-senang,
tanpa ada niat ingin keturunan atau melindungi diri dari yang haram.
4. Haram nikah bagi orang yang
tidak mampu menikah (nafkah lahir batin) dan ia tidak takut terjatuh dalam zina
atau maksiat lainnya, atau jika yakin bahwa dengan menikah ia akan jatuh dalam
hal-hal yang diharamkan. Juga haram nikah di darul harb (wilayah tempur) tanpa
adanya faktor darurat, jika ia menjadi tawanan maka tidak diperbolehkan nikah
sama sekali.
Haram berpoligami bagi yang
menyangka dirinya tidak bisa adil sedangkan isteri pertama telah mencukupinya.
5. Makruh menikah jika tidak mampu
karena dapat menzhalimi isteri, atau tidak minat terhadap wanita dan tidak
mengharapkan keturunan.. Juga makruh jika nikah dapat menghalangi dari
ibadah-ibadah sunnah yang lebih baik. Makruh berpoligami jika dikhawatirkan
akan kehilangan maslahat yang lebih besar.
Maksud pernikahan
* Nikah dimaksudkan untuk menjaga keturunan,
mempertahankan kelangsungan generasi manusia. Tak hanya untuk
memperbanyak generasi saja, namun tujuan dari adanya kelangsungan generasi
tersebut adalah tetap tegaknya generasi yang akan membela syariat Allah,
meninggikan dienul islam , memakmurkan alam dan memperbaiki bumi.
* Memelihara kehormatan diri, menghindarkan diri dari hal-hal yang diharamkan, sekaligus menjaga kesucian diri.
* Mewujudkan maksud pernikahan yang lain, seperti menciptakann ketenangan, ketenteraman. Kita bisa menyaksikan begitu harmoninya perpaduan antara kekuatan laki-laki dan kelembutan seorang wanita yang diikat dengan tali pernikahan, sungguh merupakan perpaduan yang begitu sempurna.
* Memelihara kehormatan diri, menghindarkan diri dari hal-hal yang diharamkan, sekaligus menjaga kesucian diri.
* Mewujudkan maksud pernikahan yang lain, seperti menciptakann ketenangan, ketenteraman. Kita bisa menyaksikan begitu harmoninya perpaduan antara kekuatan laki-laki dan kelembutan seorang wanita yang diikat dengan tali pernikahan, sungguh merupakan perpaduan yang begitu sempurna.
Secara umum tujuan yang luhur dari
pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah
tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah
WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga
yang Islami, ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon
pasangan yang ideal yaitu: (a) sesuai kafa’ah; dan (b) shalih dan shalihah.
Tujuan pernikahan diantaranya ialah untuk
melestarikan dan mengembangkan bani Adam. Allah berfirman: “Allah telah
menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu
dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang
baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari
nikmat Allah ?”. (An-Nahl : 72).
Yang tak kalah pentingnya, dalam pernikahan
bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk
generasi yang berkualitas yaitu mencetak anak yang shalih dan Shalihah serta
bertaqwa kepada Allah SWT. Keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan
dengan tarbiyah Islam (pendidikan Islam) yang benar. Disebutkan demikian karena
banyak “Lembaga Pendidikan Islam”, tetapi isi dan metodanya tidak Islami.
Sehingga banyak terlihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami
sebagai akibat pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung
jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.
Islam memandang bahwa pembentukan keluarga
merupakan salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar
yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan
mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi
umat Islam.
Sesungguhnya perintah itu ikatan yang mulia dan penuh barakah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mensyari’atkan untuk kemaslahatan hamba-Nya dan
kemanfaatan bagi manusia, agar tercapai maksud-maksud yang baik dan
tujuan-tujuan yang mulia. Dan yang terpenting dari tujuan pernikahan ada dua,
yaitu:
1. Mendapatkan keturunan atau anak
2. Menjaga diri dari yang haram
2. Menjaga diri dari yang haram
Mendapat Keturunan
Dianjurkan dalam pernikahan tujuan pertamanya adalah untuk
mendapatkan keturunan yang shaleh, yang menyembah pada Allah dan mendo’akan
pada orangtuanya sepeninggalnya, dan menyebut-sebut kebaikannya di kalangan
manusia serta menjaga nama baiknya. Sungguh ada dalam hadits dari Anas bin
Malik Radhiyallahu ‘anhu
berkata : Adalah Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami menikah dan melarang membujang dengan larangan yang keras dan belia bersabda :
berkata : Adalah Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami menikah dan melarang membujang dengan larangan yang keras dan belia bersabda :
“Nikahkah oleh kalian perempuan-perempuan yang
pecinta dan peranak, maka sungguh aku berbangga dengan banyaknya kalian dari
para Nabi di hari kiamat.�?
Al Walud (banyak anak), Al Wadud (pecinta), di mana dia mempunyai
unsur-unsur kebaikan dan baik perangainya dan mencintai suaminya,
Al-Makaatsarat ialah bangga dengan banyaknya umat shallallahu alaihi wa alaihi
wa sallam di hari kiamat, maka Nabi,
Berbangga dengan banyaknya umatnya dari semua para Nabi. Karena siapa yang umatnya lebih banyak maka pahalanya lebih banyak dan bagi beliau mendapat seperti pahala orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Inilah tujuan yang besar dari pernikahan. Berfirman Allah Sub,hanahu wa Ta’ala (yang artinya) :
Berbangga dengan banyaknya umatnya dari semua para Nabi. Karena siapa yang umatnya lebih banyak maka pahalanya lebih banyak dan bagi beliau mendapat seperti pahala orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Inilah tujuan yang besar dari pernikahan. Berfirman Allah Sub,hanahu wa Ta’ala (yang artinya) :
“Dan Dia (Allah) telah menjadikan bagimu dari
istri-istrimu itu, anak-anak dan cucu-cucu�?. (Q.S An-Nahl-72)
Al-Hafadah (jama’ dari hafid artinya cucu; yang dimaksud dalam
ayat ini adalah anaknya anak dan anak-anak keturunan mereka.
Maka manusia dengan fitrah yang Allah berikan padanya dijadikan
rnencintai anak-anak karena Allah menghiasi manusia dengan cinta pada
anak-anak. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (yang artinya) :
“Dijadikan indah pada (pandangan ) manusia,
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu ; wanita-wanita, anak-anak,…�?(Q.S Ali-Imran -14)
Manusia memiliki naluri cinta pada anak-anak, karenanya Allah
Subhanahu waTa’ala jadikan anak-anak sebagai perhiasan kehidupan dunia.
Berfirman Allah (yang artinya):
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia.�?
Namun karena terlalu cintanya pada anak-anaknya, kadang-kadang
bisa menjerumuskan ke dalam fitnah, sehingga dia bermaksiat pada Allah dengan
sebab anak-anaknya. Allah berfirman (yang artinya):
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan
di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Q.S At-Taghabun : 15)
Dan bila telah keterlaluan fitnah anak pada manusia, maka bisa
mendorong pada perbuatan haram, seperti usaha yang haram untuk menafkahi
mereka, atau meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan jihad di jalan Allah,
karena takut kalau meninggalkan anak. Maka anak dalam hal ini sama kedudukannya
dengan musuh, sehingga wajib berhati-hati dari keterikatan pada mereka. Dan ini
adalah makna dari firman Allah Ta’ala (yang artinya) :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara
isteri-isteri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak
memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.�? (Q.S At-Taghabun:14)
Telah ada dalam sebab Nuzul ayat ini apa yang diriwayatkan Imam
Tirmidzi dan Hakim dan lainnya dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma
berkata :
“Telah turun ayat ini (At-Taghabun-14) tentang suatu kaum dari
ahli Makkah, mereka telah masuk Islam, lalu istri-istri mereka dan anak-anak
mereka menolak ajakan mereka.
Maka ketika mereka datang pada Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam di Madinah, mereka melihat orang-orang yang mendahului mereka dengan hijrah. Sungguh mereka telah pandai-pandai dalam urusan agama, maka mereka ingin menghukum istri-istri dan anak-anak mereka, lalu Allah turunkan pada mereka ayat :
Maka ketika mereka datang pada Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam di Madinah, mereka melihat orang-orang yang mendahului mereka dengan hijrah. Sungguh mereka telah pandai-pandai dalam urusan agama, maka mereka ingin menghukum istri-istri dan anak-anak mereka, lalu Allah turunkan pada mereka ayat :
“Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi
serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang�? (Q.S At-Taghabun : 14)
Menjaga Diri dari yang Haram
Tidak diragukan lagi bahwa yang terpenting dari tujuan nikah ialah
memelihara dari perbuatan zina dan semua perbuatan-perbuatan keji, serta tidak
semata-mata memenuhi syahwat saja. Memang bahwa memenuhi syahwat itu merupakan
sebab untuk bisa menjaga diri, akan tetapi tidaklah akan terwujud iffah
(penjagaan) itu kecuali dengan tujuan dan niat. Maka tidak benar memisahkan dua
perkara yang satu dengan lainnya, karena manusia bila mengarahkan semua keinginannya
untuk memenuhi syahwatnya dengan menyandarkan pada pemuasan nafsu atau jima’
yang berulang-ulang dan tidak ada niat memelihara diri dari zina, maka
dimanakah perbedaannya antara manusia dengan binatang ?
Oleh karena itu, maka harus ada bagi laki-laki dan perempuan
tujuan mulia dari perbuatan bersenang-senang yang mereka lakukan itu, yaitu
tujuannya memenuhi syahwat dengan cara yang halal agar hajat mereka terpenuhi,
dapat memelihara diri, dan berpaling dari yang haram. Inilah yang ditunjukkan
oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam . Sungguh diriwayatkan oleh Bukhori
dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata : telah berkata
Rasulullah .:
“Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian
yang mampu maka nikahlah, karena sesungguhnya itu dapat menundukan pandangan
dan memelihara kemaluan, maka barang siapa yang tidak mampu hendaknya dia
berpuasa, karena sesungguhnya itu benteng
baginya.�?
baginya.�?
Al- Wijaa’, adalah satu jenis pengebirian,
yaitu dengan mengosongkan saluran mani yang menghubungkan antara testis_dan
dzakar. Dan makna hadits ini adalah : Barang siapa yang mampu di antara kamu
wahai pemuda untuk berjima’ dan telah mampu untuk memikul beban-beban
pernikahan dan amanahnya, maka nikahlah. Karena nikah itu akan menundukkan
pandangan dan memelihara kemaluan. Jika tidak mampu hendaknya dia berpuasa,
karena puasa itu akan menghancurkan kekuatan gejolak syahwat, bagai pengebirian
pada binatang buas untuk menghilangkan syahwatnya.
Maka jelaslah dari hadits ini bahwa Nabi salallahu ‘alaihi
wasallam memberikan pada pernikahan itu dua perkara yang membantu pada kedua
mempelai, yaitu pertama menundukan pandangan dari pandangan-pandangan yang
diharamkan Allah Ta’ala dari para wanita, kedua memelihara kemaluan dari “zina”
dan semua perbuatan-perbuatan keji. Sehubungan dengan makna ini telah ada
hadits yang mulia yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bin Abdullah
Radhiyallahu ‘anhuma berkata :”Aku mendengar Rasulullah bersabda :
“Apabila seseorang diantara kamu terkagum-kagum
pada wanita lalu terkesan atau terjatuh dalam hati; maka hendaklah segera
menemui isterinya lalu penuhilah hasratnya dengan isterinya, karena
sesungguhnya itu akan menolak apa yang ada dihatinya atau jiwanya.�?
Adapun orang-orang yang telah menikah dan semua keinginannya dari
pernikahan adalah syahwat dan jima’ semata, maka mereka tidak bertambah dengan
jima’ tersebut kecuali tambah syahwat, dan dia tidak cukup dengan isterinya
yang halal. Bahkan dia akan berpaling pada yang haram.
Perceraian yang dibenarkan
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa
Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian). Jika suami istri sudah tidak
sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah: “Thalaq
(yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.
Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zhalim”. (Al-Baqarah
: 229).
Yakni keduanya sudah tidak sanggup
melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila
keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan
dalam lanjutan ayat di atas: “Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah
thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga
dinikahkan dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan
istri) untuk nikah kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.
(Al-Baqarah: 230).
Tugas Suami :
1.Mencari nafkah untuk keluarga sesuai dengan kemampuan suami.
2.Memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap keluarga
3.Memberi nafkah lahir batin dan kasih sayang pada istri dan anak.
4.Memberikan bimbingan, didikan, dan mengatur keluarga supaya
selamat, sejahtera dunia dan akhirat.
5.Berusaha menjadi kepala rumah tangga yang bijaksana
Lelaki yang hendak menikah harus memilih
wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih. Menurut
Al-Qur’an: “Wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, olkeh karena Allah telah memelihara (mereka)”.
(An-Nisaa : 34). Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Shahih di antara
ciri-ciri wanita yang shalihah ialah : “Ta’at kepada Allah, ta’at kepada Rasul,
memakai jilbab (pakaian) yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer
kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32).
Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang
bukan mahram, ta’at kepada orangtua dalam kebaikan, ta’at kepada suami dan baik
kepada dan lain sebagainya”. Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah
tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang
agar dapat melahirkan generasi penerus umat.
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk
beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut
pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan
amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain. Sampai-sampai
bersetubuh (berhubungan suami-istri) pun termasuk ibadah (sedekah). Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian bersetubuh dengan
istri-istri kalian termasuk sedekah!.” Mendengar sabda Rasulullah itu para
shahabat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang suami yang
memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi
shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika mereka
(para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .?
“Jawab para shahabat : “Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau
mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh
pahala!”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim, Ahmad dan Nasa’i dengan sanad yang
Shahih).
Tugas Istri :
1.Taat dan Patuh kepada perintah dan aturan suami.
2.Mengurus Rumah Tangga ( menyiapkan keperluan suami dan anak )
sebaik-baiknya
3.Berusaha menerima dgn ikhlas pemberian suami dan Tidak meminta
sesuatu di luar kemampuan suami.
4.Jika istri akan puasa sunah, harus ada izin dari suami.
5.Menjaga kehormatan dirinyadan berusaha untuk tampil cantik dan
menyenangkan didepan suami ( Berhias itu hanya untuk suami )
6.Menjaga rahasia suami dan harta suami.
7.Mengasuh, mendidik dan memberikan kasih sayang kepada anak
Pernikahan pun menjadi sebab kayanya seseorang, dan terangkatnya
kemiskinannya. Nikah juga mengangkat wanita dan pria dari cengkeraman fitnah
kepada kehidupan yang hakiki dan suci (terjaga). Diperoleh pula kesempurnaan
pemenuhan kebutuhan biologis dengan jalan yang disyariatkan oleh Allah. Sebuah
pernikahan, mewujudkan kesempurnaan kedua belah pihak dengan kekhususannya.
Tumbuh dari sebuah pernikahan adanya sebuah ikatan yang dibangun di atas
perasaan cinta dan kasih sayang.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir” (QS Ar Ruum : 21)
Itulah beberapa tujuan mulia yang dikehendaki oleh Islam. Tentu
saja tak keluar dari tujuan utama kehidupan yaitu beribadah kepada Allah.
Jakarta 25-1-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar